BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Pertanian Tanpa Limbah Konsep pertanian terpadu atau yang sering disebut sebagai konsep An Integrated Farming System, menjadi harapan dan arah baru bagi pertanian masa depan dimana shareholders yang terlibat dapat menikmati hasil yang sepadan dan berkelanjutan. Integrasi tersebut perlu ditingkatkan menjadi zero waste sehingga nilai tambah yang dihasilkan lebih tinggi. Konsep An Integrated Farming With Zero Waste System pada prinsipnya merupakan integrasi beberapa unit usaha dibidang pertanian, dikelola secara terpadu, berorientasi ekologis, sehingga diperoleh peningkatan nilai ekonomis, tingkat efisiensi dan produktifitas yang tinggi. Penerapan sistem pertanian terintegrasi sering disebut sebagai konsep sistem pertanian tanpa limbah. Limbah yang dihasilkan dimanfaatkan kembali sebagai sumber energi dan nutrisi. Aplikasi penerapan sistem pertanian tanpa limbah dapat dimanifestasikan dalam bentuk pengolahan pupuk organik berbahan limbah pertanian, dan instalasi biogas dari limbah peternakan (Wahyuni, 2013). Produk utama tanaman pangan maupun tanaman perkebunan, tidak hanya menghasilkan pangan (food) sebagai hasil utama, tetapi juga menghasilkan sisa hasil. Sisa hasil tersebut dengan cara-cara yang sederhana dapat diubah menjadi pakan (feed) yang selanjutnya dapat ditransformasi menjadi pangan yang bermutu (daging, susu dan lain-lain). Ternak selain menghasilkan produk utama juga menghasilkan hasil samping berupa feces dan urine. Feces dan urine dengan cara yang sederhana pula dapat diubah menjadi kompos yang bermutu. Kompos yang bermutu dan berdaya guna akan dimanfaatkan dalam proses produksi pertanian sehingga seluruh komponen baik pertanian, peternakan, perikanan mapupun subsektor terkait menjadi lebih efisien dan tanpa limbah (zero waste). Konsep An integrated farming with zero waste system dapat dirangkum sebagai berikut (Nuridinar, 2010) : a). Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya
34
Embed
BAB II. LANDASAN TEORI - abstrak.ta.uns.ac.id · diperoleh sekam sekitar 20-30% dari bobot gabah, dedak antara 8-12% dan beras giling antara 50-63,5% data bobot awal gabah. 2). Tongkol
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Konsep Pertanian Tanpa Limbah
Konsep pertanian terpadu atau yang sering disebut sebagai konsep An
Integrated Farming System, menjadi harapan dan arah baru bagi pertanian
masa depan dimana shareholders yang terlibat dapat menikmati hasil yang
sepadan dan berkelanjutan. Integrasi tersebut perlu ditingkatkan menjadi zero
waste sehingga nilai tambah yang dihasilkan lebih tinggi. Konsep An
Integrated Farming With Zero Waste System pada prinsipnya merupakan
integrasi beberapa unit usaha dibidang pertanian, dikelola secara terpadu,
berorientasi ekologis, sehingga diperoleh peningkatan nilai ekonomis, tingkat
efisiensi dan produktifitas yang tinggi. Penerapan sistem pertanian terintegrasi
sering disebut sebagai konsep sistem pertanian tanpa limbah. Limbah yang
dihasilkan dimanfaatkan kembali sebagai sumber energi dan nutrisi. Aplikasi
penerapan sistem pertanian tanpa limbah dapat dimanifestasikan dalam bentuk
pengolahan pupuk organik berbahan limbah pertanian, dan instalasi biogas dari
limbah peternakan (Wahyuni, 2013).
Produk utama tanaman pangan maupun tanaman perkebunan, tidak
hanya menghasilkan pangan (food) sebagai hasil utama, tetapi juga
menghasilkan sisa hasil. Sisa hasil tersebut dengan cara-cara yang sederhana
dapat diubah menjadi pakan (feed) yang selanjutnya dapat ditransformasi
menjadi pangan yang bermutu (daging, susu dan lain-lain). Ternak selain
menghasilkan produk utama juga menghasilkan hasil samping berupa feces dan
urine. Feces dan urine dengan cara yang sederhana pula dapat diubah menjadi
kompos yang bermutu. Kompos yang bermutu dan berdaya guna akan
dimanfaatkan dalam proses produksi pertanian sehingga seluruh komponen
baik pertanian, peternakan, perikanan mapupun subsektor terkait menjadi lebih
efisien dan tanpa limbah (zero waste).
Konsep An integrated farming with zero waste system dapat dirangkum
sebagai berikut (Nuridinar, 2010) : a). Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya
lokal; b). Maksimalisasi daur ulang (zero waste); c). Minimalisasi kerusakan
lingkungan (ramah lingkungan); d). Diversifikasi usaha; e). Pencapaian tingkat
produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang; f). Menciptakan
kemandirian.
Pola integrasi antara tanaman dan ternak atau yang sering kita sebut
dengan pertanian terpadu, adalah memadukan antara kegiatan peternakan dan
pertanian. Pola ini sangatlah menunjang dalam penyediaan pupuk kandang
dilahan pertanian, sehingga pola ini sering disebut pola peternakan tanpa
limbah karena limbah peternakan digunakan untuk pupuk, dan limbah
pertanian untuk makan ternak. Integrasi hewan ternak dan tanaman
dimaksudkan untuk memperoleh hasil usaha yang optimal, dan dalam rangka
memperbaiki kondisi kesuburan tanah. Interaksi antara ternak dan tanaman
haruslah saling melengkapi, mendukung dan saling menguntungkan, sehingga
dapat mendorong peningkatan efisiensi produksi dan meningkatkan
keuntungan hasil usaha taninya. Sistem produksi ternak sapi yang dikombinasi
dengan lahan-lahan pertanian harus dapat disesuaikan dengan jenis tanaman
pangan yang diusahakan.
2. Profil Potensi Limbah Padat Pertanian di Indonesia
a. Definisi Biomassa
Definisi Biomassa menurut United Nations Framework Convention
on Climate change (UNFCC, 2005) adalah bahan organik biodegradable
non-fosil yang berasal dari tanaman, hewan dan mikro-organisme.
Biomassa tersebut meliputi produk, produk samping, residu dan limbah
dari pertanian, hasil hutan, dan hasil industri terkait sebagai non-fosil
dan fraksi organik biodegradable dari limbah industri dan kota. Wei
(2005) mendefinisikan biomassa sebagai semua bahan organik yang
merupakan turunan dari tanaman sebagai konversi hasil proses
fotosintesis, tidak termasuk proses fosilisasi. Biomassa terbagi dalam 2
jenis, yaitu biomassa yang bersifat alami dan biomassa yang berasal dari
limbah, seperti pada tabel 1 berikut ini :
Tabel 1. Jenis- Jenis Biomassa
Murni
Biomassa terrestrial Biomassa hutan, rerumputan,
tanaman yang dibudidayakan
Biomassa perairan Algae, tumbuhan air
Limbah
Limbah perkotaan Limbah padat, limbah, gas buang
Limbah padat pertanian Limbah pertanian, sisa hasil panen
Sisa hutan Kulit kayu, dedaunan
Limbah industri Serbuk gergaji, limbah minyak atau
lemak
Menurut Basu (2010), sumber-sumber biomassa secara umum
adalah:
1). Pertanian : bagas, kulit kacang, tangkai jagung, jerami
2). Hutan : pohon, limbah kayu, serbuk gergaji kayu
3). Kota : endapan lumpur, limbah makanan, limbah kerta
4). Energi : padang rumput, jagung, dan kedelai, kanola.
5). Biologi : kotoran hewan, spesies perairan, limbah biologis
b. Potensi Produksi Limbah Pertanian
1). Jerami dan Sekam Padi
Menurut Nur (2014), perbandingan untuk produksi gabah-jerami
adalah 1:1, sedangkan untuk gabah-sekam 1: 0,24. Berarti setiap ton
gabah yang dihasilkan maka akan menyisakan jerami setara satu ton,
sedangkan sekam yang dihasilkan adalah 0,24 ton. Jika menggunakan
algoritma sederhana tersebut maka dapat digunakan untuk estimasi
produksi jerami dan gabah di Indonesia maupun spesifik lokasi
tertentu.
Sekam padi merupakan lapisan keras yang meliputi kariopsis
yang terdiri dari dua belahan yang disebut lemma dan palea yang
saling bertautan. Pada proses penggilingan beras sekam akan terpisah
dari butir beras dan menjadi bahan sisa atau limbah penggilingan.
Sekam dikategorikan sebagai biomassa yang dapat digunakan untuk
berbagai kebutuhan seperti bahan baku industri, pakan ternak dan
energi atau bahan bakar. Dari proses penggilingan padi biasanya
diperoleh sekam sekitar 20-30% dari bobot gabah, dedak antara 8-
12% dan beras giling antara 50-63,5% data bobot awal gabah.
2). Tongkol atau Janggel Jagung
Pada saat musim panen jagung, biasanya petani membuang atau
membakar janggel karena dirasa tidak berguna dan dianggap sampah.
Jika rerata rendemen jagung yang dihasilkan sekitar 70-80%, maka
jika dilakukan pemipilan atau penggilingan 1 ton (1000 kg) tongkol
jagung, maka akan menghasilkan 700 kg biji jagung dan 300 kg
janggel jagung. Jika satu hektar rata-rata bisa dipanen 10 ton tongkol
jagung, maka sekitar 3 ton janggel akan dibuang atau hanya sedikit
sekali dimanfaatkan untuk keperluan terbatas misalnya langsung
digunakan sebagai kayu bakar.
Tongkol atau janggel jagung mempunyai kandungan selulosa
yang sangat tinggi yaitu sekitar 40%. Kandungan inilah yang saat ini
digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan plastik
biodegradeable atau plastik yang dapat terurai secara alami oleh
mikroorganisme dan terurai lebih cepat dibandingkan plastik sintesis.
Tongkol jagung juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku energi
alternatif, salah satunya biobriket.
3). Kulit Singkong
Menurut Grace (1977), persentase kulit ubi kayu yang
dihasilkan berkisar antara 8-15% dari berat umbi yang dikupas,
dengan kandungan karbohidrat sekitar 50% dari kandungan
karbohidrat bagian umbinya. Menurut Hayati (2008), kulit singkong
memiliki rataan nilai kadar air sebesar 10,06-13,14%, rataan nilai daya
serap air berkisar 82,49%-169,78%, rataan nilai pengembangan tebal
sekitar 35,70-102,30%, dan rataan nilai kerapatannya berkisar 0,86-
0,87g/cm3.
4). Serbuk gergaji kayu
Serbuk gergaji kayu merupakan limbah industri
penggergajian kayu. Jumlah ketersediaan serbuk gergaji sangat besar,
namun tidak semua serbuk gergaji yang ada telah termanfaatkan
secara maksimal, sehingga bila tidak ditangani dengan baik maka
dapat menjadi masalah lingkungan yang serius.
c. Pemanfaatan Limbah Padat Pertanian Saat ini
Biomassa limbah padat pertanian sebagaian besar masih
dikategorikan sebagai energi non komersial. Pemanfaatan terbesar limbah
padat pertanian tersebut masih terbatas. Beberapa jenis limbah biomassa
tidak bisa atau tidak efisien apabila dibakar secara langsung. Sekam (kulit
padi) merupakan hasil samping dari produksi pertanian yang
keberadaannya cukup melimpah di indonesia. Sekam padi adalah bagian
terluar dari padi yang merupakan hasil samping pada saat proses
penggilingan. Sekam padi sebagian besar terdiri dari serat kasar yang
berguna untuk menutupi kariopsis. Sebagian besar sekam terdiri dari
solulosa sehingga dapat digunakan sebagai bahan bakar yang merata dan
stabil.Sekam padi bila telah dibakar salah satu bagiannya merupakan
mineral zeolit. Mineral ini mampu menyerap bau ataupun asap. Ditinjau
dari data komposisi kimiawi, sekam mengandung beberapa unsur kimia
penting. Komposisi kimia sekam padi mengandung kadar air sebesar
9,02%, protein kasar sebasar 3,03%, lemak sebesar 1,18%, serat kasar
sebesar 35,68%, kadar abu sebesar 17,17% dan karbohidrat dasar sebesar
33,71%. Sedangkan menurut DTC–IPB, komposisi kimia sekam padi
mengandung karbon (zat arang) sebesar 1,33%, hidrogen sebesar 1,54%,
oksigen sebesar 33,64% dan silika sebesar 16,98%.
Tongkol atau janggel jagung mempunyai kandungan selulosa yang
sangat tinggi yaitu sekitar 40%. Kandungan inilah yang saat ini digunakan
sebagai bahan baku utama pembuatan plastik biodegradeable atau plastik
yang dapat terurai secara alami oleh mikroorganisme dan terurai lebih
cepat dibandingkan plastik sintesis. Jepang, Jerman dan Amerika
biodegradable, tongkol jagung juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan
baku energi alternatif, salah satunya biobriket.
Sementara itu, kulit ubi kayu masih jarang dimanfaatkan secara
optimal. Menurut Grace (1977), kulit ubi kayu pada umumnya hanya
digunakan sebgai makanan ternak dan sebagai makanan ringan seperti
keripik (dengan cara digoreng). Kulit ubi kayu dengan mudah dapat
dipisahkan dari umbinya dengan ketebalan 2-3 mm. Kulit singkong
mempunyai komposisi yang terdiri dari karbohidrat dan serat. Menurut
Djaeni (1989), kulit ubi kayu mengandung ikatan glikosida sianogenik
yaitu suatu ikatan organik yang dapat menghasilkan racun dalam jumlah
0.1% yang dikenal sebagai racun biru (linamarin). Oleh karena itu,
pemanfaatan kulit ubi kayu belum terlalu luas. Namun sebenarnya racun
tersebut dapat dihilangkan dengan cara menguapkannya atau
mengeringkannya pada suhu tinggi.
d. Potensi Limbah Pertanian untuk Mendukung Daur Hara Pertanian
Pemanfaatan sebagai Kompos
Pemakaian pupuk anorganik pada sistem budidaya intensif dalam
jangka waktu tertentu dapat merusak kesuburan tanah dan akhirnya
berdampak pada menurunnya hasil produksi padi. Pemberian pupuk
buatan dalam usaha intensifikasi tanaman padi yang telah diperkenalkan
cenderung mengutamakan pemakaian pupuk nitrogen (N), fosfor (P), dan
kalium (K) dalam bentuk Urea, TSP/SP-36, dan KCl tanpa penambahan
unsur mikro, dan nyaris tidak menggunakan pupuk alam sebagai sumber
bahan organik seperti pupuk kandang, pupuk hijau, kompos, dan lain–
lain. Hal itu mengakibatkan tanah sawah di Indonesia telah kekurangan
bahan organik, sehingga terjadi ketidakseimbangan hara.
Jerami yang merupakan limbah padi, merupakan material yang
potensial dan mudah didapatkan sehingga dapat dimanfaatkan kembali
sebagai sumber pupuk bagi tanaman. Penggunaan jerami padi, juga sangat
berpotensi untuk digalakkan sebagai sumber bahan organik insitu di
lahan persawahan. Namun kadar hara jerami, terutama N sangat rendah,
dan agak sukar lapuk. Akan tetapi jerami mengandung silikat (Si) cukup
tinggi, yang jarang ditambahkan petani ke lahan persawahan serta kurang
didapat pada bahan organik lainnya. Penelitian Darmawan, dkk (2007),
kadar silikat (Si) tanah sawah utama sudah berkurang dari 1,646 ± 581 kg
SiO2 ha-1
menjadi 1,283 ± 533 kg SiO2 ha-1
(-22 %) dari tahun 1970
sampai 2006 di Jawa. Dalam jerami terdapat beberapa unsur hara yang
berguna untuk tanaman seperti Nitrogen dan Kalium sehingga dengan
membakar jerami berarti sama saja dengan membakar uang karena jerami
yang dibakar tersebut sebenarnya dapat membantu menggantikan pupuk
KCl sebanyak 1 zak (50 kg). Dengan mengembalikan jerami padi ke lahan
sawah, petani dapat menghemat biaya pupuk karena tidak perlu lagi
memberikan pupuk KCl.
Kebiasaan petani di lapangan yang biasanya membakar jerami dan
sangat jarang dimanfaatkan oleh petani sebagai sumber bahan organik
merupakan suatu kebiasaan yang salah, selain menyebabkan kerusakan
pada lingkungan ternyata juga menyebabkan kerusakan pada tanah areal
persawahan karena lama kelamaan unsur hara yang terdapat pada tanah
sawah akan selalu berkurang tanpa adanya pengembalian kembali. Dengan
membakar jerami justru akan menghancurkan sebagian bahan organiknya.
Pengolahan jerami membutuhkan tenaga, waktu, dan pekerjaan tambahan
yang banyak, sehingga perlu dicari cara lain agar jerami tersebut dapat
dimanfaatkan oleh para petani. Salah satu alternatif yaitu dengan
pembuatan kompos sebagai salah satu jenis pupuk yang ramah lingkungan.
Selain berguna untuk meningkatkan kesuburan tanah yang dapat
menigkatkan produksi pertanian, juga sangat aman bagi kelestarian
lingkungan.
Kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa
aspek:
1). Aspek Ekonomi :
- Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah.
- Mengurangi volume/ukuran limbah.
- Memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari pada bahan asalnya.
2). Aspek Lingkungan :
- Mengurangi polusi udara karena pembakaran limbah.
- Mengurangi kebutuhan lahan untuk penimbunan.
Pemanfaatan sebagai Biogas
Salah satu upaya pemanfaatan limbah pertanian yang terintegrasi
dengan sistem peternakan adalah dengan memanfaatkannya untuk
menghasilkan bahan bakar dengan menggunakan teknologi biogas.
Teknologi biogas memberikan peluang bagi petani dan peternak, baik
individual maupun kelompok, untuk memenuhi kebutuhan energi sehari-
hari secara mandiri. Teknologi biogas bukanlah teknologi baru. Teknologi
ini telah banyak dimanfaatkan oleh petani peternak di berbagai negara,
diantaranya India, Cina, bahkan Denmark. Teknologi biogas sederhana
yang dikembangkan di Indonesia berfokus pada aplikasi skala
kecil/menengah yang dapat dimanfaatkan masyarakat pertanian yang
memiliki ternak sapi 2 – 20 ekor. Penerapan teknologi biogas pada daerah
yang memiliki peternakan dapat memberikan keuntungan ekonomis
apabila dilakukan perancangan yang tepat dari segi teknis dan