-
BAB II
KONSEP DASAR
A. Pengertian
Cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala,
tengkorak
dan otak. (Brunner & Suddarth, 2001 : 2010).
Cedera kepala adalah cedera kepala (terbuka dan tertutup) yang
terjadi
karena: fraktur tengkorak, komusio (gegar serebri), kontusio
(memar /
laserasi) dan perdarahan serebral (subarakhnoid, subdural,
epidural, intra
serebral, batang otak). (Doenges, 1999 : 270).
Cedera kepala adalah trauma yang terjadi karena adanya pukulan
/
benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan
kesadaran.
(Tucker, 1998).
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai kulit kepala,
tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injuri baik secara
langsung maupun
tidak langsung, dengan disertai atau tanpa disertai perdarahan
yang
mengakibatkan gangguan fungsi otak. (Price, 1995 : 1015).
Cedera kepala gangguan traumatik yang menyebabkan gangguan
fungsi otak disertai / tanpa disertai perdarahan interstisial
dan tidak
mengganggu jaringan otak. (www.medicastoro.com).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa
cedera
kepala adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak dan otak yang
terjadi baik
secara langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang
dapat
6
http://www.medicastoro.com/
-
2
mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat
menyebabkan
kematian.
Macam-macam cedera kepala
Cedera kepala dibagi menjadi:
1. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya
tengkorak atau
luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan
oleh
velositas, masa dan bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga
dapat
terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk ke dalam
jaringan otak
dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda
tajam /
tembakan. Cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen
memiliki abses langsung ke otak.
2. Cedera kepala tertutup
Benturan kranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah
goncangan
yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak
cepat,
kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan dalam otak cairan
akan
tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: komusio (gegar otak),
kontusio
(memar) dan laserasi.
(Brunner & Suddarth, 2001 : 2211; Long, 1990 : 203)
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan nilai GCS:
1. Cedera kepala ringan
Nilai GCS: 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit.
Ditandai
dengan: nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta
seperti pada
fraktur tengkorak, kontusio / hematoma.
-
3
2. Cedera kepala sedang
Nilai GCS: 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit – 24 jam,
dapat
mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi ringan
(bingung).
3. Cedera kepala berat
Nilai GCS: 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi:
kontusio
serebral, laserasi, hematoma dan edema serebral.
(Hudack dan Gallo, 1996 : 226)
B. Anatomi
Tengkorak
Struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari
tulang
kranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan:
lapisan luar,
diploe dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan
struktur yang
kuat sedangkan diploe merupakan struktur yang menyerupai busa.
Lapisan
dalam membentuk rongga / fosa: fosa anterior (didalamnya
terdapat lobus
frontalis), fosa tengah (berisi lobus temporalis, parietalis,
oksipitalis), fosa
posterior (berisi otak tengah dan sereblum).
Meningen
Adalah selaput yang menutupi otak dan medula spinalis yang
berfungsi sebagai pelindung. Pendukung jaringan-jaringan
dibawahnya,
meningen terdiri dari:
-
4
1. Durameter (lapisan sebelah luar)
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat
tebal dan
kuat. Durameter ditempat tertentu mengandung rongga yang
mengalirkan
darah vena ke otak.
2. Arakhnoid (lapisan tengah)
Merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan
piameter
membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang
meliputi
susunan saraf sentral.
3. Piameter (lapisan sebelah dalam)
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan
otak,
piameter berhubungan dengan araknoid melalui struktur-struktur
jaringan
ikat yang disebut trabekel.
(Ganong, 2002)
Otak
Otak terbagi menjadi 3 bagian utama, yaitu:
a. Sereblum
Sereblum merupakan bagian otak yang terbesar dan paling
menonjol.
Disini terletak pusat-pusat saraf yang mengatur semua kegiatan
sensorik
dan motorik, juga mengatur proses penalaran, ingatan dan
intelegensia.
Sereblum dibagi menjadi hemisfer kanan dan kiri oleh suatu lekuk
atau
celah dalam yang disebut fisura longitudinalis mayor. Bagian
luar
hemisferium serebri terdiri dari substansial grisea yang disebut
sebagai
-
5
kortek serebri, terletak diatas substansial alba yang merupakan
bagian
dalam (inti) hemisfer dan dinamakan pusat medulla. Kedua
hemisfer
saling dihubungkan oleh suatu pita serabut lebar yang disebut
korpus
kalosum. Di dalam substansial alba tertanam masa substansial
grisea yang
disebut ganglia basalis. Pusat aktifitas sensorik dan motorik
pada masing-
masing hemisfer dirangkap dua, dan biasanya berkaitan dengan
bagian
tubuh yang berlawanan. Hemisferium serebri kanan mengatur
bagian
tubuh sebelah kiri dan hemisferium kiri mengatur bagian tubuh
sebelah
kanan. Konsep fungsional ini disebut pengendalian kontra
lateral.
Setiap hemisfer dibagi dalam lobus dan terdiri dari 4,
yaitu:
Lobus Frontalis : Kontrol motorik gerakan volunteer, terutama
fungsi
bicara, kontrol berbagai emosi, moral tingkah laku
dan etika.
