8 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perjanjian Perpajakan Internasional II.1.1 Perjanjian Internasional Pemajakan internasional tidak terlepas adanya suatu perjanjian bilateral antar dua negara guna menghindari pemajakan berganda yang dapat menghambat laju investasi dan perekonomian negara tersebut. Perjanjian internasional adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat negara pada bidang-bidang tertentu, termasuk perpajakan, oleh karena itu perjanjian internasional harus dibuat dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan instrumen peraturan perundang - undangan yang jelas. Perjanjian internasional dilakukan dengan cara: penandatanganan, pengesahan, pertukaran dokumen perjanjian / nota diplomatik, cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional. Untuk sahnya sebuah perjanjian harus dibuat dalam bentuk: a. ratifikasi (ratification) b. aksesi (accession) c. penerimaan (acceptance) d. penyetujuan (approval)
28
Embed
BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
8
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Perjanjian Perpajakan Internasional
II.1.1 Perjanjian Internasional
Pemajakan internasional tidak terlepas adanya suatu perjanjian bilateral antar dua
negara guna menghindari pemajakan berganda yang dapat menghambat laju investasi
dan perekonomian negara tersebut.
Perjanjian internasional adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat negara pada
bidang-bidang tertentu, termasuk perpajakan, oleh karena itu perjanjian internasional
harus dibuat dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan instrumen
peraturan perundang - undangan yang jelas.
Perjanjian internasional dilakukan dengan cara: penandatanganan, pengesahan,
pertukaran dokumen perjanjian / nota diplomatik, cara-cara lain sebagaimana disepakati
para pihak dalam perjanjian internasional.
Untuk sahnya sebuah perjanjian harus dibuat dalam bentuk:
a. ratifikasi (ratification)
b. aksesi (accession)
c. penerimaan (acceptance)
d. penyetujuan (approval)
9
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila
berkenaan dengan: masalah politik, pertahanan, dan keamanan negara, perubahan
wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia, kedaulatan atau hak
berdaulat negara, hak asasi manusia dan lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum
baru, pinjaman dan / atau hibah luar negeri. Pengesahan perjanjian internasional yang
materinya tidak termasuk masalah tersebut, dilakukan dengan Keputusan Presiden
(Keppres).
Pembuatan perjanjian internasional harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Perjanjian internasional harus berdasarkan kesepakatan dan dilaksanakan dengan
itikad baik.
b. Perjanjian internasional harus berpedoman pada kepentingan nasional dan
berdasarkan prinsip-prinsip kesamaan, saling menguntungkan, dan
memperhatikan, baik hukum nasional maupun internasional yang berlaku.
II.1.1.1 Tahapan Pembuatan Perjanjian Internasional
Tahapan pembuatan perjanjian internasional, adalah sebagai berikut:
A. Penjajakan
Pada tahap pertama, negara yang berkepentingan mengajukan permohonan
kepada pemerintah Indonesia mengutarakan keinginannya untuk mengadakan
suatu perjanjian perpajakan dengan Indonesia. Sebelum permohonan diajukan,
didahului dengan pembicaraan atau penjajakan antara perwakilan negara asing
bersangkutan di Indonesia dengan pihak-pihak yang berwenang di Indonesia
(Departemen Luar Negeri dan Departemen Keuangan). Dapat pula terjadi
permohonan untuk mengadakan perjanjian perpajakan diajukan oleh pihak
10
Indonesia, yaitu dalam hal justru Indonesia yang merasa berkepentingan untuk
mengadakan perjanjian perpajakan dengan negara asing yang bersangkutan.
Dalam hal negara asing yang mengajukan permohonan kepada pemerintah
Indonesia, permohonan resminya biasanya diajukan oleh duta besarnya masing-
masing kepada Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. Departemen Luar
Negeri Republik Indonesia kemudian meneruskan permohonan tersebut kepada
instansi terkait, yaitu Departemen Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak sebagai
instansi yang menangani masalah-masalah perpajakan di Indonesia.
Selanjutnya, Direktorat Jenderal Pajak akan memberikan jawabannya kepada
Departemen Luar Negeri. Departemen Luar Negeri kemudian meneruskan jawaban
tersebut kepada pihak yang mengajukan permohonan. Dalam kaitan ini, yang
memberikan jawaban resminya adalah Departemen Luar Negeri atas nama
Indonesia. Jawaban dapat berisi persetujuan atas permohonan, dapat pula berisi
penolakan kalau dipandang dari segi ekonomi, politik, maupun alasan-alasan
lainnya, kurang dirasakan manfaat bagi Indonesia. Disamping itu, jawabannya
dapat pula berisi penundaan, kalau kondisinya belum memungkinkan bagi
Indonesia untuk mengadakan perjanjian perpajakan dengan negara asing yang
bersangkutan.
B. Perundingan
Apabila permohonan yang diajukan untuk mengadakan perjanjian itu
disetujui oleh pihak Indonesia, tahap selanjutnya yaitu dilakukannya saling surat
menyurat antara kedua belah pihak baik langsung maupun melalui saluran-saluran
diplomatik untuk menentukan kapan perundingan pertama akan diadakan, dimana
11
tempatnya dan merundingkan masalah-masalah protokoler lainnya. Berdasarkan
kebiasaan-kebiasaan protokoler yang berlaku antar bangsa, tempat perundingan
biasanya diadakan secara bergantian di Indonesia dan di negara asing yang
mengadakan perjanjian dengan Indonesia itu.
