-
10
BAB II
LANDASAN TEORI
Pastoral
Istilah pastoral berasal dari kata pastor dalam bahasa Latin
atau dalam bahasa
Yunani disebut poimen yang artinya gembala. Secara tradisional
dalam kehidupan
gerejawi hal ini merupakan tugas Pendeta yang harus menjadi
gembala bagi jemaat
atau dombanya. Pengistilahan ini dihubungkan dengan diri Yesus
Kristus dan
karyaNya sebagai “Pastor Sejati atau Gembala Yang Baik”. Istilah
pastor dalam
konotasi praktisnya berarti merawat atau memelihara.1Seorang
yang bersifat
pastoral adalah seseorang yang bersifat seperti gembala, yang
bersedia merawat,
memelihara, melindungi, dan menolong orang lain.2Bahkan seorang
yang bersifat
pastoral merasa bahwa karya semacam itu adalah “yang seharusnya”
di lakukannya
katakanlah bahwa itu adalah “tanggung jawab dan kewajiban”
baginya3
Sejak zaman Reformasi istilah pastoral telah dipakai dalam dua
pengertian
yakni:4 (1) “Pastoral” dipakai sebagai kata sifat dari kata
benda “pastor”. Istilah
“pastoral” merujuk pada tindakan penggembalaan. Dalam hal ini
penggembalaan
dilihat sebagai apa pun yang dilakukan oleh pastor (gembala).
Seorang pastor
hendaknya memiliki motivasi, watak dan kerelaan yang kuat
sehingga seluruh
tindakan yang diperbuatnya tidak terlepas dari sikap penuh
perhatian dan kasih
sayang kepada seseorang atau sekelompok orang yang dihadapinya.
Sikap pastoral
1 Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2007), hal. 9-10 2M.Bons Storm, Apakah Penggembalaan itu,
(Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2005), hal. 9 3 Van, Beek Aart,
Konseling Pastoral Sebuah Buku Pegangan Bagi Para Penolong Di
Indonesia, (Satya Wacana: Semarang, 1987), hal. 6 4 Tjard G.
Hommes dan E. Gerrit Singgih (editor), Teologi dan Praksis
Pastoral
(Yogyakarta: Kanisius, 1994), hal. 72-79
-
11
berarti suatu kesediaan dan kesegeraan tampil kalau dibutuhkan.
(2) Dalam
pengertian kedua istilah “pastoral” merujuk pada studi tentang
penggembalaan
(poimenics).
Pengertian ini muncul bersamaan dengan sederet fungsi-fungsi
penting lain
dari pendeta dan gereja, seperti: kateketik, homiletik,
pengajaran agama dan lain-
lain. Fungsi-fungsi ini bersifat struktural/kategorial. Dari dua
pengertian tersebut,
penggembalaan/ pastoral memiliki tempat yang unik dalam
kekristenan. Dalam
pengertian bahwa hubungan kita dengan Tuhan (vertikal) dan
hubungan kita
dengan sesama manusia (horizontal) dianggap tidak terpisahkan.
Adapun pastoral
dilihat dalam dua pendekatan, yaitu:
1. Pendampingan pastoral
Dalam buku “Pastoral Care in Historical Perspective” dikatakan
bahwa
pelayanan Kristen yang berupa pemeliharaan jiwa (Cure of Soul)
disebut juga
pendampingan pastoral. Pendampingan pastoral telah banyak
dilakukan terhadap
situasi kehidupan manusia, yang bertujuan untuk meringankan atau
menolong
kebingungan yang melanda manusia. Pendampingan pastoral atau
pemeliharaan
jiwa, terdiri dari tindakan-tindakan pertolongan yang dilakukan
atas nama gereja,
dan yang menjurus kepada penyembuhan, pendampingan, bimbingan
dan
perdamaian orang-orang yang bermasalah, khususnya berhubungan
dengan
masalah-masalah yang paling pokok dan mendasar dalam kehidupan
manusia.5
Pendampingan pastoral merupakan cabang dari pastoral yang
dikhususkan pada
pemeliharaan jiwa-jiwa. Kegiatan pemeliharaan jiwa-jiwa, menurut
F. Haarsma
5William A. Clebsch and Charles R. Jaekle, Pastoral Care in
Historical Perspective,
(Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1964), hal. 1-10
-
12
berpusat pada orang perorangan dan atau kelompok kecil. Inilah
pendampingan
pastoral dalam arti luas. Dalam bahasa Latin disebut “cura
animarum” yang berarti
pemeliharaan rohani, atau pemeliharaan jiwa-jiwa. Dalam artinya
yang sempit,
pendampingan pastoral berarti pemeliharaan rohani dari
golongan-golongan yang
memerlukan perhatian khusus, misalnya, pendampingan pastoral
untuk orang
sakit.6 Di rumah sakit, mereka sudah menerima perawatan secara
jasmani. Tetapi
di samping itu, mereka juga membutuhkan perawatan secara rohani.
Inilah arti
khusus, atau arti sempit dari pendampingan pastoral yang dipakai
oleh banyak
rumah sakit, khususnya rumah sakit kristiani. Di rumah sakit
seperti itu, disediakan
kamar khusus untuk bagian pendampingan pastoral, juga ada tenaga
khusus untuk
pendampingan pastoral. Tenaga yang biasanya mendukung, antara
lain: suster atau
tenaga awam lainnya, yang dilatih untuk perawatan rohani. Mesach
Krisetya
berpendapat bahwa dalam berbagai kemungkinan, suka maupun duka,
layanan
pastoral itu dibutuhkan. Menurutnya, seluruh pendampingan
bersifat pastoral ketika
tindakan menolong orang lain tersebut dilandasi oleh keyakinan
agamanya.7Hal ini
berarti bahwa pendampingan yang bersifat pastoral merupakan hal
yang luas yang
dapat dilakukan oleh siapa saja (tidak hanya orang yang beragama
Kristen) yang
ingin melayani sesama secara lebih manusiawi.
Menurut J. D. Engel, jika pendampingan dihubungkan dengan
pastoral
maka pendampingan tidak hanya sekedar meringankan beban
penderitaan tetapi
menempatkan orang dalam relasi dengan Allah (yang transenden)
dan sesama,
6F. Haarsma, Pastoral Dalam Dunia, (Yogyakarta: Puspas 1991),
hal. 10. 7Mesach Krisetya dalam Seri Pastoral dan Konseling:
Teologi Pastoral, (Salatiga: UKSW,
2008), hal. 1
-
13
dalam pengertian menumbuhkan dan mengutuhkan orang dalam
kehidupan
spiritualnya untuk membangun dan membina hubungan dengan
sesamanya,
mengalami penyembuhan dan pertumbuhan serta memulihkan orang
dalam
hubungan dengan Allah (yang transenden).8
2. Konseling Pastoral
Pastoral konseling adalah hubungan timbal balik
(interpersonal
relationship) antara hamba Tuhan (Pendeta, Penginjil, dsb)
sebagai konselor
dengan konselinya, dalam mana konselor mencoba membimbing
konselinya ke
dalam suatu suasana percakapan konseling yang ideal (conducive
atmosphere) yang
memungkinkan konseli itu betul-betul dapat mengenal dan mengerti
apa yang
sedang terjadi pada dirinya sendiri, persoalannya, kondisi
hidupnya, dimana ia
berada, dsb; sehingga ia mampu melihat tujuan hidupnya dalam
relasi dan tanggung
jawabnya pada Tuhan dan mencoba mencapai tujuan itu dengan
takaran, kekuatan
dan kemampuan seperti yang sudah diberikan Tuhan kepadanya.
Selain pengertian di atas, terdapat beberapa definisi konseling
pastoral.
