BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Variasi Bahasa Kridalaksana (2008: 24) mendeskripsikan bahasa sebagai berikut: 1) sistem lambang bunyi yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri, 2) variasi bahasa, 3) tipe bahasa, dan 4) alat komunikasi verbal. Chaer dan Agustina (2010: 62) dalam variasi bahasa ini, terdapat dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahasa dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa dan keragaman bahasa itu. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Variasi bahasa dibedakan menjadi empat yaitu variasi bahasa dari segi penutur, pemakaian, keformalan, dan sarana. Variasi bahasa dari segi penutur adalah variasi bahasa yang bersifat individu dan variasi bahasa dari sekelompok individu yang jumlahnya relatif yang berada pada satu tempat wilayah atau area. Variasi bahasa ini terdiri dari (1) idiolek adalah variasi bahasa yang bersifat individu atau perseorangan yang berkenaan dengan warna suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya, (2) dialek adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu, (3) kronolek adalah
37
Embed
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Variasi Bahasadigilib.unila.ac.id/16026/10/BAB II.pdf · warna suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya, (2) ... Semula istilah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Variasi Bahasa
Kridalaksana (2008: 24) mendeskripsikan bahasa sebagai berikut: 1) sistem
lambang bunyi yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk
bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri, 2) variasi bahasa, 3) tipe
bahasa, dan 4) alat komunikasi verbal. Chaer dan Agustina (2010: 62) dalam
variasi bahasa ini, terdapat dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahasa
dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa dan keragaman
bahasa itu. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi
fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam.
Variasi bahasa dibedakan menjadi empat yaitu variasi bahasa dari segi penutur,
pemakaian, keformalan, dan sarana.
Variasi bahasa dari segi penutur adalah variasi bahasa yang bersifat individu dan
variasi bahasa dari sekelompok individu yang jumlahnya relatif yang berada pada
satu tempat wilayah atau area. Variasi bahasa ini terdiri dari (1) idiolek adalah
variasi bahasa yang bersifat individu atau perseorangan yang berkenaan dengan
warna suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya, (2)
dialek adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif,
yang berada pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu, (3) kronolek adalah
13
variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok sosial pada masa tertentu, dan (4)
sosiolek adalah variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas
sosial para penuturnya (Chaer dan Agustina, 2010: 62-64).
Aslinda dan Syafyahya (2010: 19) menyatakan bahwa variasi bahasa dari segi
penggunaannya, pemakaiannya, atau fungsinya disebut fungsiolek, ragam, atau
register. Variasi bahasa ini berhubungan dengan bidang pemakaian. Contohnya
dalam kehidupan sehari-hari, ada variasi di bidang militer, sastra, jurnalistik, dan
kegiatan ilmu lainnya. Namun, perbedaannya terdapat pada kosakatanya. Setiap
bidang akan memiliki sejumlah kosakata khusus yang tidak akan ada dalam
kosakata bidang ilmu lainnya.
Aslinda dan Syafyahya (2010: 19-20) membedakan variasi bahasa berdasarkan
keformalan atas lima bagian, yaitu: 1) gaya atau ragam baku (frozen) digunakan
dalam keadaan resmi atau khidmat. Ragam ini disebut sebagai ragam baku karena
pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara tetap dan tidak dapat diubah, 2) gaya
atau ragam resmi (formal) digunakan dalam buku-buku pelajaran, rapat dinas, dan
surat menyurat. Ragam ini digunakan pada situasi resmi, 3) gaya atau ragam
usaha (konsultatif) digunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah atau rapat-
rapat. Ragam ini berada di antara ragam bahasa formal dan ragam bahasa santai,
4) gaya atau ragam santai (casual) digunakan dalam situasi santai. Ragam ini
sering digunakan pada situasi tidak resmi untuk berbicara dengan keluarga dan
teman-teman, dan 5) gaya atau ragam akrab (intimate) digunakan antara teman
yang sudah akrab, karib, dan keluarga. Ciri ragam ini adalah banyaknya
14
pemakaian kode bahasa yang bersifat pribadi, tersendiri, dan relatif tetap dalam
kelompoknya.