Dalam perundingan pertama, biasanya masing-masing delegasi mengajukan
draft kerja (working draft) Konvensi Perpajakan masing-masing sebagai bahan
yang akan dibahas dalam perundingan. Istilah konvensi (convention) biasanya
digunakan bagi perjanjian-perjanjian formal yang bersifat multilateral. Istilah ini
juga meliputi piagam-piagam yang disetujui oleh lembaga-lembaga internasional
seperti misalnya Konvensi Buruh Internasional. Namun pada naskah resmi
perjanjian-perjanjian perpajakan yang diadakan oleh Indonesia dipergunakan
istilah agreement (persetujuan), walaupun perjanjian-perjanjian perpajakan yang
bersangkutan tingkatannya merupakan suatu traktat (treaty), bukan agreement
(persetujuan). Hal tersebut dikarenakan dalam penyusunan perjanjian perpajakan
di Indonesia memakai Model Indonesia yang merupakan campuran antara model
Konvensi Perpajakan yang disusun oleh Organization for Economic Cooperation
and Development (OECD) dan United Nation Model. Disamping itu, yang
dijadikan acuan adalah naskah perjanjian-perjanjian perpajakan yang telah
diadakan oleh masing-masing negara dengan negara lain.
C. Penerimaan.
Setelah beberapa kali pembahasan dan semua materi permasalahan telah
dibahas dan disepakati, proses berikutnya adalah dilakukan pemarafan atas draft
perjanjian perpajakan oleh masing-masing ketua delegasi. Draft perjanjian
12
perpajakan yang telah diparaf tersebut kemudian oleh masing-masing delegasi
perundingan disampaikan kepada masing-masing pemerintahnya untuk
mendapatkan persetujuan. Di Indonesia, draft tersebut disampaikan ke Menteri
Keuangan, Menteri Luar Negeri dan Sekretariat Negara, dengan dilampiri laporan
singkat mengenai perkembangan yang terjadi dalam perundingan.
D. Penandatanganan
Apabila draft perjanjian tersebut telah mendapat persetujuan dari pemerintah
masing-masing, tahapan proses berikutnya adalah penandatanganan perjanjian oleh
wakil-wakil dari masing-masing negara. Di Indonesia, yang berwenang untuk
menandatangani suatu perjanjian perpajakan adalah Menteri Luar Negeri. Dalam
hal penandatanganan suatu perjanjian perpajakan, wewenang ini bisa dilimpahkan
ke pejabat terkait lain, misalnya Menteri Keuangan atau Duta Besar Indonesia
yang bertugas di negara yang mengadakan perjanjian perpajakan dengan
Indonesia.
Berakhirnya perjanjian internasional adalah apabila terdapat kesepakatan
para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian, tujuan perjanjian
tersebut telah tercapai, terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi
pelaksanaan perjanjian, salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar
ketentuan perjanjian, dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian
lama, muncul norma-norma baru dalam hukum internasional, objek perjanjian
hilang atau terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.
13
II.1.1.2 Jenis Atau Penggolongan Perjanjian Internasional.
Mochtar Kusumaatmadja (2003) menyatakan bahwa “Jenis-jenis perjanjian
internasional adalah perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral” (h.122).
Perjanjian bilateral artinya perjanjian antara dua pihak, contohnya: perjanjian
antara Republik Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok tentang dwi
kewarganegaraan, sedangkan perjanjian multilateral berarti perjanjian antara
banyak pihak. Contohnya: Konvensi Wina atau Konvensi Jenewa.
Sedangkan jika dilihat dari pembuatan kontrak perjanjian dan keterikatan
negara-negara yang terkait dalam perjanjian, dibagi dua;
a. Kontrak perjanjian (treaty contract), dan
b. Perjanjian - perjanjian yang menimbulkan hukum (law making treaties) .
Kontrak perjanjian adalah suatu perjanjian hukum yang mengakibatkan hak
dan kewajiban antara pihak yang mengadakan perjanjian itu. Sedangkan law
making treaties adalah perjanjian hukum yang meletakkan ketentuan dan kaidah
hukum bagi masyarakat internasional sebagai keseluruhan.
II.1.2 Perjanjian Perpajakan Internasional
Agus Setiawan (2006) mendefinisikan “Perjanjian perpajakan internasional di
Indonesia adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat negara pada bidang-bidang
perpajakan” (h.16).
Perjanjian perpajakan internasional tersebut bentuknya adalah:
a. Persetujuan penghindaran pajak berganda (tax treaty)
b. Cara penerapan (mode of application)
c. Tata cara persetujuan bersama (mutual agreement procedure)
14
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian penghindaran
pajak berganda antara dua negara bilateral yang mengatur mengenai pembagian hak
pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu
atau kedua negara pihak pada persetujuan (both contracting states).
