BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA- SAMA DAN TINDAK PIDANA BERKELANJUTAN DALAM HUKUM PIDANA DAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Tindak Pidana Bersama-sama dan Berkelanjutan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 1. Penyertaan (deelneming) Penyertaan (deelneming) 31 adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta/terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Orang-orang yang terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan masing-masing dari mereka berbeda satu dengan lain, demikian juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak pidana maupun terhadap peserta yang lain. Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya, di mana perbuatan yang satu menunjang perbuatan yang lainnya, yang smuanya mengarah pada satu ialah terwujudnya tindak pidana. Adapun bentuk-bentuk penyertaan terdapat dan diterangkan dalam Pasal 55 dan 56. Pasal 55 mengenai golongan disebut dengan mededader (disebut para peserta, atau para pembuat), dan Pasal 56 mengenai medeplichtige (pembuat pembantu). Pasal 55 merumuskan sebagai berikut : 1. Dipidana sebagai pembuat tindak pidana : 31 Adami Chazawi, Percobaan, Penyertaan, Pelajaran Hukum Pidana 3, Penerbit: Rajawali Press, Jakarta, 2002, halaman 73 Universitas Sumatera Utara
34
Embed
BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-
SAMA DAN TINDAK PIDANA BERKELANJUTAN DALAM HUKUM
PIDANA DAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Tindak Pidana Bersama-sama dan Berkelanjutan Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
1. Penyertaan (deelneming)
Penyertaan (deelneming)31 adalah pengertian yang meliputi semua bentuk
turut serta/terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik
dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak
pidana. Orang-orang yang terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak
pidana, perbuatan masing-masing dari mereka berbeda satu dengan lain, demikian
juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak
pidana maupun terhadap peserta yang lain. Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang
ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian rupa
eratnya, di mana perbuatan yang satu menunjang perbuatan yang lainnya, yang
smuanya mengarah pada satu ialah terwujudnya tindak pidana.
Adapun bentuk-bentuk penyertaan terdapat dan diterangkan dalam Pasal
55 dan 56. Pasal 55 mengenai golongan disebut dengan mededader (disebut para
peserta, atau para pembuat), dan Pasal 56 mengenai medeplichtige (pembuat
pembantu).
Pasal 55 merumuskan sebagai berikut :
1. Dipidana sebagai pembuat tindak pidana :
31 Adami Chazawi, Percobaan, Penyertaan, Pelajaran Hukum Pidana 3, Penerbit:
Rajawali Press, Jakarta, 2002, halaman 73
Universitas Sumatera Utara
a. mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan yang turut
seta melakukan perbuatan;
b. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan,
ancaman atau pemyesatan, atau dengan memberi kesempatan,
sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan
2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah
yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 merumuskan sebagai berikut :
Dipidana sebagai pembantu kejahatan :
1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan
dilakukan;
2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan
untuk melakukan kejahatan.
Dari kedua Pasal (55 dan 56) tersebut, dapatlah diketahui bahwa menurut
KUHP penyertaan itu dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :32
1. Pertama, kelompok orang-orang yang perbuatannya disebabkan dalam
Pasal 55 ayat (1), yang dalam hal ini disebut dengan para pembuat
(mededader), adalah mereka :
a. yang melakukan (plegen), orangnya disebut dengan pembuat
pelaksanaan (pleger);
b. yang menyuruh melakukan (doen plegen), orangnya disebut
dengan pembuat penyuruh (doen pleger);
c. yang turut serta melakukan (mede plegen), orangnya disebut
dengan pembuat peserta (mede pleger); dan
d. yang disengaja menganjurkan (uitlokken), yang orangnya disebut
dengan pembuat penganjur (uitlokker).
2. Kedua, yakni orang yang disebut dengan pembuat pembantu
(medeplichtige) kejahtan, yang dibedakan menjadi :
a. pemberibantuan pada saat pelaksanaan kejahatan; dan
b. pemberian bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan.
