17 BAB II LANDASAN TEORI A. Pernikahan a. Pengertian Pernikahan Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluknya-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh- tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya. 23 Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah ( نكاح)yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh ( wathi). Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan, juga untuk arti akad nikah. 24 Sedangkan menurut syara‟ nikah adalah akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan 23 M.A. Tihami, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. 2, 2010), 6. 24 Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. 3, 2008), 7.
72
Embed
BAB II LANDASAN TEORI Pernikahanetheses.iainkediri.ac.id/458/3/BAB II.pdfTentang hukum melakukan perkawinan, Ibnu Rusyd menjelaskan: Segolongan fuqaha‟, yakni jumhur (mayoritas ulama)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
17
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pernikahan
a. Pengertian Pernikahan
Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada
semua makhluknya-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-
tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan
makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.23
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin”
yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis,
melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.
Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah
yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling( نكاح )
memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah”
sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan, juga untuk arti akad
nikah.24
Sedangkan menurut syara‟ nikah adalah akad atau perjanjian yang
mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan
mampu dari segi materil tapi lemah secara batin. Seperti
orang yang lemah syahwat, dan tidak mampu memberikan
nafkah kepada isterinya, walaupun tidak merugikan istri
karena ia kaya dan tidak mempunyai naluri syahwat yang
kuat.37 Juga bertambah makruh hukumnya jika karena lemah
syahwat itu ia berhenti dari melakukan sesuatu ibadah atau
menuntut sesuatu ilmu.38
5) Mubah
Perkawinan yang hukumnya mubah bagi orang yang
mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila
tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan
apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri.
Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk
memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga
kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera.
Hukum mubah ini juga ditujukan bagi orang yang antara
pendorong dan penghambatnya untuk kawin itu sama,
sehingga menimbulkan keraguan orang yang akan melakukan
kawin, seperti mempunyai keinginan tetapi belum
37Al Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan, (Jakarta: Pustaka Amani, Cet. 2, 2002), 8. 38Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 2008), 26.
25
mempunyai kemampuan, mempunyai kemampuan untuk
melakukan tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat.39
c. Rukun dan Syarat Pernikahan
Al-Quran menggambarkan perkawinan itu sebagai perjanjian
antara Allah dengan manusia, serta antara manusia yang terlibat
didalamnya, tentu saja agar perjanjian itu bisa kuat dan saling memuaskan
satu sama lainya.40
Perkawinan merupakan wadah penyaluran kebutuhan biologis
manusia yang wajar dan dengan cara-cara yang terhormat, dan dalam
ajaran Nabi, perkawinan ditradisiskan menjadi sunah beliau. Karena
itulah, perkawinan yang sarat nilai dan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, perlu
diatur dengan syarat dan rukun tertentu, agar tujuan disyariatkanya
perkawinan tercapai.
Sebelum membahas tentang rukun dan syarat perkawinan,
alangkah baiknya diketahui terlebih dahulu istilah dari syarat dan rukun
perkawinan itu sendiri. Rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang
menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu
termasuk dalam rangkaian pekerjaan.41 Rukun sebagai bagian dari sesuatu,
yang sesuatu itu tidak akan terkecuali dengan adanya bagian itu.
Sedangkan syarat adalah sesuatu yang mesti ada dan tidak termasuk dalam
rangkaian pekerjaan.
39Ghazali, Fiqh Munakahat, 21-22. 40Hammudah’ Abd. Al’ Ati, Keluarga Muslim(Surabaya: Bina Ilmu, 1984), 79. 41Ghazaly, Fiqh Munakahat, 45-46.
26
Rukun perkawinan adalah sesuatu yang menjadi sarana bagi
terlaksananya perkawinan atau sesuatu yang menjadikan dapat
dilaksanakanya perkawinan itu bila sesuatu itu ada, jika sesuatu itu tidak
ada maka perkawinan itu tidak akan bisa terlaksana. Akan tetapi bukan
berarti apabila salah satu dari unsur-unsur tersebut sudah ada perkawinan
dapat dilangsungkan, demikian juga sebaliknya jika salah satu rukunya
tidak ada maka perkawinan juga tidak dapat terlaksana.42
Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai syarat dan
rukun perkawinan menurut hukum Islam. Syarat-syarat perkawinan
mengikuti rukun-rukunya.
1) Calon mempelai pria, syarat-syaratnya:
Beragama Islam
Laki-laki
Jelas idenfitasnya
Kedua belah pihak telah setuju untuk menikah dan juga setuju
dengan pihak yang mengawininya.
Tidak terdapat halangan perkawinan43
2) Calon mempelai wanita, syaratnya:
Beragama Islam
Perempuan
Jelas idenfitasnya
42Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan “Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk”(Yogyakarta:
al-Bayan, 1994), 52. 43Kholil Rahman, Hukum Perkawinan Islam (semarang: IAIN Walisongo), 31-32.
27
Kedua belah pihak telah setuju untuk menikah dan juga setuju
dengan pihak yang mengawininya.
Tidak terdapat halangan perkawinan44
3) Wali dari pihak calon pengantin wanita
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai
perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya.45
Wali yang utama adalah kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke
atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kemudian
kelompok kedua yaitu kerabat saudara laki-laki sekandung atau
saudara laki-laki seayah. Kemudian kelompok ketiga terdiri dari
kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara
seayah, dan keturunan lakilaki mereka. Dan kemudian kelompok
yang keempat adalah saudara lakilaki kandung kakek, saudara laki-
laki seayah kakek dan keturunan lakilaki mereka.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang menjadi
wali adalah:
Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau
orang gila tidak berhak menjadi wali.
Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis yang
diriwayatkan Abu Hurairah. Namun ulama Hanafiah dan
Syiah Imamiyah berbeda pendapan tentang hal ini.
