17 BAB II LANDASAN TEORI Fokus bab ini adalah menjelaskan argumen atau tesis penulis bahwa pada prinsipnya setiap warga negara memiliki hak konstitusional yang sama khususnya hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan dimana keberadaannya dijamin oleh konstitusi. Untuk menjustifikasi argument tersebut penulis akan menjelaskan empat teori hukum yang menurut penulis sebagai batu uji permasalahan penelitian ini. Keempat teori tersebut adalah teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufenbau theory), teori pendelegasian kewenangan (delegated legislation), teori hak konstitusional warga negara ( the citizen‟s constitutional rights) khususnya hak politik (political rights) dan teori hukuman ganda (double jeopardy). Argumen tersebut dimulai dengan menjelaskan terlebih dahulu yaitu pertama, teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory), teori pendelegasian kewenangan (delegated legislation). Kedua, menjelaskan mengenai teori hak konstitusional warga negara (the citizen‟s constitutional rights) dan spesifik mengenai hak politik (political rights). Dan Ketiga, akan menjelaskan teori hukuman ganda (double jeopardy).
36
Embed
BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
17
BAB II
LANDASAN TEORI
Fokus bab ini adalah menjelaskan argumen atau tesis penulis bahwa pada
prinsipnya setiap warga negara memiliki hak konstitusional yang sama khususnya
hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan dimana
keberadaannya dijamin oleh konstitusi. Untuk menjustifikasi argument tersebut
penulis akan menjelaskan empat teori hukum yang menurut penulis sebagai batu uji
permasalahan penelitian ini. Keempat teori tersebut adalah teori hirarki peraturan
perundang-undangan (stufenbau theory), teori pendelegasian kewenangan (delegated
legislation), teori hak konstitusional warga negara (the citizen‟s constitutional rights)
khususnya hak politik (political rights) dan teori hukuman ganda (double jeopardy).
Argumen tersebut dimulai dengan menjelaskan terlebih dahulu yaitu pertama,
teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory), teori pendelegasian
kewenangan (delegated legislation). Kedua, menjelaskan mengenai teori hak
konstitusional warga negara (the citizen‟s constitutional rights) dan spesifik
mengenai hak politik (political rights). Dan Ketiga, akan menjelaskan teori hukuman
ganda (double jeopardy).
18
A. TEORI HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
(Stufenbau Theory)
Pembentukan norma hukum yang bersifat umum dan abstrak (general and
abstract legal norms) berupa peraturan yang bersifat tertulis (statutory form), pada
umumnya didasarkan atas dua hal. Pertama, pemebentukannya diperintahkan oleh
undang-undang dasar; Kedua, Pembentukannya dianggap perlu karena kebutuhan
hukum1.
Dalam hal pembentukan norma hukum atau perundang-undangan, sejatinya
perlu memperhatikan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan pada
jenjang yang lebih tinggi, sebagaimana diatur dalam hierarki peraturan perundang-
undangan yang berlaku di indonesia.2 Konsep atau teori hierarki peraturan
perundang-undangan, merupakan prinsip hukum yang menghendaki bahwa norma
hukum dalam sebuah negara tersusun secara berjenjang dan dalam rantai validitas
yang membentuk piramida hukum (stufent-theori).
