BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG WASIAT DAN WASIAT WAJIBAH A. Pengertian Dan Dasar Hukum Wasiat 1. Pengertian Wasiat Secara Bahasa. Wasiat berasal dari bahasa arab al-waṣ ṣhiyah (Jama’nya waṣ ṣhaya), secara harfiyah antara lain berarti pesan, perintah, dan nasihat. Ulama’ fiqih mendefinisikan wasiat dengan “penyerahan harta secara sukarela dari seseorang kepada pihak lain yang berlaku setelah orang tersebut wafat, baik harta berbentuk materi maupun berbentuk manfaat. 1 Sayyid Sabiq mendefinisikan wasiat (waṣ ṣhiyah) itu diambil dari kata waṣ ṣhaitu aṣ ṣy-ṣ ṣyaia, uṣ ṣhihi, artinya Auṣ ṣhaltuhu (aku menyampaikan sesuatu). Maka muṣ ṣhi (orang yang berwasiat) adalah orang yang menyampaikan pesan di waktu dia hidup untuk dilaksanakan sesudah dia mati. 2 Dan ada yang menerangkan bahwa kata wasiat berasal dari kata “Wasiat” yang berarti suatu ucapan atau pernyataan dimulainya suatu perbuatan. 3 1 Abdul Aziz Dahlan, Enṣiklopedi Hukum Iṣlam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), cet 1, hlm. 1926. 2 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 14, (Bandung: PT Alma’arif, 1984), hlm. 230. 3 DEPAG RI, Ilmu Fiqih 3, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), cet 2, hlm. 181. 17
24
Embed
BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG WASIAT DAN ...eprints.unisnu.ac.id/223/3/BAB_II_BENAR.pdfmenghadapi kematian, ṣedang ia akan berwaṣiat, maka hendaklah (waṣiat itu) diṣakṣikan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
KETENTUAN UMUM
TENTANG WASIAT DAN WASIAT WAJIBAH
A. Pengertian Dan Dasar Hukum Wasiat1. Pengertian Wasiat Secara Bahasa.
Wasiat berasal dari bahasa arab al-waṣ ṣhiyah (Jama’nya waṣ ṣhaya),
secara harfiyah antara lain berarti pesan, perintah, dan nasihat. Ulama’ fiqih
mendefinisikan wasiat dengan “penyerahan harta secara sukarela dari
seseorang kepada pihak lain yang berlaku setelah orang tersebut wafat, baik
harta berbentuk materi maupun berbentuk manfaat.1
Sayyid Sabiq mendefinisikan wasiat (waṣ ṣhiyah) itu diambil dari kata
3 DEPAG RI, Ilmu Fiqih 3, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), cet 2, hlm. 181.
17
18
Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili wasiat secara etimologi diartikan sebagai
janji kepada orang lain untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu semasa
hidupnya atau setelah meninggalnya.4
2. Pengertian Secara Istilah
Secara terminologi atau istilah para ahli fiqih, wasiat adalah perintah
untuk melakukan suatu perbuatan setelah meninggal. Atau dengan kata lain,
bersebekah dengan harta setelah mati.5
Dalam Istilah syara’, wasiat itu adalah pemberian seseorang kepada
orang lain baik berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh
orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat mati.6
Menurut pendarat Jumhur Fuqaha mendefinisikan bahwa wasiat itu
adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sukarela dalam segala keadaan.
Karena tidak ada dalam syariat Islam sesuatu wasiat yang wajib dilakukan
dengan jalan putusan hakim.7
Keabsahan wasiat disepakati oleh semua mazhab, demikian juga
kebolehannya dalam syariat Islam. Wasiat adalah pemberian hak untuk
memiliki suatu benda atau mengambil manfaatnya, setelah meninggalnya si
pemberi wasiat, melalui pemberian sukarela (Tabarru’). Wasiat dianggap sah
jika dibuat (diucapkan) dalam keadaan sehat dan bebes dari sakit, ataupun
dalam keadaan sakit yang membawa kepada maut, atau sakit yang lain. Dalam
kedua keadaan ini hukumnya sama menurut semua mazhab.8
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mendefinisikan wasiat sebagai
berikut: Pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga
yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (PS.171 huruf F KHI).9
Wasiat tidak hanya di kenal dalam sistem hukum Islam saja akan
tetapi juga diatur dalam sistem hukum lain. Dalam sistem hukum barat wasiat
di sebut dengan kata Teṣtament yaitu suatu akta yang berisi pernyataan
seseorang tentang apa yang akan terjadi setelah ia meninggal dan dapat ditarik
kembali.10
Dari beberapa definisi diatas, wasiat dapat dipakai sebagai tindakan
sukarela pewaris memberikan hak atau benda kepada orang lain tanpa
mengharapkan imbalan (Tabarru’) yang pelaksanaannya berlaku setelah
pewaris meninggal dunia.
