4 BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1 Pendekatan Realisme Pemikiran realisme terkemuka pada abad ke-20 adalah Hans Morgenthau (1965,1985). Ia melihat bahwa „politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atas manusia, dan apapun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan terpentingnya dan cara-cara memperoleh, memelihara, dan menunjukan kekuasaan menentukan teknik tindakan politik‟ (Morgenthau, 1965: 195). Thucydides, Machiavelli, Hobbes, dan tentunya semua kaum realis klasik meyakinkan bahwa tujuan kekuasaan, alat-alat kekuasaan, dan penggunaan kekuasaan merupakan perhatian utama aktivitas politik. Dengan demikian, politik internasional digambarkan sebagai yang paling utama, „politik kekuasaan‟ (power politics) suatu arena persaingan, konflik, dan perang antar negara dimana masalah-masalah dasar yang sama dalam mempertahankan kepentingan nasional dan dalam menjamin kelangsungan hidup negara. Dasar normatif realisme adalah keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara, hal ini merupakan nilai-nilai yang menggerakan doktrin kaum realis dan kebijakan luar negeri kaum realis. Negara dipandang esensial untuk menjamin kehidupan yang baik bagi warga negaranya. Negara yang menjamin alat dan kondisi bagi keamanan dan kehidupan manusia, dalam frasa Thomas Hobbes (1946: 82) yang terkenal ialah „kesendirian, kemiskinan adalah hal yang sangat tidak menyenangkan, tidak berperikemanusiaan dan terbatas‟. Dengan demikian, negara dipandang sebagai pelindung wilayah, penduduk, dan kehidupan warga negara terjamin dan bernilai. Kepentingan nasional adalah pertimbangan utama dalam menentukan kebijakan luar negeri. Morgenthau berpendapat bahwa „politik adalah perjuangan untuk kekuasaan atas manusia, dan apapun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan terpentingnya, dan cara- cara memperoleh, memelihara, dan menunjukan kekuasaan menentukan teknik aksi politik‟ (Morgenthau,1965:195). Morgenthau berpendapat sama dengan Machiavelli dan Hobbes, jika masyarakat ingin memperoleh wilayah politik yang bebas dari intervensi atau kendali pihak asing, mereka harus mengerahkan kekuatan mereka dan menyebarkan kekuatannya
13
Embed
BAB II LANDASAN TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16180/2/T1_372013022_BAB II...dan mempertahankan kepentingan negaranya serta menjamin kelangsungan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
4
BAB II
LANDASAN TEORITIS
2.1 Pendekatan Realisme
Pemikiran realisme terkemuka pada abad ke-20 adalah Hans Morgenthau
(1965,1985). Ia melihat bahwa „politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan
atas manusia, dan apapun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan terpentingnya dan
cara-cara memperoleh, memelihara, dan menunjukan kekuasaan menentukan teknik
tindakan politik‟ (Morgenthau, 1965: 195).
Thucydides, Machiavelli, Hobbes, dan tentunya semua kaum realis klasik
meyakinkan bahwa tujuan kekuasaan, alat-alat kekuasaan, dan penggunaan kekuasaan
merupakan perhatian utama aktivitas politik. Dengan demikian, politik internasional
digambarkan sebagai yang paling utama, „politik kekuasaan‟ (power politics) suatu arena
persaingan, konflik, dan perang antar negara dimana masalah-masalah dasar yang sama
dalam mempertahankan kepentingan nasional dan dalam menjamin kelangsungan hidup
negara.
Dasar normatif realisme adalah keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara,
hal ini merupakan nilai-nilai yang menggerakan doktrin kaum realis dan kebijakan luar
negeri kaum realis. Negara dipandang esensial untuk menjamin kehidupan yang baik bagi
warga negaranya. Negara yang menjamin alat dan kondisi bagi keamanan dan kehidupan
manusia, dalam frasa Thomas Hobbes (1946: 82) yang terkenal ialah „kesendirian,
kemiskinan adalah hal yang sangat tidak menyenangkan, tidak berperikemanusiaan dan
terbatas‟. Dengan demikian, negara dipandang sebagai pelindung wilayah, penduduk, dan
kehidupan warga negara terjamin dan bernilai. Kepentingan nasional adalah pertimbangan
utama dalam menentukan kebijakan luar negeri.