Menurut Clinebell, konseling pastoral adalah ungkapan
pendampingan yang
bersifat memperbaiki (reparatif), yang berusaha membawa
kesembuhan bagi orang
lain (baik anggota dari suatu gereja maupun anggota dari
persekutuan
pendampingan lain) yang sedang menderita gangguan fungsi pribadi
karena krisis.9
Dalam hal ini konseling pastoral dipahami sebagai wujud dari
penyembuhan dalam
pendampingan pastoral yang mana tidak terbatas pada anggota
gereja tetapi bagi
8J. D. Engel, Konseling Suatu Fungsi Pastoral (Salatiga: Tisara
Grafika), 4. 9Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan
Konseling Pastoral (Yogyakarta:
Practical Theology Translation Project Fakultas Teologi
Universitas Kristen Duta Wacana), 17-18.
-
14
persekutuan lainnya. Hampir sama dengan Clinebell, namun di sini
Leory Aden
mengusulkan pandangannya mengenai konseling pastoral yang lebih
luas dan
mendalam lagi yakni sebagai suatu perspektif Kristen yang
mencari upaya untuk
menolong atau menyembuhkan dengan cara ‘menghadiri’ situasi
kehidupan
seseorang yang mengalami kesulitan. Konseling pastoral ini tidak
terbatas hanya
melayani mereka yang berada dalam lingkungan iman Kristen saja,
tetapi masih
dimungkinkan untuk diberikan kepada mereka yang berasal dari
luar persekutuan
Kristen.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konseling
pastoral
tidak hanya sebatas hubungan pertolongan antara dua orang, akan
tetapi lebih dari
itu. konseling pastoral merupakan hubungan segitiga yang
melibatkan Allah,
konselor dan pribadi yang sedang mengalami masalah.
Fungsi konseling pastoral
William A. Clebsch dan Charles R. Jaekle dalam bukunya yang
berjudul
Pastoral Care in Historical Perspektif menyatakan bahwa secara
tradisional ada
empat fungsi pastoral, yaitu:10
1) Fungsi menyembuhkan.
Bagi mereka yang mengalami dukacita dan luka batin akibat
kehilangan atau
terbuang, biasanya berakibat pada penyakit psikosomatis, suatu
penyakit yang
secara langsung atau tidak langsung disebabkan oleh tekanan
mental yang berat.
Emosi/perasaan yang tertekan dan tidak terungkapkan melalui
kata-kata atau
10William A. Clebsch dan Charles R. Jaekle, Pastoral Care in
Historical Perspective, hal.
33-36
-
15
ungkapan perasaan, misalnya menangis, kemungkinan akan
disalurkan melalui
disfungsi tubuh, misalnya rasa mual, pusing, dada sesak, sakit
perut, dan
sebagainya. Tindakan pertolongan yang perlu dilakukan oleh
pendamping adalah
mengajak penderita untuk mengungkapkan perasaan batinnya yang
tertekan.
Fungsi ini dipakai oleh pendamping ketika melihat keadaan yang
perlu
dikembalikan ke keadaan semula atau mendekati keadaan semula,
sehingga orang
yang didampingi dapat menciptakan kembali keseimbangan yang
baru, fungsional,
dan dinamis.
2) Fungsi membimbing
Membimbing berarti memberikan pandu kepada orang yang didampingi
untuk
menemukan jalan yang benar. Pendamping menolong orang yang
didampingi untuk
memilih/ mengambil keputusan secara mandiri tentang apa yang
akan ditempuh
atau apa yang menjadi masa depannya. Salah satu caranya adalah
dengan
mengajukan alternatif. Pendamping juga dapat menolong orang yang
didampingi
untuk melihat: kekuatan dan kelemahan (internal) serta
kesempatan dan tantangan
(eksternal). Pemberian nasihat juga dapat dimasukkan dalam
fungsi membimbing.
3) Fungsi menopang/menyokong.
Fungsi ini dilakukan bila orang yang didampingi tidak mungkin
kembali ke
keadaan semula, misalnya kematian orang yang dikasihi. Fungsi
menopang dipakai
untuk membantu orang yang didampingi menerima keadaan sekarang
sebagaimana
adanya, kematian adalah tetap kematian, untuk dapat bertumbuh
secara penuh dan
utuh. Kehadiran pendamping dalam dukacita adalah topangan kepada
mereka untuk
-
16
dapat bertahan dalam situasi krisis yang bagaimanapun beratnya.
Sokongan ini akan
membantu mengurangi penderitaan mereka.
4) Fungsi mendamaikan/memperbaiki hubungan.
Apabila hubungan sosial dengan orang lain terganggu, maka
terjadilah
penderitaan yang berpengaruh pada masalah emosional. Konflik
sosial yang
berkepanjangan akan berpengaruh terhadap fisik. Pendampingan
berfungsi sebagai
perantara untuk memperbaiki hubungan yang rusak dan terganggu.
Konselor
menjadi mediator/ penengah yang netral dan bijaksana.
Howard Clinebell menambahkan fungsi kelima dari pastoral, yaitu
memelihara
atau mengasuh (nurturing).11Konselor menolong konseli untuk
berkembang sesuai
dengan potensi dan kekuatan yang dimilikinya. Menolong di sini
bermakna
mengasuh mereka ke arah pertumbuhan emosional, cara berfikir,
motivasi,
kelakuan, tingkah laku, interaksi, kehidupan rohani, dan
sebagainya. Melengkapi
kelima fungsi di atas, van Beek menambahkan fungsi keenam yaitu
fungsi
mengutuhkan. Fungsi mengutuhkan adalah fungsi pusat karena
sekaligus
merupakan tujuan utama dari konseling pastoral, yaitu pengutuhan
kehidupan
manusia dalam segala aspek kehidupannya, yakni fisik, sosial,
mental dan spiritual.
Apabila mengalami penderitaan, keempat aspek ini tercabik
sehingga perlu
tindakan pertolongan untuk mengutuhkan kembali. Terkecuali
penderitaan
dipandang sebagai faktor yang diperlukan dalam proses
pertumbuhan manusia.
Menurut Carl G. Jung, keutuhan psikis self/ diri hanya
dimungkinkan sejauh
individu tersebut dapat menerima keadaan hidup yang paradoksal
dan ambigu,
11Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling
Pastoral (Yogyakarta:
Practical Theology Translation Project Fakultas Teologi
Universitas Kristen Duta Wacana), 54.
-
17
penuh dengan pertentangan batin yang harus ditahan di dalam
pribadi seseorang.
Dengan demikian individu dapat menciptakan harmonisasi kehidupan
tanpa
menghilangkan salah satu unsur. Keutuhan individu diukur jika ia
berhasil dalam
pergumulan dengan pertentangan-pertentangan psikologis sampai
kemudian ia
berhasil memadukan dan menyeimbangkan pertentangan-pertentangan
itu. Jadi
tujuan proses individuasi, proses menjadi diri sendiri, bukanlah
kesempurnaan
moral dan religius melainkan keutuhan psikis yang
terintegrasi.
a. Pendekatan integratif dalam konseling pastoral
Van Beek dalam bukunya ‘Konseling Pastoral’,menguraikan secara
jelas
mengenai pelayanan konseling pastoral secara holistik. Dalam
penjelasannya, ia
menggunakan istilah perspektif menyeluruh. Adapun uraian
berangkat dari titik
pandangnya terhadap kehidupan manusia yang sangat kompleks.
Perspektif
menyeluruh ialah suatu pandangan terhadap situasi dan
masalah-masalah konseli
yang dapat menghasilkan informasi mengenai semua aspek dalam
kehidupannya.12
Dengan kata lain konselor harus mempertimbangkan
persoalan-persoalan konseli
dalam segala kompleksitasnya. Semua aspek dari kehidupan konseli
perlu
diperhatikan sedikit banyak untuk menjamin pemahaman yang cukup
lengkap
mengenai kesulitan yang mengganggu dia. Untuk menyederhanakan
kompleksitas
hidup manusia itu kita dapat membagi hidup manusia menjadi empat
aspek, yaitu:13
1) Aspek fisik
12Aart van Beek, Konseling Pastoral, (Semarang: Satya Wacana,
1987), hal. 24-29 13J. D. Engel, Konseling Suatu Fungsi Pastoral
(Salatiga: Tisara Grafika), 25.
