17 BAB II KONDISI OBJEKTIF PENGADILAN AGAMA SERANG A. Sejarah Pengadilan Agama di Indonesia Peradilan Agama di Indonesia yang kemudian dikenal Pengadilan Agama, keberadaannya jauh sebelum Indonesia merdeka. Karena ketika Islam mulai tersebar di bumi Indonesia, Pengadilan Agama-pun telah ada bersamaan dengan perkembangan kelompok masyarakat kala itu, kemudia memperoleh bentuk ketatanegaraan yang sempurna dalam kerajaan Islam. 1 Peradilan Islam di Indonesia merupakan salah satu institusi Islam di Indonesia yang sangat tua. Ia memiliki berbagai landasan yang sangat kuat. Secara filosofis, ia dibentuk dan dikembangkan untuk memenuhi tuntutan penegakan hukum dan keadilan Allah dalam pergaulan hidup masyarakat. Secara yuridis, ia berkembang mengacu kepada konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara historis, ia merupakan salah satu mata rantai peradilan Islam yang berkesinambungan pada masa Rasulallah. Secara sosiologis, ia didukung dan dikembangkan oleh dan di masyarakat Islam Indonesia. Dalam perjalanannya yang sangat panjang, Peradilan Agama tidak akan terlepas dari pasang surutnya, seiring perkembangan zaman maupun sosial politik yang berkembang. 1 Andi Akram, “Sejarah Peradilan Agama di Indonesia” dalam Jurnal Al Manahij, Vol.2 No.1 (Januari-Juni 2008), IAIN Purwokerto, h. 103.
46
Embed
BAB II KONDISI OBJEKTIF PENGADILAN AGAMA SERANG A. …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
17
BAB II
KONDISI OBJEKTIF PENGADILAN AGAMA SERANG
A. Sejarah Pengadilan Agama di Indonesia
Peradilan Agama di Indonesia yang kemudian dikenal
Pengadilan Agama, keberadaannya jauh sebelum Indonesia
merdeka. Karena ketika Islam mulai tersebar di bumi Indonesia,
Pengadilan Agama-pun telah ada bersamaan dengan
perkembangan kelompok masyarakat kala itu, kemudia
memperoleh bentuk ketatanegaraan yang sempurna dalam
kerajaan Islam.1
Peradilan Islam di Indonesia merupakan salah satu
institusi Islam di Indonesia yang sangat tua. Ia memiliki berbagai
landasan yang sangat kuat. Secara filosofis, ia dibentuk dan
dikembangkan untuk memenuhi tuntutan penegakan hukum dan
keadilan Allah dalam pergaulan hidup masyarakat. Secara
yuridis, ia berkembang mengacu kepada konstitusi dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Secara historis, ia merupakan
salah satu mata rantai peradilan Islam yang berkesinambungan
pada masa Rasulallah. Secara sosiologis, ia didukung dan
dikembangkan oleh dan di masyarakat Islam Indonesia.
Dalam perjalanannya yang sangat panjang, Peradilan
Agama tidak akan terlepas dari pasang surutnya, seiring
perkembangan zaman maupun sosial politik yang berkembang.
1 Andi Akram, “Sejarah Peradilan Agama di Indonesia” dalam Jurnal
Al Manahij, Vol.2 No.1 (Januari-Juni 2008), IAIN Purwokerto, h. 103.
18
Maka dari itu, disini penulis akan menjelaskan sejarah
perkembangan Peradilan Agama dari masa ke masa yang menarik
untuk diketahui bersama.
1. Sejarah Peradilan Agama Pra-Kemerdekaan
Sejarah Peradilan Agama di Indonesia mempunyai sejarah
yang cukup panjang. Jauh sebelum kemerdekaan, system
peradilan agama sudah lahir. Oleh karena itu, sebelum
membahas tentang Peradilan Agama sebelum kemerdekaan,
selayaknya kita ketahui sejarah Peradilan Agama sebelum
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu tepatnya
pada masa kerajaan.
Sebelum Islam datang ke Indonesia sebenarnya sudah ada
dua macam Peradilan, yaitu Peradilan Pradata dan Peradilan
Padu. Materi hukum Peradilan Pradata bersumber dari ajaran
Hindu yang ditulis dalam papakem. Sedangkan Peradilan Padu
menggunakan hukum materiil tidak tertulis yang berasal dari
kebiasaan masyarakat. Dalam praktiknya, Peradilan Pradata
menangani persoalan-persoalan yang tidak berhungan dengan
wewenang raja.2 Keberadaan dua sistem Peradilan ini berakhir
setelah raja Mataram ini menggantinya dengan system Peradilan
Surambi yang berasaskan Islam. Pergantian ini bertujuan untuk
menjaga integrasi wilayah kerajaan Mataram.
2 Ari Wibowo, “Perkembangan Eksistensi Peradilan Agama di
Indonesia Menuju ke Peradilan Satu Atap, dalam Jurnal Al-Mawarid Edisi
XVII, 2007, h.128.
19
Sedangkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda,
Peradilan Agama mendapatkan pengakuan secara resmi. Pada
tahun 1882 pemerintahan kolonial mengeluarkan Staatblads No.
152 yang merupakan resmi terhadap eksistensi Peradilan Agama
dan hukum Islam di Indonesia. Staatsblad ini dianggap sebagai
titik awal dimulainya interaksi dua sistem Peradilan, Islam dan
Barat. Selanjutnya pada tahun 1931, pemerintah kolonial Belanda
membentuk sebuah komisi yang bertugas membicarakan masa
depan Peradilan Agama. Hasil dari komisi ini berupa
dikeluarkannya Staatsblad No.53 yang terdiri atas tiga bagian;
bagian pertama, yaitu tentag perubahan nama Peradilan dari
Priesterrad menjadi Penghoeloegerecht. Kedua, memuat aturan
tentang campur tangan landrad dalam soal Peradilan harta bagi
orang-orang Indonesia asli. Ketiga, memuat pembentukan Balai
Harta Peninggalan bagi orang Indonesia asli.3
Karena Staatsblad tersebut tidak berjalan efektif dan juga
karena adanya pengaruh dari teori reseptie, maka pada tahun
1937 keluarlah Staatsblad 1937 No. 116. Staatsblad ini mencabut
wewenang yang dimiliki oleh Peradilan Agama dalam masalah
waris dan persoalan-persoalan lain yang berhubungan dengan
harta benda, terutama tanah. Maka sejak itulah kompetensi
Peradilan Agama hanya pada masalah perkawinan dan
perceraian. 4
3 Ari Wibowo, “Perkembangan Eksistensi Peradilan Agama di
Indonesia Menuju ke Peradilan Satu Atap, h.129. 4 Ari Wibowo, “Perkembangan Eksistensi Peradilan Agama di
Indonesia Menuju ke Peradilan Satu Atap, h. 129.
20
Sedangkan pada masa pendudukan Jepang peraturan
mengenai Peradilan Agama tidak mengalami perubahan. Hal ini
didasarkan pada pada peraturan peralihan Pasal 3 UU No 1 tahun
1942 tertanggal 7 Maret 1942. Selama itu Mahkamah Islam Tingi
diurus oleh Sihoobu (Departemen Kehakiman) meneruskan
ketentuan Pemerintah Belanda yang menyatakan bahwa ketua,
anggota-anggota dan Paniitera pengganti Mahkamah Islam
Tinggi diangkat oleh Gubernur Jenderal dan melakukan sumpah
jabatan dihadapan Direktur Van Justitie nama Pengadilan Agama
dan Mahkamah Islam Tinggi diganti dengan Sooryo Hooin dan
Kaikyoo Kootoo Hooin. Dalam rangka niat Jepang untuk
menjadikan kemerdekaan bagi Indonesia dikemudian hari dalam
lingkungan Asia Timur Raya, maka oleh Gunseikanbu pada akhir
Januari 1945 telah disampaikan sebuah pertanyaan kepada
Dewan Sanyo atau Sanyo Kaigi Jimushitsu (Dewan Pertimbangan
Agung) tentang bagaimana pendirian Dewan ini terhadap
kedudukan Agama dalam Negara Indonesia kelak.5
2. Sejarah Peradilan Agama Pasca Kemerdekaan
Pada masa setelah Indonesia merdeka, keberadaan
Peradilan Agama tetap diakui eksistensinya berdasarkan Pasal 11
Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan
bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku
5 Muhammad Sukri “Sejarah Peradilan Agama di Indonesia menurut
Pendekatan Yuridis”, dalam Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, 2016, IAIN Manado,
h.4.
