6 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Jenis - Jenis Konstruksi Perkerasan Menurut Hardiyatmo (2015), ada dua macam jenis konstruksi perkerasan antara lain sebagai berikut: 1. Perkerasan Lentur (Flexible Pavement) Perkerasan lentur adalah perkerasan yang paling kita sering kita jumpai dan paling sering digunakan di Indonesia. Ada tiga susunan lapisan utama dari perkerasan lentur ialah: - Lapisan Permukaan (surface course) - Lapisan Pondasi (base course) - Lapisan Pondasi Bawah (subbase course) Pada Gambar 2.1. dapat dilihat struktur-struktur lapisan yang ada pada perkerasan lentur. Pada perkerasan lentur sendiri kekuatan perkerasan diperoleh dari ketebalan lapisan utama yaitu lapisan pondasi bawah (subbase), pondasi (base), dan lapisan permukaan (surface course). Pada lapis permukaan sendiri terbagi menjadi 2 lapis yaitu lapis aus (wearing course) dan lapis pengikat (binder course) yang ditempatkan secara terpisah satu sama lainnya. Untuk lapis pondasi dan pondasi bawah bisa ditempatkan dengan bentuk komposit dan tersusun atas 4 material-material yang cukup berbeda. Yang mana 4 material itu ialah pondasi atas (upper base), pondasi bawah (lower base), pondasi bawah bagian atas (upper subbase), serta pondasi bawah bagian bawah (lower subbase). Pada perkerasan lentur yang memiliki tanah yang lunak, maka solusinya adalah dengan membuat lapisan penutup (capping layer) ditempatkan tepat di antara lapis pondasi bawah dan tanah dasar. Kemudian, permukaan tanah pondasi tersebut dijadikan bagian bawah dari material pondasi bawah serta memungkinkan untuk bagian atas tanah menjadi distabilisasi (menjadi bahan campuran dengan semen dan kapur).
33
Embed
BAB II LANDASAN TEORIeprints.umm.ac.id/51086/3/BAB II.pdf · 2019-08-23 · 7 Gambar 2.1 Lapisan Perkerasan Lentur (Analisa Komponen 1987) Pada perkerasan lentur kapasitas dukung
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
6
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Jenis - Jenis Konstruksi Perkerasan
Menurut Hardiyatmo (2015), ada dua macam jenis konstruksi perkerasan
antara lain sebagai berikut:
1. Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)
Perkerasan lentur adalah perkerasan yang paling kita sering kita jumpai dan paling
sering digunakan di Indonesia. Ada tiga susunan lapisan utama dari perkerasan
lentur ialah:
- Lapisan Permukaan (surface course)
- Lapisan Pondasi (base course)
- Lapisan Pondasi Bawah (subbase course)
Pada Gambar 2.1. dapat dilihat struktur-struktur lapisan yang ada pada
perkerasan lentur. Pada perkerasan lentur sendiri kekuatan perkerasan diperoleh
dari ketebalan lapisan utama yaitu lapisan pondasi bawah (subbase), pondasi
(base), dan lapisan permukaan (surface course). Pada lapis permukaan sendiri
terbagi menjadi 2 lapis yaitu lapis aus (wearing course) dan lapis pengikat
(binder course) yang ditempatkan secara terpisah satu sama lainnya. Untuk lapis
pondasi dan pondasi bawah bisa ditempatkan dengan bentuk komposit dan
tersusun atas 4 material-material yang cukup berbeda. Yang mana 4 material itu
ialah pondasi atas (upper base), pondasi bawah (lower base), pondasi bawah
bagian atas (upper subbase), serta pondasi bawah bagian bawah (lower subbase).
Pada perkerasan lentur yang memiliki tanah yang lunak, maka solusinya adalah
dengan membuat lapisan penutup (capping layer) ditempatkan tepat di antara lapis
pondasi bawah dan tanah dasar. Kemudian, permukaan tanah pondasi tersebut
dijadikan bagian bawah dari material pondasi bawah serta memungkinkan untuk
bagian atas tanah menjadi distabilisasi (menjadi bahan campuran dengan semen dan
kapur).
