-
1
BAB II
Konseling Pastoral Antarbudaya
A. Konseling Pastoral: Suatu Refleksi Alkitabiah
Alkitab memberi kesaksian secara tertulis kepada orang
Kristen bahwa pelayanan pastoral kepada orang-orang
sebenarnya
sudah dilakukan sejak zaman Perjanjian Lama hingga
Perjanjian
Baru. Musa, misalnya, selain sebagai pemimpin bangsa Yahudi
juga
menjadi pengantara antara umat dan Allah (Ulangan 14:11 dan
seterusnya). Musa juga berupaya mendamaikan pertengkaran di
antara umat dan memelihara kesejahteraan mereka dengan
mengangkat para hakim. Musa juga memimpin umat untuk
mengakui segala dosa mereka kepada Allah. Di dalam pengakuan
dosa tersebut, umat Allah merasa bersalah dan memohon berkat
Allah untuk pemulihan keutuhan pribadi mereka yang telah
dirusak
oleh dosa.1
Tuhan Yesus, di dalam Perjanjian Baru, melayani umat dengan
penyembuhan- penyembuhan fisik untuk mendemonstrasikan
kehadiran Allah di tengah-tengah umatNya. Ada satu hal yang
sangat menarik di dalam pelayanan Yesus. Ketika Yesus
menyembuhkan orang yang lumpuh, di sana Ia mengeluarkan
suatu
pernyataan yang secara langsung berhubungan dengan
kesembuhan
jasmani dan rohani (Lukas 5:17-26). Rasul Paulus juga
memberikan
1 Lihat Agung Gunawan, op. cit., 17.
-
2
nasehat kepada orang Kristen di Korintus yang terlibat
perselisihan
antar jemaat (I Korintus 3:1-9). Di situ Paulus melakukan
pelayanan
pastoral bagi pertumbuhan rohani dan juga kesembuhan batin
di
antara jemaat yang berselisih.2
Seorang penulis buku Biblical Approaches to Pastoral
Counseling, Donald Capps menyebutkan tiga pedoman pastoral
yang
bersumber dari Alkitab untuk pendampingan pastoral, antara
lain:3
a. Mazmur: Mazmur, khususnya mazmur ratapan, menunjukkan proses
pengungkapan emosional (pendekatan kepada Allah, keluhan, ungkapan
kepercayaan, permohonan, kata-kata penghiburan dan penguatan
(assurance), dan janji untuk memuji). Dalam Mazmur ini titik
beratnya adalah pada emosi. Dengan demikian, ketika pendamping
memberikan ke-sempatan bagi penderita untuk mengungkapkan emosinya
melalui empati, ia akan menerapkan fungsi menyembuhkan dan menopang
ataupun mengutuhkan.
b. Amsal menunjukkan cara berkomunikasi yang banyak menekankan
nasihat
dan teguran. Bagian ini memberi perhatian pada aturan-aturan
moral kehidupan, menekankan pengembangan moral seseorang dan
tanggung jawab moral dari mereka yang membina orang lain.
Membimbing adalah sesuai dengan pendekatan ini.
c. Perumpamaan-perumpamaan dalam Perjanjian Baru menunjukkan
pendekatan metaforis (ibarat) Yesus dalam mengarahkan. Pendekatan
ini berfokus pada perubahan perspektif total. Melalui pendekatan
ini, keluar kesamaan dan ketidaksamaan. Dua-duanya penting (mis.
Kerajaan Allah sama dengan benih, tetapi sekaligus juga bukan).
Tekanannya adalah pada perubahan perspektif emosional lalu tingkah
laku yang menyusul. Pendekatan ini paling mencerminkan fungsi
mengutuhkan karena cerita/kisah dapat dipakai secara tidak
langsung, tidak mengancam penderita dan menghargai
pengalamannya.
Selain itu, Alistair Campbell menyampaikan tiga tema
alkitabiah untuk pelayanan pastoral dengan menekankan pada
fungsi-fungsi pastoral, antara lain:4
1. Memimpin dan membimbing: fungsi ini menurut Campbell
dibutuhkan untuk menolong mereka yang sedang mengalami
ketidakadilan atau krisis sosial.
2 Ibid. 3 Lihat Donald Capps, “Biblical Approaches to Pastoral
Counseling”, dikutip dari Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral, op.
cit., 36. 4 Alistair Campbell, “Dictionary of Pastoral Care and
Counseling”, dikutip dari Aart Van Beek, ibid., 37.
-
3
2. Menyembuhkan dan memulihkan/memperbaiki. Dalam Wahyu 7:17
menyebutkan gembala dan domba adalah satu; Yesaya 53:5 menyebutkan
Mesias dibicarakan sebagai hamba yang menderita. Dalam pengertian
ini gembala ikut menderita sebagai “penyembuh yang terluka”.
3. Mengasuh dan menopang: Yohanes 21:15 mengemukakan Yesus
memberi Petrus tugas mengasuh domba-dombanya. Dalam pengertian ini
pendamping menjadi seseorang yang menciptakan ketenangan dan
suasana yang baik untuk perkembangan dan pendewasaan.
Dalam melakukan konseling pastoral terdapat hal penting
lainnya yang dikemukakan Alkitab yang perlu diperhatikan,
yakni:
Matius 9: 36; 14:14; 15:32; I Petrus 5:2, yaitu tentang
shared
compassion (bela rasa). Pelayanan pastoral itu adalah bela
rasa.
Ketika Yesus melihat orang-orang Israel yang berserakan
seperti
domba yang tak bergembala, maka jatuhlah belas-kasihanNya.