21
selama belum diadakan yang baru menurut Undan-Undang Dasar
ini.
Berdasarkan aturan peralihan tersebut, maka keberadaan
Peradilan Agama yang ada di masa Pra-Kemerdekaan tetap
dipertahankan apalagi didukung oleh mayoritas penduduk yang
beragama Islam. Setalah Departemen Agama dibentuk pada
tanggal 3 Januari 1946, maka pembinaan Peradilan Agama
diserahkan kepada Departemen Agama melalui Peraturan
Pemerintah No 5/SD/1946, meskipun Undang-Undang No. 190
tahun 1948 memasukan Peradilan Agama ke dalam Peradilan
Umum yang masa berlakunya ditentukan oleh Menteri
Kehakiman. Namun karena penempatan tersebut tidak pernah
terealisir, maka Peradilan Agama dibawah pembinaan
Departemen Agama.
Selama Pemerintahan Orde Baru keberadaan lembaga
Peradilan Agama tidak jauh berbeda sebagaimana pada masa pra
kemerdekaan. Padahal dengan dikeluarkannya Undang-undang
No 19 Tahun 1964, lembaga Peradilan secara tegas
menyelenggarakan kekuasaan kehakiman di samping Peradilan
Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Meskipun demikian, pada Pemerintahan Orde Lama, Pemerintah
telah mengatur Peradilan Agama, di luar Jawa dan Madura serta
Kalimantan Selatan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 1957, sehingga sejak itu keberadaan Peradilan Agama
diatur dalam tiga Peraturan.
22
Setelah melalui proses yang cukup panjang, pada akhir
tahun 1989 Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang
No 7 Tahun 1989. Sehingga dengan adanya legitimasi Undang-
undang tersebut, Peradilan Agama benar-benar telah sejajar
dengan Peradilan Umum. Sebab Undang-undang tersebut
mempertegas kedudukan dan kekuasaan Peradilan Agama
sebagai kekuasaan kehakiman, menciptakan kesatuan hukum
Peradilan Agama dan memurnikan fungsi Peradilan Agama.
Walapun telah lama ditetapkannya Undang-undang No 7 Tahun
1989, perbaikan fasilitas dan sarana pendukung belum
mendapatkan perhatian, sebagaimana Peradilan Umum dan
Peradilan Tata Usaha Negara.6
3. Sejarah Peradilan Agama pada Masa Reformasi
Pada masa reformasi, seiring dengan upaya
mengembalikan kedaulatan hukum yang selama ini berdaulat di
bawah pemerintah akibat undang-undang yang memberikan
peluang kepada eksekutif untuk ikut campur tangan meskipun
secara klausal menyebutkan tidak mengurangi kebebasan hakim,
maka melalui sidang istimewa nopember 1998, Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), telah mengesahkan salah satu
ketetapan, yaitu TAP MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-
pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan
6 Andi Akram, “Sejarah Peradilan Agama di Indonesia”, h. 107.
23
Normalisasi Kehidupan Sosial sebagai Haluan Negara yang di
dalamnya antara lain menegaskan bahwa pembinaan lembaga
peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi pengusaha
melakukan intervensi ke dalam proses peradilan serta
berkembangnya kolusi dan praktik-praktik negatif pada proses
peradilan.7
Dengan adanya TAP MPR tersebut, maka langkah yang
harus diambil oleh pemerintah adalah melakukan pemisahan
secara tegas antara kekuasaan pemerintah dengan kekuasaan
kehakiman sebagai jaminan ke arah supremasi hukum. Oleh
karena itulah pada tanggal 30 Juli 1999 disahkan Rancangan
Undang-undang (RUU) tentang perubahan Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 (khusus pasal 11 dan 22) oleh DPR. Dan
dengan disahkannya Undang-undang tersebut, maka secara
otomatis lembaga Peradilan Agama juga terkena imbasnya.
