5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Penelitian tentang pengecoran dengan metode evaporative (lost foam casting) telah banyak dilakukan, diantaranya: Shin dan Lee (2004) meneliti dengan bahan paduan A356. Bichler dkk. (2002) meneliti dengan bahan mangnesium paduan AZ91. Droke (2006) meneliti dengan bahan magnesium AM60B. Qiming dan Ravindran (2000) meneliti dengan bahan alumunium paduan A356. Sands dan Sivkumar (2003) meneliti dengan bahan paduan alumuniun 319. Kim dan Lee, (2005) meneliti dengan bahan A356.2. Mirbagheri dkk. (2004) meneliti degan bahan grey iron. Serta Venkataramani dkk. (1995) meneliti dengan bahan paduan A356. Penelitian tentang mampu alir pada pengecoran evaporative (lost foam casting) dilakukan oleh beberapa peneliti. Shin dan Lee (2004) menggunakan test casting “T”. dengan memvariasikan temperatur tuang 670, 750, dan 830 o C dan ketebalan pola cetakan 7, 11, dan 17 mm. Sands dan Sivkumar (2003) meneliti dengan memvariasikan tinggi saluran turun 60 mm dan 360 mm serta ukuran pasir. Droke (2006) memvariasikan temperatur tuang 1450, 1475, dan 1500 o F dan polystyrene foam dengan kerapatan 1,3, 1,5, dan 1,6 lb/ft 3 Penelitian dengan mengunakan jenis polystyrene foam (PS) dikakukan oleh Shin dan Lee (2004) menggunakan polystyrene foam dengan kerapatan 0,026 g/cm 3 . Sands dan Sivkumar (2003) menggunakan polystyrene foam dengan kerapatan 20 kg/m 3 . Droke (2006) menggunakan polystyrene foam dengan kerapatan 1,3 lb/ft 3 , 1,5 lb/ft 3 , dan 1,6 lb/ft 3 . Penelitian dengan memvariasikan temperatur tuang pada pengecoran evaporative dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya: Shin dan Lee, (2004) pada temperatur 670, 750, dan 830 o C. Sands dan Sivkumar, (2003) menggunakan satu temperatur penuangan yaitu 760 o C. Droke (2006) pada temperatur 1450, 1475, dan 1500 o F. Penelitian tentang pengaruh temperatur penuangan terhadap mampu alir logam pada pengecoran evaporative dilakukan oleh: Shin dan Lee (2004) mengatakan mampu alir meningkat seiring dengan peningkatan temperatur tuang
28
Embed
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka II SKRIPSI... · karbon yang melebihi silikon dalam kelimpahan kosmik. Silikon diyakini menjadi produk kosmik penyerapan alpha-partikel, pada
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian tentang pengecoran dengan metode evaporative (lost foam casting)
telah banyak dilakukan, diantaranya: Shin dan Lee (2004) meneliti dengan bahan
paduan A356. Bichler dkk. (2002) meneliti dengan bahan mangnesium paduan
AZ91. Droke (2006) meneliti dengan bahan magnesium AM60B. Qiming dan
Ravindran (2000) meneliti dengan bahan alumunium paduan A356. Sands dan
Sivkumar (2003) meneliti dengan bahan paduan alumuniun 319. Kim dan Lee,
(2005) meneliti dengan bahan A356.2. Mirbagheri dkk. (2004) meneliti degan bahan
grey iron. Serta Venkataramani dkk. (1995) meneliti dengan bahan paduan A356.
Penelitian tentang mampu alir pada pengecoran evaporative (lost foam
casting) dilakukan oleh beberapa peneliti. Shin dan Lee (2004) menggunakan test
casting “T”. dengan memvariasikan temperatur tuang 670, 750, dan 830oC dan
ketebalan pola cetakan 7, 11, dan 17 mm. Sands dan Sivkumar (2003) meneliti
dengan memvariasikan tinggi saluran turun 60 mm dan 360 mm serta ukuran pasir.
Droke (2006) memvariasikan temperatur tuang 1450, 1475, dan 1500oF dan
polystyrene foam dengan kerapatan 1,3, 1,5, dan 1,6 lb/ft3
Penelitian dengan mengunakan jenis polystyrene foam (PS) dikakukan oleh
Shin dan Lee (2004) menggunakan polystyrene foam dengan kerapatan 0,026 g/cm3.
Sands dan Sivkumar (2003) menggunakan polystyrene foam dengan kerapatan 20
kg/m3. Droke (2006) menggunakan polystyrene foam dengan kerapatan 1,3 lb/ft
3,
1,5 lb/ft3, dan 1,6 lb/ft
3.