Beberapa pasal dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda memerlukan
aturan pelaksanaan yang lebih jelas mengenai ketentuan-ketentuan tersebut (mode of
application), misalnya tentang pasal dividen dan bunga. Sedangkan jika terdapat
perbedaan penafsiran atau penerapan yang bertentangan dengan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda antara kedua negara, maka diperlukan adanya mutual
agreement procedure.
Contoh mode of application adalah menerangkan tentang adanya beneficial owner.
Beneficial owner adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa dividen,
bunga atau royalty baik wajib pajak perorangan maupun wajib pajak badan, yang berhak
sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat penghasilan-penghasilan
tersebut.
II.2. Hukum Internasional.
II.2.1 Pengertian dan Sumber Hukum Internasional
Sumber hukum internasional menurut piagam Mahkamah Internasional adalah:
a. Perjanjian internasional baik yang bersifat umum maupun khusus;
b. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah
diterima sebagai hukum;
c. Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab;
15
d. Keputusan pengadilan dari ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari
berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah hukum.
Hukum internasional dalam arti luas yaitu termasuk pengertian hukum bangsa-
bangsa, sebaliknya arti yang sempit mengatur hubungan antara negara-negara. Hukum
internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan antara
negara-negara, lahir dengan kelahiran masyarakat yang didasarkan atas negara-negara
nasional. Negara Indonesia merupakan subjek hukum internasional, karena telah
mengikuti dan menandatangani Konvensi Wina.
Konvensi Internasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat antarnegara yang
ikut menandatangani tersebut, hal ini karena:
a. Hukum internasional merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi dari pada
hukum nasional, karena menyangkut kepentingan lebih banyak masyarakat
internasional;
b. Hukum internasional merupakan kehendak negara itu sendiri pada hukum
internasional, dan juga merupakan kehendak bersama;
c. Kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum itu mutlak untuk dapat
terpenuhinya kebutuhan bangsa untuk hidup bermasyarakat.
Oleh karena itu, jika Negara Indonesia mengadakan tax treaty bukanlah semata-
mata keinginan dari negara kita, namun juga karena ada azas timbal balik dan keinginan
yang sama dari negara yang mengadakan perjanjian tersebut.
16
II.2.2 Pengertian dan Sumber Hukum Pajak Internasional
II.2.2.1. Pengertian Hukum Pajak Internasional
Ottmar Buhler yang terjemahkan oleh Agus Setiawan. (2006)
mendefinisikan, ”Hukum pajak internasional dalam arti sempit adalah kaedah-
kaedah norma hukum perselisihan yang diasarkan pada hukum antar bangsa
(hukum internasional), sedangkan hukum pajak internasional dalam arti luas ialah
kaedah-kaedah hukum antar bangsa ini ditambah peraturan nasional yang
mempunyai objek hukum perselisihan, khususnya tentang perpajakan” (h.5).
Menurut negara-negara Anglo Sakson, hukum pajak internasional dibagi
sebagai berikut:
1. National External Tax Law
National External Tax Law merupakan bagian dari hukum pajak nasional
yang memuat ketentuan-ketentuan mengenai pengenaan pajak yang mempunyai
daya kerja sampai di luar batas-batas negara karena terdapat unsur-unsur asing,
baik mengenai objeknya (sumber ada di luar negeri) maupun mengenai subjeknya
(subjek ada di luar negeri).
2. Foreign Tax Law
Foreign tax law ialah keseluruhan perundang-undangan dan peraturan-
peraturan pajak dari negara-negara yang ada di seluruh dunia.
3. International Tax Law
International tax law dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Hukum pajak
internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah pajak yang
berdasarkan hukum antar negara seperti traktat-traktat, konvensi, dan lain
sebagainya, dan berdasarkan prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim
17
diterima baik oleh negara-negara di dunia, mempunyai tujuan mengatur soal
perpajakan antara negara yang saling mempunyai kepentingan.
II.2.2.2 Sumber-sumber Hukum Pajak Internasional
Sumber-sumber hukum pajak internasional terlalu luas jika ingin dikaji,
sehingga penulis mempersempitnya hanya berkaitan dengan Negara Indonesia,
sumber-sumber hukum tersebut antara lain:
A. Kaedah hukum pajak nasional/unilateral yang mengandung unsur asing,
antara lain :
i. Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU PPh)
tentang “pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan
pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan
pencegahan pengelakan pajak”;
ii. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang: Subjek Pajak
Luar Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT);
iii. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk
Subjek Pajak;
iv. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tantang: Hubungan
Istimewa, bilamana terdapat ketidakwajaran dalam perpajakan;
v. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak
Luar Negeri;
vi. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 26 UU PPh) tentang: Pemotongan
Pajak atas Subjek Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari
Indonesia.
18
B. Kaedah-kaedah yang berasal dari traktat:
i. Perjanjian Bilateral, yang diwujudkan dengan adanya Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda;
ii. Perjanjian Multilateral, perjanjian ini seperti Konvensi Wina.
C. Keputusan Hakim Nasional atau komisi internasional tentang pajak-pajak
internasional. Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan
pajak yang menyangkut tentang perpajakan internasional, atau Keputusan
Pengadilan Internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan.