-
17
BAB II
KERANGKA TEORI IDENTITAS URBAN DAN HIBRIDITAS
Merumuskan sebuah identitas perkotaan (urban) tak lepas dari
karakteristik
dan citra kota itu sendiri. Dalam hal ini, penulis hendak
menguraikan identitas urban
sebagai pintu masuk teori yang dapat membantu mejembatani
penelitian ini. Di
mana dalam merumuskan suatu identitas urban, terlebih kita perlu
mencari citra
suatu kota itu sendiri. Sehingga penulis pada bab II ini memulai
merumuskan
kerangka teori identitas urban dengan pendekatan teorinya Kevin
Lynch dan
beberapa tokoh yang memiliki kompetensi sama dalam teori ini.
Kevin Lynch,
sebagai peneliti kota, karya-karyanya banyak dijadikan sebagai
referensi primer
dalam sebuah penelitian perencanaan atau identitas kota. Pada
bagian ini teori
identitas Sheldon Stryker, Peter J. Burke, Chris Barker adalah
teori-teori yang cukup
mendukung dalam rumusan kerangka teori identitas urban ini. Di
samping itu,
sebagai upaya menelisik lahirnya proses persilangan budaya
(hybrid culture) dalam
masyarakat urban, maka hemat penulis penting menggunakan
pendekatan teori
hibriditasnya Hommi K. Bhabha yang juga hendak penulis jelaskan
lebih mendalam
pada bab ini.
-
18
A. Tinjauan Teoritik Identitas Urban
1. Identitas dan Perubahan Sosial
Secara konseptual subyektivitas dan identitas memiliki hubungan
erat,
bahkan tidak bisa dipisahkan. Seperti yang dikemukakan Chris
Barker, ia
menegaskan bahwa identitas sepenuhnya merupakan suatu kontruksi
sosial
budaya. Identitas tidak serta merta dapat eksis di luar
representasi atau akulturasi
budaya.1 Istilah identitas berasal dari bahasa latin, idem, yang
berarti kesamaan dan
keberlangsungan. Istilah ini populer digunakan secara leksikal
sejak abad-20, dan
kerap digunakan dengan maksud; (a) kondisi menjadi sama atau
identik; (b) kondisi
menjadi orang atau sesuatu yang spesifik dan bukan yang lain;
(c) karakter yang
berbeda yang dimiliki oleh seorang individu. Identitas dalam
kajian ilmiah dapat
dimaknai secara sederhana sebagai konsep mengenai siapa
seseorang atau
kelompok orang dikenali oleh orang atau kelompok lain, atau juga
mengenai
seseornag dikenali dalam kelompoknya (Jenkin, 2004: 5).
Dijelaskan juga dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa Identitas merupakan
ciri-ciri atau
keadaan khusus seseorang.2
Identitas secara umum dapat didefinisikan sebagai seperangkat
makna
yang disematkan pada diri seseorang baik sebagai pribadi,
kelompok dan sosial.
1 Barker, 2005: 170-171
2 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, cetakan petama (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan balai pustaka, 1999).
-
19
Lebih lanjut, dalam teori identitas yang dipopulerkan oleh
Sheldon Stryker (1980),
identitas erat dengan saling mempengaruhi antara seseorang
sebagai individu
dengan struktur sosial yang lebih luas (masyarakat). Peter J.
Burke, mengatakan
bahwa identitas adalah bagaimana orang berperan dalam masyarakat
untuk
menemukan makna dirinya. Maka di sini identitas bisa menjadi
kontrol dan
panduan dalam setiap tindakan manusia. Manusia dalam memperoleh
identitas
bisa memiliki lebih dari satu identitas, menurut perannya yang
berbeda dalam
interaksi sosial. Dengan demikian, identitas dapat dimaknai diri
sebagai ayah, ibu,
rekan kerja, teman, dan sebagai salah satu dari sekian banyak
kemungkinan peran
sesuai yang bisa dimainkan seseorang.3
Identitas dalam lingkup sosial memang mempunyai peran yang
berbeda
sesuai dengan konteks diri itu berada, tetapi identitas itu
mempunyai kekhasan
yang suatu saat tertentu berpotensi mengalami perubahan.
