13 BAB II LANDASAN TEORI A. ZAKAT 1. Pengertian Zakat Zakat adalah salah satu rukun Islam yang berdimensi keadilan sosial kemasyarakatan. Secara etiomologi zakat berarti suci, baik, tumbuh, bersih dan berkembang, dan secara terminologi zakat adalah sejumlah harta yang diwajibkan oleh Allah diambil dari harta orang-orang tertentu (aghniyā‟) untuk diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan syaratsyarat tertentu 1 . Esensi dari zakat adalah pengelolaan dana yang diambil dari aghniyā‟ 2 untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya 3 dan bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam 4 . 1 Lihat: Yusuf al-Qaradhawi, ibid., h. 32, Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid I, (Beirut: Dar al- Fikr, 1982), h. 276, Ali Ibn Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta'rif, (Beirut: Dar Kutub al-'Ilmiyah, 1983), h. 114. 2 QS. al-Taubah [9]: 103, artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” 3 QS. al-Taubah [9]: 60, artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan.” 4 QS. al-Dzariyat [51]: 19, artinya: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
13
BAB II
LANDASAN TEORI
A. ZAKAT
1. Pengertian Zakat
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang berdimensi keadilan
sosial kemasyarakatan. Secara etiomologi zakat berarti suci, baik, tumbuh,
bersih dan berkembang, dan secara terminologi zakat adalah sejumlah
harta yang diwajibkan oleh Allah diambil dari harta orang-orang tertentu
(aghniyā‟) untuk diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya
dengan syaratsyarat tertentu1. Esensi dari zakat adalah pengelolaan dana
yang diambil dari aghniyā‟2 untuk diserahkan kepada yang berhak
menerimanya3 dan bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan sosial
kemasyarakatan umat Islam4.
1 Lihat: Yusuf al-Qaradhawi, ibid., h. 32, Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid I, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1982), h. 276, Ali Ibn Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta'rif, (Beirut: Dar Kutub al-'Ilmiyah,
1983), h. 114. 2 QS. al-Taubah [9]: 103, artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” 3 QS. al-Taubah [9]: 60, artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang
sedang dalam perjalanan.” 4 QS. al-Dzariyat [51]: 19, artinya: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin
yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”
14
Zakat5, juga salah satu instrumen keuangan Islam yang sering
disebut sebagai sumber dana sosial yang sangat potensial untuk
dikembangkan. Hal ini karena aspeknya yang sangat luas, nilai
manfaatnya yang dalam, dan kedinamisan hukumnya terhadap
perkembangan zaman. Yusuf Qaradhawi, dalam karyanya Fiqh al-Zakah
membahas zakat dalam sembilan bagian: Zakat dan kedudukannya dalam
Islam, muzakki (wajib berzakat), obyek zakat dan besar zakatnya, asnaf
zakat, cara membayar zakat, tujuan zakat dan dampaknya dalam
kehidupan pribadi dan masyarakat, zakat fitrah; kewajiban lain di luar
zakat, zakat dan pajak6.
Secara bahasa, zakat merupakan kata dasar (masdar) zaka yang
berarti tumbuh, bersih dan baik.7
Jika zakat ditujukan kepada seseorang, itu
berarti untuk meningkat, untuk menjadi lebih baik. Maka, orang berzakat
dimaknai orang tersebut diberkahi, tumbuh, bersih dan baik. Istilah ini
digunakan dalam Al-Quran maupun Hadis. Zakat secara istilah ini dapat
ditemukan pada beberapa ayat Al-Quran, seperti:
5 Dilihat dari segi bahasa, kata zakat adalah “bentuk masdar dari zaka yang mempunyai beberapa
arti, yaitu berkah, tumbuh/berkembang, bersih, suci dan baik.” Ibrahim Anis dkk, Al- Mu‟jam al-
Wasîth, (Mesir: Dar al-Ma‟arif, 1972), Juz I, h. 396. Beberapa arti ini memang sangat sesuai
dengan arti zakat. Dikatakan berkah, karena zakat akan membuat keberkahan pada harta seseorang
yang telah berzakat. Dikatakan suci, karena zakat dapat mensucikan pemilik harta dari sifat tama‟,
syirik, kikir dan bakhil. Dikatakan tumbuh, karena zakat akan melipat gandakan pahala bagi
muzakki dan membantu kesulitan para mustahiq, dan seterusnya. Sedangkan zakat menurut istilah
syara‟, para ahli fiqh memberikan batasan yang beraneka ragam. Sayyid Sabiq, mendefinisikan
zakat adalah “suatu sebutan dari suatu hak Allah yang dikeluarkan seseorang untuk fakir miskin,
dinamakan zakat, karena dengan mengeluarkan zakat itu di dalamnya terkandung harapan untuk
memperoleh berkat, pembersihan jiwa dari sifat kikir bagi orang kaya dan menghilangkan rasa iri
hati orang-orang miskin serta memupuknya dengan berbagai kebajikan. Arti aslinya adalah
tumbuh, suci dan berkat”. Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, (Kuwait: Dar-al-Bayan, tt), h. 2 6Yusuf Qaradhawi, Fiqh al-Zakah, (Beirut: Dar al-Irsyad, tt); diterj., Hukum Zakat, (Jakarta: Litera
AntarNusa, 2007). 30 7 Yusuf Qardawi, Hukum zakat, (Bandung: Penerbit Mizan, 2007), hal. 34-35.
15
Makna tumbuh berkembang (QS Al-Kahfi (18):81).
ىه زكىة وأقرب رحما (١٨)فأردوا أن يبدلهما ربهما خيرا م
Artinya:“kemudian kami menghendaki, sekiranya Tuhan mereka
menggantinya dengan (seorang anak lain) yang lebih baik kesuciannya
dari pada (anak) itu dan lebih sayang (kepada ibu-bapaknya)”.
Suci atau bersih hatinya (QS Maryam (19):13).
ا ه لدوا وزكىة وكان تقي (٨١)وحىاوا م
Artinya: “dan (Kami jadika) rasa kasih sayang (kepada sesama) dari
Kami dan bersih (dari dosa). Dan diapun seorang yang bertakwa”.
Salah satu pemikir muslim yang serius menggeluti dan
mengembangkan konsep zakat adalah Yusuf Qaradlawi dalam kitabnya
Fiqhu az-Zakah (2 jilid). Dalam kitab tersebut, Yusuf Qaradlawi
melakukan lompatan pemikiran yang sangat progresif untuk merespons
perkembangan dunia yang semakin cepat. Beberapa terobosan pemikiran
dimunculkan, seperti wajibnya zakat kepada perusahaan, industri, profesi,
saham, obligasi, madu, hasil laut, bumi yang diperdagangkan, dan lain-
lain.8 Selain itu, sabilillah diluaskan maknanya, tidak hanya dalam konteks
perang fisik, tapi juga perang intelektual, ekonomi, politik, dan lain-lain.
Pendapat ini hampir sama dengan pandangan Kiai Sahal Mahfudh yang
cenderung meluaskan makna sabilillah kepada kemaslahatan umum
8Ibid,. 461-533.
16
sehingga zakat bisa berdayaguna dan tepat guna. Pendapat ini juga
disampaikan Ahmad bin Hambal yang membolehkan zakat diberikan
untuk membangun madrasah, masjid, jembatan, dan lainlain. Hal ini
berlawanan dengan mayoritas ulama yang membatasi sabilillah hanya
pada orang-orang yang berperang di jalan Allah9. Kiai Sahal memberikan
pandangan menarik tentang sabilillah ini. Menurut mayoritas ulama,
sabilillah dibatasi pada perang di jalan Allah. Sedangkan menurut Imam
Ahmad bin Hambal, sabilillah bisa digunakan untuk membangun
madrasah, masjid, jembatan, dan sarana umum lainnya. Menurut Kiai
Sahal, segala hal yang berhubungan dengan maslahah umum termasuk
kategori sabilillah10
. Secara lebih luas, sabilillah adalah memperjuangkan
agama secara umum dengan tujuan memelihara dan menjunjung tinggi
agama, seperti maju di medan perang, berdakwah, membela hukum Islam,
menentang berbagai macam serangan terhadap Islam dan lain-lain11
.
Dinamisasi konsep zakat juga dilakukan oleh Masdar Farid
Mas‟udi yang mengusung konsep reinterpretasi terhadap golongan delapan
dan menggulirkan ide kontroversi bahwa pajak adalah zakat. Menurut
Masdar, fuqara‟ masakin adalah fakir-miskin, amilin adalah aparat pajak
dan pemerintah, mu‟allaf qulubuhum adalah rehabilitasi sosial, riqab
adalah kaum tertindas, sabilillah adalah kepentingan umum, dan ibn sabil
Yusuf Qaradhawi, Fiqh al-Zakah..., h. 96 14 Prinsip keadilan ini terkandung dalam ucapan Nabi saw: ”Bagi (hasil) tanah yang diairi oleh
hujan dan mata air, atau yang diairi air yang mengalir pada permukaan bumi ditentukan zakatnya
sepersepuluh dari hasilnya, sedangkan bagi yang diairi sumur, seperdupuluh dari hasilnya”
(HR.Bukhari).
18
Ketiga: Prinsip produktivitas dan sampai waktu (nisab dan haul).
Dengan prinsip ini, maka zakat dibayar pada setiap tahun setelah
memperhatikan nisab. Nisab berlaku pada zakat apabila telah sampai
waktunya dan produktif. Berlakunya suatu periode waktu dua belas bulan
sangat penting, karena waktu sangat diperlukan untuk mewujudkan
produktivitas.15
Keempat: Prinsip nalar, yaitu orang yang diharuskan membayar
zakat adalah seseorang yang berakal dan bertanggung jawab. Karena itu
zakat hanya diwajibkan pada mereka yang mampu melaksanakan
kebijaksanaan. Prinsip ini tercermin pada pendapat para ulama bahwa
harta yang wajib zakat adalah miliknya muslim dewasa dan waras.16
Kelima: Prinsip kemudahan. Kemudahan zakat diperoleh sebagian
dari sifat pemungutan zakat dan sebagian diperoleh dari hukum Islam
tentang etika ekonomi.17
Keenam: Prinsip kebebasan, yaitu seseorang harus menjadi
manusia bebas sebelum dapat disyaratkan untuk membayar zakat. Prinsip
15
Satu tahun adalah tenggang waktu yang sudah cukup untuk pengembangan suatu harta. Oleh
sebab itu para mukallaf wajib mengkalkulasikan harta kekayaan yang dimilikinya dengan harga
pasaran, bila telah cukup satu tahun. Ibnu Umar berkata: Rasulullah saw. bersabda: “barang siapa
memperoleh kekayaan setelah satu tahun, berlaku zakat atasnya”. (HR. Tirmidzi). Al-Zuhaily,
1997, h. 119 dalam kitab Syarh ash-Shaghir menyebutkan: ”Taksirlah harta kekayaanmu per jenis
setiap tahun atas dasar harga di kala itu (harga pasaran) dengan harga yang adil dan pembelian
yang baik.” 16
Di kalangan ulama, prinsip ini diperdebatkan. Yaitu dalam hal wajib tidaknya anak-anak dan
orang gila berzakat. Yusuf Qaradhawi, berpendapat bahwa ”kekayaan anak-anak dan orang gila
wajib zakat. Zakat adalah kewajiban yang berkaitan dengan kekayaan dan tidak dapat gugur dari
anak-anak dan orang gila, yang diminta mengeluarkan zakatnya adalah wali mereka”. Sebagian
ulama mazhab Hanafi menyarankan agar masalah ini ditetapkan oleh pengadilan agama. Yusuf
Qaradhawi, h. 106- 120, Baca juga Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, jilid 1, h. 335. 17 Abu Ubaid memandang bahwa pembayaran zakat mesti bersifat mudah (taysir, tashili) bagi
pembayar zakat. Lihat: Abu Ubayd, 467, no. 962 dalam Ugi Suharto, h. 224.
19
ini dapat digali dalam ketentuan tentang syarat wajib zakat18
adalah
”merdeka”. Dan dalam ketentuan tentang penerima (mustahiq) zakat,
bahwa budak (riqab) berhak menerima zakat, bukan berzakat. Menurut
penulis, dari enam prinsip di atas, dapat dikelompokkan menjadi tiga
bagian. (1) Prinsip keyakinan, nalar, dan kebebasan merupakan prinsip
yang berkaitan dengan muzakki; (2) Prinsip produktivitas, nisab, dan haul
berkaitan dengan sifat harta yang wajib dizakatkan; (3) Prinsip keadilan
dan kemudahan berkaitan dengan pengelolaan zakat.
3. Definisi Mustahik
Sasaran (masarif) zakat sudah ditentukan dalam Surah At-Taubah,
yaitu delapan golongan. Yang pertama dan kedua adalah fakir dan miskin.
Mereka itulah yang pertama kali diberi saham harta zakat oleh Allah. Ini
menandakan bahwa sasaran pertama zakat adalah hendak menghapus
kemiskinan dan kemelaratan dalam masyarakat Islam. Delapan golongan
tersebut iyalah:
a. Fuqara‟ dan Masakin
Pemuka ahli tafsir, Tabari menegaskan bahwa yang dimaksud dengan
Fakir yaitu orang yang dalam kebutuhan, tapi masih dapat menjaga
diri dan tidak meminta-minta. Sedangkan yang dimaksud dengan
miskin yaitu orang yang dalam kebutuhan, namun masih merengek-
rengek dan meminta-minta. Diperkuat lagi pendapatnya tersebut
18 Selengkapnya, syarat wajib zakat ialah: Islam- Merdeka- Sempurna Milik- Hasil Usaha Yang
Baik Sebagai Sumber Zakat- Cukup Nisab- Cukup Haul.
20
dengan berpegang pada arti kata maskanah (kemiskinan jiwa) yang
sudah menunjukkan arti demikian.19
b. „Amalah atau Panitia Zakat
„amalah zakat ialah mereka yang diangkat oleh penguasa atau oleh
badan perkumpulan untuk mengurus zakat mereka.20
Maka mereka
hendaklah diberi upah sesuai dengan pekerjaannya, tidak terlalu kecil
juga tidak terlalu berlebihan. Menurut riwayat dari Syafi‟i disebutkan,
amilin diberi zakat sebesar bagian golongan lainnya, karena
didasarkan pada pendapatnya yang menyamakan bagian semua
golongan mustahik zakat. Jikalau upah itu lebih besar dari bagian
tersebut, maka haruslah diambilkan dari harta diluar zakat.21
c. Golongan Muallaf
Golongan muallaf antara lain adalah mereka yang diharapkan
kecenderungan hatinya atau keyakinannya dapat bertambah kepada
Islam, atau terhalangnya niat jahat mereka atas kaum Muslimin, atau
harapan akan adanya kemanfaatan mereka dalam membela dan
menolong kaum muslimin dari musuh.22
Fuqaha membagi muallaf
menjadi dua golongan. Pertama, yang masih kafir. Kedua, yang telah
masuk agama islam.23
19
Tafsir At-Tabari, jilit 14, hal 308-309, al-Ma‟arif. Dalam Yusuf Qardawi, Hukum Zakat,
(Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, cet.VI, 2002), 511. 20