Markus 10:42-45 memberi penekanan tentang pengorbanan bagi
sebuah pelayanan sebagai inti dari bela rasa, sebagaimana
Yesus
telah menunjukkan kepada manusia bahwa Ia datang bukan untuk
dilayani melainkan untuk melayani, dan untuk memberikan
nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang. Dengan demikian,
bela rasa harus menjadi inti atau bahkan hakikat
kewibawaan.5
Kewibawaan yang diperoleh melalui bela rasa itu
memungkinkan seseorang (konselor) menembus dinding-dinding
pemisah: jabatan, kelompok ras, umur, kekayaan dan bahkan
agama. Matanya menjadi jeli dan melihat dengan tepat orang
lain
yang membutuhkan, telinganya untuk mendengarkan keluh-kesah
dan masalah yang dihadapi oleh sesamanya yang tertindas.6
Dengan
5 Lihat Mesach Krisetya, Kepemimpinan Pastoral, op. cit. 6
Ibid., 25
-
4
demikian, kewibawaan bela rasa adalah kemampuan manusia
untuk
mengampuni saudaranya, karena pengampunan hanya menjadi
nyata bagi orang yang sudah menemukan kelemahan kawan-
kawannya dan dosa musuh-musuhnya di dalam hatinya sendiri,
dan
bersedia menerima semua orang sebagai saudaranya sendiri.7
Proses konseling pastoral yang mengedepankan bela rasa
seperti uraian di atas merupakan tindakan praktis konseling
pastoral
yang sesuai dengan prinsip-prinsip Alkitabiah. Jika dalam
ilmu
konseling pastoral terdapat 6 fungsi, yang oleh Van Beek
menggunakan istilah pendampingan pastoral, antara lain:
fungsi
membimbing, mendamaikan/memperbaiki hubungan, menopang/
menyokong, menyembuhkan, mengasuh, dan mengutuhkan8 atau
fungsi konseling pastoral seperti yang dikemukakan oleh Totok
S.
Wiryasaputra, yakni menyembuhkan (healing), membimbing
(guiding), menopang (sustaining), memperbaiki hubungan
(reconciling) dan membebaskan (liberating, empowering,
capacity
building)9 dilihat secara teologis, maka fungsi-fungsi
tersebut
memiliki nilai-nilai alkitabiah seperti yang dikemukakan oleh
Capps
maupun Campbell di atas. Dengan menjalankan fungsi konseling
pastoral tersebut, konselor sesungguhnya telah menolong
manusia
yang menderita ke arah pengutuhan, langkah demi langkah.
Peran
7 Lihat Nouwen, “Wounded”, dikutip oleh Mesach Krisetya, ibid.,
25-26. 8 Lihat Aart Van Beek, Ibid., 13-15. 9 Lihat Totok S.
Wiryasaputra, op.cit., 87-88.
-
5
seorang konselor seperti demikian menunjuk kepada tindakan
yang
pro-hidup/kemanusiaan.
Berdasarkan pada uraian di atas, maka dapat dikatakan
bahwa melalui konseling pastoral, keprihatinan terhadap
kemanusiaan dan pembebasan atas ketidakberdayaan manusia
karena masalah-masalah yang digelutinya adalah bagian dari
karya
Allah di dunia. Allah turut menyatakan karya penyelamatanNya
melalui orang-orang yang melakukan peran konseling pastoral,
seperti pendeta yang terlatih dan terampil untuk memberikan
penghiburan, penguatan dan pembebasan kepada umatNya yang
menderita. Dua tokoh Alkitab yang dicontohkan oleh Gunawan
dan
Capps di atas merupakan stereotipe bagi pendeta dalam
menjalankan tugas konseling pastoral. Hal penting yang bisa
dipelajari dari mereka, antara lain: Musa sebagai sosok
pemimpin
yang mendamaikan pertengkaran diantara umat Israel, dan
menyatukan hubungan mereka dengan Allah yang rusak akibat
perilaku buruk. Selain itu, Yesus dengan karya penyelamatan
yang
ditunjukkan melalui tindakan keberpihakan terhadap
orang-orang
yang tertindas, sakit secara jasmani dan rohani, sampai rela
mengorbankan diriNya untuk membebaskan manusia dari dosa.
Pola
pelayanan yang dilakukan Yesus itu adalah pelayanan yang
bersifat
eksistensial (bandingkan Lukas 10:25-37). Jika Musa dan
Yesus,
seperti yang dicontohkan sebelumnya telah melakukan
tindakan-
tindakan yang mencintai hidup dan memanusiakan manusia maka
-
6
selayaknya setiap orang yang bekerja, khususnya pendeta
sebagai
pelaksana tugas konselor pastoral harus dapat melanjutkan
karya
Musa dan Yesus untuk menghadirkan sukacita bagi jemaat yang
dilayaninya. Terlebih lagi, pendeta dapat menjadi konselor
pastoral
antarbudaya yang mampu menjalankan fungsi konseling pastoral
secara efektif dan tertanggungjawab, antara lain dapat
menyembuhkan (healing), membimbing (guiding), menopang/
menyokong (sustaining), memperbaiki hubungan/mendamaikan
(reconciling) dan membebaskan (liberating, empowering,
capacity
building) kehidupan jemaatnya yang terpuruk secara spiritual
dan
jasmaniah karena problem hidup yang melingkupi mereka.