7
Gambar 2.1 Lapisan Perkerasan Lentur (Analisa Komponen 1987)
Pada perkerasan lentur kapasitas dukung murni nya diperoleh dari
karakteristik distribusi beban dan sistem lapisan pembentuknya. Pada umumnya
material-material dengan kualitas yang tinggi ditempatkan dekat dengan lapisan
permukaan pada perkerasan lentur. Oleh karena itu, kekuatan pada perkerasan
lentur dapat dihasilkan dengan kerjasama antara lapisan-lapisan yang cukup tebal
selanjutnya menyebarkan beban-beban tersebut ke tanah dasar (subgrade)
sehingga mampu meredam dan menahan beban beban yang bekerja. Untuk
perencanaan tebal perkerasan sendiri sangat dipengaruhi oleh kekuatan dari tanah
dasar.
2. Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)
Perkerasan kaku adalah perkerasan yang terbuat dari lapisan pelat beton
semen sebagai bahan pengikatnya dan oleh kekakuan serta modulus elastisnya
yang tinggi sehingga menyebabkan beban kerja menyebar ke arah area yang
lebih luas ke tanah. Jadi, kekuatan utama dari struktur perkerasan kaku terletak
di pelat beton itu sendiri. Pelat beton itu sendiri biasa tersusun atas beton dengan
tulangan dan tanpa tulangan yang diletakkan tepat diatas lapis pondasi bawah
atau tepat diatas tanah dasar lalu diatasnya pada lapisan permukaan bisa dilapisi
dengan aspal maupun tanpa aspal.
Perkerasan kaku biasanya tersusun atas 2 lapis yaitu pelat beton dan
pondasi bawah. Adakalanya digunakan lapisan permukaan aspal pada perkerasan
kaku dengan ditambahkannya pada saat pembangunan maupun sesudahnya. Pada
perkerasan kaku lapisan pondasi bawah memiliki fungsi sebagai berikut:
- Tempat mengendalikan pengaruh dari pumping.
- Sebagai tempat lapisan untuk drainase
8
- Mampu mengendalikan aksi pembekuan
- Mampu mengendalikan kembang susut dari tanah dasar
- Mempermudah pelaksanaan
- Mampu mengurangi retakan pada pelat beton.
Pada perkerasan kaku pelat beton semen pada umumnya memiliki sifat
kekakuan yang cukup sehingga mampu menyebarkan beban secara merata ke
bidang area yang lebih luas dan memberi beban kerja serta tegangan yang lebih
kecil atau ringan untuk lapisan di bawahnya. Pelat beton juga bisa diletakkan
tepat diatas material komposit dengan menggunakan agregat yang berbeda
dengan lapisan diatasnya maupun lapisan dibawahnya.
Sesuai dengan kondisi pada perkerasan kaku, perkerasan beton dapat
berupa pelat beton dengan tulangan maupun pelat beton tanpa tulangan. Dapat
juga diberi tulangan secara kontinyu atau berlanjut, prategang, maupun dengan
beton fiber. Pada Gambar 2.2. dapat dilihat struktur perkerasan kaku yang
terdiri atas lapisan tanah, pelat beton, dan lapis permukaan.
Gambar 2.2 Struktur Perkerasan Kaku (Hardiyatmo 2015)
Pada Tabel 2.1. dapat dilihat perbedaan utama atau mendasar antara
perkerasan lentur dan perkerasan kaku adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Perbandingan Perkerasan Lentur dan Kaku
No Keterangan Perkerasan Lentur Perkerasan Kaku
1 Bahan pengikat Aspal Semen
2 Repetisi beban Timbul rutting (lendutan
pada jalur roda)
Timbul retak – retak
pada permukaan
3 Penurunan tanah dasar Jalan bergelombang
(mengikuti tanah dasar)
Bersifat sebagai balok di
atas perletakan
4 Perubahan temperatur Modulus kekakuan
berubah.
Timbul tegangan dalam
yang kecil
Modulus kekakuan tidak
berubah.