Identitas dengan
sendirinya merupakan satu unsur kunci dari kenyataan subyektif.
Sebagaimana
semua kenyataan subyektif berhubungan secara dialektif dengan
masyarakat.
Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial. Begitu memperoleh
wujudnya, ia
dipelihara, dimodifikasi, bahkan dibentuk ulang oleh
hubungan-hubungan sosial.
Proses-proses sosial yang terlibat dalam membentuk dan
mempertahankan
identitas ditentukan oleh struktur sosial. Sebaliknya,
identitas-identitas individu,
3Jan Assmann dan John Czaplicka “Collective Memory and Cultural
Identity” ini New
German Critique, No.65.pp125-133.1995. NC: Duke University
Press, 129.
-
20
dan struktur sosial bereaksi terhadap struktur sosial yang sudah
diberikan,
memeliharanya, memodifikasinya atau membentuknya kembali.4
Identitas sosial merupakan bagian dari konsep diri individu yang
bersumber
dari pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok
sosial
dengan beragam jenis nilai, norma, dan ikatan emosional yang
berkembang dalam
kelompok tersebut. Identitas tersebut merupakan identitas
kolektif yang tidak
mensyaratkan masing-masing anggota kelompok sosial tersebut
untuk saling
mengenal dan memiliki hubungan personal yang dekat. Dengan
demikian, dapat
disimpulkan bahwa identitas sosial adalah bagian dari konsep
diri individu yang
berasal dari pengetahuannya selama berada dalam kelompok sosial
tertentu
dengan disertai internalisasi nilai-nilai, emosi, partisipasi,
rasa peduli dan bangga
sebagai anggota kelompok tersebut.5
Lebih lanjut identitas juga difahami sebagai keterkaitan
identitas dengan
batas-batas etnis. Sebagaimana yang dijelaskan Fredrik Barth,
dalam tulisannya ia
menjelaskan bahwa dalam interaksi antar etnis, batasan-batasan
etnis
dipertahankan dengan teguh karena batasan-batasan tersebut
adalah juga batasan
sosial. Bahkan dalam interaksi dengan yang kain, batasan-batasan
etnis dikelola
oleh komunitasnya sebagai identitas yang menunjuk keanggotaan.
Karenanya
4 Lihat juga Peter L Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial
Atas Kenyataan: Risalah
tentang Sosiologi Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, 1990), 235-236. 5
Lihat juga dalam Disertasinya M. Mukhsin Jamil, Dinamika Identitas
dan Strategi Adaptasi
Minoritas Syi’ah Jepara (Semarang: UIN Walisongo, 2011),
65-67.
-
21
intensitas interaksi yang terjadi antara orang berbeda etnis
akan memperkecil
perbedaan, tetapi kekhasan kultural akan kuat jika terus
terimplikasi dalam
perilaku. Dengan kata lain perbedaan kultural akan tetap menjadi
unit yang
signifikan, jika perbedaan yang ada tetap tercermin dalam
perilaku.6
Perubahan masyarakat tradisional (agraris) ke masyarakat
industri
(modern) akibat dari derasnya proses modernisasi dengan berbagai
nilai dan
teknologi yang ditawarkan (Munandar Soelaiman, 1998: 93).7 Hal
ini karena
modernisasi melibatkan perubahan pada hampir segala aspek
tingkah laku sosial,
termasuk didalamnya industrialisasi, urbanisasi, deferensiasi,
sekulerisasi,
sentralisasi, dan sebagainya. Bahkan modernisasi dianggap
sebagai proses
transformasi nilai. Artinya untuk mencapai status modern,
struktur dan nilai-nilai
tradisional secara total harus diganti dengan nseperangkat
struktur dan nilai-nilai
modern.8
Masyarakat urban mula-mula barangkali dibagi dalam kotak-kotak
rapat
oleh struktur sosial ganda (plural), batas-batas interaksi
antara kelompok-kelompok
etnis telah memudar akibat bangunan-bangunan perkotaan dan
penduduk yang
kian padat. Dalam studinya tentang sebuah kota kecil di Jawa,
Clifford Geertz
menyayangkan tidak adanya integrasi antara berbagai kelompok
etnis dan budaya
6 Fredrik Barth, Ethnic Group and Boundaries, The Social
Organization of Culture Difference
(Oslo: Johansen&Nielsen Boktrykkeri, 1969), 15. 7 Munandar
Soelaiman, Dinamika Masyarakat Transisi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1993),
93. 8 Suwarsono, Perubahan Sosial dan Pembangunan (Jakarta:
LP3ES, 2006), 23.