Bila dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, penyertaan (deelneming)
adalah keturutsertaan seseorang atau orang-orang yang terlibat dalam korupsi,
Ketiga ialah jarak waktu antara tindak pidana yang satu dengan tindak
pidana yang berikutnya tidak boleh terlalu lama.Maksudnya ialah, bahwa
perbuatan berlanjut ini boleh saja berlangsung sampai dengan bertahun-tahun
lamanya, tetapi jarak antara satu dengan yang berikutnya tidaklah boleh terlalu
lama temponya51. Jika waktu itu telah terlalu lama akan terdapat kesulitan untuk
mencari suatu hubungan antara tindak pidana yang dilakukan itu dengan tindak
pidana (sejenis) sebelumnya, dan ini artinya jika waktu itu sudah sekian lamanya
maka tidak lagi menggambarkan suatu kelanjutan atau berlanjut. Hal tersebut
akan berubah maknanya yang semulanya bisa merupakan perbuatan berkelanjutan
akan tetapi karena jarak dengan perbuatan pidana pertama dengan seterusnya yang
terlalu jauh maka dikategorikan sebagai suatu perbuatan berulang.
Di dalam putusan kasasi tanggal 5 Maret 1963 No. 162 K/Kr./196252,
Mahkamah Agung Republik Indonesia telah memutuskan antara lain :
“penghinaan-penghinaan ringan yang telah dilakukan terhadap lima orang
pada hari-hari yang berlainan, tidaklah mungkin didasarkan pada satu
keputusan kehendak (wilsbesluit), maka perbuatan itu tidak dapat
dipandang sebagai satu perbuatan daan tidak dapat semua perkaranya itu
diberikan satu putusan.”
Sedangkan di dalam putusan kasasinya tanggal 28 April 1964 No.
156/K/Kr./196353, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah emmutuskan
anatar lain :
51 Adami Chazawi, Ibid, halaman 136 52 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Op.Cit, halaman 709 53 Ibid
Universitas Sumatera Utara
“masalah tindakan yang berlanjut atau voortgezette handeling itu hanyalah
mengenai masalah pejatuhan hukuman (straftoemeting) dan tidak mengenai
pembatasan dari tuntutan”.
Menurut Profesor van Bemmelen,54 untuk menetukan apakah beberapa
perilaku itu dapat dianggap sebagai satu tindakan berlanjut atau bukan, biasanya
tidak begitu mudah, oleh karena semua perilaku itu biasanya juga terdiri dari
sejumlah besar tindakan kecil.
Di dalam memori penjelasan mengenai pembentukan Pasal 64 ayat 1
KUHP itu antara lain telah dikatakan, bahwa suatu voortgezet misdrijf itu hanya
dapat terjadi apabila di situ terdapat sekumpulan tindak pidana yang sejenis.
Tindakan-tindakan ysng telah dilakukan oleh orang itu telah memenuhi kriteria
seperti yang pernah dikemukakan di atas, yakni :55
a. bahwa perbuatan berulang kali mengambil sejumlah kecil batu dengan
mempergunakan sebuah gerobak dorong itu merupakan pelaksanaan
keputusannya yang terlarang menurut undang-undang;
b. bahwa perbuatan-perbuatan orang tersebut telah menghasilkan
beberapa tindak pidana ysng sejenis, yaitu tindak-tindak pidaan
pencurian;
c. bahwa antara perbuatannya yang satu dengan perbuatannya yang lain
tidak diputuskan suatu jangka waktu yang relatif cukup lama.
B. Tindak Pidana Bersama-sama dan Berkelanjutan di Dalam Tindak
Pidana Korupsi
1. Penyertaan dalam Tindak Pidana Korupsi
Di dalam suatu Tindak Pidana Korupsi dikenal adanya perbuatan
penyertaan (deelneming), yang mana korupsi tersebut dilakukan secara bersama-
sama guna memperoleh keuntungan bagi pihak-pihak yang melakukannya,
54 Ibid, halaman 710 55 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Op.Cit, halaman 711
Universitas Sumatera Utara
sehingga dampaknya akan menyebabkan kerugian keuangan/perekonomian pada
negara.