Timbul tegangan dalam
yang besar
Sumber: Sukirman (1999)
9
2.2. Kerusakan Jalan
2.2.1 Jenis – jenis Kerusakan Jalan
Pada umumnya kerusakan jalan terjadi pada lapisan permukaan, lapisan di
bawah permukaan dan juga pada struktur jalan. Berdasarkan letak atau tempat
kerusakan kerusakan jalan terdiri dari 2 macam yaitu kerusakan fungsional jalan
yang mana kerusakannya terjadi pada permukaan jalan dan kerusakan struktural
yang mana kerusakannya terjadi pada lapisan bawah permukaan atau struktural
jalan. Di bawah ini adalah uraian singkat tentang 2 macam kerusakan jalan
tersebut.
1. Kerusakan Fungsional
kerusakan ini adalah kerusakan yang pada umumnya sering terjadi atau
terletak pada lapisan permukaan jalan atau pada aspalnya. Kerusakan ini
dapat menyebabkan fungsi jalan tidak berjalan dengan baik dalam
menjalankan tugasnya yaitu memberikan pelayanan yang baik dan nyaman
bagi pengguna jalan tersebut. Pada kerusakan ini sebenarnya jalan sudah
tidak optimal lagi dalam memberikan pelayanan lalu lintas secara aman dan
nyaman bagi pengemudinya, namun masih dapat menampung atau menahan
beban yang bekerja di atasnya. Pada beberapa kasus kerusakan fungsional
sendiri memiliki beberapa indikasi kerusakan ialah kerusakan yang terjadi
pada lapisan permukaan jalan maupun kerusakan yang terjadi pada lapisan
tepi permukaan jalan.
2. Kerusakan Struktural
Kerusakan ini adalah kerusakan yang sering terjadi atau kerusakan yang terletak
tepat pada struktur jalan atau pada lapisan bawah permukaan. Pada kerusakan ini
jalan yang mengalami kerusakan sudah tidak dapat lagi menampung atau
menerima beban-beban yang bekerja diatasnya sehingga jika dibiarkan saja dapat
menyebabkan kerusakan yang cukup serius pada struktur jalan seperti terjadinya
retakan maupun perubahan bentuk lapisan permukaan jalan tersebut. Kerusakan
structural sendiri merupakan kerusakan yang cukup serius sehingga sangat
perlunya penanganan yang cepat dan optimal. Adapun upaya yang dapat
dilakukan untuk penanganan kerusakan ini adalah dengan melakukan perkuatan
10
structural jalan dengan cara memberi lapisan tambahan atau lapis ulang jalan
maupun mendesain struktur jalan tersebut menggunakan perkerasan kaku
(overlay) atau beton semen (rigid pavement).
2.2.2 Penyebab Kerusakan Jalan
Menurut Sukirman (1999) ada beberapa faktor atau hal penyebab kerusakan
pada konstruksi jalan adalah sebagai berikut:
1. Lalu lintas, dimana setiap tahunnya selalu mengalami perubahan peningkatan
kendaraan dan repetisi beban yang terjadi
2. Air, dimana terdapatnya sistem drainase jalan yang jelek sehingga
menyebabkan air yang datang dari hujan mengalami kapilaritas akibat naiknya
air tersebut.
3. bahan-bahan penyusun dari konstruksi perkerasan itu sendiri. Sehubungan
dengan kasus ini penyebabnya adalah akibat dari pengolahan material atau
bahan yang tidak optimal dan efisien.
4. Iklim. Seperti yang kita telah ketahui bersama indonesia beriklim tropis, yang
mana curah hujan pada umumnya cukup tinggi sehingga menyebabkan
terjadinya kerusakan pada jalan tersebut.
5. Kestabilan tanah dasar. Dalam kasus ini biasanya dapat terjadi karena sifat dari
tanah dasar itu sendiri yang jelek maupun pada proses pengerjaan di lapangan
yang tidak sempurna.
6. kurang optimalnya proses pekerjaan pemadatan langsung lapisan yang terdapat
di atas tanah dasar
Pada umumnya jalan yang mengalami kerusakan terjadi tidak hanya
diakibatkan dari faktor-faktor di atas saja, namun bisa juga disebabkan oleh
beberapa hal yang saling mengaitkan satu sama lain sehingga terjadilah gabungan
dari penyebab-penyebab tersebut.