Morgenthau berpendapat bahwa „politik adalah perjuangan untuk kekuasaan atas
manusia, dan apapun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan terpentingnya, dan cara-
cara memperoleh, memelihara, dan menunjukan kekuasaan menentukan teknik aksi politik‟
(Morgenthau,1965:195). Morgenthau berpendapat sama dengan Machiavelli dan Hobbes,
jika masyarakat ingin memperoleh wilayah politik yang bebas dari intervensi atau kendali
pihak asing, mereka harus mengerahkan kekuatan mereka dan menyebarkan kekuatannya
5
untuk tujuan tersebut. Yaitu, mereka harus mengorganisasikan diri mereka sendiri ke
dalam negara yang kuat dan efektif. Dengan cara itu mereka dapat mempertahankan
wilayah mereka.
Kekuasaan (singa) dan penipuan (rubah) adalah dua alat penting dalam
melaksanakan kebijakan luar negeri, menurut ajaran politik Machiavelli (1884 : 66).
Tanggung jawab utama penguasa adalah selalu berupaya mencari keunggulan dan
mempertahankan kepentingan negaranya dan menjamin kelangsungan hidup masyarakat
didalamnya. Pemikiran Machiavelli menggambarkan bahwa negara harus mempunyai
kekuatan. Jika negara tidak kuat maka akan mendorong hasrat kuat bagi yang lain untuk
menghancurkannya. Sehingga penguasa harus menjadi seekor singa dan juga
membutuhkan kecerdikan dan jika perlu “kekejaman” seperti seekor rubah, dalam
mengejar kepentingan nasional.
Selain itu, realisme juga meyakini bahwa tidak ada kewajiban internasional dalam
moral antar negara-negara merdeka. Menurut Machiavelli, salah satu tokoh realis,
menganggap bahwa nilai politik tertinggi adalah kebebasan nasional yaitu kemerdekaan.
Negara harus bertanggung jawab atas kelangsungan hidup dan stabilitas nasionalnya
karena tidak akan ada negara lain yang bersedia membantu jika negara tersebut mengalami
kesulitan. Jika pun ada, maka sudah dipastikan bahwa ada maksud terselubung dibalik
bantuan yang diberikan. Oleh karena itu, setiap negara harus berupaya mencari keunggulan
dan mempertahankan kepentingan negaranya serta menjamin kelangsungan hidupnya.
Dalam pandangan ini, Rusia dibawah kepemimpinan Vladimir Putin mencoba untuk
menaklukan kembali negara-negara kawasan Eropa Timur dengan mendukung gerakan
pemisahan diri Crimea dan bergabung dengan Rusia. Kebijakan luar negeri Putin yang
tetap mempertahankan Crimea karena sebanyak 58.3% masyarakat di Crimea beretnis
Rusia. Kebijakan Putin ini tentunya dipandang baik ketika dilihat dari pendekatan realis
bahwa Putin sebagai orang nomor satu di Rusia mewakili Rusia untuk tetap
mempertahankan wilayah Eropa Timur dan dianggap sebagai pemimpin yang baik bagi
warga negaranya kerana ikut menyelesaikan konflik Crimea. Selain itu ikut campur Putin
dalam konflik Crimea juga didasari oleh Rusia yang telah membangun armada angkatan
laut di wilayah Sevastopol yang merupakan wilayah bagian dari Crimea.
6
Dalam kebijakan luar negeri Rusia yang ingin mengambil Crimea menjadi bagian
Rusia, tidak terlepas dari kepentingan Rusia yang telah membangun armada laut hitam di
Sevastopol sejak tahun 1783. Kepentingan nasional yang ingin dicapai ialah ketika Crimea
masuk menjadi wilayah bagian Rusia, Rusia akan menguasai wilayah laut hitam yang
terdapat sumber energi yang banyak serta tidak perlu membayar sewa kepada Ukraina
terhadap armada angkatan laut Rusia yang ada di wilayah Crimea.1
Pandangan realis juga menyatakan bahwa pemimpin itu harus kuat seperti singa dan
licik seperti rubah. Dalam hal ini Vladimir Putin adalah pemimpin yang dikenal sukses
dalam mengembalikan ekonomi Rusia semenjak paska runtuhnya Uni Soviet. Putin
berhasil meningkatkan militer Rusia sehingga militer Rusia dikenal sebagai kekuatan Rusia
dan sampai sekarang Rusia dikenal sebagai negara yang kuat dalam bidang militer. Dalam
kepemimpinan Putin, Putin berani mengeluarkan kebijakan seperti contohnya krisis yang
terjadi di Ukraina yang berimbas kepada wilayah-wilayah yang dominan masyarakatnya
beretnis Rusia. Putin mengirim pasukan milliter untuk menjaga kemanan dan menjaga
masyarakat yang berada di wilayah Ukraina, pengiriman militer ini juga bermaksud untuk
mengambil wilayah Crimea menjadi bagian dari Rusia.
