BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Pajak II.1.1 Pengertian, Unsur dan Fungsi Pajak Pada dewasa ini perusahaan membutuhkan laporan operasional dan laporan keuangan yang dapat dipercaya. Dalam hal ini, sumber yang paling efektif dan dapat diandalkan adalah laporan keuangan. Keefektifan administrasi pajak memerlukan adanya sistem pembukuan yang sehat dan dapat dipercaya. Reliabilitas pembukuan untuk pajak merupakan persyaratan mutlak yang tak bisa ditawar lagi. Pajak secara umum dapat diartikan sebagai iuran rakyat kepada negara berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan untuk membiayai keperluan negara. Ada beberapa definisi mengenai pengertian Pajak, diantaranya akan diuraikan dibawah ini: Pengertian pajak menurut Soemitro dalam Mardiasmo (2001) adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. (h 1) Kemudian Andrian dalam Waluyo dan Ilyas (2000) menyatakan bahwa pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) terutama oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk, yang gunanya adalah untuk
24
Embed
BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Pajakthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2007-1-00019-AK-Bab 2.pdfpajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) terutama oleh yang ... dan mencapai
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Konsep Pajak
II.1.1 Pengertian, Unsur dan Fungsi Pajak
Pada dewasa ini perusahaan membutuhkan laporan operasional dan
laporan keuangan yang dapat dipercaya. Dalam hal ini, sumber yang paling
efektif dan dapat diandalkan adalah laporan keuangan. Keefektifan administrasi
pajak memerlukan adanya sistem pembukuan yang sehat dan dapat dipercaya.
Reliabilitas pembukuan untuk pajak merupakan persyaratan mutlak yang tak bisa
ditawar lagi.
Pajak secara umum dapat diartikan sebagai iuran rakyat kepada negara
berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan untuk membiayai keperluan
negara. Ada beberapa definisi mengenai pengertian Pajak, diantaranya akan
diuraikan dibawah ini:
Pengertian pajak menurut Soemitro dalam Mardiasmo (2001) adalah
iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung
dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. (h
1)
Kemudian Andrian dalam Waluyo dan Ilyas (2000) menyatakan bahwa
pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) terutama oleh yang
wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat
prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk, yang gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara
yang menyelenggarakan pemerintahan. (h 4)
Djajadiningrat dalam Resmi (2005) mendefinisikan pajak adalah suatu
kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan
suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu,
tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah
serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal-balik dari negara secara
langsung, untuk memelihara kesejahteraan secara umum. (h 5)
Dari definisi-definisi diatas tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak
memiliki unsur-unsur :
1. Iuran dari rakyat kepada negara.
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang
(bukan barang).
2. Berdasarkan undang-undang.
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta
aturan pelaksanaannya
3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat
ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-
pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Selain daripada definisi dan unsur-unsur pajak yang tersebut diatas pajak
juga mempunyai fungsi yang sangat dominan dalam pemerintahan kita yaitu :
1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara)
Pajak mempunyai fungsi budgetair artinya pajak merupakan salah satu
sumber penerimaan pemerintahan untuk membiayai pengeluaran baik rutin
maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara, pemerintah
berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. Upaya
tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi
pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak
seperti Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan lain-lain.
2. Fungsi Regulerend (Mengatur)
Pajak mempunyai fungsi mengatur artinya pajak sebagai alat untuk mengatur
atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi,
dan mencapai tujuan–tujuan tertentu diluar bidang keuangan. Beberapa
contoh penerapan pajak sebagai fungsi mengatur adalah :
a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah. Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPn-BM) dikenakan pada saat terjadi
transaksi jual beli barang mewah. Semakin mewah suatu barang maka
tarif pajaknya semakin tinggi sehingga barang tersebut semakin mahal
harganya. Pengenaan pajak ini dimaksudkan agar rakyat tidak berlomba-
lomba untuk mengkonsumsi barang mewah (mengurangi gaya hidup
mewah).
b. Tarif pajak progresif dikenakan atas penghasilan, dimaksudkan agar
pihak yang memperoleh penghasilan tinggi memberikan kontribusi
(membayar pajak) yang tinggi pula, sehingga terjadi pemerataan
pendapatan.
c. Tarif pajak ekspor adalah 0%, dimaksudkan agar para pengusaha
terdorong mengekspor hasil produksinya di pasar dunia sehingga
akhirnya dapat memperbesar devisa negara.
d. Pajak Penghasilan dikenakan atas penyerahan barang hasil industri
tertentu seperti industri semen, industri rokok, industri baja, dan lain-lain,
dimaksudkan agar terdapat penekanan produksi terhadap industri tersebut
karena dapat mengganggu lingkungan atau polusi (membahayakan
kesehatan).
e. Pembebasan Pajak Penghasilan atas sisa hasil usaha koperasi yang
diperoleh sehubungan dengan transaksi dengan anggota, dimaksudkan
untuk mendorong perkembangan koperasi di Indonesia.
f. Pemberlakuan tax holiday, dimaksudkan untuk menarik investor asing
agar menanamkan modalnya di Indonesia.