Ada tiga hal yang perlu dievaluasi dalam menentukan kerusakan yang terjadi pada
jalan, ialah:
a) Penyebab kerusakan serta jenis-jenis dari kerusakan tersebut.
b) Tingkatan-tingkatan atau level dari kerusakan tersebut.
c) Total jumlah dari kerusakan yang terjadi
11
2.2.3 Indeks Kondisi Perkerasan (Pavement Condition Index)
Pavement Condition Index (PCI) merupakan penilaian yang dilakukan pada
kondisi permukaan jalan serta menilai dan meninjau ukuran berdasarkan fungsi
dari daya guna yang mengacu pada tingkat kondisi kerusakan yang terletak pada
lapisan permukaan perkerasan jalan (Hardiyatmo, 2015). Untuk memperoleh
Nilai dari PCI serta penilaian terhadap kondisi perkerasan jalan tersebut dapat
dilihat pada Tabel 2.2 yang dimulai dengan kondisi gagal sampai pada kondisi
sempurna.
PCI ini sendiri ialah indeks penilaian numerik dimana nilainya berkisar dari
angka 0 sampai dengan angka 100. Yang mana nilai itu nol sendiri menunjukkan
atau menyatakan bahwasanya perkerasan jalan tersebut sedang dalam kondisi
yang sangat parah atau gagal dan nilai 100 itu menunjukkan atau menyatakan
bahwa perkerasan jalan tersebut dalam kondisi yang masih sempurna.
Tahapan dari penilaian PCI itu sendiri berdasarkan tingkat kerusakan
perkerasan dikelompokkan dari 3 yang menjadikan faktor tersebut menjadi faktor
utama, adalah sebagai berikut:
a. Tipikal dari kerusakan pada jalan itu sendiri
b. Tingkatan atau level kerusakan yang seberapa parah
c. Total dari jumlah serta kerapatan yang terdapat pada kerusakan tersebut
Tabel 2.2 Nilai PCI dan Kondisi Perkerasan Jalan
Nilai PCI Kondisi
86 – 100 Sempurna (Exelent)
71 – 85 Sangat baik (Very good)
56 - 70 Baik (Good)
41 – 55 Sedang (Fair)
26 -40 Buruk (Poor)
11 – 25 Sangat buruk (Very poor)
0 – 10 Gagal (Failed)
Sumber: Hardiyatmo (2015)
a. Kadar Kerusakan / Kerapatan (Density)
Kadar kerusakan atau Kerapatan (Density) merupakan perbandingan
antara nilai persentase dari luasan kerusakan suatu jenis dengan jumlah total
nilai luasan dari beberapa unit segmen yang diukur dalam satuan meter
12
panjang maupun meter persegi.
Nilai dari density pada suatu jenis kerusakan dapat dibagi juga menurut
tingkat atau level kerusakannya yang seberapa parah.
suatu jenis kerusakan dibedakan juga berdasarkan tingkat kerusakannya.
Rumus mencari nilai density:
Density = (Ad/As) x 100% …………………………………………(2.1)
Atau Density = (Ld/As) x 100% ………………………………………….(2.2)
dengan,
Ad = luas total dari satu jenis perkerasan untuk setiap tingkat keparahan
kerusakan (m2)
As = luas total unit sampel (m2)
Ld = panjang total jenis kerusakan untuk tiap tingkat keparahan kerusakan
Luas total (Ad) pada rumus diatas adalah total keseluruhan dari
penjumlahan beberapa dimensi luasan dari kerusakan yang mana kerusakan
tersebut memiliki kerusakan yang sejenis atau sama. Luasan pada suatu jenis
perkerasan dihitung juga menggunakan rumus (2.1) sesuai dengan level
keparahan kerusakan atau tingkatan dari kerusakan tersebut.