Lobus Temporal : Pendengaran, keseimbangan, emosi dan
memori.
Lobus Oksipitalis : Visual senter, mengenal objek.
Lobus Parietalis : Fungsi sensori umum, rasa (pengecapan)
-
6
Gambar 1 : Anatomi bagian-bagian Otak.
-
7
Kerusakan Pada Bagian-Bagian Otak Tertentu
Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri)
biasanya
akan mempengaruhi kemampuan berpikir, emosi dan perilaku
seseorang.
Daerah tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggung jawab
atas perilaku
tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis
kelainan
yang terjadi.
1. Kerusakan Lobus Frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan
keahlian motorik (misalnya menulis, memainkan alat musik atau
mengikat
tali sepatu). Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan
isyarat
tangan, daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggung jawab
terhadap
aktifitas motorik tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek
perilaku
dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada
ukuran dan
lokasi kerusakan fisik yang terjadi.
Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu sisi otak,
biasanya
tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun
kadang
menyebabkan kejang. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian
belakang
lobus frontalis bisa menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan
kadang
inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan
atau
samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita
mudah
teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar
dan
kejam, penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat
perilakunya.
-
8
2. Kerusakan Lobus Parientalis
Lobus parientalis pada korteks serebri menggabungkan kesan
dari
bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah
kecil
kemampuan matematika dan bahasa berasal dari daerah ini.
Lobus
parientalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di
sekitarnya
dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di
bagian
depan lobus parientalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh
yang
berlawanan.
Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya
kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini
disebut
apraksia) dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang
luas bisa
mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian
tubuhnya
atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan
akan
bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk
kubus atau
jam dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan
tidak
mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari
lainnya.
3. Kerusakan Lobus Temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi
menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang.
Lobus
temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori
dan
mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional.
Kerusakan
pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya
ingatan
akan suara dan bentuk.
-
9
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan
gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari
dalam
dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya.
Penderita
dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan
mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda,
tingkat
kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan
gairah
seksual.
(Mediastore.Com)
b. Sereblum
Sereblum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi
oleh
durameter yang menyerupai atap tenda, yaitu tentonium yang
memisahkan
dari bagian posterior serebrum. Serebrum terdiri dari bagian
tengah
(vermis) dan 2 hemisfer lateral. Serebrum dihubungkan dengan
batang
otak oleh tiga berkas serabut yang dinamakan pedunkulus.
Pedunkulus
serebri superior berhubungan dengan kedua hemisfer otak
sedangkan
pedunkulus serebri inferior berisi serabut-serabut traktus spino
sereberalis
dorsalis dan berhubungan dengan medulla oblongata. Semua
aktifitas
serebrum dibawah kesadaran fungsi utamanya adalah sebagai pusat
reflek
yang mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot, serta
mengubah
tonus dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan
dan
sikap tubuh.
-
10
c. Brainstem
Ke arah kaudal batang otak berlanjut sebagai medulla spinalis
dan
ke rostral berhubungan langsung dengan pusat-pusat otak yang
lebih
tinggi. Bagian-bagian batang otak dari bawah ke atas adalah
medulla
oblongata, pors dan mesenfalon (otak tengah). Di seluruh batang
otak
banyak ditemukan jaras-jaras yang berjalan naik dan turun.
Batang otak
merupakan pusat penyampaian dan reflek yang penting dari
SSP.
Selain nervus alfaktorius dan optikus, nuclei nervus kranialis,
juga
terletak dari batang otak. Seringkali terdapat satu saraf
kranialis atau lebih
yang turut terlibat dalam lesi batang otak. Letak dan penyebaran
lesi ini
dapat dideteksi menggunakan pemeriksaan fungsi saraf kranialis.
Nervus
kranialis I (alfaktorius) dan II (optikus) merupakan jaras SSP,
nervus
optikus dapat terkena pada penyakit-penyakit SSP (misal
sclerosis
multiple dan tumor).
(Sylvia A. Price & Lorrain M. Wilson, 2006)
Saraf-Saraf Otak:
a. Nervus Alfaktorius (Nervus Kranialis I)
Nervus alfaktorius menghantarkan bau menuju otak dan kemudian
diolah
lebih lanjut. Dengan mata tertutup dan pada saat yang sama satu
lubang
hidung ditutup, penderita diminta membedakan zat aromatis lemah
seperti
vanila, cau de cologne, dan cengkeh. Fungsi saraf pembau.
-
11
b. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Nervus optikus menghantarkan impuls dari retina menuju plasma
optikum,
kemudian melalui traktus optikus menuju korteks oksipitalis
untuk
dikenali dan diinterpretasikan. Fungsi: Bola mata untuk
penglihatan.
c. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital (otot penggerak
bola mata).
Fungsi: sebagai penggerak bola mata.
d. Nervus Troklearis (Nervus Kranialis IV)
Sifatnya motorik, fungsi memutar mata, sebagai penggerak
mata.
e. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Nervus Trigeminus membawa serabut motorik maupun sensorik
dengan
memberikan persarafan ke otot temporalis dan maseter, yang
merupakan
otot-otot pengunyah.