Secara historis, teori pertingkatan atau perjenjangan norma hukum dipelopori
oleh Adolf Merkl yang selanjutnya dianut oleh Hans Kelsen. Dalam teori ini Kelsen,
menggambarkan bahwa rantai validitas yang berujung pada konstitusi negara, dimana
konstitusi tersebut adalah presuposisi terakhir, postulat final, dimana validitas semua
1 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang (selanjutnya disebut Perihal Undang-Undang
norma dalam tata aturan hukum bergantung. Artinya, presuposisi inilah yang disebut
dengan istila trancendental logical presupposition.3
Selanjutnya, terkait dengan perjenjangan hukum dalam sebuah negara, Jimly
Asshiddiqie dalam karangan lainnya yang mengemukakan bahwa baik Adolf Merkl
maupun Hans kelsen sama-sama mengembangkan doktrin “hirerachy of norms”
(Stufenbau der Rechtsordenung) dengan menempatkan konstitusi (verfassungsrecht)
pada puncak hirarki norma hukum. Sehingga hukum tertinggi inilah yang
menentukan bentuk dan lingkup isi undang-undang biasa (einfaches gesetzesrecht,
statutory law.4 Sehingga hal tersebut sejalan dengan pandangan hans kelsen yang
dikutip Maria Farida Indrati yang menyatakan bahwa norma hukum itu berjenjang-
jenjang dan berlapis lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) yang mengandung arti
bahwa, suatu norma yang lebih rendah bersumber dan berdasar pada norma yang
lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi berlaku bersumber dan berdasar pada norma
yang lebih tinggi lagi dengan demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang
tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar
(grundnorm).5 Sehingga pendapat Maria Farida Indrati diamini oleh Maruar Siahaan
dengan dalil bahwa, hukum tersusun dalam suatu pertingkatan. Artinya, peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya menjadi sumber perundang-
3 Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa‟at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Penerbit:
Konstitusi, h. 169, 172; dalam Umbu Rauta, Konstitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah, Penerbit:
Genta Publishing, Yogyakarta, 2016. H.65. 4 Ibid., h. 66.
5 Hans Kelsen, Op., Cit., h.113. yang Dikutip oleh Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-
undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan-Jilid 1), Penrbit: Kanisius, Yogyakarta, 2007, h.41.
20
undangan yang lebih rendah dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.6
Untuk mempertegas pemaknaan teori hierarki peraturan perundang-undangan
sebagai prinsip dasar pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan maka
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, dalam bukunya tentang “perihal kaidah
hukum” yang menyatakan bahwa agar suatu peraturan perundang-undangan dapat
diberlakukan, peraturan perundang-undangan tersebut harus memenuhi persyaratan
kekuatan berlaku. Ada 3 (tiga) macam kekuatan berlaku antara lain sebagai berikut:
pertama, kelakuan atau hal berlakunya secara yuridis;7kedua, kelakuan sosiologis
atau hal berlakunya secara sosilogi;8ketiga, kelakuan filosofis atau hal berlakunya
secara filosofis.9Sehingga Untuk menjaga kesatuan sistem tata hukum dalam Negara,
perlu dilakukan pengujian apakah suatu kaidah hukum tidak berlawanan dengan
6 Maruarar Siahaan, Uji Konstitusionalitas Peraturan Perundang-undangan Negara Kita:
Masalah dan Tantangan, Jurnal Konstitusi Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi, Volume 7
Nomor 4, Agustus 2010, h. 26. Dalam Umbu Rauta, Konstitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah,
Penerbit: Genta Publishing, Yogyakarta, 2016. h. 66. 7 Terkait syarat yuridis, ada tiga ahli yang berpendapat: “(1) Hans Kelsen menyatakan
bahwa kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis, apabila penentuannya berdasarkan kaedah yang
lebih tinggi tingkatannya; (2)W. Zevenbergen menyatakan, bahwa suatu kaedah hukum mempunyai
kelakuan yuridis, jikalau kaidah tersebut, “…op de cereischte wrijze is tot stant gekomen”
(Terjemahannya: “…terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan.”); (3)J.H.A Logemann mengatakan
bahwa secara yuridis kaidah hukum mengikat, apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu
kondisi dan akibatnya. 8 Hal terkait syarat sosiologis, ada dua teori yang menyatakan bahwa: “(1)Teori Kekuasaan
(“macht theorie”; “the power theory”) yang pada pokoknya menyatakan bahwa kaidah hukum
mepunyai kelakuan sosiologis, apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, diterima ataupun tidak
oleh warga-warga masyarakat; (2) Teori Pengakuan (“anerkennungs theorie”, “the regongnition
theory”) yang berpokok pada pendapat, bahwa kelakuan kaidah hukum didasarkan pada penerimaan
atau pegakuan oleh mereka kepada siapa kaedah hukum tadi tertuju. 9 Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, Penerbit PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1993, h. 88. Terkait syarat filosofis yang intinya bahwa kaidah hukum tersebut
sesuai dengan cita-cita hukum (“rechtsidee”) sebagai nilai positif yang tertinggi (“uberpositieven
wert”), misalnya, pancasila, masyarakat adil dan makmur dan seterusnya.