Variasi dari segi sarana dilihat dari sarana yang digunakan. Berdasarkan sarana
yang digunakan, ragam bahasa terdiri atas dua bagian, yaitu ragam bahasa lisan
dan ragam bahasa tulisan. Ragam bahasa lisan disampaikan secara lisan dan
dibantu oleh unsur-unsur suprasegmental, sedangkan ragam bahasa tulis unsur
suprasegmental tidak ada. Namun, unsur tersebut dituliskan dengan simbol dan
tanda baca (Aslinda dan Syafyahya, 2010: 21).
Negara Indonesia memiliki banyak suku bangsa, seperti Jawa, Lampung, Sunda,
Melayu, Batak, Semende, dan lainnya. Latar belakang suku yang berbeda
membuat masyarakat mampu berbicara setidaknya dalam dua bahasa. Mereka
dapat menggunakan bahasa daerah (bahasa ibu) dan bahasa Indonesia (bahasa
nasional). Saat ini, pengaruh globalisasi dan budaya asing menyebabkan banyak
sekali orang yang mampu berkomunikasi dengan bahasa asing. Penguasaan
beberapa bahasa mendorong orang-orang menggunakannya dalam situasi dan
tujuan tertentu. Oleh karena itu, fenomena alih kode dan campur kode tidak dapat
dihindari.
2.2 Kedwibahasaan dan Dwibahasawan
Masyarakat Indonesia umumnya dapat menggunakan lebih dari dua bahasa.
Mereka menguasai bahasa daerah sebagai bahasa pertama dan bahasa Indonesia
15
sebagai bahasa kedua ataupun sebaliknya dan menggunakannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Kridalaksana (2008: 36) menjelaskan bahwa kedwibahasaan (bilingualism) adalah
penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau oleh suatu masyarakat.
Selain itu, Weinreich (dalam Chaer dan Agustina, 2010: 23) kedwibahasaan
adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian (the
pratice of alternately using two languages). Senada dengan Weinreich, Fasold
(dalam Aslinda dan Syafyahya, 2010: 24) menyatakan bahwa kedwibahasaan
merupakan kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seseorang.
Kridalaksana (2008: 36), dwibahasawan (bilingual) adalah 1) mampu atau biasa
memakai dua bahasa, 2) bersangkutan dengan atau mengandung dua bahasa
(tentang orang, masyarakat, naskah, kamus, dsb). Di samping itu, Tarigan (2009:
3) orang yang dapat berbicara dalam dua bahasa disebut dwibahasawan.
Sedangkan, Chaer dan Agustina (2010: 84) menyatakan bahwa dwibahasawan
diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulan-
nya dengan orang lain secara bergantian. Jadi, dwibahasawan (bilingual) adalah
kemampuan atau kesanggupan seseorang untuk menggunakan dua bahasa atau
lebih.
Masyarakat yang multibahasa muncul karena masyarakat tutur tersebut memunyai
atau menguasai lebih dari satu variasi bahasa yang berbeda-beda sehingga mereka
dapat menggunakan pilihan bahasa tersebut dalam kegiatan berkomunikasi.
16
Kegiatan ini terjadi pula dalam lingkungan pendidikan di perguruan tinggi
sehingga mereka yang terlibat di dalamnya disebut dwibahasawan.
2.3 Diglosia
Istilah diglosia pertama kali diperkenalkan dan digunakan oleh Ferguson sekitar
tahun 1958. Semula istilah tersebut diambil dari situasi kebahasaan dalam bahasa
Prancis yang disebut dengan diglossie. Dalam perkembangannya penggunaan
istilah tersebut kemudian semakin meluas di kalangan para sosiolinguis.