Namun ketika perubahan Rancangan Undang-undang tersebut
dibahas, sandungan Peradilan Agama adalah mengenai
organisatoris dan finansial serta pembinaan hakim sebagai
Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi kontroversial, sehingga ada
yang berpendapat agar Peradilan Agama tetap dibawah
Departemen Agama, di samping itu Peradilan Agama akan
terlepas dari akar ulama dan tiadanya pengawasan para hakim
selain korpsnya sendiri.8
7 Andi Akram, “Sejarah Peradilan Agama di Indonesia” h. 107.
8 Bustanul Arifin, Transformasi Syariah ke Dalam Hukum Nasional,
(Jakarta:Yayasan Al-Hikmah , 1999), hal. 17.
24
Kekhawatiran tersebut sangat wajar, karena kemungkinan
dengan satu atap membuat hakim-hakim menjadi tidak dikontrol,
selain adanya kemungkinan lain adanya campur tangan dari
internal yang mengurangi kebebasan dan kemandirian hakim
sebagaimana kasus surat sakti Ketua Mahkamah Agung pada
masa Orde Baru. Oleh karenanya Abdul Gani Abdullah
mengharapkan adanya paradigma baru di lembaga peradilan
berupa, memberikan status khusus di luar kategori
kepegawainegerian, memberikan tunjangan yang khusus dari
aparatur pemerintah lainnya, sumber daya manusia harus melalui
mekanisme rekruitmen yang berlapis dan yang terakhir
melaksanakan pengawasan dan evaluasi sebagai kemutlakan pada
tiap pelaksanaan, pelayanan serta penegakan hukum.9
Bahkan dalam memilih dan mengangkat hakim agung dan
ketua Mahkamah Agung, seyogyanya yang melantiknya adalah
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), bukan Presiden
maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dengan ilustrasi di atas, maka pemisahan lembaga
yudikatif dan eksekutif secara tegas sangat sesuai dengan tuntutan
reformasi, sehingga terpisahnya lembaga Peradilan Agama dari
Departemen Agama ke Mahkamah Agung merupakan sesuatu
yang wajar, yang keberadaanya diatur dengan Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 sebagai lembaga yudikatif. Apalagi jika
9 Abdul Gani Abdullah, “Paradigma Indonesia Baru” Mimbar Hukum
Nomor 42 Tahun 1999, hal.57.
25
dilihat dari sejarah, bahwa Peradilan Agama adalah lembaga yang
sejak dibentuk berdiri sendiri.
B. Sejarah Pengadilan Agama Serang
Dalam menyusun sejarah Pengadilan Agama Serang tidak
ada satu dokumenpun yang dapat dijadikan rujukan untuk
menentukan secara pasti kapan Pengadilan Agama Serang
pertama kali dibentuk. Namun demikian, berbekal catatan Agus
Chumaidy, BA (PYMT Ketua, periode 1976 – 1979 dan 1983 –
1988) dan untuk mendapatkan data yang akurat, peneliti pada
waktu mewawancarai M. Syarbini Asy’ari dan Kiai Abdul Aziz.
Berdasarkan wawancara tersebut, tergambar sejarah
pembentukan dan perkembangan Pengadilan Agama Serang,
yang tidak lepas dari peran para Kiai dan Tokoh ulama Banten,
dengan dibagi dalam beberapa periode sebagai berikut10
:
1. Periode pertama, tidak diketahui kapan Pengadilan
Agama Serang dibentuk, diperkirakan tahun 1932.
Ketua disebut penghulu landraad, yang diketuai oleh
KH. Moch. Hasan atau yang disebut Ki Acang. Pada
waktu itu, tidak ada Hakim Anggota, Panitera maupun
karyawan. Tetapi untuk lokasi kantornya yaitu rumah