44Ibid., 32. 45Muhammad Thalib, 40 Petunjuk Menuju Perkawinan Islami (Bandung: Baitus Salam, 1995), 28.
28
Keduanya berpendapat bahwa perempuan yang telah
dewasa dan berakal sehat dapat menjadi wali untuk dirinya
sendiri dan dapat pula menjadi wali untuk perempuan lain
yang mengharuskan adanya wali.
Muslim, tidak sah orang yang beragama Islam menjadi
wali untuk muslim.
Orang merdeka
Tidak dalam keadaan mendapat pengampuan (mahjur
„alaih). Hal ini karena orang yang berada di bawah
pengampuan tidak dapat berbuat hukum dengan dirinya
sendiri.
Berpikiran baik. Oleh karena itu tidak sah menjadi wali
seseorang yang terganggu pikirannya sebab ketuaannya,
karena dikhawatirkan tidak akan mendatangkan maslahat
dalam pernikahan tersebut.
Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan
tidak sering terlibat dengan dosa kecil serta tetap
memelihara murah dan sopan santun. Hadis Nabi dari
„Aisyah menurut riwayat Al Quthni menjelaslan bahwa
“Tidak sah nikah kecuali bila ada wali dan dua orang saksi
yang adil.”
Tidak sedang melakukan ihram untuk haji atau umrah. Hal
ini berdasarkan hadis Nabi dari Usman menurut riwayat
29
Abu Muslim yang artinya “Orang yang sedang ihram tidak
boleh menikahkan seseorang dan tidak boleh pula
dinikahkan oleh seseorang.”46
4) Dua orang saksi
Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang
kedudukan saksi dalam pernikahan, apakah termasuk rukun
ataukah termasuk syarat dalam pernikahan. Ulama Syafi‟iyah dan
Hanabilah berpendapat bahwa saksi itu adalah termasuk rukun dari
pernikahan. Sedangkan menurut Hanafiyah dan Zahiriyah,47 saksi
merupakan salah satu dari dari syarat-syarat pernikahan yang ada.
Sesuai Firman dalam dalam Al-Quran surat At-Talaq ayat 2:
Artinya:“Maka apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya,
maka rujuklah mereka dengan baik atau lepaskanlah
mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang
46Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, 78. 47Ibid., 82-83.
30
saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu
tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah
pengajaran itu diberikan bagi orang yang beriman kepada
Allah dan hari akhirat. Barang siapa bertakwa kepada
Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar
baginya."
5) Sighat akad nikah
Sighat akad nikah yaitu ijab dan kabul yang diucapkan oleh
wali atau wakilnya dari pihak wanita dan dijawab oleh calon
pengantin laki-laki. Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan
qabul secara lisan, inilah yang dinamakan dengan akad nikah.
Pengecualian bagi orang bisu sahnya perkawinan dengan isyarat
tangan atau kepala yang bias dipahami.48
Ijab adalah pernyataan penawaran dari calon pengantin
perempuan yang diwakili oleh walinya. Hakikat ijab adalah suatu
pernyataan dari perempuan sebagai kehendak untuk mengikatkan
diri dengan seorang laki-laki sebagai suami syah. Sedangkan qabul
adalah bentuk penerimaan dari calon pengantin laki-laki atas ijab
pengantin calon perempuan.49
Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau
wakilnya, sedangkan Kabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau
48Dahlan Idhamy, Asas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam (Surabaya: al- Ikhlas, 1994), 16. 49Sudarsono, Pokok – Pokok Hukum Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 198.
31
wakilnya.50 Ijab dan Kabul dilakukan didalam satu majelis, dan
tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan Kabul yang
merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan masing-
masing ijab dan Kabul dapat didengar dengan baik oleh kedua
belah pihak dan kedua orang saksi.51
Imam Hanafi membolehkan ada jarak antara ijab dan Kabul
asal masih dalam satu majelis dan tidak ada hal-hal yang
menunjukan salah satu pihak berpaling dari maksud akad
tersebut.52 Lafadz yang digunakan untuk akad nikah adalah lafadz
nikah atau tazwij, yang terjemahanya adalah kawin atau nikah.
Sebab kalimat-kalimat itu terdapat dalam kitabullah dan sunnah,
demikian menurut Imam Asya-Syafi’i dan Hanbali.53
Rukun dan syarat-syarat perkawinan tersebut di atas wajib
dipenuhi, apabila tidak terpenuhi maka perkawinan yang
dilangsungkan tersebut tidaklah sah. Disebutkan dalam kitab al-
Fiqh ‘ala al-mazahib al-Arba’ah: “Nikah fasid yaitu nikah yang
tidak memenuhi syarat-syaratnya, sedang nikah batil adalah nikah
yang tidak memenuhi rukunya. Dan hukum nikah fasid dan nikah
batil adalah sama yaitu tidak sah”. Dalam kompilasi hukum Islam
71Sabiq, Fiqih Sunnah, 152. 72Masfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Jakarta: PT. Toko Gunung Jati, 1997), 4. 73Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Tori dan Praktek (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2001),35.
52
Artinya: "Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin
lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu.
dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran".
Ayat di atas ini ditujukan kepada para wali untuk tidak menikahkan
wanita Islam dengan laki-laki bukan Islam. Keharamannya tersebut
bersifat mutlak, artinya wanita Islam secara mutlak haram menikah dengan
53
laki-laki yang bukan beragama Islam, baik laki-laki musyrik atau ahlul
kitab. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa salah satu syarat sahnya
perkawinan seorang wanita Islam adalah pasangannya harus laki-laki
beragama Islam.74
QS al-Maidah: 5
Artinya: "Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu,
dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan
mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-
wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum
kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan
74Chuzaimah T.Yanggo dan Hafiz Anshary (ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer
(Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1996), 5-6.