Persoalan-persoalan yang menyangkut diglosia adalah persoalan dialek yang
terdapat dalam masyarakat tutur, misalnya dalam suatu bahasa terdapat dua variasi
bahasa yang masing-masing ragamnya mempunyai peranan dan fungsi tertentu.
Penggunaan ragam-ragam variasi tersebut bergantung kepada situasi.
Untuk mengetahui diglosia lebih lanjut, perlu dikemukakan pandangan beberapa
ahli tentang diglosia tersebut di antaranya Ferguson, Fishman, dan Fasold.
Ferguson (dalam Chaer dan Agustina, 2010: 92) memberikan batasan diglosia
seperti di bawah ini.
Diglosia is a relatively stable language, in which in addition to the primary
dialects of the language, which may include a standard or regional standard,
there is a very divergent, higly codified, often gramatically more complex,
superposed variety, the vehicle of the large and respected body or written
literature, either of an eearlier period or in another speech community,
which is learned largely by formal education and is used for most written
and formal spoken purpose but is not used by any sector of the community
for ordinary conversion “Diglosia adalah suatu situasi bahasa yang relatif
stabil di mana, selain dari dialek-dialek utama suatu bahasa (yang mungkin
mencakup satu bahasa baku atau bahasa-bahasa baku regional), ada ragam
bahasa yang sangat berbeda, sangat terkodifikasikan (sering kali secara
gramatik lebih kompleks) dan lebih tinggi, sebagai wahana dalam
keseluruhan kesusasteraan tertulis yang luas dan dihormati, baik pada kurun
17
waktu terdahulu maupun pada masyarakat ujaran lain, yang banyak
dipelajari lewat pendidikan formal dan banyak dipergunakan dalam tujuan-
tujuan tertulis dan ujaran resmi, tapi tidak dipakai oleh bagian masyarakat
apa pun dalam pembicaraan-pembicaraan biasa” (Chaer dan Agustina. 2010:
92).
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu
masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup ber-
dampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Dari definisi yang
diberikan Ferguson tentang diglosia dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
1) diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana selain
terdapat sejumlah dialek-dialek utama (lebih tepat: ragam-ragam utama) dari
satu bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain.
2) dialek-dialek utama itu, di antaranya, bisa berupa sebuah dialek standar, atau
sebuah standar regional.
3) ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri:
a. sudah (sangat) terkodifikasi,
b. gramatikalnya lebih kompleks,
c. merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati,
d. dipelajari melalui pendidikan formal,
e. digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal,
f. tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan
sehari-hari.
Diglosia dijelaskan oleh Ferguson (Chaer dan Agustina, 2010: 93) dengan menge-
tengahkan sembilan topik, yaitu fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan,
pembakuan, stabilitas, tata bahasa, kosa kata, dan fonologi.
18
1) Fungsi
Menurut Ferguson dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu
bahasa: variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat dialek T atau ragam T)
dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek R atau ragam R). Fungsi T
digunakan hanya pada situasi resmi seperti di dalam pendidikan, sedangkan fungsi
R hanya pada situasi informal dan santai seperti dalam pembicaraan dengan teman
karib, dan sebagainya.
2) Prestise
Dalam masyarakat diglosik para penutur biasanya menganggap dialek T lebih
bergengsi, lebih superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis.
Dialek R dianggap inferior; bahkan keberadaannya cenderung dihilangkan.
Prestise adalah tingkat rasa bangga yang ditimbulkan oleh bahasa itu sendiri
padapenuturnya.
3) Warisan Kesusastraan
Warisan tradisi tulis-menulis mengacu pada banyaknya kepustakaan yang ditulis
dalam ragam tinggi. Kebiasaan tersebut saat ini merupakan kelanjutan dari tradisi
besar masa lalu.