-
18
Aspek ini berkaitan erat dengan bagian yang tampak dari hidup
kita. Aspek ini
terutama mengacu pada hubungan manusia dengan bagian luar
dirinya. Dengan
aspek fisik ini manusia dapat dilihat, diraba, disentuh, dan
diukur.
2) Aspek mental
Aspek ini berkaitan dengan pikiran, emosi, dan kepribadian
manusia. Aspek ini
juga berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, motivasi, dan
integrasi diri manusia.
Selanjutnya, aspek mental mengacu pada hubungan seseorang dengan
bagian dalam
dirinya (batin, jiwa). Sesungguhnya aspek ini tidak tampak,
sehingga tidak dapat
diraba, disentuh dan diukur. Aspek mental memampukan manusia
berhubungan
dengan dirinya sendiri dan lingkungannya secara utuh,
memberadakan, membuat
jarak (distansi), membedakan diri, dan bahkan dengan diri
sendiri.
3) Aspek spitual
Aspek ini berhubungan dengan jati diri manusia. Manusia secara
khusus
dapat berhubungan dengan sang pencipta sejati. Aspek ini mengacu
pada hubungan
manusia dengan sesuatu yang berada jauh di luar jangkauannya.
Inilah aspek
vertikal dari kehidupan manusia. Dalam hal ini manusia bergaul
dengan sesuatu
yang agung, yang berada di luar dirinya dan mengatasi
kehidupannya. Aspek ini
memungkinkan manusia berhubungan dengan dunia lain, misalnya
dunia gaib.
4) Aspek sosial
Aspek ini berkaitan dengan keberadaan manusia yang tidak mungkin
berdiri
sendiri. Manusia harus dilihat dalam hubungan dengan pihak luar
secara horizontal,
yakni dunia sekelilingnya. Manusia selalu hidup dalam sebuah
interelasi dan
interaksi yang berkesinambungan. Manusia tidak dapat tumbuh
tanpa relasi dan
-
19
interaksi. Aspek ini memampukan manusia tidak hanya berelasi dan
berinteraksi
dengan sesama manusia, melainkan juga dengan mahluk ciptaan
lain: udara, air,
tanah, tumbuhan, binatang, dan sebagainya.
Seluruh aspek hidup manusia saling berkaitan dan mempengaruhi
secara
sistematik dan sinergik membentuk eksistensi manusia sebagai
keutuhan yang
bertumbuh mencapai kepenuhannya. Kita dapat membedakan satu
aspek dari aspek
yang lain, namun pada dasarnya kita tidak dapat memisahkannya,
karena keempat
aspek tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi. Hal tersebut
menunjukkan
bahwa sesuangguhnya manusia selalu berelasi dengan dirinya
sendiri (internal) dan
dengan sesuatu yang berada di luar dirinya (eksternal), baik
secara fisik, mental,
sosial dan spiritual. sesungguhnya manusia bertumbuh dalam suatu
proses
menjumpai dan dijumpai.
Jennifer Crocker and Amy Canevello dari University of Michigan
menulis
dalam jurnalnya, bahwa manusia adalah makhluk sosial, mereka
membutuhkan
hubungan yang mendukung dengan orang lain baik itu fisik maupun
psikologis.
Baumeister dan Leary menyatakan bahwa manusia memiliki kebutuhan
mendasar
yaitu perasaan memiliki dan dimiliki dan mereka membuktikan
bahwa orang-orang
yang membentuk ikatan sosial akan menciptakan emosi yang
positif, dan
sebaliknya orang yang tidak ada ikatan sosial akan cenderung
memiliki emosi yang
negatif, orang yang berpikiran positif ini akan memiliki
hubungan yang baik.
Apabila orang itu kurang rasa memiliki dan dimiliki cenderung
akan mengalami
-
20
masalah kesehatan baik fisik maupun mental.14 Hal ini
menunjukkan bahwa tidak
ada manusia yang dapat bertahan hidup seorang diri saja karena
sesungguhnya
kodrat manusia itu adalah makhluk sosial. Setiap interaksi yang
terjadi pasti akan
selalu bersinggungan dengan lingkungan sesamanya dan sesamanya
ini akan saling
mengisi dalam kehidupannya. Kehadiran sesamanya akan memiliki
nilai penuh
serta kontribusi yang sangat besar dalam kehidupan seseorang dan
pasti akan
mengalami kehampaan dalam setiap langkah hidupnya jika tanpa
orang lain. Sangat
mustahil manusia dapat hidup seorang diri, harus ada teman untuk
saling
menopang. Ruang kosongnya pasti hanya akan dapat diisi oleh
sesamanya.
Berdasarkan penjelasan di atas disimpulkan bahwa konseling
pastoral dalam
pendekatan integratif dapat dipahami sebagai proses pertolongan
kepada sesama
manusia secara utuh mencakup aspek fisik, mental, spiritual dan
sosial yang bersifat
pastoral yaitu menyembuhkan, menopang, membimbing, mendamaikan
dan
memberdayakan. Hal ini menunjukan sebuah kenyataan bahwa
sesungguhnya
manusia adalah mahluk yang holistik, artinya dalam kaitan dengan
konseling
pastoral kita harus melihat orang yang didampingi sebagai mahluk
holistik yang
sedang mengalami krisis. Ini berarti bahwa orang yang didampingi
pertama-tama
harus dilihat dalam perspektif kesatuan dan keseluruhan sebelum
melihat aspek-
aspeknya yang lebih rinci. Secara konkret, ketika menghadapi
orang yang sedang
mengalami krisis, kita harus melihatnya secara lengkap, utuh
dalam keseluruhan
sebagai manusia, dan bukan sebagai kasus penyakit atau masalah
tertentu.
14Jennifer Crocker and Amy Canevello, Creating and Undermining
Social Support in
Communal Relationships: The Role of Compassionate and Self-Image
Goals (Journal of Personality
and Social Psychology, 2008, Vol. 95, No. 3), 555–575.
-
21
Orang dapat disebut sehat bukan hanya karena “tidak adanya
penyakit
tertentu”, melainkan mampu hidup sehat secara utuh: fisik,
mental, spiritual, dan
sosial. Seseorang dikatakan sehat bila dia dapat hidup dan
bertumbuh secara penuh,
sempurna dalam seluruh aspek kehidupannya. Dalam perspektif
integratif, manusia
tidak bisa direduksi menjadi kasus atau penyakit tertentu.
Manusia juga tidak dapat
dipersempit hanya ke dalam aspek tertentu secara parsialistik,
misalnya hanya
melihat aspek fisik tanpa memperhatikan aspek kehidupan yang
lain juga seperti
mental, spiritual, dan sosial.
b. Bentuk Konseling Pastoral
Untuk menunjang pelaksanaan konseling pastoral maka perlu
dipahami
beberapa bentuk konseling pastoral, yaitu:15
1) Konseling pastoral jangka pendek secara formal dan informal.
Hal ini perlu
disesuaikan dengan keadaan konseli. Fungsi konselor ialah
menggerakkan inner
resources atau tenaga batiniah atau sumber-sumber penaggulangan
masalah atau
potensial yang terdapat dalam diri konseli agar dia lebih cepat
dimampukan
mengatasi kesusahan hati yang tidak normal yang menimpa diri
konseli atau juga
mengatasi gangguan jiwa yang tidak menentu (tidak normal) yang
tidak tahu
penyebabnya. Konseling pastoral dalam hal ini adalah memberikan
bantuan kepada
konseli agar dia secara lebih konstruktif menguji realitas yang
dihadapinya.