2.2 Konsep Rational Actor Model (RAM)
Graham T Allison dalam bukunya mengenai “how to understand the decisions and
actions of government”. Inti dari apa yang ingin disampaikan Allison terletak pada tiga
pendekatan untuk memahami perilaku pemerintah, tiga pendekatan tersebut terdiri dari
model asumsi yang akan penulis gunakan. Yaitu, pertanyaan yang ditanyakan, informasi
yang dicari, kosa kata yang digunakan, dan membentuk jawaban yang didapatkan. Tiga
konsep tesebut terdiri dari model I (Rational Actor), Model II (Organization Proces
Model), dan Model III (Governmental or Beraucratic Politic Model).
1 Defence Research and Development Canada. Crimea-naval and strategic implication’s of Russia’s annexation.
Scientific Letter. DRDC-RDDC-2014-L186. 2014-09-22. Diakses 12 April 2017
7
Dalam penelitian ini model yang digunakan adalah model I adalah Aktor Rasional
(Rational Actor). Negara atau, lebih tepatnya, secara mutlak mengasumsikan bahwa
pemerintah seperti individu yang berpikir secara rasional yang memiliki nilai-nilai, tujuan,
dan berpikir secara strategi yaitu secara instrumental. Mereka membangun tujuan,
mengumpulkan dan menilai informasi, menimbang risiko, kemudian pilih dan
melaksanakan rencana. Jika aktor yang berpikir secara rasional gagal atau mendapat
masalah, itu karena ia tidak memiliki informasi yang diperlukan, salah perhitungan, atau
kurang dalam rasionalitas.
Model I (Rational Actor) seperti pemikiran Schelling dan Realisme Strategi. Dimana
realisme strategi secara sentral memfokuskan pada pembuatan keputusan kebijakan luar
negeri, ketika para pemimpin negara menghadapi isu-isu diplomatik dan militer, mereka
diwajibkan untuk berpikir strategi, yaitu secara instrumental jika berharap untuk berhasil.
Schelling (1980,1986).
Dapat dilihat bahwa Rusia dibawah kepemimpinan Valdimir Putin telah berhasil
merebut Crimea melalui referendum pada tahun 2014, kebijakan Rusia merebut Crimea
dengan alasan untuk mempertahankan wilayah Eropa Timur dimana NATO yang telah
memperluas jaringannya sampai ke wilayah Eropa Timur terutama ikut campur dalam
konflik di Crimea. Kebijakan dari Rusia dibawah kepemimpinan Putin secara rasional
Putin ingin mengambil Crimea karena faktor keamanan dan dimana Rusia telah
membangun armada angkatan laut di wilayah Crimea. Sampai pada tahun 2016, walaupun
Crimea telah referendum dan telah bergabung di Rusia, Ukraina tetap tidak menyetujui
karena referendum Crimea ini tidak diakui secara hukum internasional sehingga Putin terus
mengirim militer ke Crimea dan terus mempertahankan Crimea. Selain keamanan Putin
secara tidak langsung ingin menjadikan Eropa bagian Timur sebagai “New Russia”.