Nervus trigeminus dibagi menjadi 3 cabang utama:
- Nervus oftalmikus sifatnya motorik dan sensorik.
Fungsi: Kulit kepala dan kelopak mata atas.
- Nervus maksilaris sifatnya sensorik.
Fungsi : Rahang atas, palatum dan hidung.
- Nervus mandibularis sifatnya motorik dan sensorik.
Fungsi : Rahang bawah dan lidah.
f. Nervus Abdusen (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital.
Fungsi: Sebagai saraf penggoyang bola mata.
-
12
g. Nervus Facialis (Nervus Nervus Kranialis VII)
Sifatnya motorik dan sensorik, saraf ini membawa serabut
sensorik yang
menghantar pengecapan bagian anterior lidan dan serabut motorik
yang
mensarafi semua otot ekspresi wajah, termasuk tersenyum,
mengerutkan
dahi dan menyeringai.
Fungsi: Otot lidah menggerakkan lidah dan selaput lendir rongga
mulut.
h. Nervus Auditorius (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensorik, mensarafi alat pendengar membawa rangsangan
dari
pendengaran dari telinga ke otak. Fungsinya: Sebagai saraf
pendengar.
i. Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk, mensarafi faring, tonsil dan lidah.
j. Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk, fungsinya: Sebagai saraf perasa.
k. Nervus Assesoris (Nervus Kranialis XI)
Sifatnya motorik, fungsinya: Sebagai saraf tambahan.
l. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot lidah.
(Patofisiologi, 2005)
Fisiologi
Perdarahan intrakranial (hematoma intrakranial) adalah
penimbunan
darah di dalam otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak.
Hematoma
intrakranial bisa terjadi karena cedera atau stroke. Perdarahan
karena cedera
biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar
(hematoma
-
13
subdural) atau diantara pembungkus otak sebelah luar dengan
tengkorak
(hematoma epidural). Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa
terlihat
pada CT Scan atau MRI. Sebagian besar perdarahan terjadi dengan
cepat dan
menimbulkan gejala dalam beberapa menit.
Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering kali pada
usia
lanjut dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala
setelah
beberapa jam atau hari. Hematoma yang luas akan menekan
otak,
menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan
jaringan
otak. Hematoma yang luas akan menyebabkan otak bagian atas atau
batang
otak mengalami herniasi.
Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan kesadaran
sampai
koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh,
gangguan
pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa
juga terjadi
kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.
1. Hematoma Epidural
Berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara
meningens
dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang
tengkorak telah
merobek arteri darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih
tinggi
sehingga lebih cepat memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat
bisa
segera timbul tetapi bisa juga baru muncul beberapa jam
kemudian. Sakit
kepala kadang menghilang, tetapi beberapa jam kemudian muncul
lagi dan
lebih parah dari sebelumnya.
-
14
Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa
ngantuk,
kelumpuhan, pingsan dan koma. Diagnosis dini sangat penting
dan
biasanya tergantung kepada CT Scan darurat. Hematoma epidural
diatasi
sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang
tengkorak
untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian
dan
penyumbatan sumber perdarahan.
2. Hematoma Subdural
Berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak.
Perdarahan
bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau
beberapa saat
kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan.
Hematoma
subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya
dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya
pengaliran
perdarahan ini adalah:
- Sakit kepala yang menetap
- Rasa mengantuk yang hilang-timbul
- Linglung
- Perubahan ingatan
- Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan
-
15
Gambar II : Hematoma subdural dan otak
C. Etiologi / Prediposisi
1. Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana itu merobek
otak,
misalnya tertembak peluru / benda tajam.
2. Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih
berat
sifatnya.
3. Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh
pukulan
maupun bukan dari pukulan.
-
16
4. Kontak benturan (Gonjatan langsung)
Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu obyek.
5. Kecelakaan lalu lintas
6. Jatuh
7. Kecelakaan industri
8. Serangan yang disebabkan karena olah raga
9. Perkelahian
(Smeltzer, 2001 : 2210; Long, 1996 : 203)
D. Patofisiologi
Cedera kepala terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar
pada permukaan otak, laserasi cedera robekan, hemoragi,
akibatnya akan
terjadi kemampuan autoregulasi cerebral yang kurang atau tidak
ada pada area
cedera, dan konsekuensinya meliputi hiperemia. Peningkatan /
kenaikan salah
satu otak akan menyebabkan jaringan otak tidak dapat membesar
karena tdiak
ada aliran cairan otak dan sirkulasi pada otak, sehingga lesi
yang terjadi
menggeser dan mendorong jaringan otak. Bila tekanan terus
menerus
meningkat akibatnya tekanan pada ruang kranium terus menerus
meningkat.
Maka aliran darah dalam otak menurun dan terjadilah perfusi yang
tidak
adekuat, sehingga terjadi masalah perubahan perfusi serebral.
Perfusi yang
tidak adekuat dapat menimbulkan tingkatan yang gawat, yang
berdampak
adanya vasodilatasi dan edema otak. Edema akan terus bertambah
menekan /
-
17
mendesak terhadap jaringan saraf, sehingga terjadi peningkatan
tekanan intra
kranial. (Price, 2005).