4) Pemerolehan Bahasa
Ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan
ragam R diperoleh melalui pergaulan dengan keluarga dan teman-teman per-
gaulan. Oleh karena itu, mereka yang tidak pernah memasuki dunia pendidikan
formal tidak akan mengenal ragam T sama sekali. Mereka yang mempelajari
ragam R hampir tidak pernah menguasainya dengan lancar, selancar penguasaan-
19
nya terhadap ragam T. Alasannya, ragam T tidak selalu digunakan, dan dalam
mempelajarinya selalu terkendali dengan berbagai kaidah dan aturan bahasa;
sedangkan ragam R digunakan secara regular dan terus-menerus di dalam per-
gaulan sehari-hari.
5) Pembakuan
Karena ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak meng-
herankan kalau pembakuan dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui
kodifikasi formal. Kamus, tata bahasa, petunjuk lafal, dan buku-buku kaidah
untuk penggunaan yang benar ditulis untuk ragam T. Sebaliknya, ragam R tidak
pernah diurus atau diperhatikan. Kalau pun ada biasanya dilakukan oleh peneliti
dari masyarakat lain dan ditulis dalam bahasa lain.
6) Stabilitas
Kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama di mana
ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu.
Pertentangan atau perbedaan antara ragam T dan ragam R dalam masyarakat
diglosis selalu ditonjolkan karena adanya perkembangan dalam bentuk-bentuk
campuran yang memiliki ciri-ciri ragam T dan ragam R. Peminjaman leksikal
ragam T ke dalam ragam R bersifat biasa; tetapi penggunaan unsur leksikal ragam
R dalam ragam T kurang begitu biasa, sebab baru digunakan kalau sangat
terpaksa.
20
7) Tata Bahasa
Ferguson berpandangan bahwa ragam T dan ragam R dalam diglosia merupakan
bentuk-bentuk bahasa yang sama; tetapi, di dalam gramatika ternyata terdapat
perbedaan.
8) Kosa Kata
Sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam R adalah sama. Namun, ada
kosakata pada ragam T yang tidak ada pasangannya pada ragam R, atau sebalik-
nya, ada kosakata pada ragam R yang tidak ada pasangannya pada ragam T. Ciri
yang paling menonjol pada diglosia adalah adanya kosakata yang berpasangan,
satu untuk ragam T dan satu untuk R, yang biasanya untuk konsep-konsep yang
sangat umum.
9) Fonologi
Dalam bidang fonologi ada perbedaan struktur antara ragam T dan ragam R.
Ferguson menyatakan sistem bunyi ragam T dan ragam R sebenarnya merupakan
sistem tunggal. Namun, fonologi T merupakan sistem dasar, sedangkan fonologi
R, yang beragam-ragam, merupakan subsistem atau parasistem. Fonologi T lebih
dekat dengan bentuk umum yang mendasari dalam bahasa secara keseluruhan.
Fonologi R jauh dari bentuk-bentuk yang mendasar.
Konsep Ferguson mengenai diglosia, bahwa di dalam masyarakat ada pembedaan
ragam bahasa T dan R dengan fungsinya masing-masing dimodifikasi dan di-
perluas Fishman. Menurut Fishman (Chaer dan Agustina, 2010: 98) diglosia tidak
hanya berlaku pada adanya pembedaan ragam T dan ragam R pada bahasa yang
21
sama, melainkan juga berlaku pada bahasa yang sama sekali tidak serumpun, atau
pada dua bahasa yang berlainan. Jadi, yang menjadi tekanan bagi Fishman adalah
adanya pembedaan fungsi kedua bahasa atau variasi bahasa yang bersangkutan.
Fasold (Chaer dan Agustina, 2010: 98) mengembangkan konsep diglosia ini men-
jadi apa yang disebutkan broad diglosia (diglosia luas). Di dalam konsep broad
diglosia, perbedaan itu tidak hanya antara dua bahasa atau dua ragam atau dua
dialek secara biner, melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau dua dialek itu.
Dengan demikian termasuk juga keadaan masyarakat yang di dalamnya ada di-
perbedakan tingkatan fungsi kebahasaan, sehingga muncullah apa yang disebut
Fasold diglosia ganda dalam bentuk yang disebut double overlapping diglosia,
double-nested diglosia, dan linear polyglosia.