2.3 Responsibility to Protect (R2P)
Prinsip Responsibility to Protect (R2P) diciptakan sebagai akibat dari sejumlah
kegagalan komunitas internasional untuk menghentikan pembunuhan massal Bosnia dan
Rwanda. Prinsip Responsibility to Protect adalah sebuah prinsip hubungan internasional
8
yang bertujuan untuk mencegah pemusnahan massal, kejahatan perang, pembersihan etnis,
dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Prinsip ini menyatakan setiap negara memiliki
tanggung jawab untuk melindungi (responsibility to protect) rakyatnya dari empat jenis
kejahatan tersebut.2
Ide mengenai Responsibility to Protect pada awalnya berkembang dari pemikiran
Francis Deng (seorang mantan Diplomat asal Sudan yang menjadi perwakilan khusus PBB
untuk masalah pengungsi internal (Internally Displaced Persons/ IDPs) selama dekade
1990-an) bersama dengan ahli lainnya yang bekerja dibidang yang sama. Deng dan para
ahli lainnya berpendapat bahwa ide mengenai „kedaulatan negara‟ harus didasarkan bukan
pada hak dari setiap negara untuk melakukan apa yang dikehendakinya tanpa ada campur
tangan internasional, tetapi bahwa kedaulatan negara harus diasaskan pada perlindungan
terhadap rakyatnya yang tinggal di wilayah tersebut. Secara sederhana, kedaulatan negara
harus dibangun diatas konsep “kedaulatan sebagai tanggung jawab (soverignity as
responsibility). Ide Deng mengenai „kedaulatan sebagai tanggung jawab‟ kemudian
digunakan untuk menciptakan prinsip “Responsibility to Protect” oleh Komisi Internasional
atas Intervensi dan Kedaulatan Negara (International Commission on Intervention and
State Sovereignity/ ICISS).3 Komisi ini dibentuk atas hasil pemikiran Deng yang
berpendapat negara seharusnya menerima tanggung jawab untuk melindungi rakyatnya
yang tinggal di dalam batas-batas wilayahnya.
Dalam KTT Dunia 2005 atas “Responsibilty to Protect/R2P”, Sekretaris Jenderal PBB
Ban Ki Moon menjelaskan tentang tiga pilar dalam menerapkan prinsip R2P:
1. Tanggung jawab negara untuk melindungi rakyatnya sendiri dari pemusnah massal
(genocide), kejahatan perang (war crimes), pembersihan etnis (ethnic cleaning)
dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), dan dari segala
macam tindakan yang mengarah pada jenis-jenis kejahatan tersebut.
2 Outreach Programe Rwanda Genocide and the United Nations. Bacground Note . “ The Responsibility to Protect.
http://www.responsibilitytoprotect.org/files/UMC_R2PBackground.pdf. Diakses pada 4 April 2017 3 Report of The International Commission on Intervention and State Sovereignity “The Responsibility To
Protect” http://responsibilitytoprotect.org/ICISS%20Report.pdf diakses pada 4 April 2017
2. Komitmen komunitas internasional untuk membantu negara-negara dalam
menjalankan tanggung jawab itu.
3. Tanggung jawab setiap negara anggota PBB untuk merespon secara kolektif, tepat
waktu dan tegas ketika suatu negara gagal memberikan perlindungan yang
dimaksud.
Dalam kasus mengenai Intervensi Rusia di Crimea, Rusia menekankan bahwa tindakan
intervensi militer tersebut didasari dengan prinsip Responsibility to Protect. Intervensi
tersebut merupakan bentuk dari tanggung jawab Rusia terhadap perlindungan warga negara
yang beretnis Rusia di Crimea. Pengiriman pasukan militer Rusia juga berdasarkan pilar ke 1
R2P yang menyatakan bahwa “Tanggung jawab negara untuk melindungi rakyatnya sendiri
dari pemusnah massal (genocide), kejahatan perang (war crimes), pembersihan etnis (ethnic
cleaning) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), dan dari segala
macam tindakan yang mengarah pada jenis-jenis kejahatan tersebut.”. Melalui konsep R2P,
Rusia melihat konflik tersebut tidak dapat diselesaikan oleh negara yang sedang terjadi
konflik (Ukraina) dikarenakan presiden telah digulingkan oleh pihak oposisi dan
mengakibatkan kondisi dalam negeri tidak stabil sehingga Rusia merespon melalui kebijakan
yang dikeluarkan Vladimir Putin yang mengirimkan pasukan militer untuk melindungi
masyarakat Crimea yang bertenis Rusia dalam mengalami konflik sampai pada tindakan
diskriminasi oleh pihak oposisi di wilayah Ukraina.