2) Konseling pastoral jangka panjang. Konseling jangka panjang
adalah formal,
dibutuhkan oleh orang yang mengalami gangguan jiwa yang tidak
mmenentu (tidak
15Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling
Pastoral, Yogyakarta:
Practical Theology Translation Project Fakultas Teologi
Universitas Kristen Duta Wacana, hal. 34.
-
22
normal) yang tidak diketahui penyebabnya. Konseli dalam hal ini
mengalami
kesusahan dan luka perasaan yang sangat berat dan mungkin
berulang-ilang atau
beruntun sehingga dia tidak mampu lagi menggerakkan inner
resourcer atau tenaga
batiniah atau sumber-sumber penanggulangan masalah atau
potensial yang ada
pada dirinya tanpa bantuan penyembuhan yang membutuhkan
psikoterapi yang
bersifat membangun kembali dari ahli psikoterapi pastoral atau
konseling pastoral
maupun dengan psikoterapi sekuler.16
Menyadari akan kebutuhan setiap orang yang berbeda, termasuk
juga
persoalan yang dialami, dan latar belakan kehidupan seperti
budaya, status
ekonomi, tingkat pendidikan, dan lain sebagainya, maka seorang
konselor harus
mampu melakukan pelayanan konseling pastoral secara unik untuk
masing-masing
orang yang didampingi. Dengan kata lain, tidak ada satu bentuk
model tetap atau
khusu yang cocok untuk dapat diterapkan pada semua orang dan
persoalannya.
Collins menuliskan bahwa para ahli konseling menyimpulkan, ada
beberapa
macam bentuk dari konseling pastoral. Terhadap setiap konseli,
kita dapat
menggunakan satu atau lebih dari bentuk konseling di bawah
ini:17
Supportive-Counseling. Bimbingan konselor diberikan pada saat
konseli mulai
terbuka menghadapi persoalan hidup secara efektif. Untuk
mencapai hal tersebut,
konseli didorong untuk mengutarakan secara terbuka perasaan dan
frustasinya.
Konselor yang supportive sebaiknya memberikan perhatian,
dorongan, mencoba
dengan lemah lembut menyadarkan konseli terhadap tantangan
realita kehidupan
16 Tjaard dan Anne Hommes, Konseling Krisis, (Yogyakarta: Pusat
Pastoral, 200), hal. 6 17 Garry R. Collins, Pengantar Pelayanan
Konseling Kristen, hal. 53-63
-
23
dan membimbing konseli pada pertumbuhan iman dan kematangan
emosi sehingga
permasalahan dapat diatasi.
Confrontational-Counseling. Konselor tidak seharusnya menghakimi
orang lain
dengan maksud untuk mengkritik. Dalam kelemahlembuutan dan
kasih, konselor
terpanggil untuk menolong konseli menghadapi kegagalan, dosa,
kekeliruan dan
kebodohannya.
Educative-Counseling. Konseling harus meliputi pengajaran dimana
tingkah laku
yang tidak efektif dapat diperbaiki dan konseli ditolong untuk
belajar tingkah laku
yang lebih baik. Dalam hal ini konselor bertindak sebagai
seorang pengajar.
Spitual-Counseling. Konseling menekankan hal-hal rohani dan
menolong konseli
supaya dapat memahami arti dan tujuan hidupnya. Konselor harus
selalu sadar
bahwa setiap persoalan manusia selalu menyangkut hubungan dengan
yang
Transenden dan sesama.
Group-Counseling. Dalam pertemuan dengan beberapa konseli,
seorang konselor
dapat menyediakan tempat untuk membagikan perasaan konseli
secara jujur, saling
belajar dari pengalan orang lain, saling mendukung, menasihati,
dan menolong satu
terhadap yang lain.
Informal-Counseling. Konseling tidak harus dilakukan di kantor,
tapi bisa juga
dilakukan secara informal, seperti rumah, rumah sakit, atau
bahkan di jalan. Apabila
konseli melihat konselor yang serius dan penuh perhatian serta
mau mendengar,
biasanya mereka akan mengeluarkan isi hati mereka dengan baik.
Beberapa saran
yang dapat dilakukan dalam konseling informal, yaitu: mendengar
dengan penuh
perhatian; menggunakan pertanyaan-pertanyaan tambahan untuk
memerjelas fokus
-
24
persoalannya; mendorong konseli untuk menyimpulkan persoalan;
memberikan
informasi yang dapat membantu; menolong konseli mengambil
keputusan tentang
apa yang akan ia lakukan; memberikan konseli dorongan dan
harapan, membantu
konseli dalam doa, dan benar-benar jangan lupa mendoakannya.
Bila memang
diperlukan, mengusulkan pertemuan selanjutnya untuk diskusi yang
lebih formal.
Preventif_Counseling. Konseling tidak di buat untuk menghibur
yang susah,
menolong yang tertindas ataupun menolong konseli dari kesulitan
hidup saja.
Alasan yang terkuat adalah untuk mmembebaskan konseli dari
permasalah hidup
yang dialami.
Konseling Pastoral berbasis budaya
1. Makna Budaya dalam Konteks Konseling Berbasis Budaya.
Pembahasan tentang persoalan konseling pastoral berbasis budaya
tidak
dapat dilepaskan dari pembahasan tentang budaya dalam konteks
psikologi, karena
dasar pijakan keilmuan konseling berakar dari psikologi.
Terdapat beberapa ciri
khas budaya dalam konteks Psikologi yaitu; (1) Budaya sebagai
sebuah konsep
abstrak; aspek budaya yang dapat diamati sesungguhnya bukanlah
budaya itu
sendiri melainkan perbedaan perilaku manusia dalam aktivitas dan
tindakan,
pemikiran, ritual, tradisi, maupun material sebagai produk dari
kelakuan manusia,
(2) Budaya sebagai konseptual kelompok; budaya ada ketika
terjadi pertemuan
antar manusia, yang di dalamnya akan membuahkan pola-pola
adaptasi dalam
perilaku, norma, keyakinan, maupun pemikiran dan atau ide, dan
(3) Budaya
diinternalisasikan oleh anggota kelompok; budaya adalah produk
yang dipedomani
oleh individu yang disatukan dalam sebuah kelompok, maka budaya
adalah alat
-
25
pengikat dari individu-individu yang memberi ciri khas
keanggotaan suatu
kelompok yang berbeda dengan individu-individu dari kelompok
budaya lain.
Budaya diinternalisasikan oleh seluruh individu anggota kelompok
sebagai tanda
keanggotaan kelompok, baik secara sadar maupun naluriah tidak
disadari.18
Berdasarkan pada tiga ciri khas budaya di atas, budaya dapat
didefinisikan
sebagai seperangkat sikap, nilai, keyakinan dan perilaku,
pemikiran dan atau ide
yang dimiliki oleh sekelompok orang yang akan mengalami
perubahan secara
kontinyu melalui proses komunikasi.19 Matsumoto mendefinisikan
budaya adalah
gagasan, baik yang muncul sebagai perilaku maupun ide seperti
nilai dan
keyakinan, sekaligus sebagai material, budaya sebagai produk
maupun sesuatu
yang hidup dan menjadi panduan bagi individu sebagai anggota
kelompok. Dapat
dikatakan bahwa budaya adalah suatu konstruk sosial sekaligus
konstruk individu.20
Budaya sebagai konstruk individual dan sosial memuat sistem
nilai budaya
(cultural value system) dan dalam konteks psikologi berpespektif
budaya sistem
nilai budaya merupakan hal yang mendasari sikap dan perilaku.
Menurut
Koentjaraningrat sistem nilai budaya merupakan tingkat paling
tinggi dan paling
abstrak dari adat istiadat. Nilai-nilai budaya merupakan
konsep-konsep mengenai
sesuatu yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga
suatu masyarakat.