Double overlapping diglosia adalah adanya situasi pembedaan derajat dan fungsi
bahasa secara berganda, sedangkan double-nested diglosia adalah dalam ke-
masyarakatan multilingual, yaitu terdapat dua bahasa yang diperbedakan: satu
sebagai bahasa T, dan yang lain sebagai bahasa R, tetapi baik bahasa T maupun
bahasa R itu masing-masing mempunyai ragam atau dialek yang masing-masing
juga diberi status masing-masing sebagai ragam T dan ragam R.
Untuk menjelaskan yang dimaksud dengan linear polyglosia Fasold (Caher dan
Agustina, 2010: 101) mengemukakan hasil penelitian Platt (1977) mengenai
situasi kebahasaan masyarakat Cina yang berbahasa Inggris di Malaysia dan
Singapura. Masyarakat Cina di kedua negara itu mempunyai verbal repertoire
22
yang terdiri atas bahasa Cina (yang antaranya dominan secara regional), bahasa
Melayu standar (bahasa Malaysia), dan bahasa Melayu bukan standar. Kalau kita
mengikuti pola yang terjadi di Khalapur, maka dapat kita lihat ada tiga pasangan
diglosia, yaitu (1) bahasa Cina yang dominan versus bahasa Cina yang tidak
dominan, (2) bahasa Ingris formal versus bahasa Inggris nonformal, dan (3)
bahasa Melayu standar versus bahasa Melayu nonstandar.
Dari pandangan ketiga ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa diglosia
merupakan suatu keadaan masyarakat yang menggunakan dua bahasa atau dua
ragam bahasa dari suatu bahasa yang masing-masing digunakan untuk fungsi atau
tujuan tertentu. Bagi masyarakat Bali, misalnya bahasa T (bahasa Indonesia)
antara lain digunakan jika berbicara dengan etnis lain, sedangkan bahasa R
(bahasa Bali) digunakan jika berbicara sesama etnis Bali. Bahasa Bali bentuk
hormat (sebagai bahasa T) digunakan jika orang Bali berbicara dengan orang yang
patut dihormati atau berbicara dalam situasi yang formal, sedangkan bahasa Bali
bentuk lepas hormat (sebagai bahasa R) digunakan jika orang Bali berbicara
dalam situasi nonformal/akrab.
2.4 Alih Kode
Sebelum membahas mengenai alih kode sebaiknya terlebih dahulu mengetahui
pengertian kode (code). Kridalaksana (2008: 127) mendeskripsikan kode (code)
sebagai berikut: 1) lambang atau sistem ungkapan yang dipakai untuk meng-
gambarkan makna tertentu. Bahasa manusia adalah sejenis kode; 2) sistem bahasa
dalam suatu masyarakat; dan 3) variasi tertentu dalam suatu bahasa. Sedangkan,
23
Pateda (2008: 83) menyatakan kode adalah berpindah bahasa. Perpindahan bahasa
tersebut terjadi ketika pemakai bahasa lain di atas bergabung dengan
kelompoknya.
Kridalaksana (2008: 9) mengemukakan alih kode (code switching) adalah peng-
gunaan variasi bahasa lain atau bahasa lain dalam satu peristiwa bahasa sebagai
strategi untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena
adanya partisipan lain. Sedangkan, Appel (dalam Aslinda dan Syafyahya, 2010:
85), alih kode adalah gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubah situasi.
Berbeda dengan Apel maka Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2010: 107)
menyatakan bahwa alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, melainkan juga
terjadi antara ragam-ragam bahasa dan gaya bahasa yang tedapat dalam satu
bahasa. Dengan demikian, alih kode itu merupakan gejala peralihan pemakaian
bahasa yang terjadi karena situasi dan terjadi antarbahasa serta antarragam dalam
satu bahasa.
Contoh peristiwa alih kode yang dikutip dari Chaer dan Agustina (2010: 106-
107), misalnya dua orang mahasiswa yang berbahasa ibu yang sama (bahasa
Sunda) bercakap-cakap dalam bahasa ibu mereka. Kemudian, masuklah seorang
mahasiswa yang berasal dari Tapanuli yang tidak dapat berbahasa Sunda dan turut
berbicara. Maka kedua mahasiswa itu beralih kode dengan menggunakan bahasa
Indonesia ragam santai.
Contoh lain peristiwa alih kode yang dikutip dari Aslinda dan Syafyahya (2010:
86), berupa pembicaraan ibu-ibu rumah tangga dapat dikemukan berikut ini.
24
Latar belakang : Kompleks perumahan Balimbiang Padang.
Para pembicara : Ibu-ibu rumah tangga. Ibu Las dan Ibu Leni orang
Minangkabau, Ibu Lin orang Sulawesi yang tidak biasa
berbahasa Indonesia.
Topik : Listrik mati
Sebab ali kode : Kehadiran Ibu Lin dalam peristiwa tutur.
Peristiwa tutur :
Ibu Las : Ibu Len jam bara cako malam lampu iduik, awaklah lalok sajak
jam sambilan (Ibu Len pukul berapa lampu tadi malam hidup,
saya sudah tidur sejak pukul sembilan).
Ibu Leni : Samo awak tu, awaklah lalo pulo sajak sanjo, malah sajak pukua
salapan, awak sakik kapalon (sama kita itu, saya sudah tidur pula
sejak sore, malah semenjak pukul delapan karena saya sakit
kepala). Bagaimana dengan ibu Lin tahu pukul berapa lampu hidup
tadi malam? (pertanyaan diajukan kepada ibu Lin).
Ibu Lin : Tahu bu, kira-kira pukul sepuluh lebih. Contoh 1
Pada contoh 1, terjadi pada tuturan Ibu Leni berikut tuturannya, “jam bara cako
malam lampu iduik, awaklah lalok sajak jam sambilan”. Alih kode tersebut ter-
jadi dari bahasa Minangkabau ke dalam bahasa Indonesia yang berarti “Ibu Leni
pukul berapa lampu tadi malam hidup, saya sudah tidur sejak pukul sembilan”.
Selanjutnya, peristiwa alih kode pun terjadi pada mitra tuturnya yaitu Ibu Leni
berikut tuturannya “Samo awak tu, awaklah lalo pulo sajak sanjo, malah sajak
pukua salapan, awak sakik kapalon. Bagaimana dengan ibu Lin tahu pukul berapa
lampu hidup tadi malam? (pertanyaan diajukan kepada ibu Lin)” yang berarti
sama kita itu, saya sudah tidur pula sejak sore, malah semenjak pukul delapan
karena saya sakit kepala. Bagaimana dengan ibu Lin tahu pukul berapa lampu
hidup tadi malam? (pertanyaan diajukan kepada ibu Lin). Jadi, peristiwa yang
terjadi pada tuturan di atas merupakan alih kode.
Dalam percakapan tersebut, ibu-ibu rumah tangga memulai percakapannya
dengan bahasa daerah (bahasa Minangkabau) karena tempatnya di kompleks
perumahan Balimbiang Padang dan yang dibicarakannya mengenai listrik mati.
25
Jadi, mereka berada pada situasi tidak formal. Ketika ibu Las dan ibu Leni sedang
berbicara dengan menggunakan bahasa Minangkabau mereka kehadiran orang
ketiga yaitu ibu Lin yang tidak mengerti bahasa Minangkabau dan percakapan
tersebut beralih kode menjadi bahasa Indonesia. Jadi, faktor yang menyebabkan
alih kode tersebut adalah faktor kehadiran orang ketiga.
Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa alih kode merupakan gejala
peralihan pemakaian bahasa karena perubahan peran dan situasi. Alih kode
menunjukan adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan
situasional yang relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.
2.4.1 Bentuk-Bentuk Alih Kode
Alih kode mungkin terjadi antar bahasa, antar varian (baik rasioanl maupun