11 BAB II LANDASAN TEORI A. Kekerasan (Violence) Pada saat ini, masalah kekerasan di negeri ini ternyata tidak hanya milik preman (yang selalu di identikan dengan kekerasan) tetapi juga siswa, dari tawuran antar sekolah, pacaran dengan kekerasan, dan sebagainya. Beberapa hal bisa dicermati dalam banyak kasus kekerasan yang mewarnai dunia pendidikan berkaitan dengan proses belajar sosial. Menurut Kamus Sosiologi, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda (Soekanto, 1999). Di dalam KUHP, pengertian kekerasan diatur dalam Pasal 89 KUHP yang menyatakan bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Secara bahasa, kekerasan (violence) dimaknai Mansour sebagai serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang (dalam Fakih, 1996). Sementara menurut Galtung, terminologi kekerasan atau violence berasal dari bahasa latin vis vis yang berarti daya atau kekuatan dan latus yang berarti membawa sehingga bisa diartikan secara harfiah sebagai daya atau kekuatan untuk membawa (dalam Warsana, 1992). Manusia cenderung melakukan repetisi terhadap perilaku orang disekitarnya, terutama perilaku yang dipersepsikan dapat memberikan keuntungan bagi pelakunya atau sebagai pemecahan masalah yang efisien.
24
Embed
BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1680/3/T1_132007023_BAB II.pdf · akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. ... Banyaknya
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kekerasan (Violence)
Pada saat ini, masalah kekerasan di negeri ini ternyata tidak hanya
milik preman (yang selalu di identikan dengan kekerasan) tetapi juga siswa,
dari tawuran antar sekolah, pacaran dengan kekerasan, dan sebagainya.
Beberapa hal bisa dicermati dalam banyak kasus kekerasan yang mewarnai
dunia pendidikan berkaitan dengan proses belajar sosial.
Menurut Kamus Sosiologi, kekerasan adalah penggunaan kekuatan
fisik secara paksa terhadap orang atau benda (Soekanto, 1999). Di dalam
KUHP, pengertian kekerasan diatur dalam Pasal 89 KUHP yang menyatakan
bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan
menggunakan kekerasan. Secara bahasa, kekerasan (violence) dimaknai
Mansour sebagai serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun
integritas mental psikologis seseorang (dalam Fakih, 1996). Sementara
menurut Galtung, terminologi kekerasan atau violence berasal dari bahasa
latin vis vis yang berarti daya atau kekuatan dan latus yang berarti membawa
sehingga bisa diartikan secara harfiah sebagai daya atau kekuatan untuk
membawa (dalam Warsana, 1992).
Manusia cenderung melakukan repetisi terhadap perilaku orang
disekitarnya, terutama perilaku yang dipersepsikan dapat memberikan
keuntungan bagi pelakunya atau sebagai pemecahan masalah yang efisien.
12
Pemberitaan di televisi dan media cetak tentang bagaimana aksi kekerasan dan
akibatnya yang terjadi di berbagai tempat, mungkin saja menyebabkan
terjadinya peniruan perilaku itu oleh para siswa. Observasi langsung para
pelaku kekerasan terhadap kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh
angkatan-angkatan sebelumnya di tahun-tahun yang lalu kemudian ditiru oleh
siswa pada saat ini karena dianggap sebagai solusi efektif dalam memecahkan
suatu masalah. Proses belajar seperti itu dimungkinkan karena pengaruh
penguatan (reinforcement), baik berupa tiadanya punishment maupun reward
(Setyawati, 2010).
Jika siswa mengobservasi bahwa aksi kekerasan yang terjadi di
lingkungan sekolahnya tersebut tidak mendapatkan hukuman (baik oleh
kepala sekolah, guru maupun pihak berwajib), maka aksi yang sama akan
dilakukan oleh siswa di masa sekarang dan akan datang. Tidak ada ketegasan
dalam menerapkan aturan main yang seharusnya menjadi kesepakatan
bersama menimbulkan kecenderungan untuk melakukan kegiatan yang
melawan hukum dan dapat membentuk persepsi yang buruk terhadap
penegakan hukum. Jika siswa percaya bahwa melakukan kekerasan tidak akan
mendapatkan hukuman, maka siswa akan cenderung menggunakan kekerasan
untuk memperjuangkan kepentingannya dan mengaplikasikannya di
kehidupan sehari-hari dalam berinteraksi dengan orang lain sebagai suatu hal
yang tidak lagi tabu. Terutama ketika berinteraksi dengan orang-orang
terdekatnya seperti pacar atau keluarga (Setyawati, 2010).
13
B. Pacaran
Pacaran dapat diartikan sebagai hubungan khusus dengan lawan jenis
yang melukiskan sebuah pola ketertarikan antartubuh yang melibatkan
segenap emosi, jiwa dan raga. Makna asli pacaran berdasarkan etimologinya
adalah persiapan menikah. Menurut Kamus Bahasa Portugis-Brazil pacaran
atau yang lebih dikenal dengan istilah “namoro” adalah suatu kegiatan yang
menyangkut hubungan antar individu untuk mencoba saling menjajagi
perasaan dan atau secara seksual antara dua orang, melalui pertukaran
pengalaman dan hidup bersama guna saling lebih membina kecocokan dalam
berumah tangga (Mustika, 2009).