21
kaidah hukum lain, dan terutama apakah suatu kaidah hukum tidak ingkar dari atau
bersifat menyisihkan kaidah hukum yang lebih tinggi derajatnya.10
Selanjutnya, berkenaan dengan dalil atau kaidah dalam tata susunan atau hirarki
yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, maka Maria Farida Indrati menegaskan bahwa
dinamika suatu norma hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dinamika norma
hukum yang vertical dan dinamika norma hukum yang horizontal.11
Dinamika
vertikal adalah dinamika yang berjenjang dari atas ke bawah atau adari bawah ke atas
yang artinya, suatu norma hukum berlaku, bersumber dan berdasar pada norma
hukum yang di atasnya, dan seterusnya sampai pada norma hukum yang menjadi
dasar dari semua norma hukum yang di bawahnya. Demikian juga dengan dinamikan
dari atas ke bawah yang mengandung makna bahwa, norma dasar itu selalu menjadi
sumber dan menjadi dasar dari norma hukum dibawahnya, dan norma hukum di
bawahnya selalu menjadi sumber dan menjadi dasar dari norma hukum yang ada
dibawahnya lagi. Adapun mengenai dinamika norma hukum horisontal adalah
dinamika yang bergeraknya tidak keatas atau ke bawah tetapi ke samping.
Pandangan Maria Farida Indrati diatas, diilhami oleh pemikiran Hans Kelsen
yang sebagaimana dikutip oleh Maruarar Siahaan12
yang menentukan sebagai berikut:
“The relation existing between a norm wich governs the creation or
the content of another norm and the norm which is created can be
presented in a spatial figure. The first is the “superior” norm; the second
the “inferior”. If one views the legal order from this dynamic point of
view, it does not appear, as it does from the static point of view, as e
system of norm of equal rank, standing one beside the other, but rathers
10
Ni‟Matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Penerbit: Nusa Media, Bandung, 2009, h.
117. 11
Maria Farida Indrati, Ilmu …, Op.Cit. h. 23-24. 12
Maruarar Siahaan, Uji Konstitusionalitas …, Op. Cit., h. 26.
22
as hierarchy in wich the norm of the constitution from the top most
stratum. In this functional sense, „constitution‟ means those norms that
determine the creation, and occasionally to some extent the content, of
the general legal norms which in turn govern such individual norms as
judicial decision”13
Kemudian, sebagai prinsip hukum yang diakui keberadaannya di Indonesia,
pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh
Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria Farida Indrati, memperoleh
penegasan oleh Bagir Manan dimana menentukan bahwa teori hierarki norma hukum
pada intinya mengandung asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut:
Pertama, Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus
bersumber atau memiliki dasar hukum dari suatu peraturan perundang-
undangan tingkat lebih tinggi; dan Kedua, Isi atau materi muatan
peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah tidak boleh
menyimpangi atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
tingkat lebih tinggi, kecuali apabila perundang-undangan yang lebih
tinggi dibuat tanpa wewenang (onbevorgd) atau melapaui wewenang
(detournement de pouvoir).14
Harjono menegaskan, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Alim bahwa
adanya perjenjangan atau hierarki peraturan perundang-undangan merupakan
parameter untuk menentukan sala satu unsur negara hukum yaitu pembatasan
kekuasaan. Sebab, perkembangan ilmu hukum kini telah sampai pada konsep dimana
13
Dalam Terjemahan Bahasa Indonesia adalah: “Hubungan yang ada antara norma yang
mengatur penciptaan atau isi norma lain dan norma yang dibuat dapat disajikan dalam bentuk spasial.