54
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir
sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka
hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-
orang merugi".
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menghalalkan menerima
makanan dari sembelihan orang ahlul kitab, selain itu juga menjelaskan
tentang perkawinan dengan wanita ahlul kitab. Dalam ayat tersebut,
seorang Muslim diizinkan untuk menikahi wanita ahlul kitab yang sopan
dan merdeka.
Dari uraian diatas dapat diklasifikasikan pernikahan beda agama
sebagai berikut:
1. Pernikahan seorang laki-laki muslim dengan wanita non muslim
musyrik.
Islam melarang perkawinan antara seorang pria muslim
dengan wanita musyrik. Yang dimaksud wanita musyrik ialah
wanita yang menyembah berhala seperti orang-orang musyrik Arab
dahulu dan sebagainya.75 Larangan ini berdasarkan surat al-
Baqarah:221 yang menjelaskan larangan seorang laki-laki muslim
menikahi wanita-wanita musyrik. Di dalam pengertian musyrik
terdapat perbedaan pendapat para ulama', Menurut Ibnu Jarir al-
Thabari, musyrik yang dilarang untuk dinikahi adalah musyrik dari
75Sabiq, Fikih Sunah, 136.
55
bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunnya al-
Qur’an memang tidak mengenal kitab suci dan mereka menyembah
berhala. Dengan demikian berdasarkan pendapat tersebut, seorang
muslim boleh kawin dengan wanita musyrikah dari bangsa non
Arab seperti wanita Cina, India dan Jepang yang diduga dahulu
mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci.76 Akan tetapi
kebanyakan ulama’ berpendapat bahwa semua musyrik baik dari
bangsa Arab ataupun bangsa non Arab selain ahlul kitab, seperti
Yahudi dan Kristen tidak boleh dinikahi. Menurut pendapat ini,
wanita yang bukan Islam dan bukan Yahudi atau Kristen tidak
boleh dinikahi oleh pria muslim apapun agama ataupun
kepercayaannya, karena pemeluk agama selain Islam, Kristen dan
Yahudi itu termasuk kategori musyrik.77 Menurut Syaikh Hasan
Ayyub, kaum musyrikin itu terdiri dari tiga macam: Pertama,
orang yang mempunyai kitab. Kedua, orang yang tidak mempunyai
kitab, dan ketiga ialah orang yang diduga mempunyai kitab. Orang
yang mempunyai kitab ialah orang-orang Yahudi dan Nasrani.78
2. Pernikahan seorang laki-laki muslim dengan wanita non muslim
ahli kitab.
76Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 8. 77Masfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Jakarta: PT. Toko Gunung Jati, 1997), 5. 78Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999),142.
56
Menurut hukum islam pernikahan ini diperbolehkan karena
sudah dijelaskan di dalam al-Qur'an surat al-Maidah ayat 5, yang
artinya adalah Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik.
Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan
Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum
kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir
sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka
hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang
merugi.
Didalam skripsi ini penulis akan membahas pernikahan
seorang laki-laki muslim dengan wanita non muslim ahli kitab
Nasrani. Menurut islam ahli kitab adalah orang-orang yang percaya
kepada Kitabullah. Mereka adalah Yahudi dan Nasrani yang
percaya kepada kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa
dan Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa. Para Fuqaha
membolehkan perkawinan dengan ahlul kitab, karena dalam
sejarah perkawinan tersebut pernah dipraktekkan oleh khalifah
Utsman bin Affan dengan perempuan Nasrani yaitu Nailah binti
57
Qarafishah al-Kalbiah. Akan tetapi menurut Umar bin Khattab,
perkawinan tersebut makruh hukumnya.79
C. Batas Berlakunya Hukum Islam
Pada dasarnya syariat Islam bersifat universal (‘alamiyyah), sedangkan
dari segi pengamalan lebih bersifat regional (iqlimiyyah) tergantung
kewilayahan. Menurut para fuqaha negara atau wilayah dibedakan menjadi
dua yaitu dar as-salam dan dar al-harb. Dar as-salam adalah negara yang
didalamnya berlaku hukum islam sebagai hukum perundang-undangan atau
negara yang penduduknya beragama islam dan dapat menengakan hukum
islam sebagai hukum positif, Dar al-harb adalah semua negara yang tidak
berada dibawah kekuasaan umat Islam, atau yang didalamnya tidak
berlakunya ketentuan-ketentuan hukum islam baik terhadap penduduknya
yang beragama islam, ataupun non muslim.
Kemudian yang menjadi permasalahan adalah apakah syariat Islam
berlaku bagi seluruh penduduk dar as-salam atau hanya berlaku bagi sebagian
penduduknya saja. Kemudian apabila syariat Islam berlaku bagi muslim yang
ada di wilayah kekuasaan Islam, apakah syariat Islam juga berlaku bagi
muslim yang di dar al-harb. Bagaimana pendapat madzhab Syafi'i dan
Menurut madzhab Syafi'i pernikahan yang di langsungkan di luar
negeri/ di negara non islam sah, asalkan pernikahan itu dilakukan secara
islam atau dengan syariat islam. Karena menurut madzhab Syafi'i seorang
muslim akan terikat pada hukum islam/syariat islam dimana pun ia
berada,sebab keislamanya86 Pendapat ini berbeda dengan pendapat madzhab
Hanafi, menurutnya pernikahan ini tidak sah karena pernikahan ini tidak di
akui hukum islam. Sebab menurut madzhab Hanafi hukum islam tidak bisa
diterapkan kepada orang islam yang di luar negara islam karena tidak terikat
keislamanya.87
Berbeda dengan syari’at Nabi-nabi sebelumnya yang bersifat lokal
dan temporal,syari’at Islam yang di bawah oleh Nabi Muhammad SAW
bersifat internasional dan kekal hingga akhir zaman88. Dengan kata lain
syari’at islam bersifat universal melintasi batas-batas ruang dan waktu.