Agar dapat memberikan pelayanan pastoral yang komprehensif
kepada jemaatnya, GMI mengamanatkan para pendetaNya untuk
tidak hanya menjadi pengkhotbah, tetapi juga pembimbing atau
gembala. Hal ini seperti yang dikemukakan dalam disiplin GMI
pasal
61, poin 5 dan 7, tentang tugas-tugas kependetaan, antara
lain:
pendeta bertugas mengunjungi rumah anggota jemaat untuk
memberikan bimbingan sebagai penggembalaan kerohanian kepada
anggota-anggota jemaat dan kepada orang lain (5); pendeta
bertugas
membimbing dan mendidik pemuda-pemudi mengenai pernikahan,
keluarga Kristen dan keluarga bertanggung jawab (7).10
Adapun
tugas-tugas kependetaan di atas merupakan bagian dari tugas
konseling pastoral yang hendak dilakukan oleh
pendeta-pendeta
10 Lihat Tiandi Lukman, (dkk)., op. cit., 69.
-
7
GMI. Agar dapat melakukan tugas-tugas itu dengan baik, maka
para
pendeta sebaiknya dapat menjadi orang yang terlatih dan
terampil
untuk menjadi konselor pastoral, sehingga pelayanannya bagi
gereja
Tuhan maksimal.
B. Konseling Pastoral Antarbudaya
Dalam ilmu konseling, istilah konseling antarbudaya adalah
hal biasa, namun konseling pastoral antarbudaya sangat
jarang
ditemukan istilah demikian. Tetapi hal itu tidak menutup
kemungkinan untuk mengkonsepkan suatu pengertian tentang
konseling pastoral antarbudaya. Totok S. Wiryasaputra, dalam
bukunya konseling antarbudaya memberi definisi tentang
konseling
antarbudaya adalah interaksi antar manusia yang berlangsung
dalam perjumpaan eksistensial, antar orang yang
berlatarbelakang
budaya yang berbeda. Pada perjumpaan tersebut terjadi proses
pendampingan untuk menangani persoalan psikososial sebagai
perwujudan dari kepedulian kepada sesama dalam suka dan duka
hidupnya secara utuh dan penuh sekaligus diberlakukan usaha
prevention dan post-vention. Adapun pendampingan yang terjadi
bisa
dalam suasana yang kurang atau tidak formal, kurang atau
tidak
terstruktur, bagi siapa saja, di mana saja, dan kapan
saja.11
Berdasarkan pada pandangan Wiryasaputra itu, maka dapat
dikatakan bahwa proses konseling pastoral antarbudaya yang 11
Lihat Totok S. Wiryasaputra, Konseling Antarbudaya, op.cit.
-
8
berlangsung dalam suasana interaktif dan care dapat
memberikan
hasil yang memuaskan baik bagi konselor maupun konseli.
Mengacu pada pandangan konseling antarbudaya menurut
Wiryasaputra di atas, maka dapat didefinisikan pengertian
konseling
pastoral antarbudaya adalah perjumpaan eksistensial antara
konselor dan konseli dari latar belakang budaya yang
berbeda-beda,
yang membutuhkan pertolongan di tengah persoalan yang
dihadapi.
Adapun pertolongan yang diberikan kepada sesama bersifat
utuh
mencakup jasmani, mental, sosial, dan rohani. Selain itu,
pertolongan tersebut bertujuan untuk membimbing, menopang,
menyembuhkan, mendamaikan, membebaskan dan memberdayakan
sebab Allah yang adalah Pencipta bersifat merawat dan
memelihara
dengan baik.12 Melibatkan Allah dalam konseling pastoral
antarbudaya adalah hal yang penting karena lewat kehadiran
Allah,
suatu proses pembaharuan akan terjadi antar konselor dan
konseli
melalui karya Roh Kudus. Lewat peristiwa itu persoalan yang
dihadapi konseli dapat dijadikan sebagai suatu refleksi kritis
atas
realitasnya dan melaluinya konseli tertolong melalui kasih
yang
sungguh dari si pendamping, sebagai wujud kasih Allah.
Pandangan
ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Lartey tentang
definisi teologi pastoral yaitu suatu refleksi yang kritis,
interpretif,
12 Lihat Totok S. Wiryasaputra, Ready to Care, op.cit.; juga
Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral, op.cit.
-
9
konstruktif dan ekspresif terhadap tindakan-tindakan
kepedulian
Allah dan komunitas manusia.13
Dalam konseling pastoral antarbudaya, konselor berada dalam
proses dan mengalami kebudayaan yang mengalami proses,
menghadapi penderita yang juga berada dalam proses dengan
kebudayaan yang juga berproses. Ketika menghadapi kebudayaan
yang berbeda, tidak mungkin setiap pendamping mengetahui
ataupun menguasai kebudayaan yang beragam di suatu tempat
sehingga dapat mengetahui pandangan hidup tertentu. Agar
dapat
berproses dengan baik dalam konteks yang beragam itu,
seorang
konselor harus peka pada waktu dan tempat manapun. Hal ini
seperti yang dikatakan oleh Lartey, bahwa ketika menghadapi
kebudayaan yang berbeda dibutuhkan kepekaan konselor
terhadap
variasi pandangan hidup setiap orang dalam budayanya.14 Selain
itu,
menurut Wiryasaputra, dalam menghadapi konteks keberagaman
budaya itu, seorang konselor harus memiliki pilihan untuk
menggunakan strategi antarbudaya.15
Dalam strategi antarbudaya, perbedaan dan kesamaan
ditempatkan secara sejajar dan seimbang. Hal ini berarti
perspektif
partikularitas dan universalitas harus dipertimbangkan
secara
seimbang. Hal ini sebabkan oleh keduanya terlibat dalam
proses
perjumpaan konseling yang dinamis, organis, dan sistemik.
Selain
13 Lihat Emmanuel Y. Lartey, Pastoral Theology in an
Intercultural World (Britain:
Epwoerth, 2006), 14. 14 Ibid., 58. 15 Lihat Totok S.
Wiryasaputra, Konseling Antarbudaya, op.cit., 77.
-
10
itu, konselor dan konseli dalam strategi antarbudaya
berinterelasi
dan berinteraksi, saling memasuki dan dimasuki, saling
menggunakan dan digunakan, saling menyadari, mengakui,
menghormati, dan menerima keperbedaan sebagaimana adanya.
Konselor yang masuk, hadir secara penuh dan utuh dalam latar
belakang budaya yang berbeda namun tidak kehilangan
identitas
budayanya sendiri. Itulah yang disebut dengan empati
antarbudaya,
yakni empati dalam ranah kognisi, emosi dan psikomotorik.
Empati
dalam pengertian holistik, fisik, mental, spiritual dan
sosial.16
Sejalan dengan pandangan Wiryasaputra, Mayeroff mengemuka-
kan bahwa ketika berada bersama untuk orang lain, penolong
sebenarnya tidak kehilangan identitas sendiri. Identitas sendiri
tetap
dipertahankan, tetapi sang penolong harus menyadari
sepenuhnya
akan tanggapannya kepada yang ditolong dan dunianya.
Keberadaan
dari orang yang ditolong diberlakukan sederajat dengan sang
penolong. Dengan begitu sang penolong dapat merasakan
keterpecahan orang yang ditolong dari dalam sehingga dapat
menolongnya keluar dari kebingungan dan keterpecahannya
itu.17
Menolong orang lain (konseli) adalah inti dari proses
konseling
pastoral antarbudaya. Dengan demikian, agar dapat menjadi
penolong yang baik maka proses empati dari konselor terhadap
konseli harus benar-benar lahir dari nurani dan bukan
dibuat-buat.
16 Ibid., 78. 17 Lihat Milton Mayeroff, Mendampingi Untuk
Menumbuhkan (Yogyakarta: Jakarta,
Kanisius-BPK Gunung Mulia, 1993), 53.
-
11
Dalam empati antarbudaya, menurut Wiryasaputra, konselor
tidak hanya berusaha memahami keperbedaan melainkan
kesamaan. Secara dialektis dapat dikatakan ada kesamaan
dalam
perbedaan atau perbedaan dalam kesamaan, keuniversalan dalam
keunikan atau keunikan dalam keuniversalan. Menghadapi
perbedaan budaya itu konselor diharapkan menyiapkan
motivasi,
pikiran, perasaan dan psikomotoriknya sedemikian rupa
sehingga
secara terbuka menghayati dan menerima kesamaan dan
perbedaan
yang ada sebagaimana adanya.18
Selanjutnya dikemukakan Wiryasaputra bahwa dalam strategi
antarbudaya konselor dan konseli saling menggunakan dan
digunakan untuk perubahan, pertumbuhan, menuju situasi baru
yang lebih baik, sejahtera secara utuh dan penuh. Bahkan
dalam
strategi antarbudaya konselor dan konseli melalui proses
konseling
mungkin menciptakan kesamaan atau bahkan perbedaan baru agar
hidup konselor maupun konseli terasa lebih indah, berfungsi,
penuh
dan utuh.19 Selain itu, dalam strategi antarbudaya konselor
tidak
hanya melintasi batas budaya melainkan juga masuk, tinggal
bersama dengan, dalam dan untuk konseli, memahami dan
menghayati dunia konseli sebagaimana adanya menurut kacamata
budayanya dan menerima perbedaan dan sekaligus kesamaan itu
untuk perubahan dan pertumbuhan baik bagi konselor sendiri
maupun konseli yang membutuhkan pertolongan. Dalam konseling
18 Totok S. Wiryasaputra, Konseling Antarbudaya, op.cit. 19
Ibid., 79.
-
12
antarbudaya dimungkinkan terjadinya proses saling menukar
nilai,
sistem, dan sebagainya. Namun semuanya berjalan secara
alamiah,
tidak dipaksakan, prosesual dan terjadi pada waktu yang
tepat.20
Pandangan seperti ini hendak menegaskan bahwa dalam
konseling
pastoral antarbudaya, konselor maupun konseli harus
memainkan
perannya dengan aktif. Kedua pihak merupakan subyek yang
saling
melengkapi untuk menciptakan suasana yang damai, bahagia,
dan
bebas dari masalah yang membelenggu kehidupan konseli. Dalam
hal mengatur kesepakatan tentang waktu pelaksanaan konseling
pastoral antarbudaya pun, konselor dan konseli harus
menyepakatinya secara bersama. Sejak awal konselor dan
konseli
sudah membicarakan dan membuat semacam kontrak hingga kapan
konseling pastoral antarbudaya tersebut akan dilaksanakan.
Tentunya hal ini dilakukan berdasarkan kebutuhan dan
persetujuan
konseli karena berhubungan dengan persoalan privasinya.
Adapun durasi waktu yang efektif dalam setiap konseling
pastoral antarbudaya adalah adalah 45 menit. Waktu
kebersamaan
dengan konseli saja tidak cukup untuk memahami konseli
secara
utuh dan menolongnya, karena kehidupan konseli sangat
kompleks
berkaitan dengan masa lalu, budaya yang melekat padanya,
kondisi
saat ini dan harapan atau pergumulan masa depannya baik
terhadap diri sendiri maupun sekitarnya. Untuk itu
dibutuhkan
kerjasama dengan pihak keluarga, kerabat dan rekan terdekat
yang
20 Ibid
-
13
mengenal kehidupan konseli dengan baik agar konselor dapat
mendampingi konseli dengan maksimal dengan segala
keberadaannya menuju kepada suatu pertumbuhan. Bila dalam
jangka waktu konseling tersebut ditemukan kesulitan yang
tidak
dapat ditangani oleh konselor, konselor dapat merujuk konseli
atas
persetujuan konseli kepada pihak yang lebih berkompeten,
misalnya
psikiater, psikolog atau dokter.
Strategi antarbudaya juga memungkinkan konselor dan
konseli menciptakan perjumpaan dan komunikasi eksistensial
sejati
antar manusia. Melalui proses interelasi, interaksi, dan
intertransaksi, konselor tidak hanya memberi melainkan juga
menerima, memperoleh pemahaman, nilai, sikap, bahkan mungkin
kepercayaan baru yang dapat dipakai olehnya untuk mengubah
dan
menumbuhkan diri. Dengan begitu secara tidak langsung
konselor
dapat menjadi manusia baru sebagaimana dia menolong konseli
menjadi manusia baru. Terlebih lagi dalam strategi
antarbudaya
konselor dan konseli memperlakukan diri dan diperlakukan
sebagai
subyek sejati.21
Melakukan konseling pastoral dengan mengedepankan prinsip
antarbudaya adalah suatu proses yang penting karena dengan
strategi antarbudaya dapat meminimalisir konflik antar konselor
dan
konseli. Dalam situasi apapun, konflik karena perbedaan
gampang
sekali terjadi. Lingenfelter dan Mayers dalam pandangannya
tentang
21 Ibid., 79-80.
-
14
konflik mengatakan bahwa perbedaan merupakan faktor yang
mudah untuk menciptakan konflik karena orang sering
menganggap
bahwa prioritas perilaku pribadi mereka memiliki kekuatan
moral
sehingga mereka menghakimi orang yang berbeda pendapat
dengan
mereka sebagai orang tercela, pemberontak atau tidak
bermoral.
Ketika penilaian pribadi itu menjadi penilaian sosial dan
dipegang
oleh banyak orang, maka masyarakat memaksa individu-individu
mengikuti sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat itu.22
Jika
setiap individu dengan hak dan budaya privasinya tidak dapat
dihargai karena faktor dominasi, maka tindakan seperti
demikian
tidak dapat menjadi sarana untuk mensukseskan jalannya
konseling
pastoral antarbudaya. Dengan demikian, proses konseling
pastoral
antarbudaya akan berjalan dengan baik apabila perbedaan
dilihat
sebagai kekayaan (anugerah Tuhan) yang dimiliki setiap
individu
dalam budaya dan bukan benih bagi munculnya konflik antar
sesama.
Yesus sebagai sosok yang menjadi teladan bagi konselor
Kristen sudah memberi banyak pelajaran tentang pelayanan di
tengah perbedaan budaya itu. Hal ini seperti yang disaksikan
Alkitab, Lukas 2:7 “Ia datang sebagai bayi yang tidak
berdaya”
selanjutnya hidup di tengah manusia untuk memahami manusia
dan keberadaannya dan menyelamatkan manusia dari dosa.
Selain
itu, Yesus belajar bahasa dan budaya Yahudi (Lukas 2:46).
Anak
22 Lihat Sherwood G. Lingenfelter dan Marvin K. Mayers,
Menggeluti Misi Lintas-Budaya (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina
Kasih, 2002), 12.
-
15
Allah belajar bahasa, budaya dan cara hidup masyarakatNya
sendiri
selama tiga puluh tahun, sebelum Ia memulai pelayananNya. Ia
mengetahui segala sesuatu tentang kehidupan berkeluarga dan
masalah-masalah yang mereka hadapi. Ia belajar membaca dan
mempelajari Kitab Suci Allah di Sinagoge setempat dan
mendapat
pengakuan sampai Ia dipanggil „Rabi‟. Ia beribadah bersama
mereka
dalam sinagoge mereka, mengikuti perayaan Paskah setiap
tahunnya
dan perayaan-perayaan lainnya dalam Bait Suci di Yerusalem.
Ia
mengidentifikasi diriNya secara total dengan mereka, kepada
siapa Ia
diutus dan menyebut diriNya sebagai Anak Manusia.
Selanjutnya,
Lingenfelter dan Mayers menyebut cara Yesus ini merupakan
suatu
proses inkarnasi.23 Dari pandangan keduanya, maka dapat
dikatakan bahwa ketika Yesus berinkarnasi segala hal yang
berkaitan dengan konflik dan ketegangan dapat diminimalisir
atau
dijembatani. Bahkan melalui tindakan Yesus itu konflik
karena
faktor perbedaan budaya dapat didamaikan.
Di samping itu, terdapat sifat pelayanan Yesus lainnya yang
inklusif seperti yang digambarkan oleh Boss, yaitu pelayanan
yang
melintasi perbedaan dan klaim kebenaran sepihak. Pelayanan
yang
inklusif itu mencakup: yang miskin dan yang kaya, yang
tertindas
dan yang menindas, yang berdosa dan yang saleh, melenyapkan
keterasingan dan menghancurkan tembok-tembok kebencian, misi
23 Ibid., 14-15.
-
16
yang melintas batas-batas antara individu dan kelompok,
maupun
budaya (Yahudi dan bukan Yahudi).24
Pola pelayanan Yesus tersebut menjadi contoh untuk terhindar
dari prasangka kebudayaan yang eksklusif. Biasanya prasangka
kebudayaan yang dimiliki bersama dalam komunitas menjadi
suatu
kesepakatan umum yang digunakan untuk melindungi diri dari
orang lain. Melalui kesepakatan ini, perilaku orang lain diatur
dan
menolak mereka yang tidak mau menyesuaikan diri. Selanjutnya
adalah menganggap cara yang dipakai adalah yang paling tepat
dan
dibutakan akan kemungkinan ada cara lain yang berbeda atau
menerapkan perilaku baru yang mungkin bermanfaat bagi orang
lain.25 Apabila karena faktor kebutaan budaya, seperti yang
disebutkan itu, merupakan pemicu timbulnya konflik antar
konselor
dengan konseli maka konselor harus dapat berinkarnasi di
dalam
budaya dan kehidupan konseli yang dilayani. Dengan begitu
konselor dapat menyatu secara utuh dengan konseli dan
keduanya
dapat saling berelasional.