Nilai budaya merupakan hal-hal yang mereka anggap sebagai hal
yang bernilai,
18Matsumoto, D, Culture and psychology, (New York, 1996) hal. 20
19Berger P.L. & Thomas Luckmann, L.. The social construction of
reality: a treatise in the
sociology of knowledge (USA: The Penguin Press,1966), 66.
20Matsumoto, D.,............hal. 20.
-
26
berharga, dan penting bagi kehidupan. Sistem nilai budaya
berfungsi sebagai
pedoman yang dapat memberi arah dan orientasi bagi kehidupan
masyarakat.21
Dalam perspektif psikologi konseling, tingkah laku manusia
sebagai
anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat
wujudnya dalam
berbagai pranata, yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi
tingkah laku
manusia.22 Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan
diambil bersama
secara sosial, oleh para anggota suatu masyarakat, sehingga
suatu kebudayaan
bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan (folkways) dan tata
kelakuan (mores)
tetapi merupakan suatu sistem perilaku yang terorganisasi.
Nilai-nilai yang
terkandung dalam kebudayaan menjadi acuan sikap dan perilaku
manusia sebagai
makhluk individual yang tidak terlepas dari kaitannya pada
kehidupan masyarakat
dengan orientasi kebudayaannya yang khas.23
Pendekatan yang digunakan dalam konteks konseling berbasis
budaya
adalah pendekatan kontekstual atau pendekatan emik24 yang
menolak terhadap
keuniversalitasan teori-teori psikologi. Pendekatan emik
menyatakan bahwa aspek
kehidupan yang muncul dan benar hanya pada satu budaya tertentu,
dan setiap
budaya memiliki konsep yang unik.25 Pendekatan emik memandang
bahwa budaya
dipahami dalam kerangka referensinya, yaitu dalam kerangka/
konteks ekologi,
21Koentjaraningrat, Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi
Nasional (Jakarta : UIP,
1993), 3. 22Greetz, C., Abangan, Santri dan Priyayi dalam
Masyarakat Jawa (Jakarta : Pustaka Jaya,
1981). Lihat juga Greetz, Keluarga Jawa, (Jakarta : Grafiti
Press). 34. 23Berger, P.I., & Luckmann.............hal. 66.
24Berry, J.W., Poortinga, YH., Segall, M.H, & Dasen, P.R, Cross
Cultural Psychology :
Research andApplications (Cambridge :Cambridge University Press.
1992), 277; Shweder, R.A.,
Cultural Psychology of Literacy (Cambridge, MA : Harvard
University Press, 1990). 25Greenfield, P.M., Three Approaches to
the Psychology of Culture : Where do they Come
from ? Where can they go ? (Asian Journal of Social Psychology,
2000, 3 ), 223-240.
-
27
sejarah, falsafah dan keagamaan yang dimiliki. Pendekatan emik
memandang
bahwa konseling yang berbasis budaya meyakini tentang teori
psikologi bersifat
subjektif, tidak bebas nilai dan tidak universal, dan menolak
teori psikologi yang
lekat dengan nilai Amerika yang lebih mengedepankan
rasionalitas, liberalitas dan
individualitas.26
Penjelasan ini dapat dijadikan dasar pijakan bahwa, untuk
membangun
konseling berbasis budaya, maka usaha yang selayaknya dilakukan
adalah
penggalian pengetahuan konselor klien berbasis pada apa yang
dimiliki oleh dirinya
bukan dari penjelasan orang lain. Pengetahuan konselor maupun
klien akan lekat
dengan tradisi budaya yang menjadi pengalaman hidupnya, (2)
Pelaksanaan
konseling bukanlah menggali tingkah laku klien yang bersifat
artifisial atau
pelaksanaan yang bersifat eksperimental, melainkan menggali data
pribadi klien
yang berupa tingkah laku keseharian yang dialami, (3) tingkah
laku klien dipahami
dan diinterpretasi tidak dalam kerangka teori yang diimpor,
melainkan dalam
kerangka pemahaman budaya asal klien, dan (4) Psikologi
konseling didesain
dengan memperhatikan realitas sosial masyarakat Indonesia dimana
bertempat.
Aplikasi konseling yang berbasis budaya
Dalam bidang konseling dan psikologi, pendekatan konseling
budaya
khususnya konseling berbasis budaya dipandang sebagai kekuatan
keempat setelah
26Enrique, V.G., Developing a Filipino Psychology in Kim U.
& Berry, J.W., (Eds.)
Indigenous Psychologies, research and experience in cultural
context. (New Delhi : Sage
Publications, 1993), 152-169; Kim U., Conceptual and Empirical
Analysis of Amae : Explanation
into Japanese Psycho-Social Space. Proceeding of the Japanes
Group Dynamics Conference
(Tokyo :Japanese Group Dynamics Association, 1995).
-
28
pendekatan psikodinamik, behavioral dan humanistic.27 Pembahasan
tentang
konseling berwawasan budaya sering dilihat dari populasi
minoritas dengan
berlandaskan pada pengetahuan Eurosentrik.28 Pada abad 21 ini
sudah selayaknya
mempertimbangkan pembahasan dengan pendekatan yang integral
dengan
mengedepankan nilai totalitas pada kekhasan budaya individu.
Suatu masalah yang
berkaitan dengan persoalan budaya adalah bahwa orang
mengartikannya secara
berlain-lainan atau berbeda. Keberbedaan pemaknaan ini
menyebabkan kesulitan
dalam mengkonstruk makna perspektif budaya dalam konseling
secara pasti atau
benar. Secara riil, konseling berbasis budaya dapat diartikan
secara beragam dan
berbeda-beda; sebagaimana keragaman dan perbedaan budaya yang
memberi
artinya. Sebagai contoh pendefinisian tentang lintas budaya yang
cenderung untuk
menekankan pada ras, etnisitas, dan sebagainya; sedangkan para
teoretisi mutakhir
cenderung untuk mendefinisikan lintas budaya terbatas pada
variabel-
variabelnya.29 Namun, argumen-argumen yang lain menyatakan,
bahwa lintas
budaya harus melingkupi pada seluruh bidang dari
kelompok-kelompok yang
tertindas, bukan hanya orang kulit berwarna, dikarenakan yang
tertindas itu dapat
berupa gender, kelas, agama, keterbelakangan, bahasa, orientasi
seksual, dan usia.30
27Pedersen, Introduction to the Special Issu on Multiculturalism
as Fourth a Force in
Counseling (Journal of Counseling and Development, Vol. 70, No.
1), 4. 28Pembahasan konseling berwawasan budaya sebelumnya
melingkupi landasan
pengetahuan pluralistik; akhirnya ditandai oleh pendekatan
holistik untuk membantu dan
penyembuhan, terfokuskan pada kelompok dan keluarga alih-alih
pada individu, dan menggunakan
sudut pandang yang integral alih-alih yang linear. 29Ponterotto
J. G, Charting a Course For Research Multiculture Counseling
Training (The
Counseling Psychologist, Vol. 26 No 1), 43. 30Arredondo P et
.al, Multicultural Counseling Competencies as Tools to Address
Oppression and Racism (Journal of Counseling & Development,
Vol. 77. No. 1), 103.
-
29
Para ahli dan praktisi lintas budaya pun berbeda paham dalam
menggunakan
pendekatan universal atau etik, yang menekankan inklusivitas,
komonalitas atau
keuniversalan kelompok-kelompok; atau pendekatan emik
(kekhususan-budaya)
yang menyoroti karakteristik-karakteristik khas dari
populasi-populasi spesifik dan
kebutuhan-kebutuhan konseling khusus mereka. Pandangan universal
pun
menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula konseling
“transcultural”
yang menggunakan pendekatan emik; dikarenakan secara filosofis
menjelaskan
karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik
untuk bekerja dengan
populasi spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan.31
Perpaduan kedua
pendekatan dapat dijelaskan bahwa konseling lintas budaya adalah
pelbagai
hubungan konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda
etnik atau
kelompok-kelompok minoritas; atau hubungan konseling yang
melibatkan konselor
dan klien yang secara rasial dan etnik sama, tetapi memiliki
perbedaan budaya yang
dikarenakan variabel-variabel lain seperti seks, orientasi
seksual, faktor sosio-
ekonomik, dan usia.32
Pelaksanaan konseling dalam konseling lintas budaya akan
melibatkan
konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang
berbeda, dan
karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya
bias-bias budaya pada
pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan
efektif. Efektifitas
pelaksanaan konseling, bagi konselor dituntut untuk memiliki
kepekaan budaya dan
melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat
mengapresiasi diversitas
31Fukuyama, The Great Disruption : Human Nature and The
Reconstitution of Social
Order (London: Profile Books, 2001), 56. 32Sue, S.,
Multicultural Counseling Competencies and Standards : A Call to The
Pression
(Journal of Counseling and Development, Vol. 70, No. 1),
477.
-
30
budaya, dan memiliki keterampilanketerampilan yang responsif
secara kultural.33
Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan
budaya”
(cultural encounter) antara konselor dan klien.
Melalui penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya
dalam
konteks konseling merupakan seperangkat sikap, nilai, keyakinan
dan perilaku,
pemikiran dan atau ide yang mendasari perilaku konselor dan
klien. Pemahaman
budaya dalam konteks konseling demikian juga menjadi
pertimbangan dalam
pelaksanaan konseling pastoral.
Konseling Masyarakat
1. Definisi Konseling Masyarakat
Asumsi dasar yang mendasari masyarakat memimpin konseling
bertolak
pada berbagai bentuk pertolongan. Konseling masyarakat adalah
bentuk
pertolongan secara komprehensif, yang didasarkan pada kompetensi
multikultural
dan berorientasi keadilan sosial masyarakat. Karena perilaku
manusia dipengaruhi
oleh lingkungan, maka konselor masyarakat menggunakan strategi
yang
memfasilitasi perkembangan yang sehat dari klien dan
masyarakat.
Kata masyarakat dipahami secara berbeda tergantung cara pandang
orang
memahaminya. Masyarakat didefinisikan sebagai berikut: 1)
orang-orang yang
tinggal di daerah geografis tertentu (misalnya, orang-orang
pedesaan versus
perkotaan); 2) sekelompok orang yang berhubungan dengan
perbedaan latar
belakang budaya, etnis, atau ras; 3) orang-orang yang saling
ketergantungan dan
33Dedi Supriyadi, Bimbingan dan Konseling (Fak. Psikologi
Universitas Muhammadiyah
Surakarta), 6.
-
31
masing-masing memiliki kesamaan satu dengan yang lain sebagai
anggota dari
komunitas yang lebih luas yang disebut komunitas global; 4)
definisi yang dipakai
dalam pembahasan ini merujuk pada kelompok atau kumpulan orang
yang berbagi
dan saling peduli untuk kepentingan dan kebutuhan umum.34
Definisi di atas merujuk pada masyarakat sebagai sistem yang
memiliki
kesatuan, kontinuitas, dan prediktabilitas. Individu, kelompok,
dan organisasi
merupakan link bagi masyarakat. Masyarakat juga link individu
untuk masyarakat
lainnya, termasuk masyarakat yang lebih besar. Dengan demikian,
masyarakat
berfungsi sebagai media di mana individu dapat bertindak dan
mentransformasikan
norma. Dengan demikian, seorang individu menjadi milik lebih
dari satu komunitas
pada suatu waktu. Keluarga, sekolah, kampus menjadi komunitas
untuk masyarakat
yang lebih besar, seperti gay, lesbian, biseksual, dan
transgender juga sistem sosial
politik yang jauh lebih besar dan lebih kompleks. Dengan itu,
individu sebagai
anggota masyarakat saling mempengaruhi secara langsung dan tidak
langsung
secara positif maupun negatif. Asumsi berpikir seperti ini
menjadi alasan mengapa
pendampingan dan konseling masyarakat diperlukan.
King menegaskan bahwa pengembangan yang sehat dan rasa hormat
yang
saling ketergantungan sebagai komunitas nasional dan dunia
adalah tantangan yang
paling penting pada masanya. King menekankan peran konselor
mencari cara baru
untuk mengatasi kebutuhan kesehatan mental abad ke-21. Konselor
masyarakat
diharapkan menemukan model konseling komunitas untuk membina
kesehatan
34Paisley, P. O, Creating community: Group work and the arts (
Presentation made at the
anual meeting of the Association for Specialist in Group Work,
Athens ,GA, Januari, 1996)
-
32
mental klien serta mempromosikan masyarakat lebih toleran,
responsif, dan penuh
perhatian. Untuk melakukannya, konselor masyarakat harus
memiliki kompetensi
multikultural untuk bekerja secara efektif, etis, dengan
orang-orang yang berasal
dari kelompok yang beragam kompetensi dan latar belakang
budaya.35
Konselor yang melaksanakan harus memahami bahwa konseling
masyarakat berorientasi pada keadilan sosial didasarkan asumsi,
konselor
masyarakat menggunakan sudut pandang yang luas untuk melihat
klien dalam
konteks lingkungan yang sehat, adil dan merata masyarakatnya.
Keadilan sosial
melibatkan akses dan partisipasi masyarakat, atas dasar ras/
etnis, jenis kelamin,
usia, cacat fisik atau mental, pendidikan, orientasi seksual,
sosial ekonomi status
sosial, atau karakteristik lain dari latar belakang atau
kelompok anggota
masyarakat. Keadilan sosial didasarkan pada keyakinan bahwa
semua orang
memiliki hak untuk diperlakukan setara, dukungan untuk hak asasi
manusia dan
sumber daya masyarakat.36 Konselor masyarakat menjadi sadar
ketika klien mereka
ditolak hak-haknya, maka konselor melakukan intervensi
lingkungan dalam bentuk
advokasi keadilan sosial. Kompetensi advokasi diatur dalam tiga
tingkat intervensi:
1) di setiap tingkat intervensi, kompetensi untuk membawa
perubahan; 2) pada
tingkat klien individu, kompetensi dikategorikan sebagai
pemberdayaan dan
advokasi klien; 3) pada tingkat masyarakat, kompetensi berfokus
pada kolaborasi
dan sistem komunikasi. Akhirnya, di arena publik yang lebih
luas, konselor
melaksanakan program-program publik-informasi dan
sosial/advokasi politik.
35 King, M. L., I have a dream, 28 August 1963, diakses tanggal
15 September 2016 dari
http://www.mecca.org/~crights/dream.html 36Courtland C. Lee,
Multicultural Issues In Counseling: New Approaches to Diversity
(United State : American Counseling Association, 2007), 1
-
33
2. Konseling Masyarakat Abad 21
Konseling masyarakat mempromosikan perubahan dan
pertumbuhan,
memberikan pedoman yang efektif untuk merencanakan dan
melaksanakan
program konseling masyarakat yang produktif. Dengan itu, asumsi
yang mendasari
konseling masyarakat abad ke-21 sebagai berikut:371) pembangunan
manusia
(individu) dan perilaku berlangsung dalam lingkungan masyarakat
yang berpotensi
memelihara, membatasi atau menghancurkan; 2) pembangunan
individu bersifat
multikultural sebagai pusat konseling masyarakat; 3)
pengembangan individu dan
masyarakat berhubungan erat.
Conyne & Cook melihat fokus masalah konseling masyarakat
berorientasi
pada masa lalu pribadi setiap individu masyarakat sebagai klien.