Yang pertama adalah norma "superior"; yang kedua “inferior”. Jika seseorang melihat tatanan
hukum dari sudut pandang dinamis ini, ia tidak muncul, seperti yang terjadi dari sudut pandang statis,
sebagai sistem norma yang setara, berdiri di samping yang lain, tetapi bapak sebagai hierarki di mana
norma konstitusi dari strata paling atas. Dalam pengertian fungsional ini, 'konstitusi' berarti norma-
norma yang menentukan kreasi, dan kadang-kadang sampai batas tertentu isi, dari norma hukum
umum yang pada gilirannya mengatur norma-norma individu tersebut sebagai keputusan
pengadilan”. 14
Muntoha, Otonomi Daerah dan Perkembangan “Peraturan-Peraturan Daerah
Bernuansa Syariah”,(Disertasi pada program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
Jakarta, 2008, h. 35. Dalam Dalam Umbu Rauta, Konstitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah,
Penerbit: Genta Publishing, Yogyakarta, 2016. h. 67.
23
aturan hukum pada hakikatnya tersusun secara hirarkis. Sehingga keberadaan konsep
ini diterima oleh kalangan keilmuan hukum dengan muncul kecenderungan bahwa
ada tidaknya hierarkis, perjenjangan atau tata urutan peraturan perundang-undangan,
dijadikan sebagai tolak ukur tentang ada tidaknya unsur negara hukum. Sehingga
esensi dari adanya perjengangan atau tata urutan peraturan perundang-undangan
tersebut adalah sebagai pembatasan dalam membuat peraturan hukum.15
Selanjutnya, mengenai teori perjenjangan norma hukum atau hirarki peraturan
perundang-undangan yang dipelopori oleh Hans Kelsen, dikembangkan oleh Hans
Nawianski dengan menentukan bahwa pertingkatan norma (theory von stufenbau der
rechtsordenung) terjadi secara berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, juga
berkelompok-kelompok, yang terdiri atas empat kelompok besar yaitu: Kelompok I :
Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental negara; Kelompok II :
Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara); Kelompok III : Formell Gasetz (Undang-
Undang Formal) dan Kelompok IV : Verordnung & Autosatzung (Aturan Pelaksana
dan Aturan Otonom.16
Di Indonesia, sejarah pertingkatan norma hukum yang sebagaimana
diutarakan oleh Kelsen dan Nawiasky dalam teori hirarki peraturan perundang-
undangan, awalnya ditentukan dalam TAP MPRS RI No. XX/MPRS/1966 tentang
memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia Dan
Tata Urutan Peraturan Perundangan Rapublik Indonesia, yang menggolongkan
15
Muhammad Alim, Perda Bernuansa Syariah dan Hubungannya dengan Konstitusi, Jurnal
Hukum Ius Quia Iustum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta, Volume 17 No.1
Januari, 2010, h.127. 16
Maria Farida Indrati, Ilmu …, Op. Cit, h. 44-45.
24
bentuk/ jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: a.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945; b. Ketetapan MPR; c. Undang-
Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah;
e. Keputusan Presiden; f. Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainya seperti, Peraturan
Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lainya.
Kemudian, pada masa transisi (reformasi), MPR periode 1999-2004 mencabut
dan mengganti Tap MPRS a quo dengan Tap MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan, yang mana dalam Pasal 2 ditegaskan
tentang jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia
sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar 1945; b. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; c. Undang-Undang; d. Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu); e. Peraturan Pemerintah; f.
Keputusan Presiden; g. Peraturan Daerah.17
Selanjutnya, setelah diberlakukan selama sepuluh tahun maka dilakukan
perubahan lagi menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, yang secara khusus ditentukan dalam Pasal 7 bahwa
jenis dan tata Urutan peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d.
Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah, meliputi (Peraturan Daerah Provinsi,
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa).
17
Pasal 2Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor.III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan.
25
Kemudian, seiring perkembangannya maka Undang-undang No.10 Tahun 2004
dicabut dan diganti dengan Undang-undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, yang berlaku saat ini, yang mana memuat jenis dan
tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7
adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/ Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan
Preiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.18
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam beberapa
ketentuan yang mengatur mengenai teori perjenjangan norma hukum atau teori
hirarki peraturan perundang undangan maka mengandung makna bahwa peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi menjadi sumber atau dasar berlakunya
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan isinya dengan peraturan yang lebih tinggi.
Apabila ditemukan isi atau materi muatan peraturan yang lebih rendah bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi, maka yang berlaku adalah isi atau materi muatan
peraturan yang lebih tinggi.
18
(Pasal 7 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang pembentukan Perundang-undang).