Penelitian dengan memvariasikan temperatur tuang pada pengecoran
evaporative dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya: Shin dan Lee, (2004) pada
temperatur 670, 750, dan 830oC. Sands dan Sivkumar, (2003) menggunakan satu
temperatur penuangan yaitu 760oC. Droke (2006) pada temperatur 1450, 1475, dan
1500oF.
Penelitian tentang pengaruh temperatur penuangan terhadap mampu alir
logam pada pengecoran evaporative dilakukan oleh: Shin dan Lee (2004)
mengatakan mampu alir meningkat seiring dengan peningkatan temperatur tuang
6
serta ketebalan coran. Sands dan Sivkumar (2003) mengatakan pengaruh tinggi
saluran turun mempengaruhi panjang aliran, pada saluran turun (H) 60 mm tanpa
coating panjang aliran mencapai 150 mm dengan waktu 1,9 detik dengan
menggunakan jenis pasir AFS 55 sedangkan untuk saluran turun (H) 360 mm tanpa
coating aliran logam mencapai 150 mm dengan waktu 1,4 detik dengan
menggunakan jenis pasir AFS 55. Droke (2006) mengatakan temperatur tuang sangat
mempengaruhi mampu alir logam ini terlihat pada hasil coran dengan temperatur
1450oF mampu alir logam sangat jelek ditunjukan dengan bayaknya ruang kosong
pada hasil coran, sementara pada temperatur 1500oF mampu alir logam lebih baik
dengan memenuhi seluruh permukaan coran. Pengujian dilakukan pada jenis
polystyrene foam yang sama (1,5 lb/ft3).
Penelitian tentang pengaruh temperatur tuang terhadap porositas pada
pengecoran evaporative dilakukan oleh: Shin dan Lee (2004) mengatakan
peningkatan temperatur penuangan nilai prositas dan semakin inggi pada ketebalan
pola cetakan 7 mm. Menurut Kim dan Lee (2005) kerapatan polystyrene foam dapat
menentukan kualitas coran dengan memperlihatkan hubungan kerapatan polystyrene
foam dengan kerapatan coran, kerapatan coran meningkat dengan meningkatnya
kerapatan polystyrene foam hingga 20 kg/m3 yang dicor dengan menggunakan
metode lost foam casting. Bichler dkk. (2002) mengungkapkan seiring dengan
peningkatan temperatur tuang maka semakin besar persentase porositas.
2.2 Pengertian Aluminium
Aluminium merupakan logam yang paling banyak digunakan di dunia,
dengan pemakaian tahunnya sekitar 24 juta ton. Mempunyai sifat yang unik, yaitu:
ringan, kuat, dan tahan terhadap korosi pada lingkungan luas termasuk udara, air
(termasuk air garam), petrokimia, dan beberapa sistem kimia. Pemakaian aluminium
dalam dunia industri yang semakin tinggi, menyebabkan pengembangan sifat dan
karakteristik aluminium terus menerus ditingkatkan. Aluminium dalam bentuk murni
memiliki kekuatan yang rendah dan tidak cukup baik digunakan untuk aplikasi yang
membutuhkan ketahanan deformasi dan patahan, maka dari itu perlu ditambahkan
unsur lain untuk meningkatkan kekuatannya. Aluminium dalam bentuk paduan yang
sering dikenal dengan istilah aluminium alloy merupakan jenis aluminium yang
7
digunakan cukup besar saat ini. Berdasarkan metode peleburannya,paduan
aluminium dikelompokkan menjadi dua kelompok utama yaitu paduan tempa
(wrought) dan paduan tuang (casting).Sifat teknik bahan aluminium murni dan
aluminium paduan dipengaruhi oleh konsentrasi bahan dan perlakuan yang diberikan
terhadap bahan tersebut.Aluminium terkenal sebagai bahan yang tahan terhadap
korosi. Hal ini disebabkan oleh fenomena pasivasi, yaitu proses pembentukan lapisan
aluminium oksida di permukaan logam aluminium segera setelah logam terpapar
oleh udara bebas. Lapisan aluminium oksida ini mencegah terjadinya oksidasi lebih
jauh. Sehingga pasivasi dapat terjadi lebih lambat jika dipadukan dengan logam yang
bersifat lebih katodik, karena dapat mencegah oksidasi aluminium (Zulaina Sari
Rahmawati, 2010).
2.3 Silikon
Kelimpahan silikon dalam kerak bumi terlampaui hanya dengan oksigen.
Perkiraan kelimpahan kosmik elemen lain sering dikutip dalam hal jumlah atom
mereka per 106 atom silikon. Hanya hidrogen, helium, oksigen, neon, nitrogen, dan
karbon yang melebihi silikon dalam kelimpahan kosmik. Silikon diyakini menjadi
produk kosmik penyerapan alpha-partikel, pada suhu sekitar 109 K, dengan inti
karbon-12, oksigen-16dan neon-20. Energi ikat partikel yang membentuk inti dari
silikon adalah sekitar 8,4 juta elektron volt (MeV) per nukleon (proton atau neutron).