Tujuan konseling
masyarakat adalah merubah perilaku klien yang dipengaruhi
pikiran dan perasaan
masa lampau menjadi perilaku adaptif.38 Perilaku yang adaptif
menjadikan klien
sebagai pribadi yang sehat karena dapat menjaga keharmonisan
dirinya sendiri
dengan alamnya. Artinya, fungsi-fungsi pribadinya adaftif dan
secara penuh
dapat melakukan aturan-aturan sosial dalam komunitasnya. Sebab
jika individu
belum dapat melakukan aturan aturan sosial dalam komunitasnya,
maka ia masih
berada dalam keadaan sakit. individu yang berada dalam keadaan
sakit dapat
melakukan penyimpangan norma-norma budaya, Melanggar batas-batas
keyakinan
agama dan berdosa, melakukan pelanggaran hukum dan mengalami
masalah
37Lewis, J. A., Ratts, M. J., Paladino, D. A., & Toperek, R.
(2011). Social justice counseling
and advocacy: Developing new leadership roles and competencies.
Journal for Social Action in
Counseling and Psychology, hal 4 38Conyne, R. K., & Cook, E.
P., Ecological counseling: An innovative approach to
conceptualizing person-environment interaction (Alexandria, VA:
American Counseling
Association, 2004), 3-4.
-
34
interpersonal. Konselor memiliki keahlian dan keterampilan untuk
membantu klien
mengidentifikasi dan menemukan faktor penyebab masalah serta
mengembangkan
alternatif penyelesaian yang lebih memuaskan.39 Jordan
menekankan bahwa dalam
rangka meningkatkan hubungan dan memperbaiki perilaku klien yang
bermasalah
dalam masyarakat diperlukan konseling budaya. Tujuannya
menumbuhkan
kekuatan, memulihkan dan menyehatkan, serta membebaskan dan
memberdayakan
klien yang bermasalah .40 Teori-teori konseling budaya lebih
menekankan
hubungan antara manusia dan lingkungan, telah menjadi prinsip
utama konseling
abad ke-21. Hal ini disebabkan kekuatan lingkungan telah menjadi
sumber belajar
dan dukungan, untuk memenuhi kebutuhan terutama interaksi dengan
orang lain.
Di sisi lain, lingkungan juga dapat mempengaruhi dan
mengerdilkan pertumbuhan
dan membatasi perkembangan manusia.
Konseling masyarakat menjelaskan praktek konseling dengan
membahas
isu-isu kontemporer dan mendeskripsikan peran konselor
masyarakat sebagai agen
perubahan. Konselor masyarakat memainkan peran penting membantu
klien untuk
menjembatani kesenjangan antara kehidupan klien dengan
perkembangan
masyarakat. Kesenjangan tersebut merupakan hasil interaksi klien
dengan
lingkungan dan bahwa interaksi ini mempengaruhi perkembangan
mereka secara
negatif. Konselor berusaha menanggapi kebutuhan klien yang
rentan dengan
masalah-masalah masyarakat. Tugas konselor melakukan negosiasi
perubahan
lingkungan terhadap korban kemiskinan, rasisme, seksisme, dan
stigmatisasi
39Conyne, R. K., & Cook, E. P., Ecological..............hal.
5 40Jordan, J. V. (2010), Relational-Cultural Therapy ( W a s h i n
g t o n , D C : American
Psychological Association). 99
-
35
politik, ekonomi, dan sosial sistem yang menyebabkan masyarakat
tidak berdaya.
Dalam menghadapi kenyataan ini, konselor tidak punya pilihan
selain
mempromosikan perubahan positif dalam sistem masyarakat yang
mempengaruhi
kesejahteraan klien.41 Peran konselor sebagai agen perubahan
sosial mencerminkan
hubungan antara individu dengan pengembangan masyarakat. Dengan
itu, konselor
bekerja untuk memfasilitasi pembangunan manusia dengan
pengembangan
masyarakat yang sehat.
3. Strategi Konseling Masyarakat
Strategi konseling masyarakat berdasarkan asumsi bahwa
perkembangan
individu dan masyarakat terkait erat. Konselor masyarakat
menyadari bahwa
tanggung jawab profesional mereka termasuk melayani klien untuk
membangun
lingkungan masyarakat yang sehat dan kondusif. Peran konselor,
mendesain
strategi yang memfasilitasi pengembangan klien dan strategi
konseling yang
memfasilitasi pengembangan masyarakat. Dari kedua pengembangan
tersebut,
konselor menggunakan strategi terfokus dan strategi berbasis
luas yang memenuhi
kebutuhan individu dan kelompok untuk mempengaruhi masyarakat
umum.
Adapun model konseling masyarakat dapat dilihat melalui tabel
berikut
ini:42
41 Lewis, J. A., Ratts, M. J., Paladino, D. A., & Toperek,
R. (2011). Social justice
counseling and advocacy: Developing new leadership roles and
competencies. Journal for Social
Action in Counseling and Psychology, hal. 9 42Lewis, J. A.,
Ratts, M. J., Paladino, D. A., & Toperek, R., Social
justice.....................hal.15-18
-
36
STRATEGI MEMFASILITASI
PENGEMBANGAN MANUSIA
(INDIVIDU)
MEMFASILITASI
PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
Strategi
Terfokus
Konseling dalam konteks
outreach (penjangkauan
lapangan/lingkungan untuk klien
yang depresi/distres dan
teralenasi/ marjinalisasi.
Treatment klien untuk
kolaborasi masyarakat:
studi melalui partisipasi
untuk membangun
kemitraan/ participation
research.
Strategi
Berbasis
Luas
Perkembangan / pencegahan
melalui intervensi yaitu membuat
program pendampingan maupun
konseling outreach
(penjangkauan) individu dalam
masyarakat.
Treatment sosial/politik
untuk perubahan tingkat
makro: peranan political-
skill education untuk
tujuan pendidikan dan
perubahan.
Tabel 1.1. Model Konseling Masyarakat
Sifat dari model konseling masyarakat secara komprehensif,
mempengaruhi
baik program yang dirancang dan peran konselor individual untuk
membantu klien
mereka. Program konseling masyarakat mempergunakan intervensi
atau treatment
(perlakuan) yang ditawarkan di setiap aspek model. Peran
konselor masyarakat,
menunjukkan karakteristik optimisme, aktivisme, dan visi yang
memberdayakan
klien dalam model konseling masyarakat. Model konseling
masyarakat mengacu
pada table 1.1., dideskripsikan sebagai berikut
a. Memfasilitasi Pengembangan Manusia: Strategi Terokus
Fakta bahwa konselor abad ke-21 mempedulikan lingkungan
masyarakat,
tidak berarti mengabaikan kemampuan dan peran setiap individu
dalam
memberikan bantu kepada mereka. Hal tersebut didasari kesadaran
konselor dalam
konteks lingkungan. Keterkaitan konseling dengan jangkauan
lingkungan
-
37
melibatkan partisipasi mitra kerja (observer dan interviewer)
dalam
menginterpretasi fenomena psikis klien dan fenomena sosial
masyarakat melalui
observasi dan interview. Konselor menemukan keterkaitan
teori-teori konseling
dengan berbagai fenomena masalah klien dalam masyarakat.43
Strategi terfokus,
memfasilitasi pengembangan manusia tidak hanya mencakup
konseling
konvensional tetapi juga hasil penjangkauan lingkungan yang
kontekstual dan
berbasis masyarakat.
Konselor masyarakat mengetahui bahwa klien mereka menghadapi
depresi/distres dan teralenasi/ marjinalisasi. Sumber
permasalahan mereka berasal
dalam situasi krisis yang sedang berlangsung dan pengalaman
penindasan atau
marjinalisasi. Dalam kedua kasus tersebut, konselor masyarakat
mempergunakan
metode penjangkauan lapangan/lingkungan untuk memastikan bahwa
individu dan
kelompok dalam permasalahannya memiliki akses bantuan untuk
mendukung dan
memberdayakan mereka. Secara ideal metode penjangkauan
lapangan/lingkungan
merupakan upaya pendidikan bagi individu dan masyarakat.
Tujuannya, individu
dan masyarakat memahami tantangan baru mereka dan belajar
meningkatkan
keterampilan dan kemampuan untuk menangani depresi dan
marjinalisasi.
b. Memfasilitasi Pengembangan Manusia: Strategi Berbasis
Luas
Pengembangan / intervensi pencegahan memungkinkan konselor
masyarakat untuk mendidik atau melatih anggota masyarakat pada
umumnya.
Anggota masyarakat dilatih mekanisme koping spesifik (mengatasi
masalah) dan
43Lewis, J. A., Toporek, R. L., & Ratts, M. J. Advocacy and
social justice: Entering the
mainstream of the counseling profession (Alexandria, VA:
American Counseling Association,
2010), 241.
-
38
bagaimana memenuhi kebutuhan, ketika diperhadapkan dengan
masalah
masyarakat secara mendadak. Intervensi pencegahan sebagai suatu
proses
pendidikan pengembangan mental anggota masyarakat, dalam rangka
pencegahan
dini masalah-masalah masyarakat. Tujuan dari strategi berbasis
luas: 1) membantu
anggota masyarakat mendapatkan pengetahuan baru, melalui
penyuluhan yang
berguna dalam menangani masalah yang belum diketahui; 2)
meningkatkan
kesadaran anggota masyarakat tentang tantangan hidup potensial
dan
mengembangkan keterampilan yang dapat membantu mereka mengatasi
tantangan
dini; 3) melaksanakan program-program seminar tentang kesehatan
mental
masyarakat dan pelatihan relaksasi untuk kegiatan lintas
budaya.
Kemungkinan tak terbatas, konselor dapat mengembangkan teknik,
konsep,
dan program pendidikan pencegahan. Tujuannya, membantu anggota
masyarakat
memiliki kompetensi dan keterampilan hidup yang efektif, untuk
mencegah
berbagai masalah. Penekanan pada pencegahan, membuat konseling
masyarakat
efektif dan peranan konselor masyarakat menjadi praktisi,
penyuluh, pelatih yang
produktif dan sangat aktif. Sebagai praktisi, penyuluh, dan
pelatih, konselor tidak
harus menunggu secara pasif untuk tugas berikutnya, masalah
berikutnya, atau
krisis muncul. Sebaliknya, konselor masyarakat terus mencari
situasi agar mereka
dapat membantu perencanaan dan memulai program baru untuk
memenuhi
kebutuhan klien dan masyarakat. Penekanan pada pencegahan, dapat
membuat
kerangka model konseling masyarakat yang lebih layak dan relevan
untuk orang-
orang yang merasa tidak nyaman.
c. Memfasilitasi Pengembangan Masyarakat: Strategi Fokus
-
39
Dalam banyak situasi, pendekatan pemberdayaan yang berfokus
konselor
adalah semua yang dibutuhkan untuk mempersiapkan klien untuk
menjadi
pendukung bagi diri sendiri. Treatment/perlakuan merupakan
bagian integral dari
proses konseling, ketika konselor menyadari faktor eksternal
sebagai hambatan
untuk pengembangan individu. Peran mitra kerja sangat signifikan
ketika individu
atau kelompok rentan dan kekurangan akses ke layanan
konseling.44 Kompleksitas
masalah masyarakat, mengakses layanan tambahan. Keluarga
membutuhkan
layanan sosial, ekonomi, karir, pendidikan, dan krisis jasa
layanan yang melampaui
kapasitas normal.
Peran konselor, mengidentifikasi sumber daya yang dibutuhkan
untuk jasa
layanan, dan faktor-faktor hambatan yang dipengaruhi sejumlah
individu dan
keluarga. Konselor mengidentifikasi faktor sistemik sebagai
penghalang untuk
pengembangan masyarakat, dan berharap bisa mengubah lingkungan
dan mencegah
beberapa masalah yang mereka hadapi. Konselor sebagai agen
perubahan
memahami prinsip-prinsip perubahan sistemik dapat membuat
keinginan mereka
menjadi suatu kenyataan. Dalam peran memfasilitasi pengembangan
masyarakat,
konselor mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh negatif
terhadap
perkembangan klien mereka dan mengambil partisipasi mitra kerja
dalam
pengertian bekerja sama dengan orang lain untuk membawa
perubahan yang
diperlukan.
d. Memfasilitasi Pengembangan Masyarakat: Strategi Berbasis
Luas
44 Lewis, J. A., Arnold, M. S., House, R., & Toporek, R.L.
(2002). ACA Advocacy
Competencies. Advocacy Task Force, American Counseling
Association, dari
http://www.counseling.org/resources/html, diakses tanggal 23
Juni 2016.
http://www.counseling.org/resources/html
-
40
Pengalaman konselor masyarakat dalam treatment/perlakuan
mempengaruhi kliennya pada setiap langkah perlakuan yang
diperlukan pada
tingkat yang lebih luas. Konselor sebagai agen perubahan dalam
sistem yang
mempengaruhi klien dan orang lain dalam jumlah lebih besar.
Ketika hal tersebut
terjadi, konselor menggunakan keahliannya untuk melakukan
perlakuan
sosial/politik. Kompetensi konselor terfokus pada kemampuannya
membedakan
masalah-masalah yang dapat diselesaikan melalui aksi
sosial/politik dan
mengidentifikasi mekanisme yang tepat untuk mengatasi
masalah.45
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dilaksanakan pendekatan
terpadu
melalui program dan implikasi professional untuk praktek
konseling yang
kompeten. Dalam hal program, model menunjukkan bahwa layanan
konseling
harus ditawarkan pada empat komponen yang disajikan dalam
konseling
masyarakat. Dalam istilah profesional, model menunjukkan bahwa
konselor
komunitas harus siap untuk melihat perannya secara luas dan
beragam. Dengan
menggabungkan empat komponen, maka model konseling masyarakat
dapat
menjadi pendekatan terpadu.
Asumsi dasar yang mendasari praktek konseling masyarakat abad
ke-21
meliputi: (1) pengembangan dan perilaku manusia berlangsung
dalam konteks
lingkungan yang memiliki potensi untuk memelihara atau
membatasi; (2) dalam
menghadapi stres yang menghancurkan, kolaboratif diperlukan
sebagai layanan
tambahan; (3) memperhatikan sifat multikultural pengembangan
manusia
45 Lewis, J. A., Arnold, M. S., House, R., & Toporek, R.L.
(2002). ACA Advocacy
Competencies. Advocacy Task Force, American Counseling
Association, dari
http://www.counseling.org/resources/html, diakses tanggal 23
Juni 2016.
http://www.counseling.org/resources/html
-
41
merupakan komponen utama dari konseling masyarakat; dan (4)
pengembangan
individu dan masyarakat terkait erat; (5) konseling masyarakat
didasarkan pada
kompetensi multikultural dan berorientasi pada keadilan
sosial.
Karena perilaku manusia kuat dipengaruhi oleh konteks,
diperlukan
program konseling berbasis masyarakat baik memfasilitasi
pengembangan manusia
(memberikan intervensi langsung dengan klien dan anggota
masyarakat) dan
memfasilitasi pengembangan masyarakat (menggunakan advokasi
intervensi untuk
membangun lingkungan yang positif dan mendobrak hambatan
eksternal klien).
Model konseling masyarakat tidak hanya implikasi program tetapi
juga implikasi
profesional untuk praktek konseling yang kompeten. Kompetensi
yang dibutuhkan
untuk konseling masyarakat yang efektif yaitu keterampilan dan
kolaboratif.