Selanjutnya dalam konseling pastoral antarbudaya,
“meneladani Allah”, seperti yang Paulus katakan dalam Efesus
5:1:
“hidup…dalam kasih” (Efesus 5:2), dalam budaya yang dilayani
adalah hal penting bagi suksesnya suatu konseling pastoral.
Meneladani Allah yang dimaksud disini adalah meneladani
inkarnasi
24 Lihat David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah
Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2001), 41, 138. 25 Ibid., 21.
-
17
Kristus. Kristus yang “dalam rupa manusia” tidak menganggap
kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan.
Ia
tidak hanya menjadi seorang Yahudi, tapi juga seorang hamba
di
antara orang Yahudi (Filipi 2:6-7).26 Dengan pola Yesus seperti
itu,
hal penting yang dapat diambil sebagai pelajaran bagi
konselor
pastoral antarbudaya adalah memberlakukan kasih kepada
konseli.
Ketika konselor dapat mengasihi konseli, maka ia bersedia
untuk
memasuki budaya konseli seperti anak-anak belajar
menggunakan
bahasa mereka, makan makanan yang mereka makan, tidur dimana
mereka tidur, dan belajar apa yang mereka pelajari. Dengan
kata
lain, konselor meninggalkan “penjara” privasinya dan masuk
ke
dalam “penjara” konseli, selanjutnya berpartisipasi penuh di
dalam
proses bersama konseli. Jika proses inkarnasi dalam kasih
dapat
diberlakukan, maka tindakan tersebut merupakan suatu jalan
untuk
menuju pada keberhasilan konseling pastoral antarbudaya.
Berdasarkan pada penjelasan di atas, maka dalam melakukan
konseling pastoral di tengah konteks jemaat yang
multikultural/plural tidak dapat mengabaikan esensi dari
kebudayaan manusia. Hal ini disebabkan oleh kebudayaan itu
merupakan hal mendasar yang menyatu dalam perilaku kehidupan
manusia. Hal ini sesuai dengan pengertian kebudayaan menurut
Koentjaraningrat yaitu “keseluruhan sistem gagasan, tindakan,
hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan
26 Ibid., 23
-
18
milik diri manusia dengan belajar”,27 sehingga apapun yang
merupakan hasil dari belajar itu pada akhirnya merupakan ciri
khas
suatu bangsa atau masyarakat tertentu.28 Selanjutnya
Koentjraningrat mengemukakan bahwa dalam budaya itu sendiri
terdapat 7 unsur yang bersifat universal, yaitu: bahasa,
sistem
pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan
teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi dan
kesenian.29
Dari ketujuh unsur itu, Wiryasaputra kemudian menambahkan 2
unsur tambahan yang berkaitan dengan konseling yaitu sistem
permakanan dan sistem pertolongan.30
Ketujuh unsur kebudayaan Koentjaraningrat ditambah 2
unsur tambahan Wiryasaputra tidak lain adalah hasil dari
interaksi
manusia dengan lingkungannya. Menurut Wiryasaputra,
interaksi
itu merupakan kreativitas yang sangat bernilai, berguna,
sekaligus
ada juga yang berbahaya.31 Karena unik dan kompleksnya
unsur-
unsur yang menjadi satu dalam eksistensi manusia yang
disebut
kebudayaan itu, maka hal-hal yang mengarah kepada
kesalahpahaman mudah terjadi jika tidak ada upaya untuk
saling
mengerti dan memahami perbedaan yang dimiliki oleh masing-
masing individu. Dengan demikian, upaya untuk memahami
27 Lihat Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan
Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1981), 180. 28 Lihat Carol R. Ember
dan Melvin Ember, “Perkenalan dengan Antropologi”, dalam T.O.
Ihromi, (ed.), Pokok-Pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan
Obor
Indonesia, 1996), 7. 29 Lihat Koentjaraningrat, op. cit., 203.
30 Lihat Totok S. Wiryasaputra, Konseling Antarbudaya, op.cit., 12.
31 Ibid., 13.
-
19
perbedaan dengan mempelajari budaya sangat penting,
khususnya
dalam melakukan konseling pastoral antarbudaya. Pentingnya
pemahaman terhadap budaya konseli yang berbeda dengan
konselor
itu bertujuan untuk membantu dan menolong konseli keluar
dari
masalah yang dihadapi dan di satu sisi turut memberi
pertumbuhan
bagi sang konselor sendiri.
C. Relasional Sebagai Faktor Pendukung Konseling Pastoral
Antarbudaya: Kemampuan Konselor
Agar dapat menerapkan strategi antarbudaya secara signifikan
dalam melakukan konseling pastoral, seorang konselor harus
memiliki kemampuan yang mendasar. Kemampuan konselor adalah
salah satu faktor pendukung agar konseling pastoral
antarbudaya
dapat berjalan dengan baik. Sebab dengan kemampuan tersebut
interaksi dan interelasi antara konselor dan konseli terbangun
secara
baik. Van Beek menyebutkan bahwa kemampuan yang harus
dimiliki konselor secara mendasar adalah meliputi: kemampuan
bersikap, kemampuan merespons, kemampuan berbahasa,
kemampuan hermeneutik, kemampuan diagnosa, kemampuan
integrasi, dan kemampuan metodologi.32
Lebih lanjut dikemukakan Van Beek, bahwa kemampuan
bersikap yang mestinya dimiliki terdiri atas kemampuan
mendengar,
32 Lihat Aart van Beek, Cross-Cultural Counseling (USA: Fortress
Press dan
Minneapolis, 1996), hlm. 26-36.
-
20
bahasa tubuh, komunikasi visual, dan respons verbal.
Kemampuan
merespons yang dimaksud adalah melampaui respons nonverbal,
seperti kontak mata dan nooding, dan respons verbal, seperti
melihat, fokus pada apa yang benar-benar menjadi kebutuhan.
Kemampuan berbahasa yang dimaksudkan yaitu mengetahui
tentang bahasa yang tidak terbatas. Oleh karena itu,
diperlukan
pembelajaran tentang suatu bahasa baru yang tidak hanya
tekniknya saja, tetapi juga bentuk emosional bahasa itu.33
Mempelajari tentang bahasa itu adalah sesuatu yang penting.
Apalagi bahasa yang dipelajari, tidak lain, merupakan salah
satu
unsur dari kebudayaan yang mendukung berhasilnya konseling
pastoral antarbudaya. Mengingat pentingnya bahasa dalam
kebudayaan, Ihromi mengemukakan bahwa bahasa memegang
peranan utama dalam perkembangan budaya manusia-bahasa
dimana pada hakekatnya merupakan wahana utama untuk
meneruskan adat-istiadat dari generasi yang satu ke generasi
berikutnya.34
Selanjutnya kemampuan hermeneutik bertujuan untuk me-
mahami apa yang dimengerti dan tidak dimengerti oleh orang
lain
dalam suatu proses antarbudaya. Untuk kemampuan diagnosa,
diperlukan keterampilan yang tidak bias atau stereotipe yang
negatif.
Kategori dalam mendiagnosa meliputi pandangan dunia,
kesadaran
membangun, dinamika antarbudaya dalam sebuah proses.
33 Ibid. 34 Lihat T.O. Ihromi, (ed.), op. cit., 8.
-
21
Sementara kemampuan integrasi yang dimaksudkan meliputi
kemampuan mengintegrasikan pemahaman individu, pemahaman
diri sendiri (individu) dalam komunitas, atau persepsi
individu
terhadap realitas, sedangkan kemampuan metodologi yang
dimaksudkan, yaitu kemampuan basic untuk memberi perhatian
penuh (care) dalam komunikasi antarbudaya. Menurut Van Beek,
care givers dapat mengintegrasikan pandangan dunia, identitas
dan
senses of belonging dalam kesatuan metodologi.35
Menyangkut kemampuan yang dibutuhkan dalam konseling
antarbudaya, Wiryasaputra juga menyebutkan ada tiga aspek
utama,
yakni: kesadaran konselor akan asumsi, nilai dan biasnya
sendiri,
mengetahui pandangan hidup konseli yang berbeda budaya dan
mengembangkan strategi dan teknik intervensi yang cocok.
Dari
ketiga aspek itu kemudian dikembangkan lagi tiga aspek
lainnya,
yakni keyakinan dan sikap, pengetahuan, dan keterampilan.36
Aspek keyakinan dan sikap mengisyaratkan bahwa konselor
menjadi sadar dan sensitif terhadap warisan budayanya,
kemudian
menghargai dan menerima perbedaan; konselor menyadari
pengaruh
budaya, pengalaman, sikap, nilai dan biasnya terhadap
proses-
proses psikologis; konselor menyadari keterbatasan
pengalaman,
ketrampilan dan keahliannya; dan konselor merasa nyaman
dengan
perbedaan yang ada antara dirinya dengan konseli, misalnya
warna
35 Lihat Aart van Beek, op. cit, 26-37. 36 Lihat Totok S.
Wiryasaputra, Konseling Antarbudaya, op.cit.,. 102.
-
22
kulit, ras, budaya, keyakinan, wilayah tempat tinggal, kondisi
tubuh,
orientasi seksual, dan sebagainya.37
Sementara itu, aspek pengetahuan menekankan pada konselor
secara spesifik mengetahui warisan budayanya sendiri, yang
dapat
mempengaruhi pengertian dan pandangan tentang yang normal
atau
tidak dan proses konseling; konselor mengetahui kehadirannya
memiliki pengaruh sosial pada konseli, misalnya mengetahui
adanya
perbedaan model komunikasi. Kemudian pada aspek
keterampilan,
sang konselor harus berusaha meningkatkan keterampilannya
agar
dapat melakukan konseling antarbudaya dengan baik, melalui
konsultasi, mengikuti pelatihan, merujuk ke yang lebih ahli.38
Ketika
seorang konselor kurang memiliki keterampilan-keterampilan
yang
dibutuhkan dalam menjalankan tugas sebagai konselor pastoral
yang terampil, maka orang-orang yang dilayaninya dapat
dikatakan
ibarat menerima sebuah batu saat mereka meminta roti.39
Tentang pentingnya kemampuan seorang konselor pastoral
seperti yang dikemukakan oleh Van Beek dan Wiryasaputra,
kesimpulan yang dapat diambil dari pandangan mereka adalah
keduanya sama-sama mengisyaratkan bahwa pengetahuan dan
ketrampilan itu penting. Oleh karena itu, bagi seorang
konselor
pastoral yang ingin memiliki kemampuan sebagai konselor
pastoral
37 Ibid., 103. 38 Ibid. 39 Lihat Howard Clinebell, “Basic Types
of Pastoral Care and Counselling” dikutip oleh David G. Benner,
Strategic Pastoral Counselling: A Short-Term Structure Mode
(USA: Baker Book House Company, 1992), 94.
-
23
antarbudaya yang handal, proses belajar menjadi orang yang
berpengetahuan dan terampil adalah penting untuk dilakukan.