Penyertaan di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor
20 tahun 2001 disebut sebagai pembantuan. Adapun Pasal 15 berbunyi sebagai
berikut :
“Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana
yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai
dengan Pasal 14.”
Ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 15 tersebut, sebenarnya terdiri dari
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :56
a. setiap orang yang melakukan Percobaan (Pasal 53 ayat (1) KUHP)
untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pasal 3, pasal 5 sampai dengan Pasal 14 dipidana dengan
pidana yang sama dengan setiap orang yang melakukan tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai
dengan Pasal 14;
b. setiap orang yang melakukan pembantuan (Pasal 56 KUHP) untuk
melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 dipidana dengan pidana
yang sama dengan setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pasal 3, Pasal 5 sampai dengan
Pasal 14;
c. Setiap orang yang melakukan pemufakatan jahat (Pasal 88 KUHP)
untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 dipidana dengan
pidana yang saam dengan setiap orang yang melakukan tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 15
sampai dengan Pasal 14.
Bila melihat isi Pasal 15 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di
atas, maka adapun yang dikatakan pembantuan, yaitu adalah hal-hal yang telah
56 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta, 2005, halaman 121
Universitas Sumatera Utara
diatur sebelumnya pada Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
yang berbunyi sebagai berikut :
Dipidana sebagai pembantu kejahatan :
1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan
dilakukan;
2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan
untuk melakukan kejahatan.
Apabila terdapat seseorang atau suatu korporasi yang memenuhi unsur-
unsur Pasal 56 KUHP di atas, maka dapat disimpulkan orang atau korporasi
tersebut telah ikut bersama-sama melakukan pembantuan kejahatan khususnya
dalam Tindak Pidana Korupsi.
Bila melihat defenisi yang diberikan oleh Pasal 56 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) di atas, dapat dilihat bahwa pembantuan merupakan suatu
bagian dari penyertaan tindak pidana. Maka akan berkaitan dengan Pasal 55
KUHP yang mengatur mengenai penyertaan di dalam tindak pidana, dan berlaku
pula dalam Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan :
1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan ikut serta
melakukan tindak pidana;
2. mereka yang dengan pemberian, perjanjian, menyalahgunakan
kekuasaan atau pengaruh, dengan kekerasan, ancaman atau tipu
daya atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan,
sengaja menggerakkan orang lain agar melakukan tindak pidana.
Berdasarkan Pasal 55 KUHP tersebut dapat diketahui bahwa orang yang
dapat dihukum sebagai pelaku tindak pidana dapat diklasifikasikan atas:57
57 Muhammad Ekaputra dan Abdul Khair, Percobaan dan Penyertaan, penerbit:
USUpress, Medan, 2009, halaman 43
Universitas Sumatera Utara
a. mereka yang melakukan;
b. yang menyuruh melakukan;
c. dan yang turut serta melakukan;
d. serta penganjur;
e. mereka yang memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
f. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk
melakukan kejahatan.
Dalam hal melakukan tindak pidana korupsi, maka akan lebih mendalam
pembahasan mengenai ikut serta dalam tindak pidana korupsi. Ikut serta
(medeplegen) merupakan salah satu bagian yang tidak dapat terpisahkan dari
penyertaan (deelneming). Dengan kata lain, ikut serta adalah merupakan
penyertaan. Menurut MvT pelaku dalam ikut serta (medeplegen)58 adalah orang
yang langsung mengambil bagian dalam pelaksanaan perbuatan yang oleh
undang-undang dilarang dan diancam dengan hukuman atau melakukan
perbuatan-perbuatan atau salah satu perbuatan yang merupakan bagian dari
sesuatu pidana.
Banyak pendapat yang dikemukakan khususnya terkait dengan masalah
pemenuhan unsur-unsur bagi para peserta dalam bentuk ikut serta ini, antara lain
sebagai berikut :
1. Menurut Pompe,59 dalam mewujudkan tindak pidana itu ada tiga
kemungkinan, yaitu :
58 P.A.F. Lamintang Dalam Muhammad Ekaputra dan Abdul Khair, Ibid, halaman 55 59 Sudarto dan Wonosutanto, Catatan Kuliah Hukum Pidana II, (Surakarta: Program
Kekhususan Hukum Kepidanaan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, 1987), halaman
40-41
Universitas Sumatera Utara
a. mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam
rumusan delik. Mereka ini masing-masing dapat juga
disebut melakukan delik.
b. salah seorang memenuhi rumusan delik/unsur-unsur dan
ada orang lain ikut serta.
c. tidak seorangpun yang melakukan perbuatan yang
memenuhi unsur-unsur delik seluruhnya, tetap mereka
bersama-sama mewujudkan delik itu.
2. Menurut Simons dalam Loebby Loqman,60 bahwa dalam ikut serta
semua peserta harus memenuhi semua unsur dari tindak pidana
yang dilakukan.
3. Menurut van Hamel dalam E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi,61 bahwa
dianggap ada persoalan ikut serta (medeplegen) jika setiap pelaku
yang ikut serta harus memenuhi semua unsur delik. Jadi mereka
satu sama lain menjadi pelaku peserta. Di luar hal-hal itu maka
adalah bentuk penyertaan yang berupa pembantuan.
4. Menurut Hoge Raad, bahwa tidak perlu semua peserta, dalam
penyertaan yang berbentuk ikut serta harus memnuhi semua unsur
tindak pidana yang dilakukan. Ada kalanya memang harus
memenuhi tetapi dapat pula tidak memenuhi unsur tindak pidana
yang dilakukan. Yang terpenting menurut Hoge Raad adalah
dipenuhinya syarat-syarat ikut serta. Begitu pula Mahkamah Agung
Republik Indonesia juga berpendapat bahwa dalam ikut serta
peserta tidak harus memenuhi semua unsur dalam tindak pidana.62
60 Loebby Loqman Dalam Muhammad Ekaputra dan Abdul Khair, Percobaan dan
Penyertaan,Op.Cit, halaman 56 61 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi Dalam Muhammad Ekaputra dan Abdul Khair,
Percobaan dan Penyertaan,Ibid 62 Ibid, halaman 57
Universitas Sumatera Utara
Bila dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, penyertaan (deelneming)
adalah keturutsertaan seseorang atau orang-orang yang terlibat dalam korupsi,
ataupun yang membantu seseorang dalam melakukan tindak pidana korupsi baik
dalam penganjuran untuk melakukan tindak pidana korupsi, atau memberi
pembantuan. Pembantuan diberikan baik dalam bentuk sarana dan prasarana,
kesempatan dan pemberian/penyampaian informasi kepada seseorang yang akan
melakukan tindak pidana korupsi.
Bila dilihat lebih jauh, maka dalam tindak pidana korupsi yang lebih
banyak terjadi adalah seseorang yang turut serta melakukan atau bersama-sama
melakukan tindak pidana korupsi sebagimana yang telah diatur di dalam Pasal 55
ayat 1 KUHP.
Adapun perbedaan antara pembantuan dan turut serta, terdapat tiga teori,
antara lain:63
1. Teori Obyektif (de obyectieve deelnenings theorie)
Untuk membedakan antara turut serta dengan pembantuan dilihat
dari sifat perbuatan yang merupakan obyek tindak pidana. Apabila
seseorang melakukan perbuatan yang menurut sifatnya adalah
merupakan perbuatan yang dilarang undang-undang, maka orang
tersebut melakukan dalam bentuk “turut serta”. Sedangkan apabila
orang tersebut perbuatannya tidak bersifat tindak pidana, dia
dianggap melakukan “pembantuan”.
2. Teori Subyektif (de subyectieve deelnemings theorie)
Dasar teori ini adalah niat dari para peserta dalam suatu
penyertaan. Di dalam turut serta pelaku memang mempunyai
kehendak terhadap terjadinya tindak pidana. Sedangkan dalam
pembantuan kehendak ditujukan kearah memberi bantuan kepada
orang yang melakukan tindak pidana.
Disamping perbedaan kehendak, dalam turut serta pelaku
mempunyai tujuan yang berdiri sendiri. Apakah ia dibantu atau
tidak tetap dia mempunyai tujuan melakukan tindak pidana.