b. Nilai Pengurangan (Deduct Value)
Nilai pengurangan (DV) itu sendiri merupakan besaran dari nilai
pengurangan terhadap tiap-tiap macam kerusakan yang terjadi dan dapat
diperoleh dari kurva atau grafik hubungan antara density dan tingkat
keparahan kerusakannya. Nilai pengurangan sendiri memiliki beberapa
perbedaan sesuai dengan jenis jenis kerusakannya. Terdapat beberapa grafik
dan nomogram yang didapat dipakai sesuai dengan jenis atau tipe kerusakan
dari jalan tersebut. Misalnya, kerusakan dengan jenis retak memanjang dan
melintang, yang mana apabila nilai density dari kerusakan tersebut dan
seberapa parah kerusakannya diketahui maka dari itu nilai DV bisa didapatkan
melalui pembacaan menggunakan grafik nilai pengurangan retak melintang
dan memanjang yaitu dengan menghubungkan nilai density dengan kurva
tingkat kerusakan (Low, Medium, atau, Hard). Caranya dengan membuat
sebuah garis vertikal keatas nilai density sampai memotong atau berimpit pada
13
garis lengkung kurva level kerusakan yang diperoleh, kemudian setelah itu
menarik garis secara horizontal ke arah kiri dengan lurus sampai memperoleh
nilai DV, bisa dilihat pada Gambar 2.3.
Besaran nilai DV yang telah didapatkan harus sudah dicocokkan atau
disesuaikan dengan tipikal struktur dari perkerasan jalan yang digunakan
seperti contoh perkerasan menggunakan lapisan dengan aspal maupun
perkerasan menggunakan lapisan beton dan semen. Terdapat perbedaan
mendasar dalam penggunaan nilai DV antara perkerasan menggunakan aspal
dan perkerasan menggunakan beton. Nilai DV yang digunakan untuk
perkerasan aspal ialah lebih besar atau sama dengan 2 (q>2 atau q=2) yang
berarti nilai minimum atau nilai yang boleh dipakai wajib lebih besar dari
angka 2. Sementara, nilai DV yang akan digunakan oleh perkerasan
menggunakan beton ialah lebih besar atau sama dengan 5 (q>5 atau q=5) yang
memiliki arti bahwa nilai minimum atau nilai yang boleh dipakai ialah harus
atau wajib lebih besar dari angka 5. Dan juga, bisa terjadi kemungkinan
bahwa hanya terdapat 1 nilai DV maka dapat secara langsung memakai nilai
TDV sebagai nilai pengurangan. Namun sebaliknya, Jika terdapat nilai DV
yang lebih dari satu maka yang dilakukan adalah dengan mencari nilai CDV
maksimum.
Gambar 2.3 Grafik Nilai Pengurang Retak Buaya (Hardiyatmo, 2015)
14
Besaran nilai DV yang telah didapatkan harus sudah dicocokkan atau
disesuaikan dengan tipikal struktur dari perkerasan jalan yang digunakan
seperti contoh perkerasan menggunakan lapisan dengan aspal maupun
perkerasan menggunakan lapisan beton dan semen. Terdapat perbedaan
mendasar dalam penggunaan nilai DV antara perkerasan menggunakan aspal
dan perkerasan menggunakan beton. Nilai DV yang digunakan untuk
perkerasan aspal ialah lebih besar atau sama dengan 2 (q>2 atau q=2) yang
berarti nilai minimum atau nilai yang boleh dipakai wajib lebih besar dari
angka 2. Sementara, nilai DV yang akan digunakan oleh perkerasan
menggunakan beton ialah lebih besar atau sama dengan 5 (q>5 atau q=5) yang
memiliki arti bahwa nilai minimum atau nilai yang boleh dipakai ialah harus
atau wajib lebih besar dari angka 5. Dan juga, bisa terjadi kemungkinan
bahwa hanya terdapat 1 nilai DV maka dapat secara langsung memakai nilai
TDV sebagai nilai pengurangan. Namun sebaliknya, Jika terdapat nilai DV
yang lebih dari satu maka yang dilakukan adalah dengan mencari nilai CDV
maksimum.
c. Nilai Pengurang Total (Total Deduct Value)
Nilai pengurangan total atau TDV merupakan jumlah total nilai dari masing
masing nilai DV untuk tiap-tiap jenis dan tipe kerusakan serta tingkat
keparahan dari kerusakan yang terjadi atau terdapat pada suatu segmen dari
penelitian tersebut.
d. Nilai Pengurang Terkoreksi (Corrected Deduct Value)
Nilai Pengurangan Terkoreksi atau CVD didapatkan melalui kurva grafik dari
hubungan nilai pengurangan terkoreksi atau TDV dengan nilai deduct value
atau DV. Penggunaan Nilai DV adalah dengan memakai nilai yang mana
harus melebihi atau sama dengan 2 (q=2) dan langsung dikoreksi dengan
meninjau dari nilai pengurangan yang diizinkan (mi),
mi = 1 + (9
98)(100 – HDVi) ………………………………………………..(2.3)
dengan,
mi = nilai pengurang ijin
15
HDVi = nilai pengurang DV tertinggi (Highest Deduct Value)
Nilai mi merupakan nilai acuan dalam menggunakan nilai DV, Langkah
mencari nilai DV:
1. Gunakan nilai DV yang lebih besar dari 2 (q = 2), andaikan ada 4 nilai
DV.
2. Hitung nilai mi.
3. Bandingkan nilai mi dengan jumlah nilai DV pada poin 1 (satu), apabila
nilai mi yang dihitung adalah 5, maka mi > nilai DV, atau nilai mi = 5 >
nilai DV = 4, artinya semua data nilai DV harus digunakan dalam
perhitungan selanjutnya. Apabila nilai mi < nilai DV maka nilai yang
dipakai adalah nilai DV yang lebih besar dari 2 (dua), yaitu q = 2.
Untuk memperoleh nilai pengurangan yang terkoreksi atau TDV dari
total penjumlahan beberapa nilai deduct value atau DV, maka perlu
dilakukannya beberapa percobaan iterasi sampai didapatkannya nilai q sama
dengan 1 dimana itu merupakan nilai TDV yang sama dengan nilai CDV.
Contohnya sebagai berikut:
1. Terdapat 4 buah Nilai DV yang dimiliki.
2. Nilai DV yang dimiliki 4 maka dari itu nilai q = 4, setelah itu lakukan
penjumlahan dari semua total nilai tersebut sehingga menghasilkan nilai
TDV, lalu menggunakan nomogram grafik hubungan nilai TDV dengan
nilai CDV (q=4) seperti yang terlihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Nilai Pengurang Terkoreksi (CDV) (Hardiyatmo, 2015)
16
3. Kemudian melanjutkan iterasi-iterasi tersebut dengan menggantikan salah satu
angka dari keempat nilai DV tersebut dimana yang digantikan adalah nilai DV
terkecil menjadi q=2, lalu menjumlahkan semua total nilai DV sehingga
menghasilkan nilai DV. Setelah itu, baru menggunakan Gambar 2.4 yaitu
grafik untuk mendapatkan nilai CDV dengan nilai q=3.
4. Iterasi berikutnya ialah dengan menggantikan 2 angka dari keempat nilai DV
tersebut dimana yang digantikan adalah nilai DV terkecil menjadi q=2, lalu
menjumlahkan semua total nilai DV sehingga menghasilkan nilai DV. Setelah
itu, baru menggunakan Gambar 2.4 yaitu grafik untuk mendapatkan nilai CDV
dengan nilai q=2.
5. Iterasi berikutnya ialah dengan menggantikan 3 angka dari keempat nilai DV
tersebut dimana yang digantikan adalah nilai DV terkecil menjadi q=3, lalu
menjumlahkan semua total nilai DV sehingga menghasilkan nilai DV. Setelah
itu, baru menggunakan Gambar 2.4 yaitu grafik untuk mendapatkan nilai CDV
dengan nilai q=1.
Setelah mendapatkan nilai CDV sesuai perhitungan dari langkah 1
sampai langkah ke 4 seperti contoh iterasi di atas, maka dipakailah nilai CDV
maksimum atau nilai yang paling besar agar mendapatkan nilai PCI sesuai