Apalagi tugas konseling pastoral antarbudaya itu hendak
dilakukan
oleh seorang pendeta yang bukan profesinya sebagai konselor
pastoral yang profesional. Dengan proses belajar untuk
menjadi
seorang konselor pastoral antarbudaya yang baik, maka
penguasaan
akan strategi dan kemampuan konseling pastoral antarbudaya
dapat
dimiliki dan menjadi modal bagi sebuah kesuksesan konseling
pastoral antarbudaya.
Agar konseling pastoral antarbudaya dapat berhasil dan
sukses, maka pendekatan antar konselor dan konseli harus
diperhatikan secara baik. Terkadang pengetahuan dan
keterampilan
sudah dimiliki secara baik oleh konselor, tetapi pendekatan
yang
dibangunnya tidak baik dan tepat maka pengetahuan dan
ketrampilan itu tidak bisa diterapkan dengan baik. Melalui
suatu
pendekatan yang baik, maka proses konseling pastoral
antarbudaya
dapat mencapai pada tujuannya. Hubungan antara konselor dan
konseli dapat terbangun secara baik dalam konseling pastoral
antarbudaya, apabila konselor dan konseli dapat saling
menerima
dan menghargai apapun yang menjadi perbedaan diantara
keduanya. Demi terciptanya hubungan antara konselor dan
konseli
yang menekankan pada kesalingan itu, maka bagi David W.
Augsburger hubungan tersebut harus bersifat relasional.
Pandangannya adalah sebagai berikut:
-
24
“Salah satu elemen sentral dari pastoral counseling across
cultural adalah relasional. Hal penting daripadanya yaitu kontak
tercapai, terciptanya perasaan interpati40 dan pemahaman
berpengalaman, kepedulian komunikasi yang original (tidak
basa-basi). Selain itu, untuk konselor pastoral, kehadiran
penerimaan, dan cinta adalah kualitas dari proses konseling, dimana
ketiganya merupakan inti anugerah yang membuat konseling pastoral
menjadi otentik”.41
Lebih lanjut, dengan mengutip Dayanand Pitamber, ia
mengatakan bahwa:
“Pastoral counseling tries to communicate love through
interpersonal
relationship. It does not mean that interpersonal relationship
is used as a mere
technique to communicate love, but rather it is an expression of
love in itself...a
genuine encounter in which the person is able to experience
love...not only
human love but also divine love.” 42
(“Konseling pastoral mencoba mengkomunikasikan kasih melalui
relasi
interpersonal. Ini berarti hubungan interpersonal yang digunakan
tidak sebagai
teknik belaka untuk mengkomunikasikan kasih, melainkan hal itu
adalah
ungkapan kasih itu sendiri….sebuah perjumpaan yang murni dimana
orang
tersebut dapat mengalami kasih ... tidak hanya kasih manusia,
tetapi juga cinta
ilahi”)
Berdasarkan pada pandangan Augsburger di atas, maka
dapat dikatakan bahwa pengetahuan tentang strategi
antarbudaya
dan kemampuan konseling pastoral antarbudaya bukanlah yang
utama dari suatu proses, melainkan relasional yang
berlandaskan
kasih. Hubungan antara konselor dan konseli yang terbangun
atas
dasar kasih melampaui pengetahuan dan teknik konseling.
Relasional atas dasar kasih mampu menyatukan kehidupan antar
sesama manusia maupun manusia dengan Tuhan. Bahkan bukanlah
semata-mata kasih manusia, tetapi lebih daripada itu adalah
kasih
Allah. Dengan demikian, dalam tulisan ini, penulis cenderung
40 Interpati adalah kemampuan beridentifikasi dari luar kerangka
kognitif dan
kerangka budaya orang lain=empati antarbudaya. 41 Lihat David W.
Augsburger, Pastoral Counseling Across Cultures (Philadelphia:
Westminster Press, 1986), 362. 42 Lihat Dayanand Pitamber,
“Mental Health and Pastoral Counseling. Religion and Society”,
dikutip oleh David W. Augsburger, ibid.
-
25
melihat pada hubungan relasional yang dapat menyatukan
perbedaan diantara konselor dan konseli (pendeta dan jemaat)
sehingga keduanya saling terbuka untuk memperoleh kebahagian
hidup yang lebih baik lagi. Penulis sependapat dengan
Augsburger
yang mengatakan bahwa relasional sebagai elemen sentral dan
kasih
menjadi tumpuan dalam konseling pastoral. Oleh karena itu,
dalam
konseling antarbudaya, relasional merupakan pendekatan yang
penting sebab dengan terbangunnya relasional antara konselor
dan
konseli, pastoral antarbudaya dapat berjalan dengan baik atas
dasar
kasih ilahi dan alkitabiah.
Dengan begitu ketika dalam menghadapi masalah apapun,
khususnya di jemaat yang multikultural/plural, pendeta dapat
melakukan konseling pastoral secara baik, dalam tugasnya
untuk
menolong jemaatnya dari ketidakberdayaan juga menghadirkan
karya penyelamatan Allah kepada jemaatnya yang kritis di
hadapan
Allah dan orang banyak. Hal ini seperti yang telah dilakukan
sebelumnya oleh Yesus sebagai Kepala Gereja dalam tugas
pelayananNya, seperti yang diungkapkan oleh Lochman yaitu
membela perjuangan orang miskin, melayani mereka yang ada di
pinggiran, membangkitkan kaum tertindas dan yang hancur dan,
terutama sekali, “memberitakan tahun rahmat Tuhan telah
datang”.43
43 Lihat Jan M. Lochman, “Church and World in the Light of the
Kingdom” dalam Limouris, dikutip David J. Bosch, op.cit., 52.