Syari’at Islam adalah syari’at Internasional, bukan untuk golongan atau
bangsa saja bukan pula untuk suatu benua tertentu.89 Oleh karena itu syari’at
Islam ditunjukkan kepada orang-orang muslim maupun bukan muslim,
kepada penduduk Islam atau non Islam. Akan tetapi karena tidak semua orang
percaya kepada syari’at Islam, tidak mungkin dipaksakan. Sedangkan syari’at
Islam hanya dapat diterapkan di negeri-ngeri yang berada di tangan kaum
muslimin. Dengan demikian berlakunya syari’at Islam berhubungan erat
dengan kekuasaan dan kekuatan kaum kaum muslimin. Dalam artian bahwa
86Ash-Shiddieqy, Hukum antar, 16. 87Ibid, 16. 88http://generasimujahid.multiply.com/journal/item/4/makalahQ/ 21/08/09/21.30 WIB. 89A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 106.
61
semakin luas daerah yang dikuasai, semakin luas pula daerah berlakunya
syari’at itu, dan sebaliknya.
E. Waris
a) Pengertian Waris
Kata Waris adalah bentuk isim fa'il dari kata: Waritsa-Yaritsu-
Irtsan-Fahuwa Waritsun yang bermakna orang yang menerima waris.
Kata- kata itu berasal dari kata Waritsa yang bermakna perpindahan harta
milik atau perpindahan pusaka.90 Sehingga secara istilah berpindahnya hak
milik dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang hidup, baik
yang ditinggalkan itu berupa harta, kebun atau hak-hak syariyah.91
Waritsa adalah orang yang mewarisi. Muwarrits adalah orang yang
memberikan waris (mayit). Al-Irts adalah harta warisan yang bisa dibagi.
Warsah adalah harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris. Tirkah
adalah semua harta peninggalan orang yang meninggal.92
Dalam istilah hukum Islam, waris disebut juga dengan fara'idh
artinya bagian yang tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada
semua yang berhak menerima.93 Sedangkan menurut Kompilasi Hukum
Islam (KHI) Pasal 171 Ayat 1, yang dimaksud dengan Hukum Waris
adalah hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak
menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing.
90Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007) , 1. 91Ash-Shabuni, Hukum Waris Islam (Surabaya: Al-Ikhlas,1995), 49. 92Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris,1. 93Samsul Falah, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 169.
62
Para fuqaha mendefinisikan hukum waris Islam sebagai suatu ilmu
yang dengan dialah dapat kita ketahui orang yang menerima pusaka, orang
yang tidak menerima pusaka, serta kadar yang diterima tiap-tiap ahli waris
dan cara membaginya. Definisi tersebut menekankan dari segi orang yang
mewaris, orang yang tidak mewaris, besarnya bagian yang diterima oleh
masing-masing ahli waris, serta cara membagikan warisan kepada ahli
waris.94 Sumber utama dari hukum Islam, sebagai hukum agama (Islam)
adalah nash atau teks yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunah Nabi
b) Dasar Hukum Waris
Masalah kewarisan merupakan masalah yang paling sempurna
dikemukakan oleh al-Qur‟an, bahkan dapat dibilang tuntas. Nash-nash
yang menjadi dasar hukum atau dalil-dalilnya. Menurut firman Allah swt
tentang kewarisan terdapat dalam surat an-Nisa ayat 7, 8, 11, 12, 33, dan
176 dan surat al-Anfa ayat 72 dan 75, serta surat al-Ahza ayat 6.
an-Nisa ayat 7:
94Rachmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1999), 1.
63
Artinya : Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.
An-Nisa ayat 8:
Artinya : Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim
dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu
(sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
baik.
an-Nisa ayat 11:
64
Artinya: “Allah menshari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu : bagian seorang anak lelaki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu
seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua
orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak,
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.
65
ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.
an-Nisa ayat 12:
Artinya : Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak,
Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat
atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh
66
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para
isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau
(dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara
perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-
saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang
dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan
yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari
Allah, dan Allah maha mengetahui lagi maha Penyantun.
An-Nisa ayat 33:
Artinya : Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan
ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-
67
pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah
bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka
bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala
sesuatu.
An-Nisa ayat 176:
Artinya : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah
(yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai
anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai
anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi
keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
68
meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari)
Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang
saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya
kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Dasar hukum waris Nasional, ada beberapa pilihan yang dapat
dijadikan landasan pembagian harta waris oleh masyarakat di Indonesia,
yaitu:
1. Menggunakan hukum adat, hukum adat pada umumnya bersandar
pada kaidah sosial normatif dalam cara berfikir yang konkret, yang
sudah menjadi tradisi masyarakat tertentu. Salah satunya,
masyarakat Minangkabau yang membagi harta waris dengan
hukum adat, yang secara subtansi sumber utama dari hukum adat
itu sendiri adalah syariat Islam. Oleh karena itu dalam doktrin
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tazhiz), pembayaran utang, dan
pemberian untuk kerabat.
c) Rukun dan Syarat Waris
1. Rukun Waris
Pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia, yang hartanya
diwarisi oleh ahli warisnya. Istilah pewaris ini, dalam Islam
sering pula disebut Muwarits.
Ahli waris, yaitu orang yang mendapatkan warisan dari pewaris,
baik karena hubungan kekerabatan maupun karena perkawinan.
Warisan, yaitu sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang
meninggal dunia, baik berupa benda bergerak maupun benda tak
bergerak. Dalam istilah Islam tersebut sering pula disebut dengan
irts, mirats, turats dan tirkah97
2. Syarat - syarat Waris
Meninggalnya orang yang mewariskan, baik meninggal menurut
hakikat maupun menurut hukum.
Ahli waris betul-betul masih hidup, ketika orang yang
mewariskan meninggal dunia.
Diketahui jahatnya dalam mewarisi, atau posisi penerima
warisan diketahui dengan jelas.98
d) Asas - asas dalam Kewarisan
97 Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris,12. 98Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), I, 34.
71
Pembagian waris tidak mungkin terlepas dari asas-asas kewarisan,
yang sumbernya digali dari sunnah nabi Muhammad SAW. Asas-asas
yang dimaksud dapat diklasifikasikan sebagai berikut :99
1. Asas Ijbari
Secara etimologis ijbari mengandung arti paksaan atau
compulsory, yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Dalam
hukum waris berarti terjadi peralihan harta seseorang yang telah
meninggal dunia kepada yang masih hidup dengan sendirinya.100
Dalam literatur lain disebutkan, bahwa, yang dimaksud dengan ijbari
adalah berpindahnya harta warisan dari pewaris kepada ahli waris
secara otomatis yang bagiannya sesuai dengan yang telah ditetapkan
Allah SWT.101 Tidak ada yang dapat mengganggu atau menentang
bagian yang telah ditetapkan kepada ahli waris tersebut.
Asas ijbari dapat dilihat dari beberapa segi yaitu yang pertama dari
segi pengalihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia,
dan yang kedua dapat dilihat dari segi jumlah harta yang telah
ditentukan bagi masing-masing ahli waris. Dan unsur ijbari lain yang
terdapat dalam hukum kewarisan Islam adalah penerima harta
peninggalan sudah ditentukan dengan pasti yakni mereka yang
mempunyai hubungan darah dan ikatan perkawinan dengan pewaris.102
99Suhrawardi K. Lubis, Hukum Waris Islam (Jakarta; Sinar Grafika, 1995), I, 35. 100Ibid., 37. 101Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, 17-18. 102Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1997), 143.
72
Asas ijbari ini terdapat dalam pasal 187 Kompilasi Hukum Islam ayat
(2) yang berbunyi “Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah
merupakan harta waris yang harus dibagikan kepada ahli waris yang
berhak”. Kata harus yang terdapat dalam pasal ini menunjukkan
kepada asas ijbari. Mengenai siapa saja yang berhak menjadi ahli
waris terdapat dalam pasal 174 ayat (1) dan (2), serta bagian masing-
masing ahli waris dinyatakan dalam pasal 176 sampai dengan pasal
182.
2. Bilateral
Menurut asas ini, kedua belah pihak dari kerabat keturunan laki-
laki, maupun kerabat keturunan perempuan berhak untuk mendapatkan
harta warisan.103 Tidak satu pihak saja yang mendapatkan hak, seperti
pada masyarakat matrilineal serta patrilineal di Indonesia. Asas
bilateral, disebutkan pula di dalam pasal 174 ayat (1) mengenai
kelompok-kelompok ahli waris.
3. Individual
Individual dalam asas ini adalah bahwa harta yang diterima oleh
ahli waris dapat dia miliki secara individu sesuai dengan bagiannya
masing-masing.104 Jadi, sistem kewarisan kolektif tidak dikenal di
dalam Islam, karena seorang ahli waris mempunyai hak penuh
103Ibid., 19-20. 104Ibid., 21-23.
73
terhadap harta warisannya. Asas individual ini tercermin dalam pasal
176 sampai pasal 182 mengenai besarnya bagian ahli waris dan pasal
184 mengenai wali bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak
mampu melaksanakan hak dan kewajibannya.
4. Keadilan berimbang
Harus adanya keseimbangan antara hak dengan kewajiban dalam
penerimaan harta warisan.105 Di dalam Alquran disebutkan nilainya
yaitu 2:1 antara lelaki dengan perempuan. Umur bukanlah menjadi
faktor yang membedakan ahli waris. Dalam hubungannya dengan
materi, keadilan itu bermakna keseimbangan antara kewajiban dan
hak. Hak atau bagian yang diterima ahli waris berimbang dengan
perbedaan tanggung jawab atau kewajiban masing-masing terhadap
keluarga.106 Dilihat dari segi kebutuhan sesaat terlihat bahwa kesamaan
jumlah penerimaan anak kecil dengan orang dewasa tidaklah adil,
peninjauan kebutuhan bukan hanya bersifat sementara tetapi juga
dalam waktu yang lama.107 Asas keadilan berimbang, terdapat di dalam
pasal yang membahas tentang besarnya bagian yang diperoleh, yaitu
pasal 176 sampai pasal 180.
5. Kewarisan Semata karena Kematian
Tanpa adanya peristiwa kematian, tidaklah berlaku hukum waris.
Tidak ada yang disebut pewaris, harta warisan, maupun ahli waris.
Dalam hukum kewarisan di Indonesia, terdapat tiga sistem yang
105Lubis, Hukum Waris, 37. 106Ali, Hukum Islamdan Peradilan Agama, 146. 107Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, 27.
74
berlaku yaitu kewarisan individual, kolektif, serta mayorat. Individual
bercirikan adanya pembagian harta kepada orang-orang yang berhak
baik dalam sistem pembagian pada masyarakat patrilineal ataupun
masyarakat bilateral.108 Asas ada yang meninggal dunia, terdapat
dalam pasal 171 pada bab ketentuan umum.
Dilihat dari asas-asas yang terdapat di dalam Kompilasi Hukum
Islam di atas, jelaslah bahwa terdapat persamaan di antara asas-asas
tersebut dengan asas-asas yang terdapat di dalam Alquran dan hadis.