3. Dasar Hukum Wasiata. Al-Qur’an
Dalam Surat Al-Ma’idah: 106
8 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: PT. Lintera Basritama, 2001), hlm. 504.
9 Departemen Agama RI, Kompilaṣi Hukum Iṣlam, (Jakarta: 1998), hlm. 82.
10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, Pasal 875, hlm. 188.
20
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila ṣalah ṣeorang kamumenghadapi kematian, ṣedang ia akan berwaṣiat, maka hendaklah(waṣiat itu) diṣakṣikan oleh dua orang yang adil diantara kamu, ataudua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalamperjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamutahan kedua ṣakṣi itu ṣeṣudah ṣhalat (untuk berṣumpah), lalu merekakeduanya berṣumpah dengan nama Allah jika kumu ragu-ragu:“(Demi Allah) kami tidak akan menukar ṣumpah ini denganharga yang ṣedikit (untuk kepentingan ṣeṣeorang), walaupun diakarib kerabat, dan tidak (pula) kami membunyikan perṣakṣian Allah:Seṣungguhnya kami kalau demikian tentulah termaṣuk orang-orangyang berdoṣa”.11
Dalam QS. Al-Baqarah: 180.
“Diwajibkan ataṣ kamu, apabila ṣeorang diantara kamu kedatangan(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan hata yang banyak,berwaṣiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya ṣecara makruf, (iniadalah) kewajiban ataṣ orang-orang yang bertakwa”.12
11 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Serajaya Sentra, 1988),hlm. 180.
12 Ibid., hlm. 44.
21
Dalam QS. An-Nisa’: 11.
“(Pembagian-pembagian terṣebut di ataṣ) ṣeṣudah dipenuhi waṣiatyang ia buat atau (dan) ṣeṣudah dibayar utangnya. (Tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui ṣiapa di antaramereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalahketetapan dari Allah. Seṣungguhnya Allah Maha Mengetahui lagiMaha Bijakṣana”.13
“Telah diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Muṣlim, dari Ibnu Umarr.a., dia berkata: Telah berṣabda Raṣulullah SAW,: “Hak bagiṣeorang muṣlim yang mempunyai ṣeṣuatu yang hendak diwaṣiatkan,ṣeṣudah bermalam ṣelama dua malam tiada lain waṣiatnya itu tertuliṣpada amal kebaikannya.” Ibnu Umar berkata: Tidak berlalu bagikuṣatu malampun ṣejak aku mendengar Raṣulullah SAW, mengucapkanhaditṣ itu kecuali waṣiatku ṣelalu berada di ṣiṣiku”.14
“Dari ā’d bin Abi Wāqqāṣh, bahwa ia berkata: Raṣulullah SAW,Ṡpernah datang ketempatku untuk melawat aku ketika aku ṣakit keraṣ,lalu aku bertanya: Ya Raṣulullah! Seṣungguhnya ṣakitku ṣudahṣangat payah ṣebagaimana yang engkau lihat ṣendiri, ṣedangkanaku ini orang yang kaya dan tidak ada ahli wariṣ lain ṣelain anakkuperempuan, apakah boleh aku menyedekahkan dua pertiga darihartaku itu? Ia menjawab: Jangan. Aku bertanya lagi: YaRaṣulullah! Bagaimana kalu ṣeparonya? Ia pun menjawab lagi:Jangan. Aku bertanya lagi: Kalau ṣepertiga? Ia menjawab:Sepertiga dan (ṣekali lagi) ṣepertiga itu ṣudah cukup banyak atauṣudah cukup beṣar, karena ṣeṣungguhnya engkau jika meninggalkanahli wariṣmu itu dalam keadaan cukup/kaya akan lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka itu dalam keadaan kekuranganyang ṣelalu menadahkan tangan kepada orang lain”. (HR.Jama’ah).15
ضِه لعللنيقق هللقق ق لصققللى قا ضِللقق ق هل قا نو هسقق لر لل ق لل:لقققال مر قلقال لجالضِب نن ق لع لجلة ق لمال هن ق لولرلوى قضِانبلت لمال نن ق لم لسلللم: قلولت لولمققال لهاللدمة ق لشقق لو ىى ق لعللى قلتضِق لت ق لولمال هسلنمة ق لو مل ق لسضِبني لعللى ق لت ق لمال مة ضِصلي لو لعللى قةر قاللهه نو نغهف لم ق ق ق ق.
