5 BAB II LANDASAN TEORI Pada Bab II ini akan dijelaskan mengenai konsep, teori dan literatur yang digunakan dalam penelitian ini sebagai dasar dan penunjang pembahasan terhadap topik masalah Multiproduct Multivehicle Inventory Routing Problem. Adapun teori yang akan dibahas di antaranya tentang sistem distribusi dan transportasi, konsep manajemen persediaan, konsep pemrograman linier, Vehicle Routing Problem dan Inventory Routing Problem. 2.1 Sistem Distribusi dan Transportasi Sebagai bagian dari Supply Chain Management, logistik memiliki peranan penting dalam perusahaan. Logistik berpengaruh besar terhadap biaya dan keputusan perusahaan yang akhirnya akan mempengaruhi service level pada tiap konsumen. Logistik adalah pengaturan sumber daya secara tepat waktu dalam tempat yang tepat dengan biaya dan kualitas yang tepat (Rushton, et al., 2010). Suatu sistem rantai pasok terdiri atas semua pihak yang terlibat dalam proses pemenuhan permintaan konsumen, yang meliputi pihak pemasok, manufaktur, distributor, retailer, dan konsumen. Dalam memenuhi permintaan konsumen, suatu sistem rantai pasok biasanya memiliki fungsi distribusi (Chopra & Meindl, 2007). Distribusi merupakan tahapan pemindahan dan penyampaian sebuah produk dari supplier ke customer dalam supply chain (Chopra, 2003). Sedangkan Menurut Toth & Vigo (2002), pendistribusian merupakan aktivitas pemilihan rute yang dikunjungi, jumlah kendaraan yang digunakan saat pengiriman dan penyeimbangan rute dengan tujuan agar dapat meminimalkan ongkos perjalanan. Secara garis besar, distribusi merupakan pergerakan bahan maupun komoditas dari satu titik ke titik lainnya dalam rantai pasok, dan termasuk di dalamnya adalah transportasi (atau pengangkutan) dan pergudangan (Russell & Taylor, 2009). Menurut Chopra (2003), sebagai penggerak kunci keuntungan dari perusahaan, distribusi mempunyai pengaruh pada biaya supply chain dan pengalaman customer. Karena pendistribusian yang baik dapat digunakan untuk mencapai tujuan rantai pasok, dari meminimalkan biaya sampai meningkatkan
21
Embed
BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43893/3/BAB II.pdf · total biaya logistik. biaya yang dikeluarkan oleh transportasi sebesar lebih dari 30% dari biaya logistik
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
5
BAB II
LANDASAN TEORI
Pada Bab II ini akan dijelaskan mengenai konsep, teori dan literatur yang
digunakan dalam penelitian ini sebagai dasar dan penunjang pembahasan terhadap
topik masalah Multiproduct Multivehicle Inventory Routing Problem. Adapun teori
yang akan dibahas di antaranya tentang sistem distribusi dan transportasi, konsep
manajemen persediaan, konsep pemrograman linier, Vehicle Routing Problem dan
Inventory Routing Problem.
2.1 Sistem Distribusi dan Transportasi
Sebagai bagian dari Supply Chain Management, logistik memiliki peranan
penting dalam perusahaan. Logistik berpengaruh besar terhadap biaya dan
keputusan perusahaan yang akhirnya akan mempengaruhi service level pada tiap
konsumen. Logistik adalah pengaturan sumber daya secara tepat waktu dalam
tempat yang tepat dengan biaya dan kualitas yang tepat (Rushton, et al., 2010).
Suatu sistem rantai pasok terdiri atas semua pihak yang terlibat dalam proses
pemenuhan permintaan konsumen, yang meliputi pihak pemasok, manufaktur,
distributor, retailer, dan konsumen. Dalam memenuhi permintaan konsumen, suatu
sistem rantai pasok biasanya memiliki fungsi distribusi (Chopra & Meindl, 2007).