Dalam sistem kewarisan kolektif, harta warisan dimanfaatkan secara
produktif terutama bagi mereka yang membutuhkan. Biasanya harta
yang diwariskan berbentuk harta pusaka.109 Apabila hukum waris
Islam akan diterapkan dalam sistem kewarisan ini, maka di antara ahli
waris bisa terjadi perdamaian. Sedangkan dalam sistem kewarisan
mayorat, anak tertualah yang menguasai seluruh harta warisan.110
e) Sebab - sebab Kewarisan
Menurut hukum waris Islam ada tiga hal atau sebab seorang ahli waris
bisa menerima warisan dari pewarisnya yaitu:
Hubungan Kekerabatan ( al-Qarabah)
Yang dimaksud hubungan kekerabatan disini adalah ada
suatu hubungan darah atau keluarga dari si muwarrits. Hubungan
108Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan , 78. 109Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1997), 7. 110Ibid., 7-8.
75
kekerabatan ini menimbulkan hak mewaris jika salah satu anggota
keluarga meninggal dunia. Seperti contoh anak, cucu, bapak, ibu
dan lain sebagainya. Hubungan kekerabatan yang paling dekat
dialah yang paling banyak menerima harta muwarrits.
Hubungan Pernikahan (al-Musaharah)
Yang dimaksud disini hubungan pernikahan ini terjadi
setelah dilakukannya akad nikah yang sah dan terjadi antara suami-
istri sekalipun belum terjadi persetubuhan. Adapun suami-istri yang
melakukan pernikahan tidak sah tidak menyebabkan adanya hak
waris. Tetapi jika istri tersebut dalam keadaan ditalak raj'i ( yang
masih memungkinkan untuk rujuk) selama masa iddah, suaminya
meninggal dunia, maka istri tersebut berhak mendapatkan waris
dari suaminya.
Hubungan Karena Al-Wala
Al-Wala’ adalah pewarisan karena jasa seseorang yang telah
memerdekakan seorang hamba kemudian budak itu menjadi kaya.
Jika orang yang dimerdekakan itu meninggal dunia, orang yang
memerdekakannya berhak mendapat warisan. Dengan adanya
hubungan tersebut, seorang tuan menjadi ahli waris dari budak
yang dimerdekakannya, dengan syarat budak tersebut tidak
mempunyai ahli waris sama sekali baik karena hubungan
kekerabatan maupun karena perkawinan.111
111Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu ,13-14.
76
f) Penghalang Warisan
Ada tiga macam seorang penerima waris terhalang atau tidak bisa
menerima harta warisan dari ahli waris yaitu:
Perbudakan
Seorang budak adalah milik dari tuannya secara mutlak,
karena ia tidak berhak untuk memiliki harta, sehingga ia tidak
berhak untuk memiliki harta, dan ia tidak bisa menjadi orang yang
mewariskan dan tidak akan mewarisi dari siapapun.112 Dan Islam
sangat tegas tidak menyetuji perbudakan, sebaliknya menganjurkan
agar setiap budak dimerdekakan. Perbudakan menjadi penghalang
mewarisi bukan karena status kemanusiaanya, tetapi karena ia
dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum.113 Dasar yang
dijadikan perbudakan menjadi penghalang dalam kewarisan adalah
firman Allah SWT dalam surat an-Nahl ayat 75:
……..
Artinya: “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba
sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap
sesuatupun...”
Dari ayat di atas seorang budak tidak dapat mendapatkan hak waris
atau mewariskan hartanya kepada ahli warisnya adalah karena:
112Amin Husain Nasution, Hukum Kuarisan Suatu Analisis Komperatif Pemikiran Mujtahid Dan
Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada ,2012), 82. 113Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu, 15.
77
1) Ia dipandang tidak cakap mengurusi harta milik, jika ia
mendapat harta waris dari kerabat-kerabatnya maka harta
tersebut secara otomatis jatuh kepada tuannya.
2) Status kekeluargaannya terhadap kerabat-kerabatnya sudah
terputus.114
Perbudakan sebagai penghalang waris memang banyak disebutkan
dalam kitab-kitab fikih, akan tetapi menurut Dr. Muhammad Yusuf
Musa seharusnya perbudakan tidak dicantumkan dalam hal-hal
yang menjadi penghalang waris karena pada saat ini perbudakan
sudah tidak ada lagi dantidak perlu lagi untuk dibahas.115
Perbedaan Agama
Seseorang terhalang untuk mewarisi, apabila antara ahli
waris dan muwarrits(penerima warisan) berbeda agama. Artinya
seorang muslim tidaklah mewarisi dari yang bukan muslim, begitu
pula sebaliknya seorang yang bukan muslim tidaklah mewarisi dari
seorang muslim. Menurut jumhurul ulama’ fiqih, yang menjadi
ukuran dalam penetapan perbedaan agama adalah pada saat
meninggal orang yang mewariskan. apabila meninggal seorang
muslim, maka ia terhalang mendapat warisan walaupun kemudian
ia masuk islam agama islam sebelum pembagian harta warisan di
laksanakan.116
114Fatchur Rahman, Ilmu Waris (Bandung: Al-Ma’arif, 1994), 95 115Muhammad Yusuf Musa, at-Tirkah wa al-Miras fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Ma’rifah, 1967),164. 116Dra. Elbi Hasan Basri, M.Ag, Hukum Mawaris Dalam Islam,(Ar-Raniry Pers IAIN Ar-Raniry
Darussalam: Banda Aceh, 2007)I, 31.
78
Jumhur Ulama berpendapat demikian, termasuk keempat
imam mujtahid. Hal ini berbeda pendapat dengan sebagian ulama
yang mengaku bersandar pada Mu’adz bin Jabbal r.a. yang
mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir,
tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka
adalah Islam ya’lu wa la yu’la ‘alaihi (unggul, tidak ada yang
mengunggulinya).117
Rabiah Ibnu Abdul Aziz dan Ibnu Abi al-lail mengatakan
bahwa “jika seseorang muslim telah murtad maka hartanya tidak
bisa diwariskan oleh ahli warisnya orang muslim, oleh karena itu
hartanya menjadi hak umat Islam yang ditempatkan di baitul maal.