2.4 Politik Identitas
Politik identitas merupakan tindakan atau sikap politis yang mengedepankan pada
kelompok sosial yang dapat diiedentifikasi berdasarkan gender, ras, etnisitas, agama, yang
memeiliki kesamaan identitas. (Vasiliki Neofotistos: 2010). Politik identitas merupakan alat
untuk mengklaim kelompok tertentu dalam memetakan atau menentukan hak mereka ketika
mendapat sikap ketidakadilan atau ketidaksetaraan. Sebagai contohnya pada abad ke 20 ini
banyak gerakan-gerakan sosial yang muncul seperti gerakan perempuan, gerakan hak-hak sipil
10
masyarakat, gerakan etnis (ras/suku), gerakan gay dan lesbian, serta gerakan nasionalis dan
postkolonial. 4
Dalam menentukan politik identitas, menurut Castells harus lebih dahulu dilakukan
identifikasi suatu konstruksi yang timbul yang menurutnya bisa dilihat dengan 3 model identitas,
yaitu:
a. Legitimizing identity (legitimasi identitas), yaitu identitas yang dibangun oleh institusi
yang dominan ada dalam kehidupan sosial. Lembaga ini menunjukkan dominasinya
dengan melekatkan sebuah identitas tertentu pada seseorang atau kelompok.
b. Resistance identity (resistensi identitas), yaitu identitas yang dilekatkan oleh aktor-
aktor sosial tertentu dimana pemberian identitas tersebut dilakukan dalam kondisi
tertekan karena adanya dominasi hingga memunculkan satu perlawanan dan
terbentuknya identitas baru yang berbeda dari yang sedang dibangun oleh
masyarakat.
c. Project identity (proyek identitas), konstruksi identitas pada model ini dilakukan oleh
aktor sosial dari kelompok tertentu dengan tujuan terbentuk identitas baru untuk bisa
mencapai posisi tertentu dalam masyarakat, hal ini bisa terjadi sebagai implikasi dari
gerakan sosial yang bisa merubah struktur sosial secara global.5
Dalam penelitian ini mengenai kebijakan luar negeri Putin di Crimea berhasil
membuat Crimea melakukan referendum dan menjadi bagian dari Rusia juga memiliki
faktor pendukung. Faktor pendukung tersebut ialah Etnis, dimana dapat dikaitkan dengan
konsep identitas politik “tindakan sosial kelompok tertentu untuk menetukan hak mereka
dalam mancapai kesetaraan atau keadilan”. Di Crimea terdapat etnis dominan Rusia
dengan jumlah 58,3%, Crimea yang dominan etnis Rusia ini sebelum melakukan
referendum, terlebih dahulu melakukan aksi demonstrasi yang mengibarkan bendera
Rusia dan mengatakan mereka sebagai orang Rusia. Survei juga dilakukan oleh lembaga
non pemerintah Ukraina (Razumkov center) yang meneliti tentang dominan bahasa di
4 Richard Thompson Ford “Political Identity as Identity Politics” Unbound. Harvard Journal Vol. 1: 53, 2005.
egalleft.org/wp-content/uploads/2015/09/1UNB053-Ford.pdf 5 Manuel Castells, The Power Of Identity: The Information Age, Economy, Society and Cultural, Vol II, Australia:
Blacwell Publishing, 2003 p.7
11
Crimea serta dukungan masyarakat di Crimea dengan keinginan mereka mendukung
untuk menggantikan bahasa resmi di wilayah tersebut menjadi bahasa Rusia. Bentuk
dukungan internal berupa aksi demonstrasi dan keinginan kuat mesyrakat Crimea sendiri
merupakan politik identitas yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Putin dapat
berhasil.
Dalam permasalahan yang terjadi di Crimea juga dapat dikaitkan dengan Resistance
identity yang menyatakan bahwa “pemeberian identitas oleh aktor-aktor sosial tertentu
dalam kondisi tertekan karena adanya dominasi hingga memunculkan satu perlawanan
dan terbentuknya identitas baru. Masyarakat Crimea sebelum melakukan referendum
awalnya bagian dari wilayah Ukraina, sehingga bahasa resmi yang harus dipakai yaitu
bahasa Ukraina. Pemerintah Ukraina menekeankan kepada masyarakat di Crimea agar
dapat memakai bahasa resmi Ukraina sebagai bahasa keseharian. Kebijkaan Ukraina
tersebut dilakukan karena Ukraina sebagai negara (merupakan penguasa) untuk wilayah
Crimea. Tetapi kebijakan tersebut tidak dipatuhi oleh masyarakat Crimea, masyarakat
Crimea tetap menggunakan bahasa Rusia sebagai bahasa ibu mereka (bahasa
keseharian). Dari kasus tersebut merupakan resisten identitas atau bentuk penolakan
Crimea dalam membulatkan tekad melakukan referendum dan lebih menerima Rusia
sebagai negara mereka.
12
2.5 Penelitian Terdahulu
No. P
enelitian
Hasil Penelitian
1. Sri Rahayuni,
Kebijakan
pertahanan Rusia
dan dampaknya
terhadap NATO:
Konsep tentang
Pertahanan
Keamanan,
Perimbangan
Kepentingan,
Dampak (Aksi
Reaksi). Skripsi
Universitas
Hasanuddin
Makasar 2012.
Penelitian ini meneliti mengenai:
1. Dampak Kebijakan pertahanan Rusia terhadap
Perimbangan Kekuatan Konvesional dengan NATO.
2. Dampak Kebijakan Pertahanan Rusia terhadap
Perimbangan Kekuatan Non-Konvesional dengan
NATO
Dalam hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa :
Kebijakan pertahanan Rusia telah mampu memberikan
kondisi perimbangan relatif dalam bidang pertahanan
keamanannya dengan pihak NATO, khususnya dalam hal
kualitas kemampuan militer. Hal ini dapat terlihat, ketika
pemerintah Rusia menempuh kebijakan modernisasi dan
reformasi militernya sejak tahun 2000, serta dikeluarkannya
doktrin untuk menaikan kemampuan militer Rusia, baik di
bidang persenjataan militer konvensional maupun non-
konvensional seperti nuklir.
2. Ananta Kaisar
Rawung, kebijakan
Ofensif Rusia
terhadap Ukraina
dalam melakukan
aneksasi di Krimea
(2014). Skripsi
Universitas
Penelitian ini meneliti mengenai :
Bagaiman kebijakan offensive Rusia dalam
melakukan aneksasi wilayah Crimea selatan, Ukraina
(2014)
Apa dampak aneksasi Rusia terhadap kondisi politik
dan keamanan kawasan (2014)
Dalam hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa :
Pola yang tercipta, baik Ofensif maupun Difensif,
13
Paramadina Jakarta
2015
merupakan hasil sebuah perhitungan secara rasional maupun
sebagai konsekuensi dari sistem internasional. Semenjak
suatu negara diasumsikan tidak memiliki informasi yang
pasti dari negara lain maka ofensif menjadi pilihan dari para
pengambil keputusan untuk bertindak merespon potensi
ancaman yang ada.
Asumsi tersebut menjadi semakin menarik ketika feno
mena mengenai ekspansi keanggotaan Uni Eropa dan
NATO dilihat sebagai potensi ancaman bagi Rusia sehingga
campur tangan dari aliansi Barat untuk mepengaruhi kondisi
domestik Ukraina dianggap sebagai ancaman bagi
kepentingan dan keamanan nasional Rusia. Sulit untuk
membedakan bahwa ekspansi keanggotaan yang dilakukan
oleh aliansi Barat dapat diposisikan sebagai postur ofensif
atau defensif, namun konsekuensi dari perilaku tersebut
menyebabkan Rusia harus memilih untuk bersikap secara
ofensif.
3. Frans Yosua
Sinuhaji, Intervensi
Rusia dalam
Perspektif Hukum
Internasional.
Skripsi Universitas
Sumatra Utara 2015
Penelitian ini meneliti mengenai:
Mengapa Rusia melakukan intervensi di Crimea,
bagaimana pengaturan hukum internasional mengenai
intervensi, dan bagaimana perspektif hukum internasional
terhadap intervensi Rusia di Crimea.
Dalam hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa :
Tindakan intervensi yang dilakukan Rusia telah
melanggar prinsip non-intervensi dalam hukum
internasional, namun pada faktanya hingga kini Crimea
telah menjadi bagian wilayah Rusia dan Rusia tidak
menerima sanksi apapun atas pelanggaran yang
dilakukannya. Hukum internasional seperti kehilangan
taring dihadapan negara-negara besar, sehingga tindakan
14
negara tersebut yang melanggar hukum internasional tidak
berarti apa-apa. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat
internasional untuk mengadakan perubahan dan/atau
mengkaji kembali norma-norma dalam hukum internasional
untuk membentuk suatu hukum internasional yang mengikat
bagi semua negara tanpa terkecuali.