Dibandingkan dengan energi ikat maksimum sekitar 8,7 juta elektron volt untuk inti
besi, hampir dua kali lebih besar seperti yang dilakukan oleh silikon, angka ini
menunjukkan stabilitas dari inti silikon (Barone, 2004).
Silikon murni terlalu reaktif untuk dapat ditemukan di alam, tetapi ditemukan
di hampir semua batuan serta dalam pasir, tanah liat, dan tanah, dikombinasikan baik
dengan oksigen sebagai silika (SiO2, silikon dioksida) atau dengan oksigen dan
elemen lainnya (misalnya , aluminium, magnesium, kalsium, natrium, kalium, atau
besi) sebagai silikat. Bentuknya teroksidasi, silikon dioksida dan terutama karena
silikat, juga sering terjadi pada kerak bumi dan merupakan komponen penting dari
mantel bumi. Senyawanya juga terjadi pada semua perairan alami, di atmosfer (debu
silika), dalam banyak tanaman, dan dalam kerangka, jaringan, dan cairan tubuh dari
beberapa hewan.Dalam senyawa, silikon dioksida terjadi baik dalam mineral kristal
(misalnya, kuarsa, kristobalit, tridimit) dan amorf atau dalam amorf mineral
8
(misalnya, batu akik, opal, kalsedon) di semua area lahan. Silikat alami yang ditandai
dengan kelimpahan mereka, distribusi yang luas, dan kompleksitas struktural dan
komposisi (Barone, 2004).
2.4 Pengecoran Lost Foam
Pengecoran lost foam (evaporative casting) adalah salah satu metode dengan
menggunakan pola polystyrene foam. Metode ini ditemukan dan dipatenkan oleh
Shroyer pada tahun 1958 (Shroyer, 1958). Pada tahun 1964, konsep penggunaan
cetakan pasir kering tanpa pengikat telah dikembangkan dan dipatenkan oleh Smith
(Smith, 1964). Proses pengecoran lost foam dilakukan dalam beberapa tahap
(Gambar 2.1). Pengecoran lost foam yang dikombinasikan dengan pemvakuman
cetakan (V-Proses) menjadikan jenis pengecoran ini sebagai salah satu teknologi
manufaktur yang sangat baik dan memiliki biaya yang cukup efektif dalam
memproduksi benda yang mendekati bentuk bendanya dibanding pengecoran
konvesional (Liu ,dkk., 2002). Vakum proses telah dikembangkan di Jepang pada
tahun 1971 dan diperkenalkan pada pengecoran logam saat pertemuan musim semi
tahun 1972 (Kumar dan Ghaindhar, 1998). Pengecoran lost foam dimulai dengan
membuat pola polystyrene foam (styrofoam) dengan kerapatan atau massa jenis
tertentu sesuai yang direncanakan. Dalam beberapa aplikasi, bagian-bagian pola
dilem untuk mendapatkan bentuk keseluruhan dari benda yang komplek. Sistem
saluran dirangkai dengan cara dilem menyatu dengan rangkaian pola. Beberapa pola
dapat dilakukan pengecoran dengan dirangkai dalam satu sistem saluran. Pola yang
telah terangkai dengan sistem saluran diistilahkan dengan cluster (Brawn, 1992).
Sistem saluran memiliki pengaruh besar terhadap adanya cacat pada benda cor
misalnya saluran masuk bawah akan menyebabkan porositas dan cacat lipatan
(folded) paling sedikit dibandingsaluran samping atau atas (Shahmiri dan Karrazi,
2007).
9
Gambar 2.1 Tahap proses pengecoran lost foam
Sumber : www.sfsa.org
Pola dan sistem saluran dilakukan pelapisan (coating) dengan cara
dimasukkan ke larutan pelapis dari bahan tahan panas (refractory) atau larutan
refractory tersebut langsung dicatkan pada pola dan sistem saluran lalu dikeringkan.
Penambah, pengalir dan saluran masuk ditempatkan pada tempat yang diperlukan
(Butler, 1964). Cluster yang telah kering diletakkan pada wadah dan pasir silika
dimasukkan di sekeliling pola. Pasir yang menimbun pola dipadatkan dengan cara
digetarkan pada frekuensi dan amplitudo tertentu. Pasir yang dipadatkan dengan
penggetaran densitas pasir meningkat 12,5% dibandingkan tanpa digetarkan (Butler,
1964). Pasir dengan ukuran AFS (Average Fineness Number) grain fineness number
tertentu akan mengisi bagian-bagian yang kosong dari cluster dan akan menahan
clustersaat pengisian logam cair. Pola tersebut dapat dibungkus/ dikapsul dengan
dua lapis plastik dan pasirnya divakum. Vakum akan mengeraskan cetakan dan