Menurut Duval dan Miller (1985), pacaran adalah hubungan antara
laki-laki dan perempuan yang diwarnai keintiman. Keduanya terlibat dalam
perasaan cinta dan saling mengakui pasangan sebagai pacar. Adapun
komponen utama dari pacaran diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Bertemu di suatu tempat yang telah ditetapkan bersama untuk berkasih-
kasihan
2. Dilakukan dengan kekasih atau teman lain jenis yang tetap
3. Perilaku menyenangkan yang diinginkan oleh pasangannya yang lain.
Straus (2004) mendefinisikan pacaran sebagai hubungan khusus yang
melibatkan pertemuan untuk berinteraksi sosial dan melakukan aktivitas
bersama-sama dengan maksud yang eksplisit ataupun implisit untuk
melanjutkan hubungan tersebut hingga salah satu pihak mengakhiri atau
sampai beberapa hubungan lain yang lebih berkomitmen dipelihara (misalnya,
14
pertunangan, atau pernikahan). Norma-norma sosial untuk berpacaran dan
perilaku berpacaran sebenarnya berbeda menurut banyak dimensi, yang
meliputi perbedaan individu, ras/ etnis dan perbedaan kelompok sosial
ekonomi, sejarah, dan konteks budaya. Di samping perbedaan-perbedaan ini,
ada juga beberapa persamaan struktural yang melekat; sebagai contoh, sebuah
hubungan khusus biasanya menghabiskan watu dan tenaga dari masing-
masing pihak. Oleh karena itu, proses interaksi sosial yang khas tersebut
kemungkinan akan berlaku terlepas dari apakah hubungan ini diatur oleh
orang tua atau teman, oleh koran atau internet, atau salah satu pihak mulai
mengembangkan hubungan tersebut.
Pada umumnya, siswa yang berpacaran memiliki hubungan yang lebih
intim dari berbagai segi, baik itu komitmen maupun fisik. Keintiman ini
menyebabkan rawannya terjadi perilaku tidak sehat, mulai dari yang ringan
hingga berat seperti seks bebas dan terjadinya dominasi berlebihan dari salah
satu pihak yang berujung pada terjadinya kekerasan dalam pacaran.
C. Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)
1. Definisi Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)
Pada kasus kekerasan dalam pacaran cinta telah membutakan
batas humanisme. Meskipun korban mendapat perlakuan yang tak pantas
dari pasangannya namun selalu saja bersedia memaafkan dan akhirnya
kembali menjalani hubungan yang tak sehat ini. Biasanya pihak-pihak
yang terlibat kekerasan dalam pacaran (KDP) kemudian mengalami
15
disonansi kognitif, mereka tak dapat lagi memakai pandangan yang normal
dalam memaknai pacaran yang sehat. Antara korban dan pelaku telah
timbul suatu ketergantungan yang tak sehat, mereka terlarut dalam
kekerasan yang berselimutkan kasih sayang. Sebagian besar menganggap
bahwa hal tersebut adalah bagian duka yang harus dilaluinya dalam suka
duka sebuah hubungan sehingga persepsi yang timbul pada diri korban
mengenai kekerasan dalam pacaran adalah bentuk kasih sayang yang
berbeda (Arika, 2007).
Menurut Abbot (1992) kekerasan dalam pacaran adalah segala
bentuk tindakan yang mempunyai unsur kekerasan yang meliputi
pemaksaan, tekanan, perusakan, dan pelecehan fisik maupun psikologis
yang terjadi dalam hubungan pacaran. Hal ini dapat dilakukan oleh pria
maupun wanita, bahkan pada pasangan sejenis seperti gay atau lesbi
(Arika, 2007). Meski hubungan pacaran belum diikat pernikahan, ternyata
banyak yang melakukan kekerasan terhadap pasangannya.
Dari beberapa definisi kekerasan dalam pacaran (KDP) di atas
dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam pacaran (KDP) adalah
perbuatan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
termasuk penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan penelantaran
termasuk juga ancaman yang menghasilkan kesengsaraan di dalam lingkup
hubungan pacaran.
16
2. Karakteristik Korban Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)
Adapun karakteristik korban kekerasan dalam pacaran kekerasan
dalam pacaran (KDP) adalah sebagai berikut : (Sugarman, and Hotaling,
1989)
a. Perempuan muda, berusia antara 12 hingga 18 tahun lebih sering
menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh kenalan, teman, atau
pacar dibandingkan perempuan yang lebih tua (Bachman, R; Saltzman,
L.E, 1995).
b. Perempuan yang memiliki teman (peer group) pernah menjadi korban
kekerasan seksual lebih sering menjadi korban kekerasan dalam
pacaran (Gwartney-Gibbs, P. A.; Stockard, J.; and Bohmer, S, 1987).
c. Perempuan yang jarang pergi ke tempat ibadah (Makepeace, J. M,
1987)
d. Perempuan yang memiliki bekas pacar banyak (Gray, H.M.; Foshee,
V, 1997).
e. Perempuan yang sering berpacaran dan perempuan yang pernah
mengalami kekerasan serupa sebelumnya (Agenton, S., 1983).
3. Bentuk-Bentuk Perilaku Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)
Jurnal Perempuan (2002) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk
prilaku dari kekerasan dalam pacaran (KDP) yaitu : (Arieka, 2007)
a. Kekerasan Emosional
Bentuk kekerasan ini biasanya jarang disadari, karena
memang wujudnya tidak kelihatan. Namun sebenarnya, kekerasan ini
17
justru akan menimbulkan perasaan tertekan, tidak bebas dan tidak
nyaman. Bentuk kekerasan non fisik ini antara lain berupa :
1)Pemberian julukan yang mengandung olok-olok, membuat seseorang
jadi bahan tertawaan, 2) Cemburu yang berlebihan, 3) Membatasi
pasangannya untuk melakukan kegiatan yang disukai, 4) Pemerasan
(memaksa meminta uang, meminta barang dan sebagainya), 5)