Distribusi merupakan tahapan pemindahan dan penyampaian sebuah produk dari
supplier ke customer dalam supply chain (Chopra, 2003). Sedangkan Menurut Toth
& Vigo (2002), pendistribusian merupakan aktivitas pemilihan rute yang
dikunjungi, jumlah kendaraan yang digunakan saat pengiriman dan penyeimbangan
rute dengan tujuan agar dapat meminimalkan ongkos perjalanan. Secara garis besar,
distribusi merupakan pergerakan bahan maupun komoditas dari satu titik ke titik
lainnya dalam rantai pasok, dan termasuk di dalamnya adalah transportasi (atau
pengangkutan) dan pergudangan (Russell & Taylor, 2009).
Menurut Chopra (2003), sebagai penggerak kunci keuntungan dari
perusahaan, distribusi mempunyai pengaruh pada biaya supply chain dan
pengalaman customer. Karena pendistribusian yang baik dapat digunakan untuk
mencapai tujuan rantai pasok, dari meminimalkan biaya sampai meningkatkan
6
respons (Chopra, 2003). Salah satu cara untuk melakukan pendistribusian yang baik
yaitu dengan melakukan perancangan jaringan distribusi. Perubahan pada jaringan
distribusi secara tepat dapat mempengaruhi biaya inventory, transportasi, fasilitas
dan biaya handling. Oleh karena itu, tujuan dari proses perancangan jaringan
distribusi yaitu untuk menemukan keseimbangan optimal antara biaya fasilitas,
transportasi dan inventory (Perl & Sirisoponsilp, 1988). Dengan penerapan strategi
pada kegiatan distribusi dapat meminimalkan biaya transportasi dan inventory
(Burns, et al., 1985).
Menurut Nasution (2015), transportasi didefinisikan sebagai pemindahan
barang dan sumber daya dari tempat asal ke tempat tujuan. Dalam proses distribusi
fisik, diperlukan proses transportasi untuk memindahkan satu komoditas dari satu
tempat ke tempat lain dalam suatu rantai pasok. Dua pihak yang terlibat dalam
proses transportasi dalam rantai pasok adalah pengirim (shipper) dan pengangkut
(carrier). Adapun beberapa mode transportasi yang dapat dipilih dalam
pengangkutan komoditas dalam rantai pasok, antara lain: transportasi udara,
transportasi perairan, pipa, kereta, truk, jasa kurir, maupun kombinasi dari moda
transportasi yang ada (intermodal) (Chopra & Meindl, 2007). Keputusan pemilihan
transportasi mempengaruhi trade-off antara biaya transportasi dan biaya inventory.
Bagaimanapun, keputusan penentuan transportasi secara tepat akan meminimalkan
total biaya transportasi dan inventory (Perl & Sirisoponsilp, 1988).
2.1.1 Komponen Biaya Transportasi
Dalam pendistribusian produk, biaya transportasi berkontribusi besar pada
total biaya logistik. biaya yang dikeluarkan oleh transportasi sebesar lebih dari 30%
dari biaya logistik (Ganeshan & Harrison, 1995). Sedangkan menurut Ballou
(1999), pengeluaran biaya untuk transportasi sebesar 1/3 sampai dengan 2/3 dari
total biaya logistik. Oleh karena itu, upaya efisiensi melalui optimalisasi
penggunaan alat transportasi dan personilnya menjadi perhatian penting. Menurut
Nasution (2015) komponen biaya dibedakan menjadi biaya tetap (fixed cost) dan
biaya variabel (variable cost). Biaya tetap adalah biaya yang besarnya tidak
berubah dengan adanya output suatu operasi. Biaya tetap dalam transportasi
7
meliputi biaya modal, biaya sewa atau depresiasi kendaraan, biaya perizinan dan
administrasi dan biaya asuransi. Sedangkan biaya variabel adalah biaya yang
besarnya berubah-ubah menurut perubahan output. Biaya variabel meliputi biaya
bahan bakar, biaya perawatan dan perbaikan, biaya pengemudi, dan biaya retribusi.