“Di riwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jabir, dia berkata: Telahberṣabda Raṣulullah SAW.: “Barang ṣiapa yang mati dalamkeadaan berwaṣiat, maka dia telah mati di jalan Allah dan Sunnah,mati dalam keadaan takwa dan Syahid, dan mati dalam keadaandiampuni doṣanya”.16
c. Al-Ijma’Rasulullah SAW telah pulang ke Rahmatullah tetapi beliau tidak
mewasiatkan sesuatu, sebab beliau tidak meninggalkan harta yang hendak
“Di riwayatkan dari Thalhah bin Muṣarrif: Aku bertanya kepadaAbdullah bin Aufa r.a., “Apakah Nabi SAW, meninggalkan waṣiat?“Ia menjawab, “Tidak.” Ia berkata, “Bagaimana perihal perintah
15 Mu’ammal Hamidy, et. al., Nailul Authar Jilid 5, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001), hlm. 2022.
16 Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 233.
23
Nabi SAW. Kepada manuṣia untuk meninggalkan waṣiat?” Iamenjawab, “Nabi SAW. Mewaṣiatkan Kitab Allah.”17
Karena beliau tidak meninggalkan harta setelah beliau meninggal,
sedang tanah beliau, semua telah di wakafkan. Adapun para sahabat, maka
mereka mewasiatkan sebagian dari harta mereka untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Mereka juga mempunyai wasiat yang tertulis untuk ahli waris
sepeninggalan mereka.18
Umat Islam sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang banyak
menjalankan wasiat, perbuatan yang demikian itu tidak pernah di ingkari oleh
seorangpun. Ketiadaan ingkar seorang itu menunjukkan adanya Ijma’.Kaum
muslimpun sepakat bahwa tindakan wasiat syari’at Allah dan Rasulnya, Ijma’
di dasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an dan As Sunnah yang mengatur tentang
wasiat.19
d. Dalil Aqli (Logika)Secara Aqli (logika), seorang Muslim yang taat kepada Allah SWT,
pasti berkeinginan agar akhir hayatnya diakhiri dengan amal-amal saleh, salah
satu amal saleh tersebut adalah berwasiat. Hal ini sesuai dengan hadis
“Dari Abu Darda, dari Nabi SAW, ia berṣabda, “Seṣungguhnya Allahberṣedekah kepadamu dengan ṣepertiga dari hartamu ketika matimu,untuk menambah kebaikan-kebaikanmu, karena ia hendak
17 Imam Az-Zabidi, op.cit., hlm. 496.
18 Sayyid Sabiq, loc.cit.
19 Mardani, op.cit., hlm. 111.
24
menjadikannya untukmu ṣebagai tambahan amal-amalmu”.(HRDaraquthni).20
Untuk menambah kekurangan-kekurangan amal perbuatannya
sewaktu masih hidup, tidak ada jalan lain selain memberikan wasiat, untuk itu
apabila wasiat di syari’atkan karena di dalam wasiat terdapat unsur
pemindahan hak milik dari seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan
sesuatu yang dapat di artikan sebagaimana sedekah yang diperintahkan
Rasulullah.B. Syarat dan Rukun Wasiat
Para ulama’ berbeda pendapat dalam memberikan uraian rukun dan
syarat wasiat. Menurut mayoritas ulama fiqih yang lazim dikenal dengan
sebuah Jumhur Al-Fuqaha, ada empat rukun (unsur) wasiat, yaitu: Orang yang
berwasiat (Al-Muṣhi/ Al-Muwaṣhṣhi), orang atau pihak yang menerima wasiat
(Al-Muṣha lah/ Al-Muṣha Ilayh), barang harta yang diwasiatkan (Al-Muṣha
bih) dan shighat atau ijab kabul wasiat.Menurut ulama’ Hanafiah dalam wasiat hanya diperlukan pernyataan
pemberian wasiat dari pemilik harta yang akan wafat karena menurut mereka
wasiat adalah akad yang hanya mengikat pihak yang berwasiat, sedangkan bagi
pihak yang menerima wasiat, akad itu tidak bersifat mengikat.21
Dalam wasiat sebagaimana dalam kitab-kitab fiqih maupun para pakar
hukum Islam adalah mempunyai maksud yang sama dengan menentukan syarat
dan rukun dalam wasiat, adapun syarat dan rukun wasiat adalah sebagai
berikut:1. Orang yang memberi wasiat (Muṣhi)
