21 BAB II LANDASAN TEORI Landasan teori merupakan bagian penting yang menjadi dasar sebuah penelitian ilimiah dilakukan. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini berkaitan dengan variabel penelitian yakni kompensasi, lingkungan kerja, komunikasi dan kepuasan kerja. Adapun kerangka dari teori-teori yang digunakan dalam melakukan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.1.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
21
BAB II
LANDASAN TEORI
Landasan teori merupakan bagian penting yang menjadi dasar sebuah penelitian
ilimiah dilakukan. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini berkaitan dengan
variabel penelitian yakni kompensasi, lingkungan kerja, komunikasi dan kepuasan
kerja. Adapun kerangka dari teori-teori yang digunakan dalam melakukan penelitian
ini dapat dilihat pada Gambar 2.1.
22
Hierarchy
of Needs Theory
(Maslow, 1943)
Two Factor Theory
(Herzberg, 1950)
Motivators Theory
(Herzberg, 1950)
Hygiene Theory
(Herzberg, 1950) Promotion
(Herzberg, 1950)
Reward
(Herzberg, 1950)
Pay
(Herzberg, 1950)
Nature of Works
(Herzberg, 1950)
Fringe Benefit
(Herzberg, 1950)
Relationship with
co-workers
(Herzberg, 1950)
Supervisor
(Herzberg, 1950)
Operating
Coditions
(Herzberg, 1950)
Thorndike Law
Effect
(Thorndike, 1905)
Reinforcement
Theory
(Skinner, 1985)
Manajemen
Kompensasi
(Hasibuan, 2003)
Teori Komunikasi
Mathematical
Theory of
Communication
(Shannon &
Weaver, 1940
1943)
Work Environment
(Herzberg, 1950)
Komunikasi
Interpersonal
(Myers & Myers
1992)
Equity Theory
(Adams, 1963)
Expectancy
Theory
(Vroom, 1964)
Job Satsifaction
(Spector, 2008)
Gambar 2.1 – Konsep Landasan Teori Penelitian
Job Performance
(Lawler & Porter,
1967)
23
2.1 Teori Hierarchy Of Needs
Teori Hierarchy of Needs oleh Maslow merupakan dasar dari sejumlah teori
yang digunakan dalam penelitian ini. Teori Hierarchy of Needs oleh Maslow pertama
kali berkembang pada tahun 1943. Maslow mengelompokan kebutuhan manusia ke
dalam lima tingkatan. Tingkatan pertama adalah kebutuhan fisiologis. Kebutuhan
fisiologis merupakan kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan, dan papan.
Tingkatan kedua dalam teori kebutuhan Maslow adalah kebutuhan akan rasa aman
yang kemudian diikuti dengan kebutuhan akan kasih sayang. Selanjutnya tingkatan
keempat dalam teori kebutuhan Maslow adalah kebutuhan self esteem yang meliputi
reputasi dan status sosial. Pada tingkat tertinggi dalam teori kebutuhan Maslow
(1943) terdapat self actualization yang meliputi kebutuhan akan pengembangan
pribadi diri.
Sejumlah kebutuhan yang dinyatakan oleh Maslow (1943) akan memicu
motivasi dari inidividu untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam rangka
pemenuhan kebutuhan individu kemudian akan terpacu untuk melakukan suatu
pekerjaan. Two factors theory oleh Herzberg (1950) (dalam Herzberg, 1974)
kemudian muncul untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi
kerja individu dalam rangka pemenuhan kebutuhan. Pada two factors theory terdapat
dua faktor yang mempengaruhi motivasi kerja individu yakni motivator factors dan
hygiene factors. Motivator factors berasal dari pekerjaan itu sendiri yang memicu
munculnya kepuasan kerja. Hygiene factors tidak berasal dari pekerjaan itu sendiri
dan dapat memicu timbulnya ketidakpuasan kerja. Adapun teori ini kemudian
24
berkembang membentuk sejumlah teori baru yang behubungan dengan kompensasi,
lingkungan kerja dan kepuasan kerja.
2.1.1 Konsep Kompensasi
2.1.1.1 Definisi Kompensasi
Kompensasi merupakan pemberian manfaat kepada orang yang dimaksudkan
untuk menerima manfaat tersebut, sehingga dapat menarik minat untuk mencapai
tujuan yang diharapkan (Black, 1953). Lawler III (1966) kemudian menambahkan
bahwa kompensasi penting karena dapat mempengaruhi dan memotivasi pekerja
untuk mencapai suatu tujuan yang kemudian menentukan kesuksesan sebuah
perusahaan. Penelitian Paul (1976) menyebutkan kompensasi yang dianggap penting
bagi pekerja ternyata kurang diperhatikan, sehingga perusahaan gagal untuk
memenuhi kebutuhan pekerja yang selanjutnya berdampak pada penurunan minat
para pekerja dalam menyelesaikan tugasnya. Pekerja yang tergabung dalam serikat
pekerja memperoleh kompensasi yang lebih banyak jika dibandingkan dengan
pekerja yang tidak tergabung dalam serikat pekerja, sehingga umumnya para buruh
anggota serikat pekerja memiliki kepuasan terhadap pekerjaan yang lebih tinggi
(Hirsch, Macpherson, & Dumond, 1997). Adapun pemotongan kompensasi yang
terjadi pada tahun 1970 sebagai dampak dari resesi ekonomi juga mengakibatkan
terjadinya penurunan kepuasan kerja (Boyd, 1999).
Menurut Aswathappa (2007) kompensasi yang diterima pekerja dapat berupa
kompensasi yang memberikan manfaat finansial (gaji, bonus, insentif, dan tunjangan)
dan non finansial (peluang untuk berkembang, pengakuan, dan suasana kerja yang
25
nyaman). Trevor (2008) mendukung penyataan Lawler III (1966) dengan
menambahkan bahwa kompensasi dapat digunakan sebagai strategi untuk
meningkatkan kinerja perusahaan melalui produktivitas pekerja. Penggunaan
kompensasi sebagai komponen strategi untuk meningkatkan kinerja perusahaan itu
dibutuhkan (Trevor, 2008). Sohpia (2013) mendukung pernyataan Aswathappa
(2007) dengan menambahkan bahwa kompensasi yang memberikan manfaat finansial
sangat penting bagi pekerja karena dengan kompensasi tersebut pekerja dapat
memenuhi kebutuhan mereka khususnya kebutuhan fisiologis. Adapun kompensasi
yang memberikan manfaat non finansial juga penting karena membantu pekerja
memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial dan sebagai sarana untuk self-
actualization (Sopiah, 2013). Kompensasi yang mampu memberikan manfaat
terhadap pemenuhan kebutuhan pekerja akan mempengaruhi kepuasan kerja (Salisu,
Chinyo, & Suresh, 2015). Adapun menurut Salisu et al. (2015) unsur reward (pay)
dan promotion opportunity merupakan bagian dari variabel kompensasi yang dapat
digunakan untuk mengukur kepuasan kerja. Pengakuan dan penghargaan yang
diberikan perusahaan kepada pekerja juga merupakan unsur dalam variabel
kompensasi yang menentukan kepuasan pekerja terhadap kompensasi yang
diterimanya (Salisu et al., 2015).
Kompensasi dalam industri jasa sendiri, menurut penelitian Bilal (2012)
mengindikasikan bahwa kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, sosial, self-
esteem dan self-actualization merupakan prediktor signifikan terhadap kinerja
pekerja. Ketika pekerja mampu mengakomodasi kebutuhan fisiologis melalui
kompensasi, maka akan terjadi peningkatan kepuasan kerja yang berdampak pada
26
kinerja dari para pekerja (Bilal, 2012). Tukamuhabwa, Ntayi, Muhzewi, Eyaa &
Makerere (2012) melengkapi hasil penelitian Bilal (2012) dengan menambahkan
bahwa kompensasi non finansial juga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap
kinerja pekerja. Faktor pay, fringe benefit, dan promotion merupakan bagian dari
variabel kompensasi yang berperan dalam menentukan kepuasan kerja di industri jasa
(Muguongo, Muguna, & Muriithi, 2015). Di samping itu, pemberian tunjangan dari
perusahaan yang dinilai adil oleh pekerja jika dibandingkan dengan perusahaan lain
juga menjadi faktor pengukur kepuasan kerja (Muguongo et al., 2015).
Adapun menurut penelitian Zitkiene dan Blusyte (2015) pemberian
kompensasi juga ternyata berperan dalam jalannya sebuah proses bisnis di perusahaan
jasa yang melakukan outsourcing pekerja. Penelitian Zitikiene dan Blusyte (2015)
mendukung penelitian Muttaqien (2014) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja dari
pekerja outsourcing dapat dicapai melalui pemberian kompensasi yang layak.
Humaeroh, Susilo, & Prasetya (2015) menambahkan, kepuasan pekerja terhadap
kompensasi seperti pemberian upah yang layak dan peluang untuk memperoleh
kenaikan gaji dapat menjadi faktor pemicu meningkatnya kepuasan kerja.
Adapun setelah mengetahui definisi kompensasi dari sejumlah penelitian
sebelumnya, maka definisi kompensasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
bahwa kompensasi tidak hanya merupakan faktor penting yang diperhatikan pekerja
ketika mereka memutuskan untuk berkerja di suatu perusahaan, tetapi juga
merupakan alat yang digunakan oleh perusahaan untuk menyaring pekerja-pekerja
berkualitas (Barbosa, Bucione & Souza, 2014; Cai dan Zheng, 2016; Rynes, Gerthart,
& Minette, 2014).
27
2.1.1.2 Teori-Teori yang Melandasi Konsep Kompensasi
Teori Hierarchy of Needs oleh Maslow (1943) berkaitan dengan teori perilaku
dan organisasional yang digunakan dalam rangka mengeksplor motivasi pekerja
untuk pengelolaan manajerial yang lebih baik. Berdasarkan teori Maslow, pemenuhan
kebutuhan manusia terdiri dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman,
kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan dan terakhir adalah
kebutuhan untuk aktualisasi diri. Teori Maslow mengasumsikan bahwa orang pada
umumnya akan memenuhi kebutuhan mendasar (fisiologis) terlebih dahulu sebelum
mengarahkan ke perilaku pemenuhan kebutuhan pada tingkatan yang lebih tinggi
(aktualisasi diri). Sengupta (2011) menekankan bahwa ketika kebutuhan pada suatu
tingkat telah terpenuhi, maka keinginan untuk memenuhi kebutuhan tersebut akan
berhenti menjadi motivasi utama perilaku seseorang.
Two factors theory menurut Herzberg (1950) menyatakan dua faktor yang
mempengaruhi motivasi kerja dalam rangka pemenuhan kebutuhan seseorang (dalam
Herzberg, 1974). Pertama adalah motivator factors atau faktor motivasi yang terdiri
dari sejumlah faktor yang menyebabkan pekerja merasa puas dan ingin bekerja lebih
baik. Faktor seperti kesempatan untuk memperoleh promosi dan penghargaan
terhadap hasil kerja merupakan bagian dari motivator factors. Kedua adalah hygiene
factor atau faktor higiene yaitu faktor yang jika tidak dipenuhi dapat memicu
ketidakpuasan kerja dan penurunan motivasi. Adapun hygiene factors dapat berupa
faktor gaji dan tunjangan (Herzberg, 1974).
28
Teori ekuitas (equity theory) atau teori keseimbangan (Adams, 1963)
kemudian muncul sehubungan dengan persepsi pekerja terhadap gaji sebagai imbalan
untuk pemenuhan kebutuhan yang didasarkan pada two factor theory Herzberg
(1950). Teori ekuitas menurut Adams (1963) adalah teori tentang persepsi pekerja
yakni bagaimana mereka berkonstribusi terhadap organisasi, apa yang mereka
dapatkan sebagai imbalan, dan bagaimana rasio pengembalian atas konstribusi
tersebut jika dibandingkan dengan yang diterima pekerja lain baik di dalam dan luar
organisasi akan menentukan bagaimana mereka melihat hubungan kerja (Skiba &
Rosernberg, 2011).
Teori ekspektasi (expectancy theory) oleh Vroom (1964) lebih menekankan
pada faktor hasil (outcomes), dibandingkan kebutuhan (needs) seperti yang
dikemukakan oleh Maslow (dalam Nimri, Bdair & Albitar, 2015). Teori ini
menyatakan bahwa kecenderungan untuk melakukan suatu hal dengan cara tertentu
tergantung pada intensitas harapan bahwa kinerja akan diikuti dengan hasil yang
pasti. Vroom (1964) mengemukakan bahwa individu akan termotivasi untuk
melakukan hal-hal tertentu guna mencapai tujuan, apabila mereka yakin bahwa
tindakan mereka akan mengarah pada pencapaian tujuan tersebut. Teori penguatan
kembali (reinforcement theory) oleh Skinner (1958) memandang bahwa perilaku
manusia ditentukan oleh konsekuensi yang diberikan oleh lingkungannya (Sequeira,
Melo, & Paiva, 2014). Teori ini berdasarkan pada Thorndike’s law of effect (1905),
yakni bahwa perilaku yang menghasilkan outcome yang menyenangkan akan
cenderung diulangi, sedangkan perilaku yang menghasilkan outcome yang tidak
menyenangkan akan cenderung tidak diulang (dalam Sequeira et al., 2014). Teori
29
ekspektasi (expectancy) dikombinasikan dengan teori penguatan kembali
(reinforcement) dapat memberikan implikasi terhadap manajemen kompensasi
(Malik, Butt & Choi, 2015). Teori ekspektasi (expectancy) dan penguatan kembali
(reinforcement) menyatakan tentang respon yang mengikuti pemberian penghargaan.
Teori penguatan kembali (reinforcement) sama seperti teori ekspektasi (expectancy)
umumnya fokus pada hubungan antara penghargaan dan perilaku, dengan
menekankan pada harapan terhadap penghargaan yang akan diterima. Implikasi
kedua teori ini terhadap manajemen kompensasi adalah kinerja yang baik jika diikuti
dengan pemberian penghargaan yang sesuai dengan ekspektasi maka akan
menyebabkan kualitas kinerja tersebut akan terulang lagi di masa yang akan datang.
Sebaliknya kinerja yang baik, jika diikuti dengan pemberian penghargaan yang tidak
sesuai ekspektasi akan menyebabkan kualitas kinerja yang baik tersebut tidak akan
terulang lagi di masa yang akan datang (Malik et al., 2015).
2.1.1.3 Peranan Konsep Kompensasi Pada Konteks Freight
Forwarding
Kompensasi dalam industri freight forwarding, menurut Hamdan dan
Setiawan (2014) baik yang memberikan manfaat finansial maupun non finansial,
dapat membangkitkan semangat kerja sehingga berdampak pada kinerja pekerja.
Gunawan (2015) menambahkan, kompensasi merupakan faktor penting, mengingat
kompensasi khususnya yang memberikan manfaat finansial dapat membantu
meningkatkan kesejahteraan hidup pekerja. Peningkatan kesejahteraan hidup akan
memotivasi pekerja untuk bekerja secara maksimal yang kemudian berdampak pada
30
kinerja perusahaan (Gunawan, 2015). Hal ini didasarkan pada kombinasi teori
ekspektasi (expectancy) dan penguatan kembali (reinforcement) yang menyatakan
bahwa kinerja yang baik jika diikuti dengan pemberian penghargaan yang sesuai
dengan ekspektasi maka akan menyebabkan kualitas kinerja tersebut dapat terulang
kembali di masa yang akan datang (Malik et al., 2015). Lesal (2015) menyatakan
kompensasi dapat digunakan sebagai faktor pendorong internal pada aplikasi strategi
bersaing dalam menghadapi persaingan bisnis di industri freight forwarding. Istilah
freight forwarder menurut Oxford Dictionaries adalah ―A company that receives
and ships goods on behalf of other companies: the freight forwarder chooses whether
to ship a consignment by road, by rail, or by sea.” Sebuah perusahaan yang
melakukan jasa penerimaan dan pengiriman barang atas nama perusahaan lain;
perusahaan memilih mengirim barang menggunakan jalan darat, melalui kereta api
ataupun melalui laut (―Freight forwarder,‖ 2016).
Pada industri freight forwarding, buruh angkut atau pekerja blue-collar
umumnya mendominasi dalam proses operasional perusahaan (Sasono, 2003). Buruh
angkut sebagai pekerja blue-collar merupakan faktor penting dalam proses
operasional perusahaan freight forwarder (Gunawan, Suhartono & Sianto, 2008).
Adapun kompensasi merupakan faktor yang dapat mendorong peningkatan
produktivitas sebagai akibat dari kepuasan kerja (Gunawan 2015). Persepsi
kompensasi bagi para buruh dianggap sangat penting, karena kompensasi merupakan
sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka (Kapeliushnikov,
2015). Sebagian besar buruh menggantungkan hidupnya pada kompensasi yang
diterima dari perusahaan, dimana terkadang kompensasi tersebut belum mampu
31
memenuhi kebutuhan hidup mereka (Canavan, 2014). Di Indonesia fenomena upah
murah identik dengan para buruh, dimana kesalahan tolak ukur yang digunakan untuk
menentukan gaji buruh yaitu biaya hidup rendah merupakan pemicu utama fenomena
ini (Syarifudin, 2016). Ketika upah yang diterima para buruh tidak mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya, ketidakpuasan kerja akan muncul sebagai efek dari kebutuhan
hidup yang tidak terpenuhi (Zotov, Zhidkova, & Dvorovenko, 2014).
Berdasarkan penjabaran di atas, diduga bahwa kompensasi mempengaruhi
kepuasan kerja para buruh angkut sebagai pekerja blue-collar di industri freight
forwarding. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih jelas
sehubungan dengan pengaruh kompensasi baik yang memberikan finansial maupun
non fimansial terhadap kepuasan kerja di industri freight forwarding. Definisi freight
forwarding yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada penggunaan jalur laut.
2.1.2 Konsep Lingkungan Kerja
2.1.2.1 Definisi Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja fisik dan non fisik mempengaruhi hubungan antar pihak di
perusahaan yang kemudian berdampak pada hasil akhir dari pekerjaan (Weiss, 1949).
Hardin (1960) menambahkan bahwa lingkungan kerja akan mempengaruhi kepuasan
pekerja terhadap pekerjaannya. Howel, Brumback, Newman, & Rizzo (1968)
mendukung penyataan Hardin (1960) yang menyatakan bahwa lingkungan kerja yang
mendukung akan meningkatkan kinerja dari para pekerja. Lingkungan kerja
memainkan peran yang signifikan terhadap tekanan kerja di perusahaan, dimana
dengan lingkungan kerja yang mendukung, tekanan kerja dari para pekerja dapat
32
dikurangi sehingga mampu mengoptimalkan kinerja mereka (Forrester, 1984). Hoogs
& Higgs (2002) melengkapi pernyataan Forrester (1984) dengan menyatakan bahwa
lingkungan kerja umumnya fleksibel, tidak harus terpaku pada suatu tempat secara
fisik, tetapi menyesuaikan dengan lingkungan sosial.
Lingkungan kerja yang terdiri dari fasilitas peralatan, perilaku yang diterima
karyawan, lingkungan tempat kerja, tantangan pekerjaan, sistem kompensasi yang
adil, dukungan lingkungan kerja dan sikap rekan kerja merupakan determinan
kepuasan kerja (Rahmawati, Swasto & Prasetya, 2012). Rahmawati et al. (2012)
kemudian membagi lingkungan kerja menjadi dua kategori yakni lingkungan kerja
fisik dan lingkungan kerja non fisik. Lingkungan kerja fisik mencakup keadaan di
sekitar tempat kerja yang berbentuk fisik dan dapat secara langsung dirasakan oleh
pekerja. Adapun lingkungan kerja non fisik merupakan cerminan hubungan antar
pihak yang terlibat dalam lingkungan kerja. Kondisi perusahaan terkait dengan
lingkungan kerja non fisik meliputi suasana kekeluargaan, komunikasi yang baik
antara atasan dan bawahan, dan pengendalian diri. Lingkungan kerja fisik dan non
fisik ini memiliki pengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja. Indikator yang dapat
digunakan untuk mengukur lingkungan kerja fisik antara lain pencahayaan, sirkulasi
udara, warna, kebersihan, keamanan, dan kondisi peralatan kerja. Lingkungan kerja
non fisik dapat diukur melalui struktur tugas, desain pekerjaan, pola kerja sama dan
pola kepemimpinan (Rahmawati et al., 2012). Adapun berdasarkan pembagian
kategori tersebut, menurut Raziq dan Maulabaksh (2015) variabel lingkungan kerja
dapat diukur melalui kepuasan pekerja terhadap kondisi pekerjaan (operating
conditions) serta hubungan dengan atasan dan rekan kerja (relationship with
33
supervisor and co-workers). Beban pekerjaan yang sesuai dengan kapasitas kerja,
hubungan yang baik dengan rekan kerja dan supervisor serta didukung dengan aturan
dan prosedur yang mudah dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut akan mampu
memelihara tingkat kepuasan kerja pada tingkat tertinggi (Raziq dan Maulabaksh,
2015).
Rossberg, Eiring, & Friss (2004) menyebutkan bahwa lingkungan kerja dan
kepuasan kerja memiliki hubungan yang erat. Menurut Srivastava (2008) lingkungan
kerja berdampak terhadap kepuasan kerja yang kemudian menjadi faktor penentu
efektivitas organisasi. Tio (2015) menambahkan lingkungan kerja merupakan faktor
yang penting bagi pekerja karena lingkungan kerja dapat membangun perasaan positif
pada saat bekerja. Salunke (2015) mendukung penelitian Tio (2015) dengan
menyatakan bahwa lingkungan kerja penting untuk menciptakan keterikatan sosial
terhadap tempat kerja dan rekan kerja. Nature of works berupa sikap mental pekerja
terhadap pekerjaan yang dimilikinya merupakan salah satu indikator yang dapat
digunakan untuk mengukur kepuasan pada lingkungan kerja (Salunke, 2015).
Kepuasan pekerja terhadap lingkungan kerja muncul ketika pekerja memiliki
pengalaman menyenangkan sehubungan dengan pekerjaannya di lingkungan kerja
(Salunke, 2015). Adapun lingkungan kerja yang tidak menyenangkan akan
berpengaruh terhadap kinerja dari para pekerja yang notabene merupakan aset
terbesar perusahaan (Salunke, 2015).
Kepuasan kerja dari pekerja di industri jasa akan berdampak pada bagaimana
mereka menyampaikan pelayanan kepada konsumen (Dhermawan, Sudibya, &
Utama, 2012). Bersadarkan hasil penelitian Pangarso dan Ramadhyanti (2015)
34
lingkungan kerja non fisik memiliki pengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja.
Adapun Bojadjiev, Petkovska, Misoska, & Stojanovska (2015) mendukung penelitian
Pangarso dan Ramadhyanti (2015) dengan menyatakan bahwa lingkungan kerja non
fisik memiliki pengaruh yang lebih signifikan jika dibandingkan dengan lingkungan
kerja fisik pada pekerja di industri jasa. Pengakuan, kesempatan untuk berkembang,
hubungan dengan atasan dan rekan kerja (relationship with supervisor and co-
workers), serta karakteristik pekerjaan itu sendiri (nature of works) menjadi faktor
dari lingkungan kerja non fisik yang mempengaruhi kepuasan kerja (Bojadjiev et al.,
2015). Hubungan pekerja dengan rekan kerja yang baik dimana perselisihan jarang
terjadi menyebabkan kepuasan pekerja akan lingkungan kerjanya meningkat. Adapun
pihak atasan yang kompeten dan memahami perasaan pekerja, serta memperlakukan
pekerja secara adil juga akan menciptakan kepuasan kerja terhadap lingkungan kerja
(Bojadjiev et al., 2015). Setelah mengetahui definisi lingkungan kerja dari sejumlah
penelitian, maka definisi lingkungan kerja yang digunakan pada penelitian ini adalah
lingkungan kerja baik fisik maupun non fisik merupakan faktor penting yang harus
diperhatikan perusahaan untuk mencapai komitmen organisasi dan kepuasan kerja
yang akan berdampak pada kinerja pekerja (Kurniasari dan Halim, 2013; Sukmawati,
2008; Wibowo, Musadieq, & Nurtjahjono, 2014).
2.1.2.2 Teori-Teori yang Melandasi Konsep Lingkungan Kerja
Teori Hierarchy of Needs oleh Maslow (1943) berkaitan dengan, pemenuhan
kebutuhan manusia seperti yang telah dijabarkan sebelumnya memotivasi seseorang
untuk melakukan suatu hal dalam rangka memenuhi kebutuhannya tersebut
35
(Sengupta, 2011). Adapaun two factor theory of motivation menurut Herzberg (1950)
berkembang berdasarkan motivasi untuk memenuhi kebutuhan pribadi, seperti yang
telah dijelaskan oleh Maslow (dalam Herzberg, 1974). Two factor theory menyatakan
dua faktor yang mempengaruhi motivasi kerja dalam rangka pemenuhan kebutuhan
seseorang (dalam Herzberg, 1974). Pertama adalah motivator factors atau faktor
motivasi yang terdiri dari sejumlah faktor yang menyebabkan pekerja merasa puas
dan ingin bekerja lebih baik. Nature of work merupakan bagian motivator factors
pada variabel lingkungan kerja. Kedua adalah hygiene factor yaitu faktor yang jika
tidak dipenuhi dapat memicu ketidakpuasan kerja dan penurunan motivasi. Adapun
yang termasuk ke dalam hygiene factors menurut Herzberg (1974) adalah kondisi
lingkungan kerja seperti hubungan sosial di lingkungan kerja baik dengan atasan
maupun dengan rekan kerja, serta kondisi operasional (Arnabile, Conti, Coon,