Bahkan al-Zarqani mengatakan bahwa hadist Usamah bin Zaid
telah menjadi kesepakatan ulama terdahulu dan diikuti oleh ulama-
ulama yang datang kemudian. Tidak ada perselisihan di antara
mereka.
Ibnu Hazm juga mengatakan bahwa orang murtad dengan
orang kafir sama, hal itu berdampak juga pada persamaan
pewarisan keduanya. Semua harta yang telah diperoleh setelah
murtad otomatis menjadi hak umat Islam dan diserahkan kepada
baitul mal baik Ia meninggal dalam keadaan murtad, dibunuh atau
bergabung di negara musuh. Kecuali orang itu bertaubat dan
117Muhammad Ali ash-Shabuni, Hukum Waris Dalam Syari’at Islam (Bandung: CV. Diponegoro,
1995), 53.
79
kembali masuk Islam maka hartanya kembali menjadi haknya dan
menjadi hak ahli warisnya yang muslim.
Sedangkan Al-Qurtubi dan Al-Kiya Al-Harrasi berpendapat
tidak berbeda dengan pendapat umumnya para ulama di atas,
menurutnya status orang murtad dengan orang kafir dalam masalah
kewarisan yaitu bahwa mereka terhalang untuk saling mewarisi
dengan ahli warisnya yang muslim. Mereka melandaskan
pendapatnya pada hadist Usamah Ibn Zaid Ibnu Kahab yang
menerangkan tentang cakupan hadistnya bersifat orang kafir secara
umum, baik karena kafir karena sebab murtad dan ataupun bukan
karena murtad.118
Pembunuhan
Seseorang yang membunuh ahli warisnya atau seseorang
yang membunuh orang lain (dengan cara) yang tidak di benarkan
oleh hukum, maka ia tidak dapat mewarisi harta yang terbunuh itu.
Ketentuan ini mengandung kemaslahatan agar orang tidak
mengambil jalan pintas untuk mendapat harta warisan dengan
membunuh orang yang mewariskan.119
Ada perbedaan di kalangan ulama mengenai penentuan jenis
pembunuhan. Mazhab Hanafi menentukan bahwa jenis
pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semnua
jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat. Sedangkan 118Abdullah Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah : Wacana Kebebasan Sipil, HAM dan
Hubungan Internasional dalam Islam (Jogjakarta; LkiS, 1990), 337. 119Ibid, 29-30.
80
mazhab Maliki berpendapat bahwa hanya pembunuhan yang
disengaja atau yang direncanakan saja yang bisa masuk dalam
kategori menggugurkan hak waris. Golongan Hambali menilai,
pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah
setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya untuk
diqishash. Dan menurut pendapat mazhab Syafi’i, pembunuhan
dengan segala cara dan macamnya tetap akan menjadi penggugur
dari hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam
pelaksanaan hukuman.120
F. Kewarisan Beda Agama
Dalam hukum waris Islam, perbedaan agama merupakan salah satu
penghalang dalam memperoleh warisan. Yang dimaksud dengan perbedaan
agama ialah perbedaan keyakinan/kepercayaan antara pewaris dan ahli waris,
yang mana keduanya sama-sama mempertahankan kepercayaannya.121
Definisi tersebut memberikan arti bahwa seorang muslim tidak bisa mewarisi
non muslim, begitu juga sebaliknya. Sedangkan perbedaan madzhab, sekte
dan aliran yang terdapat dalam agama Islam, menurut kesepakatan seluruh
fuqaha tidak bisa dimasukkan dalam kriteria perbedaan agama. Jadi meskipun
perbedaan tersebut terjadi tidak ada larangan untuk saling mewarisi, karena
perbedaan tersebut masih bersumber dari satu agama yaitu agama Islam.122
120Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, 43. 121Ibid, 53. 122Fatchur Rahman, Ilmu Waris (Bandung: Al-Ma’arif, 1994), 95
81
Adapun agama, kepercayaan dan aliran keagamaan yang bersumber selain
dari agama Islam masih diperselisihkan oleh para ulama’, apakah agama atau
kepercayaan tersebut dianggap sebagai satu agama atau beberapa agama yang
masing-masing berdiri sendiri. Menurut ulama’ Hanafiyah, Syafi’iyah dan
Imam Abu Daud, agama dan kepercayaan yang bersumber dari selain agama
Islam dianggap sebagai satu agama. Sebab pada hakikatnya mereka
mempunyai kesatuan prinsip yaitu menserikatkan Tuhan Allah. Sedangkan
Imam Malik dan Ahmad, berpendapat bahwa diluar agama Islam terdapat
bermacam-macam agama dan kepercayaan yang masing-masing agama
berdiri sendiri.123 Dalam hal kewarisan beda agama, masih terjadi perdebatan
dikalangan para fuqaha. Semua ulama’ sepakat bahwa orang muslim dan
orang kafir tidak bisa saling mewarisi. Larangan tersebut berdasarkan hadits
riwayat Bukhari- Muslim, yakni: “Orang Islam tidak mendapat warisan dari
harta orang kafir, dan orang kafir tidak mendapat warisan dari harta orang
Islam”. Akan tetapi sebagian ulama’ berpendapat lain, orang Islam boleh
menerima warisan dari orang kafir, tapi orang kafir tidak boleh menerima
warisan dari orang Islam. Mereka berargumentasi bahwa agama Islam lebih
tinggi dan ketinggiannya tidak dapat diungguli. Pendapat ini dikutip dari
riwayat Mu’adz bin Jabal.124
Sedangkan untuk orang murtad, sebagian ulama’ berpendapat bahwa
murtad (orang yang keluar dari agama Islam) termasuk ke dalam golongan
yang tidak berhak mendapatkan warisan, karena murtad termasuk kriteria
123Ibid, 96 124Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, 50.