20 Mu’ammah Hamidy, op.cit., hlm. 2024.
21 Muhammad Amin Summa, op.cit., hlm. 129.
25
Dalam hukum Islam, orang yang berwasiat disyariatkan agar seorang
Mushi hendaknya mempunyai kesanggupan untuk melepaskan hak milik
kepada orang lain. Dengan ketentuan syarat mushi yaitu: baligh (dewasa),
berakal sehat (aqli), bebas menyatakan kehendaknya merupakan tindakan
tabarru’ (sukarela) dan beragama Islam.22
Sayyid Sabiq dalam kitab fiqih Sunnah menyatakan bahwa orang yang
berwasiat itu disyariatkan agar orang yang memberi wasiat itu adalah orang
yang ahli kebaikan, yaitu orang yang mempunyai kompetensi (kecakapan)
yang sah. Keabsahan kompetensi ini didasarkan pada akal, kedewasaan,
kemerdekaan, ikhtiar, dan tidak dibatasi karena kedunguan atau kelainan.23
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pada Pasal 194 Ayat 1
mensyariatkan pewasiat sekurang-kurangnya telah berumur 21 tahun,
berakal sehat, dan tidak ada paksaan dari pihak lain.24
2. Orang yang menerima wasiat (Muṣha Lahu)Para ulama’ mazhab sepakat bahwa penerima wasiat adalah mereka
yang bukan termasuk dalam golongan ahli waris dari si mayit (muṣhi),
kecuali jika disetujui oleh para ahli waris lainnya.25
Dalam hadis ini meskipun khabar ahad, akan tetapi diterima oleh para
ulama dan disepakati oleh orang banyak.
22 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewariṣan Iṣlam di Pengadilan Agama dan Menurut Undang-Undang Hukum Perdata (BW) di Pengadilan negeri Suatu Studi Kaṣuṣ,( Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hlm. 140.
“Dari Umamah Al-Bahili R.A. beliau berkata: Saya mendengarRaṣulullah SAW, berṣabda: “Seṣungguhnya Allah memberikan hakkepada orang yang mempunyai hak, maka tidak ada waṣiat bagi ahliwariṣ. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Arba’ah ṣelain An Naṣa’i(Jadi hanya: Abu Daud, At-Tirmizi dan Ibnu Majah). Dan dinilaiHaṣan oleh Ahmad dan At-Tirmizi. Penilaian itu diperkuat oleh IbnuKhuzaimah, dan Ibnu Jarud. Juga diriwayatkan oleh Ad-Daraquthnidari Ibnu Abbaṣ r.a. dan beliau menambahkan pada akhir matannyakalimai: Kecuali pada ahli wariṣ menghendakinya (menyetujuinya).Dan ṣanadnya: baguṣ.”.26
3. Barang atau Sesuatu yang diwasiatkan (Muṣ ṣa bihi)Dalam mushbih terdapat syarat harta yang diwasiatkan, yaitu:
a. Objek yang diwasiatkan bisa berupa semua hatra yang nilai, baik berupa
barang ataupun manfaat, piutang dan manfaat seperti tempat tinggal atau
kesenangan. b. Harta yang diwasiatkan tidak boleh melebihi separtiga dari harta
peninggalan/ warisan, kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya.c. Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewaris.d. Pemilikan terhadap harta benda tersebut baru dapat dilaksanakan sesudah
pewasiat meninggal dunia.e. Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun pemanfaatan suatu
benda harus diberikan jangka waktu tertentu.f. Harta wasiat yang berupa barang tidak bergerak, karena suatu sebab yang