Edema jaringan otak akan mengakibatkan peningkatan TIK yang
akan
menyebabkan herniasi dan penekanan pada batang otak. Dampak dari
cedera
kepala:
1. Pola pernafasan
Trauma serebral ditandai dengan peningkatan TIK, yang
menyebabkan hipoksia jaringan dan kesadaran menurun. Dan
biasanya
menimbulkan hipoventilasi alveolar karena nafas dangkal,
sehingga
menyebabkan kerusakan pertukaran gas (gagal nafas) dan atau
resiko
ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang akan menyebabkan
laju
mortalitas tinggi pada klien cedera kepala. Cedera serebral
juga
menyebabkan herniasi hemisfer serebral sehingga terjadi
pernafasan chyne
stoke, selain itu herniasi juga menyebabkan kompresi otak tengah
dan
hipoventilasi neurogenik central.
(Long, 1996; Smeltzer 2001; Price, 1996)
2. Mobilitas Fisik
Akibat trauma dari cedera otak berat dapat mempengaruhi gerakan
tubuh,
sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik otak. Selain itu
juga dapat
menyebabkan kontrol volunter terhadap gerakan terganggu
dalam
memenuhi perawatan diri dalam kehidupan sehari-hari dan
terjadi
gangguan tonus otot dan penampilan postur abnormal, sehingga
menyebabkan masalah kerusakan mobilitas fisik.
(Doenges, 2000; Price, 2005)
-
18
3. Keseimbangan Cairan
Trauma kepala yang berat akan mempunyai masalah untuk
mempertahankan status hidrasi hidrat yang seimbang, sehingga
respon
terhadap status berkurang dalam keadaan stress psikologis makin
banyak
hormon anti diuretik dan main banyak aldosteron diproduksi
sehingga
mengakibatkan retensi cairan dan natrium pada trauma yang
menyebabkan
fraktur tengkorak akan terjadi kerusakan pada kelenjar hipofisis
/
hipotalamus dan peningkatan TIK. Pada keadaan ini terjadi
disfungsi dan
penyimpanan ADH sehingga terjadi penurunan jumlah air dan
menimbulkan dehidrasi.
(Price, 2005).
4. Aktifitas Menelan
Adanya trauma menyebabkan gangguan area motorik dan sensorik
dari
hemisfer cerebral akan merusak kemampuan untuk mendeteksi
adanya
makanan pada sisi mulut yang dipengaruhi dan untuk
memanipulasinya
dengan gerakan pipi. Selain reflek menelan dan batang otak
mungkin
hiperaktif / menurun sampai hilang sama sekali.
(Smeltzer, 2001; Price, 2005)
5. Kemampuan Komunikasi
Pada pasien dengan trauma cerebral disertai gangguan
komunikasi,
disfungsi ini paling sering menyebabkan kecacatan pada penderita
cedera
kepala, kerusakan ini diakibatkan dari kombinasi efek-efek
disorganisasi
dan kekacauan proses bahasa dan gangguan. Bila ada pasien yang
telah
-
19
mengalami trauma pada area hemisfer cerebral dominan dapat
menunjukkan kehilangan kemampuan untuk menggunakan bahasa
dalam
beberapa hal bahkan mungkin semua bentuk bahasa sehingga
dapat
menyebabkan gangguan komunikasi verbal.
(Price, 2005).
6. Gastrointestinal
Setelah trauma kepala perlukaan dan perdarahan pada lambung
jarang
ditemukan, tetapi setelah 3 hari pasca trauma terdapat respon
yang bisa
dan merangsang aktifitas hipotalamus dan stimulasi fagus yang
dapat
menyebabkan hiperkardium. Hipotalamus merangsang anterior
hipofisis
untuk mengeluarkan kartikosteroid dalam menangani cedera
cerebral.
Hiperkardium terjadi peningkatan pengeluaran katekolamin
dalam
menangani stress yang mempengaruhi produksi asam lambung.
(Price, 2005)
E. Manifestasi Klinik
1. Cedera kepala ringan
a. Kebingungan, sakit kepala, rasa mengantuk yang abnormal
dan
sebagian besar pasien mengalami penyembuhan total dalam
beberapa
jam atau hari.
b. Pusing, kesulitan berkonsentrasi, pelupa, depresi, emosi,
atau
perasaannya berkurang dan cemas, kesulitan belajar dan
kesulitan
bekerja. (www. Mediastore)
-
20
2. Cedera kepala sedang
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan
kebingungan
atau bahkan koma.
b. Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba
defisit
neurologik, perubahan tanda-tanda vital, gangguan penglihatan
dan
pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala,
vertigo dan
gangguan pergerakan.
(Brunner & Suddarth, 2001; www. Mediatore)
3. Cedera kepala berat
a. Amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum
dan
sesudah terjadinya penurunan kesehatan (www. Mediastore)
b. Pupil tak ekual, pemeriksaan motorik tidak ekual, adanya
cdera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
(www. Angelfive)
F. Komplikasi
Kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan
hematome
intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak.