Sedangkan menurut Tseng (2004) biaya transportasi meliputi biaya koridor,
kontainer, palet, terminal, pegawai dan waktu.
2.1.2 Keputusan Persediaan dalam Sistem Distribusi dan Transportasi
Sebagai salah satu dari penggerak dasar Supply Chain Management,
keputusan transportasi dan persediaan memiliki peranan penting dalam sebuah
perusahaan khususnya pada kegiatan distribusi. Menurut Perl & Sirisoponsilp
(1988) keputusan transportasi terbagi ke dalam tiga tingkatan yaitu keputusan
strategis, taktis dan operasional. Keputusan strategis transportasi meliputi
keputusan pemilihan mode transportasi, tipe pengangkut (digunakan bersama,
kontrak atau milik sendiri). Keputusan taktis meliputi pemilihan alat pengangkut
dalam mode yang terpilih dan penentuan frekuensi pengiriman. Keputusan
operasional meliputi alokasi muatan ke kendaraan, penjadwalan dan penentuan rute
kendaraan serta penugasan kru. Sedangkan dalam keputusan persediaan terdapat
keputusan strategis dan taktis. Keputusan strategis persediaan meliputi total tingkat
persediaan di sistem dan lokasi persediaan. Sedangkan keputusan taktis meliputi
penentuan ukuran persediaan, tingkat persediaan pengaman dan pengendalian pada
lokasi yang berbeda. Sehingga antara dua keputusan ini mempunyai keterkaitan
yang saling mempengaruhi. Keterkaitan antara dua keputusan tersebut telah
dijabarkan dalam Perl & Sirisoponsilp (1988) dan Jayaraman (1998).
Transportasi telah dikenal sejak dulu sebagai salah satu aktivitas penting
dalam fungsi distribusi fisik. Menurut Andersson, et al. (2010) pentingnya integrasi
antara keputusan transportasi dan persediaan yaitu untuk menjamin tingkat
persediaan agar tidak melebihi batas atas atau kurang dari batas bawah. Karena itu
penentuan kebijakan optimal untuk susunan sistem persediaan adalah keputusan
yang sulit. Beberapa literatur telah mengembangkan integrasi keputusan
transportasi - persediaan seperti dalam Santoso, et al. (2008, 2009) dan Andersson,
8
et al. (2010) dengan tujuan akhir untuk meminimalkan total biaya transportasi dan
persediaan. Baumol & Vinod (1970) merupakan yang pertama mencoba
menentukan pilihan shipper dari pilihan transportasi dalam pasar tunggal dan
hasilnya dipandang sebagai model yang menetapkan total biaya transportasi dan
persediaan yang berhubungan dengan pilihan transportasi.
2.2 Konsep Manajemen Persediaan
Pada setiap perusahaan, baik perusahaan kecil, perusahaan sedang maupun
perusahaan besar, persediaan sangat penting bagi kelangsungan hidup perusahaan.
Menurut Assauri (2004), persediaan merupakan sejumlah bahan-bahan yang
disediakan dan bahan-bahan dalam proses yang terdapat dalam perusahaan untuk
proses produksi, serta barang jadi atau produk yang disediakan untuk memenuhi
permintaan dari customer setiap waktu. Pada prinsipnya persediaan adalah sumber
daya yang menganggur (idle resources) yang keberadaannya menunggu proses
lebih lanjut, maksud lebih lanjut di sini dapat berupa kegiatan produksi seperti yang
dijumpai pada kegiatan manufaktur, kegiatan pemasaran yang dijumpai pada sistem
distribusi maupun kegiatan konsumsi seperti dijumpai pada sistem rumah tangga,
perkantoran dan lainnya (Bahagia, 2006).