sah mengalami penyusutan atau kerusakan yang terjadi sebslum
26 Abubakar Muhammad, Terjemah Subuluṣṣalam III, (Surabaya: PT. Al-Ikhlas, 1995), hlm. 382-383.
27
meninggal dunia, maka penerima wasiat hanya akan menerima harta
yang tersisa.27
Dalam hal ini Sayyid Sabiq berpendapat bahwa disyaratkan agar yang
diwasiatkan itu bisa dimiliki dengan salah satu cara pemikiran setelah
pemberi wasiat mati, maka sah wasiat mengenai semua harta yang bernilai,
baik berupa barang ataupun manfaat. Dan sah pula wasiat tentang buah dari
tanaman dan apa yang ada di dalam perut sapi betina, sebab yang demikian
dapat dimiliki melalui warisan.28
4. Ucapan wasiat (Sigot)Ibnu Rusyd sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Ahmad Rofik, bahwa
wasiat dapat dilaksanakan menggunakan redaksi (ṣigot) yang jelas atau
sharih dengan kata wasiat, dan bisa juga dilakukan dengan kata-kata
samaran (ghairu ṣharih). Ini dapat ditempuh karena wasiat berbeda dengan
hibah. Wasiat bisa dilakukan dengan tertulis dan tidak memerlukan jawaban
(qabul) penerimaan secara langsung. Sementara hibah memerlukan adanya
jawaban penerimaan dalam suatu majlis.29
Wasiat diperbolehkan melalui isyarat yang dipahami, akan tetapi
menurut ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali ketentuan ini hanya
bisa diterima apabila orang yang berwasiat bisu dan tidak busa tulis baca.
Apabila yang berwasiat mampu tulis baca, maka wasiat melalui isyarat tidak
sah. Sebaliknya, ulama Mazhab Malik dan Mazhab Syafi’i berpendapat
27 Mardani, op.cit., hlm. 113-115.
28 Sayyid Sabiq. loc.cit.
29 Mardani, loc.cit.
28
bahwa wasiat tetap sah melalui isyarat yang dapat dipahami, sekalipun
orang yang berwasiat mampu untuk berbicara dan baca tulis.30
C. Teknis Pelaksanaan WasiatDalam pelaksanaan wasiat ulama fiqih mensyariatkan bahwa orang
yang menerima wasiat bukan salah seorang yang berhak mendapatkan warisan
dari orang yang berwasiat, kecuali apabila ahli waris lainya membolehkanya.31
Dalam pembahasan mengenai syarat-syarat wasiat, kita telah
mengetahui bahwa hak manusia dalam wasiat dibatasi, yakni separtiga harta
peninggalan mayit, dengan nash hadits Nabi SAW., “Sepertiga, dan sepertiga
itu banyak,” Maka, ukuran wasiat adalah sepertiga.32
ضِث قضِاللى ضِن قالىثهل ضِم ىضنوا لع لس ق لن قاللنال نولأ لل:لل لماللقال هه لعنن هلل ق ضِضلي قا لر مس ق لعلبال ضِن ق ضِن قانب لعهرا لكضِثني هث ق لوالىثهل هث ق لل:الىثهل لسلللم قلقال لو لعللنيضِه ق هلل ق لصللى قا ضِلل ق لل قا هسنو لر لن ق ضِع قلفضِال ىرهب ال
“Dari Ibnu ‘Abbaṣ r.a. ia berkata: Kalau manuṣia pada meremehkandari ṣepertiga ṣampai ṣeperempat, maka ṣeṣungguhnya RaṣulullahSAW, pernah berṣabda, “Sepertiga dan (ṣekali lagi) ṣepertiga ituadalah banyak”. (HR. Ahmad Bukhari dan Muṣlim).33
“Dari Sa’ad bin Abi Waqqaṣ beliau berkata: Saya berkata: Ya,Raṣulullah ṣaya orang yang mempunyai harta yang banyak (kaya)dan tidak ada yang mewariṣi ṣaya kecuali ṣeorang anak perempuan.
30 Andi Syamsu Alam, Hukum Pengangkatan Anak Perṣpektif Iṣlam, (Jakarta: PT. Kencana, 2008), hlm. 72.
31 Ahmad Kamil & M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indoneṣia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 139.