II.1.2 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 25
Waluyo dan Ilyas (2000) mendefinisikan “Pajak Penghasilan Pasal 25
adalah angsuran Pajak Penghasilan yang harus disetorkan dan atau dibayarkan
sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulannya dalam tahun pajak berjalan.” (h
204)
Mengacu pada pendapat Mardiasmo (2001) pengertian Pajak Penghasilan
Pasal 25 dapat dikemukakan sebagai pelunasan/angsuran pajak tentang
penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak dalam tahun berjalan.
Menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak
Penghasilan (selanjutnya disebut UU PPh) Pasal 25 menyatakan demikian:
1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri
oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang
terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun
pajak yang lalu dikurangi dengan :
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri yang boleh
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; dibagi 12 (dua belas)
atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk
bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan, sama dengan besarnya angsuran pajak untuk
bulan terakhir tahun pajak yang lalu.
3) Dihapus.
4) Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk
tahun yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali
berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku mulai bulan
berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.
5) Dihapus.
6) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan
besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu,
yaitu :
a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu
disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari
angsuran bulanan sebelum pembetulan;
f. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
7) Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru, bank, Badan
Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Wajib Pajak tertentu
lainnya termasuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu diatur
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
8) Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak keluar negeri wajib membayar
pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
9) Pajak yang telah dibayar sendiri dalam tahun berjalan oleh Wajib Pajak
pribadi pengusaha tertentu merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk
tahun pajak yang bersangkutan, kecuali apabila Wajib Pajak yang
bersangkutan menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final menurut Undang-undang
ini.
Ketentuan pasal 25 Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur tentang
penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak dalam tahun berjalan.
Pembayaran pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan:
1. Wajib Pajak membayar sendiri (PPh pasal 25)
2. Melalui pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga (PPh pasal 21, 22,
23, dan 24).
Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri
oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang
terutang menurut SPT PPh tahun pajak yang lalu dikurangi dengan Pajak
Penghasilan yang dipotong dan/atau dipungut (yang tidak Bersifat final) serta
Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri yang boleh
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21, pasal 22, pasal 23, dan pasal
24, dibagi banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
II.1.3 Sistem Pemungutan Pajak Penghasilan
Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan,
maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan
pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan
diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan
dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaanya yakni
dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan,
penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Badan
Peradilan Pajak.
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis)
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini
memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara
maupun warganya.
3. Tidak menganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)
Pemungutan tidak boleh menganggu kelancaran kegiatan produksi maupun
perdagangan sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian
masyarakat.
4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansial)
Sesuai fungsi budgeter, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan
sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong
masyarakat dalam memenuhi kewajiaban perpajakannya. Syarat ini telah
dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi
pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak. Teori-teori tersebut antara
lain :
1. Teori Asuransi
Adalah termasuk dalam tugas negara untuk melindungi rakyat dan segala
kepentingannya : keselamatan dan keamanan jiwa, dan juga harta bendanya.
Sepertinya halnya dalam perjanjian asuransi (pertanggungan), untuk
melindungi orang dan kepentingan tersebut diperlukan pembayaran premi.
Dalam hubungan negara dengan rakyatnya, pajak inilah yang dianggap
sebagai premi yang sewaktu-waktu harus dibayar oleh masing-masing.
Meskipun teori ini hanya sekedar untuk memberi dasar hukum kepada
pemungut pajak, namun beberapa ahli menentangnya. Mereka berpendapat
bahwa perbandingan antara pajak dan perusahaan asuransi tidaklah tepat,
karena :
o Dalam hal timbul kerugian, tidak ada penggantian secara langsung dari
negara,
o Antara pembayaran jumlah pajak dengan jasa yang diberikan oleh negara
tidaklah terdapat hubungan langsung.
2. Teori Kepentingan
Teori ini dalam ajarannya yang semula hanya memperhatikan pembagian
beban pajak yang harus dipungut dari seluruh penduduk. Pembagian beban
ini harus didasarkan atas kepentingan orang masing-masing dalam tugas-
tugas pemeritah, termasuk perlindungan atas jiwa orang-orang beserta harta
bendanya. Oleh karena itu, sudah sewajarnyalah jika biaya-biaya yang
dikeluarkan oleh negara dibebankan kepada mereka.
3. Teori Daya Pikul
Teori ini mengandung kesimpulan bahwa dasar keadilan pemungutan pajak
terletak pada jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada warganya, yaitu
perlindungan atas jiwa dan harta bendanya. Untuk kepentingan tersebut
diperlukan biaya-biaya yang harus dipikul oleh segenap orang yang
menikmati perlindungan itu, yaitu dalam bentuk pajak. Teori ini
menekankan pada asas keadilan, bahwasanya pajak haruslah sama beratnya
untuk setiap orang. Pajak harus dibayar menurut daya pikul seseorang. Daya
pikul sesseorang dapat diukur berdasarkan besarnya penghasilan dengan
memperhitungkan besarnya pengeluaran atau pembelanjaan seseorang.
Dalam Pajak Penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi, daya pikul untuk
pengeluaran atau pembelanjaan dinyatakan dengan sejumlah penghasilan
tertentu yang tidak dikenakan pajak. Untuk mengukur daya pikul dapat
digunakan 2 (dua) pendekatan yaitu :
o Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang
dimiliki oleh sseorang.
o Unsur subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan material
yang harus dipenuhi.
4. Teori Kewajiban Pajak atau Teori Bakti
Berlawanan dengan ketiga teori sebelumnya, yang tidak mengutamakan
kepentingan negara di atas kepentingan warganya, maka teori ini
mendasarkan pada paham Organische Staatsleer. Paham ini mengajarkan
bahwa karena sifat suatu negara maka timbullah hak mutlak untuk
memungut pajak. Orang-orang tidaklah berdiri sendiri, dengan tidak adanya
persekutuan tidaklah akan ada individu. Oleh karenanya maka persekutuan
(yang menjelma menjadi negara) berhak atas satu dan yang lain. Akhirnya
setiap orang menginsyafi bahwa menjadi suatu kewajiban asli untuk
membuktikan tanda baktinya terhadap negara dalam bentuk pembayaran
pajak.
5. Teori Daya Beli
Teori ini tidak mempersoalkan asal mula negara memungut pajak, melainkan
hanya melihat pada efeknya, dan memandang efek yang baik itu sebagai
dasar keadilannya. Menurut teori ini, fungsi pemungutan pajak disamakan
dengan pompa, yaitu mengambil daya beli dari rumah tangga dalam
masyarakat untuk rumah tangga negara, dan kemudian menyalurkannya
kembali ke masyarakat dengan maksud untuk memelihara hidup masyarakat
dan untuk membawanya kearah tertentu. Teori ini mengajarkan bahwa
penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap
sebagai dasar keadilan pemungutan pajak.
Dalam melakukan pemungutan pajak kita mengenal tata cara pemungutan
pajak yaitu yang terdiri dari :
1. Stelsel Pajak
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 (tiga) stelsel :
a. Stelsel nyata (riel stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata),
sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak,
yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata
mempunyai kelebihan atau kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel
ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahannya
pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil
diketahui).
b. Stelsel anggapan (fictieve stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh
undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama
dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat
ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.
Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayarkan selama tahun
berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan
kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada
keadaan yang sesunggunya.
c. Stelsel campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel
anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu
anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan
keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih
besar dari pada pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus
menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta
kembali.
2. Asas Pemungutan Pajak
a. Asas domisili (asas tempat tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak
yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari
dalam maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak
dalam negeri.
b. Asas sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di
wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.
c. Asas kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.
Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang
yang bukan berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di
Indonesia. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak luar negeri.
3. Sistem Pemungutan Pajak
a. Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada
aparatur perpajakan (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang oleh Wajib Pajak. Dalam sistem ini inisiatif dan kegiatan dalam
menghitung dan pemungutan pajak sepenuhnya ada pada aparatur
perpajakan. Sistem ini akan berhasil dengan baik kalau aparatur
perpajakan baik kualitas maupun kuantitas telah memenuhi kebutuhan.
Ciri-cirinya :
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada
fiskus.
2) Wajib Pajak bersifat pasif.
3) Utang timbul setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh
fiskus.
b. Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada
Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Dalam tata cara ini kegiatan pemungutan pajak diletakkan kepada
aktivitas dari masyarakat sendiri, dimana wajib pajak diberi kepercayaan
untuk :
o Menghitung sendiri pajak yang terutang
o Memperhitungkan sendiri pajak yang terutang
o Membayar sendiri jumlah pajak yang harus dibayar
o Melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang
o Mempertanggungjawabkan pajak yang terutang.
Tata cara ini berhasil dengan baik, kalau masyarakat sendiri mempunyai
pengetahuan dan disiplin pajak yang tinggi.
Ciri-cirinya :
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
Wajib Pajak sendiri,
1) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang,
2) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c. With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan)
untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya :
Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak
ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 sebagaimana telah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (selanjutnya disebut UU KUP) dan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 sebagaimana telah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (selanjutnya disebut UU
PPh), tetap berdasarkan sistem self assessment. Dalam sistem tersebut,
masyarakat diberi kepercayaan dan tanggung jawab untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus
dibayar.
Untuk memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi para Wajib Pajak,
berkenaan dengan pelaksanaan pemungutan pajak dengan sistem self assessment,
maka apabila dalam waktu sepuluh tahun sejak saat terutangnya pajak,
berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak,
Direktur Jenderal Pajak tidak juga menerbitkan ketetapan pajak, maka jumlah
pembayaran yang diberitahukan dalam Surat Pemberitahuan Masa atau Surat
Pemberitahuan Tahunan pada hakikatnya telah menjadi tetap dengan sendirinya
atau telah menjadi pasti karena hukum menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Dengan demikian, Surat Pemberitahuan Wajib Pajak yang
bersangkutan telah merupakan ketetapan yang tetap dan tidak akan diubah
(rampung).
Dalam sistem pemajakan self assessment dengan penetapan pajak
terutang oleh Wajib Pajak sendiri, pelunasan pajak dilakukan selama tahun
berjalan dan kalau masih ada kekurangan dilunasi setelah akhir tahun bersama
dengan penyampaian atau sebelum batas waktu akhir (25 Maret) penyampaian
SPT Tahunan. Pelunasan pajak selama tahun berjalan dapat dilakukan melalui
sistem membayar sendiri (self payment) dan potongan atau pungutan pajak oleh
pihak lain (withholding system). Pelunasan sendiri oleh Wajib Pajak selama
tahun berjalan dilakukan dengan membayar angsuran bulanan sesuai dengan
ketentuan Pasal 25 (misalnya 1/12 dari PPh terutang menurut SPT tahun yang
lalu setelah dikurangi dengan kredit pajak). Potongan pajak selama tahun
berjalan oleh pihak ketiga dilakukan setiap ada penghasilan yang diterima Wajib
Pajak (misalnya dividen, bunga dan sewa) yang dibayarkan oleh pemotong.
Pemotongan ini dilakukan setiap saat apabila Wajib Pajak menerima penghasilan
(misalnya berupa dividen, bunga dan royalti). Selain pemotongan pajak,
dilakukan juga pemungutan pajak yang dilaksanakan setiap Wajib Pajak
melakukan transaksi dengan badan pemungut pajak (misalnya impor atau
pembayaran dari bendaharawan pemerintah).
Pembayaran PPh Pasal 25 (angsuran pembayaran pajak yang dilakukan
setiap bulan oleh wajib pajak berdasarkan ketentuan Pasal 25 UU PPh)
merupakan pembayaran dimuka terhadap utang pajak penghasilan yang akan
dihitung sendiri (self assessment) oleh wajib pajak pada akhir tahun pajak
(melalui penyampaian SPT).
Secara substansial, sebetulnya sistem pemotongan dan pemungutan pajak
berakibat sama bagi wajib pajak dan pemotong atau pemungut pajak. Istilah
potongan dipakai untuk menunjukkan objek yang dikenakan potongan, yaitu
penghasilan (bruto) yang dibayarkan atau diterimakan oleh pemotong pajak.
Beberapa kategori yang penghasilan itu misalnya dividen, bunga, sewa, royalty,
gaji dan upah. Karena adanya suatu aliran penghasilan (income stream), sebagai
bagian dari mekanisme transaksi financial tersebut, penyedia pembayaran
menahan sebagian penghasilan sehingga penerima penghasilan tidak menerima
seluruh jumlah penghasilannya.
Sementara itu, pungutan pajak menunjuk kepada suatu praktek pengenaan
pajak atas potensi penghasilan yang terkandung dalam suatu transaksi, misalnya
impor barang modal, bahan baku, pembelian barang dagangan (untuk dijual
kembali) dan penerimaan kontrak pemborongan. Berbeda dengan pemotongan
pajak, umumnya (kecuali untuk jasa pemborongan) pungutan pajak dapat
berakibat penambahan pembayaran oleh yang bertransaksi (misalnya pada impor
barang, pembelian barang dagangan). Setiap menerima penghasilan yang
dipotong pajak (misalnya bunga), perusahaan akan mencatat adanya potongan
pajak penghasilan.
Pada akhir tahun pajak, sesuai dengan sistem self assessment, wajib pajak
diminta untuk menghitung sendiri utang pajak penghasilannya. Setelah