Manajemen persediaan adalah kemampuan suatu perusahaan dalam mengatur
dan mengelola setiap kebutuhan barang baik barang mentah, barang setengah jadi
maupun barang jadi agar selalu tersedia baik dalam kondisi pasar yang stabil dan
berfluktuasi (Fahmi, 2012). Persediaan dalam suatu unit usaha dapat dikategorikan
sebagai modal kerja yang berbentuk barang. Keberadaannya tidak hanya dianggap
sebagai beban (liability) karena merupakan pemborosan (waste) tetapi juga
sekaligus dianggap sebagai kekayaan (asset) yang dapat dicairkan dalam bentuk
uang tunai. Karena merupakan sebuah pemborosan, keberadaan persediaan perlu
dieliminasi. Jika tidak memungkinkan untuk dieliminasi maka harus diminimalkan
dengan menjamin bahwa pemenuhan permintaan pemakainya tetap lancar. Secara
ideal persediaan tidak perlu ada, tetapi semua permintaan pemakai harus dapat
dipenuhi pada saat itu juga.
9
Di sisi lain, jika persediaan tidak tersedia atau tersedia dalam jumlah sedikit
dan tidak mencukupi, peluang terjadinya kekurangan persediaan (stockout) akan
semakin besar. Akibatnya, permintaan pemakai tidak dapat dipenuhi sehingga akan
menimbulkan ketidakpuasan pada pemakai. Hal ini mengakibatkan pemakai akan
lari ke usaha lain dan menjadi kerugian bagi perusahaan. Dengan demikian
keberadaan sebuah persediaan dalam suatu unit usaha perlu diatur sehingga
kelancaran pemenuhan permintaan pemakai dapat terjamin dan biaya yang
ditimbulkan menjadi sekecil mungkin. Oleh karena itu, tujuan manajemen
persediaan dapat disimpulkan sebagai melakukan pengelolaan persediaan dengan
tepat, sehingga biaya yang dikeluarkan lebih efisien dapat di saat bersamaan juga
mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada pelanggan dengan cara selalu
memenuhi permintaan.
2.2.1 Komponen Biaya Persediaan
Masalah utama yang ingin dicapai dalam pengendalian persediaan yaitu
meminimalkan total biaya persediaan. Berbagai macam biaya perlu diperhitungkan
pada saat mengevaluasi masalah persediaan. Biaya persediaan dikeluarkan sebesar
20% sampai 40% dari nilai harga (Ganeshan & Harrison, 1995). Dalam bukunya,
Joko (2004), menguraikan biaya-biaya dalam sistem persediaan di antaranya biaya
pengadaan (procurement cost), biaya penyimpanan (holding cost) dan biaya
kekurangan persediaan (stockout cost).
Biaya pengadaan (procurement cost) yaitu komponen biaya yang dikeluarkan
untuk memesan dan mengadakan barang sehingga siap untuk digunakan atau
diproses lebih lanjut. Biaya pengadaan ini meliputi biaya pembelian (purchasing
cost) dan biaya pengadaan barang (procurement cost). Biaya pembelian merupakan
biaya yang dikeluarkan untuk membeli barang. Jumlah barang yang dibeli dan
harga satuan barang tersebut akan berpengaruh terhadap biaya pembelian. Dalam
hal ini biaya pembelian bersifat variabel karena tergantung pada jumlah yang
dipesan. Pada biaya pengadaan barang (procurement cost), jika berdasarkan asal
barangnya, biaya pengadaan dibedakan menjadi dua yaitu biaya pembuatan dan
biaya pemesanan (ordering cost). Biaya pembuatan dikeluarkan jika barang yang
10
dibutuhkan diperoleh dengan cara diproduksi sendiri. Biaya ini timbul di dalam
lingkup pabrik yang meliputi penyusunan peralatan produksi, menyetel mesin,
penyusunan barang di gudang dan lain sebagainya. Sedangkan, biaya pemesanan
yaitu biaya yang dikeluarkan jika barang yang dibutuhkan diperoleh dari pihak luar.
Biaya ini meliputi biaya untuk menentukan supplier, pembuatan pesanan,
pengiriman pesanan, biaya pengangkutan, biaya penerimaan dan sebagainya. Biaya
ini sering diasumsikan konstan setiap kali pesan. Perhitungan biaya pemesanan
ditunjukkan pada rumus (1) berikut (Bahagia, 2006).