82
berbeda agama, hal ini berdasarkan ijma’ ulama’. Untuk kewarisan bagi
kerabat orang murtad yang muslim, para ulama’ masih berbeda pendapat.
Jumhur fuqaha termasuk Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat
bahwa orang Islam tidak boleh menerima warisan dari orang murtad, karena
tidak ada warisan dari orang Islam dengan orang Kafir. Dengan murtadnya
seseorang, berarti orang tersebut keluar dari agama Islam dan sudah menjadi
orang kafir. Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa harta orang murtad bisa
diwariskan kepada ahli waris yang muslim. Pendapat ini berdasarkan riwayat
Abu Bakar, Ali dan Ibnu Mas’ud.125
Dari penjelasan di atas dapat kewarisan dari orang yang berlainan agama
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Orang kafir mewarisi orang Islam
Jumhur ulama’ sepakat bahwa orang kafir tidak dapat mewarisi orang
Islam lantaran lebih rendah derajatnya daripada orang
Islam,126sebagaimana dalam surat an-Nisa’ ayat 141:
125Ibid, 54 126Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, 541.
83
Artinya: “dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-
orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”.
Orang Islam mewarisi orang kafir
Ulama’-ulama’ termasyhur dari golongan sahabat, tabi’in dan
Imam madzhab empat berpendapat bahwa orang Islam tidak dapat
mempusakai orang kafir. Fuqaha Imamiyah berbeda pendapat, menurut
beliau larangan mempusakai karena perbedaan agama tidak mencakup
larangan bagi orang Islam yang mewarisi kerabatnya yang non
muslim.127
Orang kafir mewarisi orang kafir
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i beranggapan bahwa agama
mereka dianggap sebagai satu agama sehingga mereka dapat saling
mewarisi satu sama lain,128 baik perbedaan agama dan kepercayaannya,
seperti Yahudi dengan Nasrani dan Budha dengan Zoroaster. Akan tetapi
Imamiyah mensyaratkan bahwa kebolehan saling mewarisi apabila
diantara mereka tidak ada pewaris yang muslim. Sedangkan Imam
Ahmad, Imam Malik dan Imam Marzuq (aliran Malikiyah) berpendapat
bahwa mereka tidak bisa saling mewarisi, karena diluar agama Islam
merupakan agama yang berdiri sendiri.
Orang murtad mewarisi orang yang tidak murtad
127Ibid, 541. 128Ibid., 543.
84
Seluruh ulama’ telah sepakat bahwa orang murtad tidak bisa
mewarisi harta peninggalan keluarganya, baik dari keluarga muslim dan
orang kafir. Larangan mewarisi dari keluarga muslim, karena orang
murtad lebih rendah derajatnya daripada keluarga muslim. Sedangkan
larangan untuk orang murtad dengan orang kafir, karena orang murtad
dianggap tidak mempunyai agama, sedangkan orang kafir dianggap
mempunyai agama sesuai dengan kepercayaanya. Dengan demikian
orang murtad tidak dianggap sebagai pengikut suatu agama.129
Orang yang tidak murtad mewarisi orang murtad
Tidak ada perbedaan pendapat diantara fuqaha tentang harta milik
orang murtad yang diperoleh setelah riddah (murtad) yaitu ditaruh di kas
perbendaharaan negara Islam. Aliran az-Zaidiyah, Abu Yusuf dan
Muhammad tidak membedakan orang murtad laki-laki dan perempuan.
Oleh karena itu harta benda setiap orang murtad yang didapat sebelum
mati atau diputuskan telah menggabungkan diri kepada musuh, walaupun
harta tersebut diperoleh setelah riddah, maka harta tersebut menjadi hak
ahli waris yang beragama Islam. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan
Imam Ahmad, harta benda orang murtad itu harus ditahan di kas
perbendaharaan negara Islam, baik harta yang diperoleh sesudah maupun
sebelum putusan bahwa ia telah menggabungkan diri kepada musuh.130
G. Kedudukan Anak Dalam Kewarisan
a. Pengertian Anak
129Rahman, Ilmu Waris., 102 130Ibid, 104-105.
85
Salah satu tujuan syariat Islam adalah memelihara kelangsungan
keturunan. Anak merupakan keturunan dan hasil dari perkawinan sepasang
suami istri. Anak adalah karunia Allah, ia merupakan buah hati dan tempat
bergantung dihari tua serta penerus cita-cita orang tua. Dalam kamus besar
bahasa Indonesia, anak bisa diartikan sebagai keturunan yang kedua,
manusia yang masih kecil, dan orang yang berasal dari atau dilahirkan di
suatu negeri, daerah, dan sebagainya.131 Kata walad dalam al-Qur’an
menunjukkan anak laki-laki dan anak perempuan. Pada dasarnya, yang
dimaksud anak disini ialah anak kandung.
Anak kandung adalah anak yang lahir dari kandungan ibu dan ayah
kandungnya. Kedudukan anak kandung dalam kewarisan dipengaruhi oleh
pernikahan yang dilakukan oleh orang tuanya. Jika pernikahan kedua
orang tuanya sah, maka anak tersebut sah sebagai ahli waris,sedangkan
apabila pernikahannya tidak sah maka anak juga tidak sah.132 Yang
dimaksud dengan anak tidak sah (yang sering disebut dengan istilah
setempat anak kampang, anak haram jadah, anak kowar dan sebagainya)133
adalah anak yang lahir dari perbuatan orang tua yang tidak mentataati
ketentuan agama atau anak yang lahir dari perbuatan zina kedua orang
tuanya.
b. Kedudukan Anak dalam Kewarisan
131Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tanpa Kota: Balai