Komplikasi dari
cedera kepala adalah:
1. Peningkatan TIK
2. Iskemia
3. Infark
4. Kerusakan otak irreversibel
-
21
5. Kematian
6. Paralisis saraf fokal seperti anomsia (tidak dapat mencium
bau-bauan)
7. Infeksi sistemik (pneumonia, ISK, septikemia)
8. Infeksi bedah neuro (infeksi luka, osteomielitis, meningitis,
ventikulitis,
abses otak)
9. Osifikasi heterotropik (nyeri tulang pada sendi-sendi)
(Smeltzer, 2001; Tucker, 1998)
G. Penataksanaan
1. Dexamethason / kalmetason sebagai pengobatan anti edema
serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk
mengurangi
vasodilatasi
3. Pemberian analgetik
4. Pengobatan anti edema dengan laruitan hipertonis yaitu
manitol 20%
glukosa 40% atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau
untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazole.
6. Makanan atau cairan infus dextrose 5%, aminousin, aminofel
(18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan
makanan
lunak.
7. Pembedahan
(Smeltzer, 2001; Long, 1996)
-
22
H. Pengkajian Fokus dan Pemeriksaan Penunjang
Pengkajian fokus menurut Doenges (2000) dan Engram (1998) :
1. Aktifitas dan Istirahat
Gejala merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan,
perubahan
kesadaran, letarghi, hemiparesis, quadreplagia, ataksia, cara
berjalan tak
tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (trauma) ortopedi,
kehilangan
tonus otot dan spastik otot.
2. Sirkulasi
Gejala: Perubahan tekanan darah (hipertensi), perubahan
frekuensi jantung
(bradikardi, takikardi yang diselingi dengan bradikardi dan
distritmia).
3. Integritas Ego
Gejala: Perubahan tingkah laku / kepribadian (demam).
Tanda: Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung,
depresi dan
impulsif.
4. Eliminasi
Gejala: Inkontinensia kandung kemih.
5. Makanan / Cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami penurunan selera makan.
Tanda: Muntah (mungkin proyektif), gangguan menelan (batuk, air
liur
keluar, dan disfagia).
6. Neurosensorik
Gejala: Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar
kejadian,
vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, rasa baal
dan
-
23
ekstremitas. Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya,
displopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, fotofotobia, gangguan
pengecapan
dan penciuman.
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status
mental
(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan
masalah,
pengaruh emosi tingkah laku dan emosi). Perubahan pupil
(respon
terhadap cahaya, simetri) deviasi pada mata, ketidakmampuan
mengikuti
cahaya, kehilangan pengindraan seperti: pengecapan, penciuman
dan
pendengaran, wajah tidak simetris, lemah dan tidak seimbang.
Reflek
tendon dalam tidak ada / lemah, apiaksia, hemiparesis,
quadreplagia,
postur (dekortikasi deselerasi), kejang, sangat sensitif
terhadap sentuhan
dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh dan kesulitan
menentukan
posisi tubuh.
7. Nyeri / Kenyamanan
Gejala: Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda
dan
biasanya lama.
Tanda: Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri
yang
hebat, gelisah, tidak bisa beristirahat dan merintih).
8. Pernafasan
Tanda: Perubahan pola nafas (apneu yang diselingi oleh
hiperventilasi),
nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronkhi, mengi positif
(kemungkinan
karena aspirasi).
-
24
9. Keamanan
Gejala: Trauma karena kecelakaan. Tanda: Fraktur / dislokasi
dan
gangguan penglihatan.
Kulit: Laserasi, abrasi, perubahan warna seperti “racoon eye”
rasa gatal di
sekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma). Adanya aliran
cairan
(drainase) dari telinga / hidung.
Gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang,
kekuatan
secara umum mengalami paralisis. Demam gangguan dalam regulasi
suhu
tubuh.
10. Interaksi Sosial
Tanda: Afasia motorik / sensorik, bicara tanpa arti, bicara
berulang-ulang.
11. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala: Penggunaan alkohol / obat lain.
Rencana pemulangan: Membutuhkan bantuan pada perawatan diri,
ambulasi, transportasi, menyiapkan makan, belanja,
perawatan,
pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata ruang /
penempatan
fasilitas lainnya di rumah.
Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan (tanpa / dengan kontras) : mengidentifikasi adanya
sol,
hemoragik, menentukan ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. MRI (Magnetic Resonance Imaging): sama dengan CT Scan dengan
/
tanpa kontras. Menggunakan medan magnet kuat dan frekuensi radio
dan
-
25
bila bercampur frekuensi radio radio yang dilepaskan oleh
jaringan tubuh
akan menghasilkan citra MRI yang berguna dalam mendiagnosis
tumor,
infark dan kelainan pada pembuluh darah.
3. Angiografi serebral: Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral,
seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan trauma.
Digunakan
untuk mengidentifikasi dan menentukan kelainan serebral
vaskuler.
4. Angiografi Substraksi Digital
Suatu tipe angiografi yang menggabungkan radiografi dengan
teknik
komputerisasi untuk mempelihatkan pembuluh darah tanpa gangguan
dari
tulang dan jaringan lunak di sekitarnya.
5. EEG: Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang
patologis. EEG (elektroensefalogram) mengukur aktifitas listrik
lapisan
superfisial korteks serebri melalui elekroda yang dipasang di
luar
tengkorak pasien.
6. ENG (Elektronistagmogram) merupakan pemeriksaan elekro
fisiologis
vestibularis yang dapat digunakan untuk mendiagnosis gangguan
sistem
saraf pusat.
7. Sinar X: Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang
(fraktur).
Pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema)
adanya
fragmen tulang.
8. BAEK (Brain Auditon Euoked Tomografi) : Menentukan fungsi
korteks
dan batang otak.
-
26
9. PET (Positron Emmision Tomografi): Menunjukkan perubahan
aktifitas
metabolisme batang otak.
10. Fungsi lumbal, CSS: Dapat menduga kemungkinan adanya
perubahan
subaraknoid.
11. GDA (Gas Darah Arteri): Mengetahui adanya masalah ventilasi
atau
oksigenasi yang akan meningkatkan TIK.
12. Kimia / elekrolit darah: Mengetahui ketidakseimbangan yang
berperan
dalam peningkatan TIK / perubahan mental.
13. Pemeriksaan toksilogi: Mendeteksi obat yang mungkin
bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran.
14. Kadar anti konvulsan darah: Dapat dilakukan untuk mengetahui
tingkat
terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.
(Doenges 2000; Price & Wilson 2006)
-
32 32
Tidak mampu menyampaikan kata-kata
Gangguan komunikasi
verbal
Kekacauan pola bahasa
I. Pathway Keperawatan
Kerusakan hemisfer motorik
Penurunan kekuatan dan tahanan otot
Gangguan mobilitas fisik
Trauma pada jaringan lunak
Rusaknya jaringan kepala
Luka terbuka
Resiko tinggi terhadap infeksi
Robekan dan distorsi
Jaringan sekitar tertekan
Gangguan nyaman nyeri
Benturan kepala
Trauma kepala
Trauma akibat deselerasi / akselerasi
Cidera jaringan otak
Hematoma
- Perubahan pd cairan lutra dan ekstra sel oedem
- Peningkatan suplai darah ke daerah trauma vasodilatasi
Tekanan intra kranial ↑
Aliran darah ke otak ↓
Perubahan perfusi jaringan serebral
Merangsang hipotalamus
Hipotalamus terviksasi (pada diensefalon)
↓ Produksi ADH
d ld
Retensi Na + H2O
Gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit
Merangsang inferior hipofise
Mengeluarkan steroid & adrenal
Perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Sekresi HCl digaster ↑
Mual, muntah
Hipoksia jaringan
Kerusakan pertukaran gas
Pola nafas tidak efektif
Pernafasan dangkal
Penurunan kesadaran
Gangguan persepsi sensori
-
33
J. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
hipoksia dan edema
serebral ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran, perubahan
respon motorik
atau sensorik, gelisah, perubahan tanda-tanda vital. (Doenges,
1999).
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hipoventilasi dan
kerusakan
neurovaskuler ditandai dengan kelemahan atau paralisis otot
pernafasan.
(Doenges, 1999).
3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan
dengan peningkatan
ADH dan aldosteron, retensi cairan dan natrium ditandai dengan
edema,
dehidrasi, sindrom kompartemen dan hemoragi. (Carpenito,
2006).
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan peningkatan
asam lambung, mual, muntah dan anoreksia ditandai dengan
penurunan BB,
penurunan masa atau tonus otot buruk. (Carpenito, 2006).
5. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan penekanan
vaskuler serebral
dan edema otak ditandai dengan tengangan maskuler, wajah menahan
nyeri dan
perubahan tanda-tanda vital. (Engram, 1998).
6. Resiko infeksi berhubungan dengan perdarahan serebral
ditandai dengan respon
inflamasi tertekan, hipertemia. (Doenges, 1999).
7. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan tonus
otot dan
penurunan kesadaran ditandai dengan ketidakmampuan bergerak,
kerusakan
koordinasi, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan otot
atau control otot.
(Doenges, 1999).
-
34
8. Gangguan persepsi sensorik berhubungan dengan penurunan
kesadaran ditandai
dengan disorientasi terhadap waktu, tempat, orang, perubahan
terhadap respon
rangsang. (Doenges, 1999).
9. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan
penurunan
kesadaran ditandai dengan ketidakmampuan untuk bicara dan
menyebutkan kata-
kata. (Carpenito, 2006).
K. Fokus Intervensi
1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia dan
edema serebral
ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran, perubahan respon
motorik /
sensorik, gelisah, perubahan tanda vital. (Doenges, 2001).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tingkat
kesadaran
membaik.
Kriteria Hasil : Mempertahankan tingkat kesadaran biasa atau
perbiakan, tanda-
tanda vital (TTV) kembali normal dan tanda-tanda peningkatan
tekanan intra kranial (TIK).
Intervensi:
a. Tentukan faktor-faktor yang menyebabkan koma atau penurunan
perfusi
jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.
Rasional : Untuk mengetahui penyebab cedera, untuk memantau
tekanan
TIK dan atau pembedahan.
b. Pantau status neurologik secara teratur dan bandingkan dengan
nilai standar
-
35
Rasional : Untuk mengetahui perubahan nilai GCS, mengkaji
adanya
kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial
peningkatan
TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi.
c. Pantau TTV
Rasional : Ketidakstabilan TTV mempengaruhi tingkat
kesadaran.
d. Pertahankan kepala pada posisi tengah atau pada posisi
netral
Rasional : Kepala yang miring pada salah satu sisi menekan vena
jogularis
dan menghambat aliran darah vena
e. Perhatikan adanya gelisah yang meningkat.
Rasional : Petunjuk nonverbal ini mengidentifikasi adanya
peningkatan
TIK atau menandakan adanya nyeri.
f. Kolaborasi pemberian cairan sesuai indikasi.
Rasional : Pembatasan cairan dapat menurunkan edema
serebral.
g. Berikan obat sesuai indikasi.
Rasional : Dapat menurunkan komplikasi.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler, kerusakan
persepsi dan obstruksi trakeobronkial ditandai dengan kelemahan
atau paralisis
otot pernafasan. (Doenges, 1999).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pola nafas
kembali
normal.
Kriteria Hasil : Mempertahankan pola pernafasan efektif, bebas
sanasis, Nafas
normal (16-24 x / mnt), irama regular, bunyi nafas normal,
GDA
normal, PH darah normal (7,35-7,45). PaO2 (80-100 mmHg),
-
36
PaCO2 (35-40 mmHg), HCO2 (22-26). Saturasi oksigen (95-
98%).
Intervensi:
a. Pantau frekuensi pernafasan, irama dan kedalaman
pernafasan.
Rasional : Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi,
pulmonal atau
menandakan lokasi / luasnya keterlibatan otak.
b. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturan, posisi miring
sesuai indikasi
Rasional : Untuk memudahkan ekspansi paru dan menurunkan
adanya
kemungkinan lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas
c. Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih
dari 10-15 detik
Rasional : Untuk membersihkan jalan nafas, penghisapan
dibutuhkan jika
pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi, dan tidak dapat
membersihkan jalan nafas sendiri.
d. Auskultasi bunyi nafas, perhatikan daerah hipoventilasi dan
adanya suara
tambahan yang tidak normal
Rasional : Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti
atelektasis
kongesti atau obstruksi jalan nafas.
e. Kolaborasi pemberian oksigen.
Rasional : Menentukan kecukupan pernafasan, memaksimalkan
oksigen
pada darah arteri dan membantu dalam pencegahan hipoksia.
3. Gangguan keseimbangan cairan dan elekrolit berhubungan dengan
peningkatan
ADH dan aldosteron, retensi cairan dan natrium ditandai dengan
edema,
dehidrasi, sindrom, kompartemen dan hemoragi. (Carpenito,
2006).
-
37
Tujuan : Tidak terjadi gangguan keseimbangan cairan.
Kriteria Hasil : Asupan intake dan output seimbang, tidak
terjadi edema dan
dehidrasi.
Intervensi:
a. Pantau berat badan (BB)
Rasional : Satu liter retensi sama dengan penambahan satu kg
berat badan.
b. Pantau kecepatan infus
Rasional : Pemberian berlebihan menimbulkan kelebihan
cairan.
c. Pantau input dan output cairan
Rasional : Kelebihan cairan dapat menimbulkan edema.
d. Berikan cairan oral dengan hati-hati
Rasional : Untuk mengatasi edema serebral.
e. Kolaborasi pemberian diuresis
Rasional : Untuk menstabilkan cairan
4. Perubahan nutrisi kebutuhan kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan
peningkatan asam lambung, mual, muntah dan anoreksia ditandai
dengan
penurunan BB, penurunan masa otot, tonus otot buruk. (Carpenito,
2006).
Tujuan : Kebutuhan akan nutrisi tidak terganggu.
Kriteria Hasil : BB meningkat, tidak mengalami tanda-tanda mal
nutrisi, nilai
laboratorium dalam batas normal.
Intervensi:
a. Kaji kemampuan klien untuk mengunyah, menelan, batuk dan
mengatasi
sekresi.
-
38
Rasional : Faktor ini dapat menentukan pemilihan terhadap jenis
makanan.
b. Auskultasi bising usus
Rasional : Fungsi saluran pencernaan biasanya baik pada kasus
cedera
kepala.
c. Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien lewat NGT
Rasional : Menurunkan resiko regurgitasi / terjadi aspirasi.
d. Tingkatkan kenyamanan
Rasional : Lingkungan yang nyaman dapat meningkatkan nafsu
makan.
e. Kolaborasi pemberian makan lewat NGT
Rasional : Makan lewat NGT diperlukan pada awal pemberian.
5. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan penekanan
vaskuler serebral
dan edema otak ditandai dengan tengangan maskuler, wajah menahan
nyeri dan
perubahan TTV. (Engram, 1998).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri dapat
berkurang
atau hilang.
Kriteria Hasil : Nyeri berkurang atau hilang, TTV dalam batas
normal.
Intervensi:
a. Kaji karakteristik nyeri (P, Q, R, S, T)
Rasional : Untuk mengetahui letak dan cara mengatasinya.
b. Buat posisi senyaman mungkin
Rasional : Menurunkan tingkat nyeri
c. Pertahankan tirah baring
-
39
Rasional : Tirah baring dapat mengurangi pemakaian oksigen
jaringan dan
menurunkan resiko meningkatnya TIK.
d. Kurangi stimulus yang dapat merangsang nyeri
Rasional : Stress dapat menyebabkan sakit kepala dan
menyebabkan
kejang.
e. Kolaborasi pemberian obat analgetik
Rasional : Menurunkan rasa nyeri.
6. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan perdarahan serebral
ditandai dengan
respon inflamasi tertekan, hipertemia. (Doenges, 1999).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak ada
tanda-tanda
infeksi.
Kriteria Hasil : Tidak terdapat tanda-tanda infeksi dan mencapai
penyembuhan
luka tepat waktu.
Intervensi:
a. Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
keperawatan.
Rasional : Untuk menurunkan terjadinya infeksi nasokomial
b. Observasi daerah yang mengalami luka / kerusakan, daerah yang
terpasang
alat invasi
Rasional : Deteksi dini terjadinya perkembangan infeksi,
memungkinkan
untuk melakukan tindakan dengan segera dan mencegah
komplikasi.
c. Monitor suhu tubuh dan penurunan kesadaran
-
40
Rasional : Suhu yang tinggi dapat mengidentifikasi terjadinya
infeksi yang
selanjutnya memerlukan tindakan dengan segera.
d. Kolaborasi pemberian obat anti biotik
Rasional : Menurunkan terjadinya infeksi nasokomial
e. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium
Rasional : Untuk mengetahui adanya resiko infeksi melalui
hasil
laboratorium darah.
7. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri kepala,
pusing dan vertigo
ditandai dengan ketidakmampuan bergerak, kerusakan koordinasi,
keterbatasan
rentang gerak, penurunan kekuatan atau kontrol otak. (Doenges,
1998).
Tujuan : Mempertahankan posisi yang optimal.
Kriteria Hasil : - Mempertahankan kekuatan dan fungsi bagian
tubuh yang sakit.
- Mendemonstrasikan teknik yang memungkinkan dilakukan
aktifitas
Intervensi:
a. Kaji derajat imobilisasi pasien dengan menggunakan skala
ketergantungan (0-
4)
Rasional : Untuk mengetahui tingkat imobilisasi pasien.
b. Ubah posisi pasien secara teratur dan buat sedikit perubahan
posisi
Rasional : Perubahan posisi dapat meningkatkan sirkulasi pada
seluruh
tubuh.
-
41
c. Bantu pasien untuk melakukan latihan rentang gerak
Rasional : Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi / posisi
normal
ekstremitas dan menurunkan terjadinya vena yang statis.
d. Sokong kepala dan badan,, tangan dan lengan, kaki dan paha
ketika pasien
berada pada kursi roda
Rasional : Mempertahankan kenyamanan, keamanan dan postur tubuh
yang
normal
8. Gangguan persepsi sensorik berhubungan dengan penurunan
kesadaran ditandai
dengan disorientasi terhadap waktu, tempat, orang, perubahan
terhadap respon
rangsang. (Doenges, 1999).
Tujuan : Kesadaran mulai membaik dan fungsi persepsi membaik
Kriteria Hasil : Kesadaran mulai membaik dan nilai GCS
meningkat.
Intervensi:
a. Kaji kesadaran sensorik pasien seperti sentuhan
Rasional : Untuk mengetahui peningkatan kesadaran pasien atau
penurunan
sensitivitas untuk berespon.
b. Pantau perubahan orientasi klien
Rasional : Fungsi serebral bagian atas biasanya berpengaruh
adanya
gangguan sirkulasi.
c. Catat adanya perubahan spesifik yang terjadi pada pasien.
Rasional : Membantu melokalisasi daerah otak yang mengalami
gangguan
dan mengidentifikasi tanda perkembangan terhadap peningkatan
fungsi fisiologis
-
42
d. Berikan stimulasi yang bermanfaat bagi klien
Rasional : Untuk menstimulasi pasien koma dengan baik selama
melatih
fungsi kognitif.
9. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan
edema otak
ditandai dengan ketidakmampuan untuk bicara dan menyebutkan
kata-kata.
(Carpenito, 2006).
Tujuan : Kerusakan komunikasi verbal tidak terjadi.
Kriteria Hasil : Mengidentifikasi pemahaman tentang masalah
komunikasi dan
pasien dapat menunjukkan komunikasi dengan baik.
Intervensi:
a. Kaji derajat disfungsi
Rasional : Membantu menentukan daerah / derajat kerusakan
serebral yang
terjadi dan kesulitan pasien dalam proses komunikasi.
b. Bedakan antara afasia dengan disatria
Rasional : Intervensi yang dipilih tergantung tipe
kerusakan.
c. Mintalah pasien untuk mengikuti perintah sederhana seperti
buka mata
Rasional : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan
sensorik.
d. Anjurkan keluarga untuk berkomunikasi dengan pasien
Rasional : Untuk merangsang komunikasi pasien, mengurangi
isolasi sosial
dan meningkatkan penciptaan komunikasi yang efektif.