32 Wahbah Az-Zuhaili, op.cit., hlm. 228.
33 Mu’ammal Hamidy, loc.cit.
29
Apakah ṣaya ṣedekahkan dua pertiga hartaku? Beliau menjawab:Jangan! Saya bertanya lagi: Apakah ṣaya ṣedekahkan ṣeparuhnya?Beliau menjawab: Jangan! Saya bertanya lagi: Apakah ṣayaṣedekahkan ṣepertiga? Beliau berṣabda: Sepertiga itu. Sepertiga itubanyak. Seṣungguhnya kamu tinggalkan ahli wariṣmu dalamkeadaan kaya lebih baik dari pada kamu meninggalkan merekadalam keadaan mereka melatar yang akan meminta-minta kepadaorang. Muttafaq’alaih”.34
Dalam hadits tersebut terdapat dalil larangan wasiat lebih dari
sepertiga itu bagi orang yang mempunyai ahli waris. Batas ini sudah disepakati
ulama (Ijma’ ulama). Hanya saja mereka berselisi pendapat. Apakah sepertiga
itu paling banyak, atau paling sedikit? Menurut pendapat Ibnu Abbas, Syafi’i
dan sekelompok ulama lain bahwa yang lebih baik adalah kurang dari sepertiga
berdasarkan sabdanya: “Bahwa sepertiga itu, banyak”.35
D. Unsur dalam KUH Perdata (BW) WasiatHukum waris yang disebut pertama, dinamakan Hukum Waris “ab
inteṣtato” (tanpa wasiat) atau hukum waris “by ver ṣterf” (berhubung dengan
meninggalnya seorang), atau hukum waris menurut Undang-undang (Wettelijk
erfrecht). Hukum waris yang kedua disebut hukum waris wasiat (teṣtamentair
erfrecht). Hukum waris ab inteṣtato, tidak dibicarakan sekarang. Tapi di
uraikan nanti dalam membicarakan para waris yang berhak menerima
warisan.36
Salah satu yang membedakan antara warisan tanpa wasiat dengan
warisan dengan surat wasiat (ab inteṣtato) adalah bahwa menurut sistem KUH
34 Abubakar Muhammad, Subuluṣ Salam III, op.cit., hlm. 377.
35 Ibid, hlm. 379.
36 Ali Afandi, S.H., Hukum Wariṣ Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2000 ), hlm. 14.
30
Perdata, bahwa jika warisan tanpa wasiat mengenal pergantian kedudukan ahli
waris (Plaatṣvervulling), maka terhadap warisan dengan wasiat tidak dikenal
pergantian kedudukan penerima wasiat oleh ahli warisnya jika penerima wasiat
tersebut lebih dahulu meninggal dari pewasiatnya. Asal saja wasiat tersebut
dibuat sesuai dengan pembatasan dan syarat-syarat yang ditentukan oleh
kaidah hukum yang berlaku. Perlu pula ditambahkan bahwa kalau menurut
sistem KUH Perdata, suatu wasiat haruslah dibuat dalam bentuk tertulis (dalam
bentuk akta) menurut syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang yang
disebut dengan “Sutar wasiat”.37 Menurut sistem KUH Perdata, maka surat wasiat haruslah dibuat
dalam bentu surat (akta) dalam pasal 875 KUH Perdata, surat wasiat dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu surat wasiat menurut bentuknya dan wasiat
menurut isinya.1. Surat wasiat menurut bentuknya.
Menurut ketentuan Pasal 931 KUH Perdata, ada tiga macam yaitu:a. Surat wasiat Olografiṣ (ditulis sendiri)
Surat wasiat olografiṣ adalah surat wasiat yang seluruhnya ditulis
dan ditandatangani sendiri oleh pewaris. Surat wasiat olografiṣ harus
disimpan pada seorang notaris. Penyimpanan tersebut harus dilakukan
dengan akta penyimpanan, yang dibuat oleh notaris yang menyimpan
surat wasiat, kemudian ditandatangani oleh notaris yang menyimpan
surat wasiat tersebut, pewaris dan dua orang saksi yang menghadiri
peristiwa itu (Pasal 932 KUH Perdata)Kekuatan pembuktian surat wasiat olografiṣ yang disimpan pada
notaris sama dengan ketentuan pembuktian surat wasiat yang seluruhnya