Penjelasan lengkap mengenai sejarah pertingkatan norma hukum di indonesia dapat dilihat dalam
tulisan Umbu Rauta, Konstitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah, Penerbit: Genta Publishing,
Yogyakarta, 2016. h. 69-70.
26
B. TEORI PENDELEGASIAN KEWENANGAN
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
(Delegated Legislation)
Undang-undang sebagai suatu instrument penting dalam sistem ketatanegaraan
di Indonesia, haruslah memuat kecermatan dalam pelaksanaannya, mengingat adanya
cita pemerintah dan masyarakat yang membutuhkan suatu ketentuan yang jelas dan
lebih rinci serta memuat perintah apa yang harus dan tidak boleh di lakukan.
Menurut Jimmly Asshiddiqie, undang-undang dapat dipahami sebagai naskah
hukum dalam arti yang luas, yang menyangkut materi dan bentuk tertentu, hal ini
sejalan dengan pendapat Jeremy Bentham19
dan John Austin20
yang mengaitkan istila
„legislation‟ sebagai “any form of law-making”. “The term is, however, restricted to
a particular form of law-making, viz. the declaration in statutory form of rules of law
by the legislature of the State. The law that has its source in legislation is called
enacted law or statute or written law”21
.
Dengan demikian, bentuk peraturan yang dapat ditetapkan oleh lembaga
legislatif untuk maksud mengikat umum dapat dikaitkan dengan pengertian “enacted
19
Jeremy Bentham, An Introduction to the principle of Morals and Legislation, ed. J.H.
Burns and H.L.A. Hart, (Oxford: Clarendon Press, 1996), dalam Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-
Undang, Penerbit: PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011. h. 22. 20
J.L. Austin, The Province of Jurisprudence Determined and the Uses of the Study of
Jurisprudence, (London: Weidenfeld and Nicolson, 1954), dalam Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-
Undang, Penerbit: PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011. h. 22. 21
Dalam Terjemahan Bahasa Indonesia adalah: “Istilah ini, bagaimanapun, terbatas pada
bentuk tertentu pembuatan undang-undang, yaitu. deklarasi dalam bentuk undang-undang aturan
hukum oleh legislatif Negara. Hukum yang memiliki sumbernya dalam undang-undang disebut
hukum yang berlaku atau undang-undang atau hukum tertulis ”.
27
law”, “statute” atau undang-undang dalam arti yang luas.22
Sehingga, untuk
menentukan keabsahan serta daya ikat suatu peraturan perundang-undangan maka
sangat dibutuhkan peran lembaga legislatif, peran tersebut haruslah berdasarkan pada
kehendak rakyat, karena pada dasarnya rakyatlah yang berdaulat dalam negara
demokrasi. Sehingga seharusnya pembentukan suatu undang-undang, serta
pengaturan yang bersumber pada undang-undang haruslah menjunjung tinggi
kecermatan.
Di Indonesia, implementasi dari teori hierarki peraturan perundang-undangan
secara spesifik telah ditentukan dan diberlakukan dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai dasar
pijakan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Kemudian, Sama halnya
dengan teori hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,
implementasi dari teori pendelegasian kewenangan (deleated legislation) adalah
untuk dapat mewujudkan kecermatan dan ketertiban. Maka, perundang-undangan
sebagaimana dimaksud, haruslah dibuat oleh lembaga yang berwenang
membentukanya dan berdasarkan norma yang lebih tinggi. Hal tersebut berlaku
karena perundang-undangan susunanya berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis
sehingga membentuk suatu hierarki.
Spesifik mengenai hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7
ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 memuat tentang jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan yang mana terdiri dari; “a. Undang-Undang Dasar
22
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang (selanjutnya disebut Perihal Undang-
Undang 2), Penerbit: PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011. h. 21-22.
28
Negara Republik Indonesia; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan
Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Profinsi;dan g. Peraturan
Daerah Kabupaten/ kota”. Selanjutnya pada ayat (2) dipertegas lagi yaitu mengenai
kekuatan berlakunya yaitu kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai
dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).23
Selanjutnya Dalam Pasal 8
ayat (1) ditentukan bahwa:
“Ayat (1) jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau