-
8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. KEBUDAYAAN
Kata “kebudayaan” berasal dari (bahasa sangsekerta) buddhayah
yang adalah bentuk
jamak dari kata “budhdi” yang berarti “budi atau akal”.
Kebudayaan diartikan sebagai “hal-
hal yang bersangkutan dengan budi dan akal”. 1 Ada juga ahli
yang mengupas kata budaya
dengan perkembangan dari majemuk budi-daya yang berarti daya
dari budi. Sehingga mereka
membedakan budaya dari kebudayaan. Budaya itu daya dari budi
yang berupa cipta, karsa dan
rasa, dan kebudayaan itu segala hasil dari cipta karsa dan rasa
itu.2
Menurut Edward B. Taylor Kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang
di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat,
dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai
anggota masyarakat.3
Richard Niebuhr mengatakan bahwa kebudayaan sebagai hasil
prestasi manusia, yang mana
semuanya dirancang untuk satu atau beberapa tujuan akhir; dunia
kebudayaan adalah dunia
nilai. Beberapa filsuf berpendapat bahwa manusia harus memenuhi
kepentingannya sendiri
sebagai nilai yang ada. Karena aktualisasi tujuan ini dicapai
dalam bahan sementara dan dapat
binasa maka kegiatan budaya menaruh perhatian besar kepada
pelestarian nilai-nilai
sebagaimana ia ada dengan realisasinya. 4
1 Soerjono Soerkanto.,Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2003), 172
2 Koentjaraningrat., Pengantar Antropologi (Jakarta: Aksara,
1962), 76
3http://exalute.wordpress.com/2009/03/29/definisi-kebudayaan-menurut-para-ahli/,
di unduh pada hari selasa
tanggal 24 Juli 2012, pukul 22.03 WIB 4Ibid, 38-42
http://exalute.wordpress.com/2009/03/29/definisi-kebudayaan-menurut-para-ahli/
-
9
Jadi sebenarnya kebudayaan yang dibuat oleh manusia memiliki
hubungan yang erat
dengan apa yang diterima secara turun-temurun dari masyarakat
yang adalah hasil kerja dari
orang lain yang terus diwariskan dan diberikan kepada
masing-masing orang dalam
masyarakat tertentu sehingga terciptanya keteraturan dan
terpenuhinya kebutuhan hidup.
Dalam setiap masyarakat memiliki tiga pokok besar hasil
kebudayaan, yaitu ideal yang
berkaitan dengan adat dalam masyarakat, aturan-aturan dalam
masyarakat, dan benda-benda
yang dipercayai memiliki kekuatan. Contohnya dalam kebudayaan
Meto kain adat memiliki
arti dan makna tertentu bagi setiap klan. Berkaitan dengan tiga
bagian kebudayaan di atas
maka pernikahan adat termasuk dalam bagian yang pertama ideal
(adat).
B. Hukum Adat
Dalam setiap masyarakat di Indonesia memiliki hukum adatnya
masing-masing, yang
sudah ada sejak dahulu dan masih dipertahankan sampai sekarang
ini, dan dalam masyarakat
yang masih memegang teguh hukum adat mereka meyakini bahwa
setiap hukum adat itu
bersifat kelihatan maupun tidak kelihatan yang dipercayai
membentuk kehidupan seseorang
sejak lahir sampai meninggal.
Menurt Prof Soepomo Hukum Adat adalah sinonim dari hukum yang
tidak tertulis di
dalam peraturan legislatif, hukum yang hidup sebagai konvensi di
badan-badan hukum
Negara (parlemen, Dewan Propoinsi, dan sebagainya) hukum yang
hidup sebagai peraturan
kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di
dalam kota maupun di desa-
desa. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena ia
menjelmakan perasaan hukum
-
10
yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan fitratnya sendiri, hukum
adat terus menerus dalam
kebudayaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu
sendiri”.5
Hukum adat adalah hukum yang meliputi aturan-aturan tingkah laku
dalam pergaulan
hidup sehari-hari, hukum adat disamping sifatnya yang
tradisional juga mempunyai coraknya
“dapat berubah” dan mempunyai kesanggupan untuk menyesuikan diri
dengan situasi dan
kondisi yang berkembang.
Ciri-ciri hukum adat adalah hukum adat mempunyai corak keagamaan
dan kepercayaan
kepada Tuhan yang Maha Esa ini mempengaruhi tingkah laku manusia
dalam pergaulan
hidup, sifat kebersamaan, hukum adat bersifat tradisional
artinya bersifat turun temurun sejak
dahulu hingga sekarang tetap dipakai, tetap diperhatikan dan
dihormati, Hukum adat
bertumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan
masyarakat
Sedangkan untuk aturan hukum adat perkawinan sudah ada sejak
masyarakat dulu, dan
aturan untuk hukum adat perkawinan terus berkembang dan maju
dalam kehidupan
masyarakat. Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada
suatu masyarakat juga
dipengaruhi oleh lingkungan, kebudayaan, dan pergaulan
masyarakat. Begitu juga dalam
budaya perkawinan di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh
pengetahuan dan pengalaman
tetapi juga dipengaruhi oleh ajaran dari agama. Karna itu jika
di Indonesia telah memiliki
hukum perkawinan Negara tetapi pada kenyataannya masyarakat
Indonesia ada yang masih
memegang adat dan tata cara upacara adat dalam kebudayaan yang
berbeda.
Dalam pasal 1 UU no. 1-1974 dikatakan bahwa perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan wanita dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. 6
5 Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, (penerbit Universitas),
1967,12.
-
11
Menurut Prof Hilman, hukum adat perkawinan di Indonesia bukan
hanya sebagai
“perikatan perdata” tetapi juga merupakan “perikatan adat” dan
juga merupakan perikatan
kekerabatan dan ketetanggan.7 Pernikahan dalam arti “pernikahan
adat” ialah perkawinan
yang mempunyai ikatan hukum terhadap hukum adat yang berlaku
dalam masyarakat
bersangkutan. Setelah terjadi ikatan perkawinan maka timbul
hak-hak dan kewajiban-
kewajiban orang tua (termasuk anggota keluarga/kerabat) menurut
hukum adat setempat,
yaitu dalam pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran
serta membina dan
memelihara kerukunan, keutuhan, kelanggengan, dan kehidupan
anak-anak mereka yang
terikat dalam perkawinan.8Seperti yang terjadi didalam kehidupan
adat istiadat orang meto,
yang memiliki kepercayaan bahwa setelah resmi menjadi pasangan
suami istri maka keluarga
mereka telah menjadi satu dan mereka wajib untuk melakukan
upacara dalam setiap keluarga
dan mengikuti setiap aturan keluarga masing-masing pihak. Tidak
hanya melakukan setiap
upacara dalam masing-masing keluarga tetapi juga memenuhi tugas
dan tanggung jawab
sebagia anak yang harus menghormati orang tua.
Menurut Prof Hilman Hukum adat perkawinan adalah hukum
masyarakat (hukum
Rakyat) yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan
Negara yang mengatur tata
tertip perkawinan. Jika terjadi pelanggaran dalam hukum adat
maka yang akan mengadili
adalah dengan mengunakan peradilan adat.9 Dalam kebudayaan orang
meto jika terjadi
masalah dalam kehidupan keluarga atau marga maka akan di
selesaikan secara kekeluargaan
dengan mengunakan cara adat, mendiskusikan masalah yang terjadi
dan mencari jalan keluar
secara bersama-sama. Dan dalam menyelesaikan masalah yang
terjadi maka yang berperan
6.Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Mandar Maju. Hal 7
7Hilman Hadikusima, Hukum Perkawinan Indosnesia. (CV Mandar
Maju, 1990, 8) 8Ibbid, 9
9 Hilman Hadikusima, Hukum Perkawinan Adat. (Bandung, 1997,
16)
-
12
penting dan yang mengambil keputusan adalah saudara laki-laki
yang paling tua yang
biasanya disebut Atoin Amaf atau Om.
Ketika menjalin suatu hubungan maka ada harapan atau tujuan yang
diinginkan akan
tercapai. Begitu juga dalam perkawinan tujuan menurut
undang-undang adalah untuk
membina keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan
yang Maha Esa.10
Tujuan
perkawinan menurut Hukum adat yang bersifat kekerabatan adalah
untuk mempertahankan
dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan
untuk kebahagiaan rumah
tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai adat budaya dan
kedamaian dan untuk
mempertahankan ke warisan.11
Menurut agama Kristen tujuan perkawinan adalah untuk
membentuk suatu persekutuan hidup yang kekal antara pria dan
wanita berdasarkan cinta
kasih dan untuk melahirkan anak dan mendidik serta saling tolong
menolong antara suami,
isteri.12
Jadi tujuan dari perkawinan adalah untuk membina kehidupan yang
harmonis, terus
memupuk rasa cinta dan kasih sayang sesuai dengan ajaran agama
masing-masing,
melanjutkan keturunan dan saling mendukung satu dengan yang lain
baik dalam susah
maupun senang.
Ketika telah resmi menjadi pasangan suami istri maka mereka
dituntut untuk mengikuti
setiap aturan bahkan upacara-upacara yang berlaku yang dalam
kehidupan keluarga, baik
tujuannya untuk melestarikan dan mempertahankan kebudayaan atau
untuk keselamatan
kehidupan keluarga. Seperti dalam kebudayaan orang meto jika ada
pasangan suami isti yang
telah menikah maka mereka diharuskan untuk melakukan upacara
pernikahan adat kepada
orang tua dari mempelai perempuan.
10
Hilman Hadikusima, Hukum Perkawinan Indosnesia. (CV Mandar Maju,
1990, 22) 11
ibbid 23) 12
Ibbid, 25
-
13
Op ut tes tua dalam perkawinan menurut adat orang meto adalah
penghormatan yang
ditujukan kepada orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan
anaknya. Orang tua
adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan
merupakan hasil dari sebuah
ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga.
Orang tua memiliki
tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing
anak-anaknya untuk mencapai
tahapan tertentu yang menghantarkan anak untuk siap dalam
kehidupan bermasyarakat.
Pengertian orang tua di atas, tidak terlepas dari pengertian
keluarga, karena orang tua
merupakan bagian keluarga besar yang sebagian besar telah
tergantikan oleh keluarga inti
yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Orang tua merupakan
orang yang lebih tua atau
orang yang dituakan. Namun umumnya di masyarakat pengertian
orang tua itu adalah orang
yang telah melahirkan kita yaitu Ibu dan Bapak. Ibu dan bapak
selain telah melahirkan kita ke
dunia ini, ibu dan bapak juga yang mengasuh dan yang telah
membimbing anaknya dengan
cara memberikan contoh yang baik dalam menjalani kehidupan
sehari-hari, selain itu orang
tua juga telah memperkenalkan anaknya ke dalam hal-hal yang
terdapat di dunia ini dan
menjawab secara jelas tentang sesuatu yang tidak dimengerti oleh
anak. Maka pengetahuan
yang pertama diterima oleh anak adalah dari orang tuanya. Karena
orang tua adalah pusat
kehidupan rohani si anak dan sebagai penyebab berkenalnya dengan
alam luar, maka setiap
reaksi emosi anak dan pemikirannya dikemudian hari terpengaruh
oleh sikapnya terhadap
orang tuanya di permulaan hidupnya dahulu.13
Karena itu anak harus menghargai dan
menghormati orang tua, dengan mendengarkan tanpa melanggar apa
yang dikatakan oleh
orang tua kepada anaknya. Tetapi ketika anak tersebut tidak
mendengarkan apa yang
dikatakan oleh orang tua maka anak tersebut akan mendapatkan
masalah atau bencana dalam
13
http://www.pengertiandefinisi.com/2011/11/pengertian-orang-tua.html,
di unduh pada hari minggu 22 Juli 2012, pukul 18.25 WIB.
http://www.pengertiandefinisi.com/2011/11/pengertian-orang-tua.html
-
14
kehidupannya, tetapi sebaliknya jika anak mematuhi orang tua
maka anak tersebut akan
mendapatkan doa dari orang tua sehingga kehidupan anak tersebut
menjadi sukses.
Jadi, orang tua atau ibu dan bapak memegang peranan yang penting
dan amat
berpengaruh atas pendidikan anak dari kecil sampai anak hendak
dewasa dan hendak menikah
dengan pasangan hidupnya. Peranan orang tua yang paling penting
adalah memberikan berkat
berupa doa atau kutukan kepada anak-anaknya.
Penghormatan tidak hanya diberikan kepada orang tua yang masih
hidup, tetapi juga
diberikan kepada yang telah meninggal dunia dengan keyakinan
bahwa, almarhum memiliki
eksistensi atau memiliki kemampuan untuk mempengaruhi
keberuntungan orang hidup.
Beberapa kelompok menghormati nenek moyang mereka, beberapa
komunitas agama,
khususnya Gereja Katolik , menghormati orang-orang kudus sebagai
perantara dengan Tuhan.
Dalam beberapa budaya Timur tujuan pemujaan leluhur adalah untuk
memastikan nenek
moyang terus menganugrahkan kesejahteraan.
Salah satu cara mematuhi perkataan orang tua dalam kebudayaan
orang meto adalah
penghormatan anak laki-laki yang sudah menikah kepada orang tua
yang biasanya disebut op
ut,tes tua, penghormatan ini biasanya dilakukan dengan
ritual-ritual yang telah ada dan
diwariskan secara turun temurun.
C. Alasan penghormatan kepada orang tua.
Untuk menggambarkan Allah, sumber segala sesuatu yang ada,
manusia tidak
mempunyai “perlengkapan” lain dari pengalaman mengenai dunia
ini. Tapi pengalaman kita
tentang dunia ini ditandai secara mendalam oleh pengalaman kita
tentang kedua tokoh yang
merupakan asal mula eksistensi kita sendiri, yakni bapak dan
ibu. Oleh karena itu tidaklah
mengherankan bila orang tua asal usul adanya kita sendiri, bagi
manusia dapat menjadi
http://translate.googleusercontent.com/translate_c?hl=id&langpair=en%7Cid&rurl=translate.google.co.id&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Belief&usg=ALkJrhjm2tmc_KvY90nGlFdBSb5xnijpdwhttp://translate.googleusercontent.com/translate_c?hl=id&langpair=en%7Cid&rurl=translate.google.co.id&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Afterlife&usg=ALkJrhhiBRF-EIAm5dLUnoH31a27rHYFQwhttp://translate.googleusercontent.com/translate_c?hl=id&langpair=en%7Cid&rurl=translate.google.co.id&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Catholic_Church&usg=ALkJrhhwI1X3VrD7FV_FQHr6mgTp886ceQhttp://translate.googleusercontent.com/translate_c?hl=id&langpair=en%7Cid&rurl=translate.google.co.id&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Saints&usg=ALkJrhjypGG6MOaa4Hrxp-4ebo8jLWJ-Qghttp://translate.googleusercontent.com/translate_c?hl=id&langpair=en%7Cid&rurl=translate.google.co.id&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Intercession&usg=ALkJrhiPXBrmdSDIi4ze5123oPMB4XSBjQhttp://translate.googleusercontent.com/translate_c?hl=id&langpair=en%7Cid&rurl=translate.google.co.id&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Eastern_culture&usg=ALkJrhg9vNIuZbe-3iRhr4fNgS0OXhL2bQ
-
15
simbol untuk asal segala sesuatu, yaitu Allah sumber yang
mutlak. Baik gambaran tentang
bapak maupun gambaran tentang ibu memainkan peran dalam
terbentuknya gambaran
seseorang mengenai Allah.14
Ada dua simbol yang berbicara tentang orang tua, pertama simbol
itu hasil pengalaman
pribadi seseorang. Setiap simbol merupakan suatu pola yang
bersifat mental dan efektif. Pola
itu tertera dalam ingatan dan afeksi manusia berdasarkan
pengalaman orang yang
bersangkutan dengan dunia, lebih-lebih dengan sesama manusia.
Menurut dimensi pertama
ini, simbol atau gambaran “bapak” dihasilkan dalam kesadaran si
anak oleh kehadiran
bapaknya sendiri dan oleh pergaulan si anak dengannya.
Simbol-bapak – menurut dimensi
yang pertama ini-merupakan buah hasil dari semua hubungan
afektif yang terjadi antara anak
dan bapaknya. Untuk sebagian, citra-bapak dihasilkan oleh
pengalaman sesorang dengan
ayahnya sendiri pada masa muda. Ayah itu bisa seseorang yang
keras, kuat, ramah, pemarah,
pengasih dan lain sebagainya. Dimesi pertama dari simbol-bapak
dan simbol-ibu ini dapat
disebut: gambaran berupa – ingatan.15
Kedua, di samping pengalaman pribadi masih ada faktor-faktor
lain yang ikut
membentuk dan mengisi citra- orang tua seseorang yaitu bahasa,
adat istiadat, tata hukum,
dan terutama konstelasi keluarga. Konstelasi keluarga memberikan
kedudukan istimewa
kepada bapak. Patut diperhatikan bahwa arti-arti tersebut memang
terlepas dari watak, tabiat
dan bakat yang dimiliki oleh ayah yang konkret ini atau itu.
Yang penting dalam dimesi kedua
ini bukan orang lain melainkan peranan dan fungsi orang tua itu:
fungsi sang bapak dalam
keluarga. Fungsi ini untuk sebagian besar ditentukan oleh
kebudayaan, maka dalam
kebudayaan patriakal dan matriakal fungsi itu berlainan. Oleh
karena itu harus dikatakan
14
N. Syukur Dister, Bapak Dan Ibu Sebagai Simbol Allah, (Jakarta;
gunung mulia, 1983) hal 48-49 15
Ibbid, 49
-
16
bahwa suatu struktur obyektif, yakni struktur keluarga,
memaksakan diri kepada si anak,
sekalipun anak tidak menyadarinya. Di samping struktur obyektif
ini, masih ada faktor yang
memainkan peranan dalam pembentukan citra bapak-menurut dimensi
yang kedua ini. Faktor
yang kami maksudkan adalah keinginan dan harapan si anak
mengenai bapaknya. Anak ingin
agar bapanya bersikap begini atau begitu. Dimensi kedua dari
simbol-bapak dan simbol-ibu
ini dapat disebut: gambaran- berupa-simbol-sensusticto (simbol
dalam arti ketat). 16
Freud telah menunjukan bahwa agama seseorang dan terutama
gambaran mengenai Allah
tidak hanya bersumber pada frustrasi tetapi juga bersumber pada
kompleks-oedipus yang
harus dihayati oleh setiap orang supaya mencapai kedewasaan.
Andaikata agama hanya
bersumberkan frustrasi, maka simbol-bapak tidak berbeda
peranannya dengan simbol-ibu
dalam melambangkan Allah.17
Hubungan antara gamabaran-ibu dan gambaran-Allah hampir sama
kuatnya. Pada wanita,
korelasi bapak-Allah malah sedikit lebih kuat dari pada korelasi
ibu-Allah. Hipotese Strunk
berbunyi: hubungan antara citra-orang tua dan citra-Allah
dipengaruhi oleh taraf kemajuan
sikap religious. 18
D. Ritual
Menurut Durkheim ritual “cult” berasal dari bahasa latin cultus
„pemujaan‟ yang terdiri
dari peristiwa-peristiwa tertentu adalah inti dari kehidupan
bersama klan. Di manapun ritual-
ritual itu dilaksanakan, maka tindakan pemujaan kultus ini
adalah hal penting yang pernah
dilakukan oleh orang-orang klan, ritual-ritual itu adalah
sakral; yang lain adalah profan.19
16
Ibbid, 49. 17
Ibbid, 50 18
Ibbid, 51 19
Emile Durkheim, Sejarah Agama (The Elementary Froms Of The
Religious Life), 175
-
17
Penggunaan lain tentang ritual yang umum dapat kita temukan pada
teori psikoanalistis
yang secara khusus menyebutkan bahwa ritual adalah tingkah tidak
rasional atau tingkah laku
simbolik yang dijadikan sebagai ritual yang berbeda dengan
tingkah laku pragmatis yang
dengan jelas mengakhiri tingkah laku yang ditujukan kepada
hal-hal yang secara rasional
berhubungan dengan dewa-dewa empiris. Disini ritual sering
dikontraskan dengan ilmu
pengetahuan bahkan dengan hal-hal yang rasional.20
Ritual menurut Durkheim adalah suatu sistem ritus, pesta, dan
ragam upacara yang
mempunyai karakteristik yang selalu diulang-ulang secara
periodok untuk mempererat dan
memperkuat ikatan antara mereka dengan hal-hal yang sakral
tempat mereka bergantung
padanya.21
Sedangkan kepercayaan menurut Durkheim adalah perasaan para
penganut
terhadap hal-hal yang mereka hormati yang selalu ada yang
menimbulkan rasa kagum
ketimbang rasa takut, terutama berasal dari emosi yang sangat
khusus bahwa “keagungan”
(majesty) terdapat dalam diri manusia.22
Fenomena keagamaan secara alami diatur dalam dua
kategori yang mendasar yaitu kepercayaan dan ritual. Singkatnya
bahwa kepercayaan adalah
pikiran dan ritual adalah tindakan.
Ritus dapat dibedakan dengan tindakan-tindakan praktis manusia
lainnya misalnya
tindakan moral (moral practice) berdasarkan kekhasan akibat apa
yang terjadi objeknya.
Seperti sebuah ritus, sebuah aturan moral menentukan cara kita
bertingkah laku, ini
mengekspresikan jenis objek yang berbeda dari objek ritus.23
20
James Hastings, Encyclopaedia of religion and ethics, volume 10,
405 21
Idem, Sejarah Agama, The Elementary Froms of the Relegion Life,
diterjemahkan ridwan Muzir dkk,
(Jogyakarta:IRCiSOd,2006), 101. 22
Ibbid, 100. 23
Durkhem, Sejarah Agama-Agama,,,,,66
-
18
Dalam hubungan dengan ritus perkawinan yang tersurat dalam adat
perkawinan
ditegaskan tentang kewajiban anak-anak untuk menunjukan
penghormatan kepada orang tua
mereka, sebab orang tua dipercayai sebagai representasi yang
ilahi. Mereka adalah Allah yang
kelihatan dengan kata lain Allah dan kehendaknya
dimanifestasikan dalam kehendak orang
tua.
Karena itu menurut Durkheim karakter ritus akan ditentukan oleh
kepercayaan. Hanya
dengan mendefinisikan kepercayaan maka kita akan dapat
mendefinisikan ritus. Durkheim
juga membagi ritual dalam dua bagian, yaitu ritual negatif dan
ritual positif. Kedua aspek ini
saling berhubungan satu dengan yang lain. Ritual negatif
berfungsi untuk membedakan antara
yang sakral dan yang profan. Yang kemudian juga berhubungan
dengan larangan-larangan
atau oleh para etnografi disebut sebagai taboo. Sedangkan ritual
yang positif adalah hal yang
disebut dengan menirukan atau imitatif. Ritual dilakukan dengan
cara melakukan gerakan-
gerakan atau teriakan-teriakan, tiruan dari sikap dan aspek
hewan-hewan tertentu.
Menurut Susanne Langer ritual merupakan ungkapan yang bersifat
logis dari pada hanya
bersifat psokologis. Ritual memperlihatkan tatanan atas
simbol-simbol yang diobjekkan.
Simbol-simbol ini mengungkapkan perilaku dan perasaan serta
membentuk disposisi pribadi
dari pada para pemuja mengikut modelnya masing-masing.24
Ritual dibedakan menjadi 4 macam:
1. Tindakan magi yang dikaitkan dengan pengunaan bahan-bahan
yang bekerja karena
daya-daya mistis.
2. Tindakan religius, kultus para leluhur, juga bekerja dengan
cara ini;
24
Mariasusai Dhavamoni, Fenomenologi agama, (Yogyakarta; kanisius,
1995), 174
-
19
3. Ritual konstitutif yang mengunakan atau mengubah hubungan
sosial dengan merujuk
pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini
upacara-upacara kehidupan
menjadi khas.
4. Ritual faktitif yang meningkatkan produktifitas atau
kekuatan, atau pemurnian dan
perlindungan atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan
materi suatu
kelompok.25
Tujuan ritual selalu untuk mempromosikan kesadaran klan, untuk
membuat orang merasa
menjadi bagiannya, dan untuk memeliharanya dalam cara yang
terpisah dari yang profan,
fungsi dari ritual adalah; pertama ritus itu mengikat
anggota-anggota klan menjadi satu, dan
yang kedua ritus secara kolektif, dalam saat-saat konsentrasi
memperbaharui rasa solidaritas
pada mereka. Ritual-ritual ini membangkitkan kegairahan, dimana
semua kesadaran
individualitas lenyap dan semua orang merasa dirinya sebagai
satu kolektifitas didalam dan
melalui benda-beda suci mereka.26
Tujuan ritual kadang-kadang untuk menjamin perubahan amat cepat
dan menyeluruh
pada keadaan ahir yang diinginkan oleh pelaku upacara.
Kadang-kadang tujuannya untuk
mencegah perubahan yang tidak diinginkan. Kadangkala targetnya
juga adalah suatu aspek
hakikat bukan manusia; kadang kala manusiawi; kadang kala
individu; atau suatu kelompok,
perubahan yang dimaksud kadang merupakan suatu perubahan kecil,
suatu koreksi yang akan
memulihkan keseimbangan dan status quo, melestarikan gerakan
sistem dalam ikatan-ikatan;
25
Ibbid, 175 26
Evans E Pritchard, Teori-Teori Tentang Agama Primitive, 81
-
20
kadang menyakut perubahan sistem yang radikal, tercapainya level
keseimbangan baru atau
bahkan kualitas baru dalam organisasi.27
Kesimpulan.
Demikian deskripsi teoritis tentang makna dan proses perkawinan
sebagaimana
terstruktur dalam budaya dan lembaga adat masyarakat disertai
elemen-elemen nilai yang
terkandung di dalamnya antara lain ; penghormatan kepada orang
tua ritual-ritual makna dari
semua elemen itu sebagaimana yang dipahami oleh para paham
budaya dan ilmu-ilmu sosial.
Tiba saatnya kita akan mendalami dan mendeskripsikan pemahaman
masyarakat suku
meto di meto tentang pokok-pokok tadi. Sebagaimana yang di
proritaskan dalam tradisi Op ut
tes tuadalam ritus perkawinan mereka. Deskripsi itu akan penulis
buat dalam bab yang
berikut.
27
Mariasusai Dhavamoni, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta; kanisius,
1995), 180