4. Mega Chintia
Gunadi, Upaya
Ukraina menghadapi
Rusia atas aneksasi
semenanjung
Crimea tahun 2014.
Skripsi Universitas
Riau.
Penelitian ini meneliti mengenai:
Apa bentuk upaya yang dilakukuan Ukraina paska
aneksasi yang dilakukan Rusia pada Semenanjung Crimea.
Dalam hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa :
Penelitian ini menjelaskan bagaimana suatu negara
sebagai aktor rasional dalam perpolitikan hubungan
internasional sangat memperhitungkan setiap tindakan yang
diambil dan memperhatikan fenomena yang terjadi di dunia
internasional baik itu yang berpengaruh atau berdampak
langsung atau tidak langsung. Setiap keputusan atau
kebijakan yang diambil oleh sebuah aktor hubungan
internasional selalu dikaitkan dengan kepentingan yang
ingin dicapai, setiap keputusan negara harus
menguntungkan negaranya atau sesuai dengan kepentingan
yang dimilikinya atau negara dapat juga bertindak tidak
sesuai dengan apa yang aktor lainnya inginkan karena
kebijakan yang dimilikinya memberi pengaruh negatif
kepada negara. Hal ini kemudian juga dapat berakhir dengan
konflik internasional.
Krisis yang terjadi di Ukraina belum berakhir,
permasalahan Ukraina Timur masih berlanjut sampai saat
ini. Akan tetapi penulis membatasi pembahasan sampai
dengan hanya masalah dua negara Ukraina dan Rusia. Krisis
ini merupakan masalah perebutan wilayah dan penunjukan
15
kekuasaan antara dua negara super power yakni, Amerika
Serikat dan Rusia.
Ukraina yang merupakan bagian dari Uni Soviet yang
memiliki geokultur campuran, wilayah timur pro-Ukraina
dan wilayah Barat pro Uni Eropa, ditekan oleh Rusia paska
turunnya Presiden Yanukovych (pro Rusia) sehingga Rusia
menganeksasi Semenanjung Crimea. Sebagai respon atas
aneksasi yang dilakukan Rusia, Ukraina memilih untuk
merubah orientasi politik luar negerinya dengan cara
mendekatkan diri ke Uni Eropa dan NATO yang diprakaisai
oleh Amerika Serikat sebagai strategi keamanan bagi
Ukraina dalam menghadapi Rusia yang kuat Ukraina jelas
sedang untuk menyelamatkan negaranya dari tekanan Rusia.
Walau hingga kini Ukraina belum berhasil mendapatkan
Semenanjung Crimea kembali, tetapi pengakuan atas tidak
sahnya referendum Semenanjung Crimea diakui dunia
internasional dan tampaknya Ukraina memfokuskan diri
untuk menjaga Ukraina bagian Timur agar tidak lepas ke
Rusia.
Pada penelitian terdahulu memiliki perbedaan dengan penelitian saya, dimana penelitian
terdahulu mengkaji mengenai kebijakan pertahanan Rusia dan dampaknya terhadap NATO
(hanya melihat kebijakan NATO yang mulai mempengaruhi dan masuk di kawasan Eropa
Timur), kebijakan ofesif Rusia terhadap Ukrainadalam melakukan aneksasi di Crimea,
intervensi Rusia dalam perspektif Hukum Internasional di Crimea, dan Upaya Ukraina
menghadapi Rusia atas aneksasi semenanjung Crimea. Sedangkan penelitian saya lebih m
elihat kebijakan luar negeri Vladimir Putin dalam mengambil Crimea dilihat dari pengaruh
kebijakan dan faktor-faktor pendukung kebijakan Putin sehinggah Crimea dapat melakukan
referendum masuk menjadi wilayah federal Rusia.
16
2.6 Kerangka Berpikir
Vladimir Putin
Russia
Kebijakan Luar Negeri Rusia di Crimea pada masa
pemerintahan Vladimir Vladimirovich Putin
Crimea
Landasan Teori dan Konsep untuk melihat kebijakan luar nageri Rusia