-
22
di dalam kota. Geertz menggunakan istilah “hollow town) (kota
kosong) untuk
menggambarkan situasi di mana suatu masyarakat kota bukan
merupakan struktur
sosial yang terintegrasi namun lebih bersifat kombinsi daripada
masyarakat-
masyarakat kecil.9
Melalui suatu proses yang digambarkan di atas, ada kesadaran
yang
semakin tumbuh tentang masalah-masalah bersama, suatu
peningkatan rasa
perkotaan. Penghuni kota menyadari bahwa mereka akan pindah
keluar dari
lingkungan wilayah tempat tinggal maupun dari pekerjaan mereka
untuk
menduduki posisi sosial dan pemukiman yang baru. Karena
monopolisasi etnis
pekerjaan yang tradisional sedang mengalami keruntuhan, maka
kesempatan-
kesempatan bekerja, dalam teori, terbuka untuk semua anggota
kelompok etnis.10
Sedangkan melihat dinamika kelompok masyarakat pedesaan, bahwa
dalam
perpaduan beberapa orang atau kelompok suku atau keturunan di
pedesaan
dilatarbelakangi oleh dorongan upaya untuk memenuhi kebutuhan
yang sama dari
sekumpulan individu. Situasi ini oleh Cooley11 disebut community
atau masyarakat
setempat (selanjutnya disebut komunitas). Menurut Cooley12,
identitas sosial
9Clifford Geertz, The Social History of an Indonesia Town (MIT
Press, Cambridge 1965), 153-
204. 10Hans-Dieter Evers, Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan
Sengketa Tanah di Indonesia dan
Malaysia (Jakarta: LP3ES, 1982), 58. 11Charles Horton Cooley,
Human Nature and the Social Order (New York: Scribners, 2005),
5. 12Cooley populer dengan salah satu konsep dalam karyanya,
“Concept of the Looking Glas
Self”, bahwa konsep hubungan diri ini atau bagaimana seseorang
memandang diri sendiri bukanlah fenomena tersendiri. Melainkan
mencakup hal-hal lain. Ia mengatakan bahwa masyarakat dengan
-
23
komunitas adalah anggota-anggota kelompok secara fisik
berdekatan satu sama lain
jumlah anggotanya kecil, kelanggengan hubungan antar anggota
kelompok dan
keakraban relasi sosial.13
2. Kontruksi Kultural Masyarakat Urban
Masyarakat perkotaan sering diidentikan dengan masyarakat modern
dan
dipertentangkan dengan masyarakat pedesaan yang akrab dengan
sebutan
masyarakat tradisional, terutama dilihat dari aspek kulturnya.
Masyarakat modern
adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai
orientasi nilai
budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban masa kini. Pada
umumnya
masyarakat modern tinggal di daerah perkotaan sehingga disebut
masyarakat kota.
Masyarakat modern sering dibedakan antara masyarakat pedesaan
dengan
masyarakat perkotaan. Tetapi perbedaan tersebut tidak mempunyai
hubungan
dengan pengertian masyarakat sederhana karena dalam masyarakat
modern,
seberapapun kecilnya desa, tentu ada pengaruh dari kota.
Pembedaan antara
masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, pada hakikatnya
bersifat gradual.
Sulit untuk memberikan batasan yang dimaksudkan dengan perkotaan
karena
adanya hubungan konsentrasi penduduk dengan gejala-gejala sosial
yang
dinamakan urbanisme.
individu tidak menunjukkan fenomena yang dapat dipisahkan, namun
hanya aspek kolektif dan distributif dari hal yang sama. Lebih
lanjut Cooley juga menegaskan bahwa manusia memiliki kecenderungan
yang melekat untuk menjangkau, berinteraksi, atau bersosialisasi
dengan orang-orang atau benda-benda yang mengelilinginya.
13Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja
Grafmdo Perada, 1982), 138.
-
24
Masyarakat perkotaan sering disebut juga urban community.
Pengertian
masyarakat kota lebih ditekankan pada sifat-sifat kehidupannya
serta ciri-ciri
kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Perhatian
khusus
masyarakat kota tidak terbatas pada aspek-aspek seperti pakaian,
makanan dan
perumahan. Tetapi mempunyai perhatian lebih luas lagi.
Orang-orang perkotaan
sudah memandang penggunaan kebutuhan hidup, artinya oleh hanya
sekedarnya
atau apa adanya. Hal ini disebabkan oleh pandangan warga kota
sekitarnya. Kalau
menghidangkan makanan misalnya, yang diutamakan adalah bahwa
yang
menghidangkannya mempunyai kedudukan sosial yang tinggi.
Kehidupan
keagamaan masyarakat perkotaan berkurang jika dibandingkan
dengan kehidupan
keagamaan di desa. Kegiatan-kegiatan keagamaan hanya berpusat
pada tempat
peribadatan, seperti Masjid, Gereja. Sedangkan di luar itu,
kehidupan masyarakat
berada dalam lingkungan ekonomi, perdagangan. Cara kehidupan
demikian
mempunyai kecenderungan ke arah keduniawian, jika dibandingkan
dengan
kehidupan masyarakat desa yang cenderung ke arah keagamaan yang
ketat.14
Masyarkat perkotaan pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri
tanpa
harus bergantung pada orang lain. Yang terpenting di sini adalah
manusia
perorangan atau individu. Jalan pikiran rasional yang pada
umumnya dianut
masyarakat perkotaan, menyebabkan bahwa interaksi-interaksi yang
terjadi lebih
14 Hans-Dieter Evers, Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan
Sengketa Tanah di Indonesia dan
Malaysia (Jakarta: LP3ES, 1982), 7-8.
-
25
didasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi.
Perubahan-perubahan
sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab kota-kota
biasanya terbuka dalam
menerima pengaruh-pengaruh dari luar. Hal ini sering menimbulkan
pertentangan
antara golongan satu dengan golongan lainnya. Seperti dikatakan
Daniel Lemer
dalam teori modernisasinya yang terkenal, bahwa dengan adanya
urbanisasi timbul
struktur-struktur komunikasi, yang secara psikologi individual
dinamakan “empati”,
yaitu kemampuan psikologis seseorang membayangkan dirinya dalam
peranan
sosial lain yang ada di waktu itu.15
Kota merupakan suatu masalah tersendiri. Kota bukan merupakan,
seperti
halnya desa, suatu struktur sosial yang kurang lebih homogen,
yang unsur-unsurnya
cenderung terulang-ulang seperti suatu corak kertas hiasan
dinding (yang berjumbai
di pinggir-pinggirnya) di sekuruh pedesaan. Kota lebih merupakan
suatu gabungan,
dan hanya tersusun secara kebetulan dari struktur-struktur
sosial yang terpisah-
pisah, dan yang paling penting adalah birokrasi pemerintahan,
jaringan pasar, dan
semacam versi terbalik dari sistem desa.16 Masyarakat perkotaan
yang kita ketahui
selalu identik dengan sifat yang individual, egois,
materialistis, penuh kemewahan,
dikelilingi gedung-gedung yang menjulang tinggi, perkantoran
yang mewah, dan
pabrik-pabrik yang besar. Asumsi dasar kita tentang kota adalah
tempat kesuksesan
seseorang. Kehidupan masyarakat kota, lebih melihat kota pada
dua sisi, yaitu
15 Daniel Lemer, The Passing of Traditional Society (New York:
The Free Press, 1958). 16 Clifford Geertz, The Social History of an
Indonesian Town (Cambridge: Massachussets,
1965), 24.
-
26
aspek fisik dan aspek mental. Pertama aspek fisik, pada aspek
fisik ini lebih melihat
pada aspek struktur sosial kota yang dapat diperinci dalam
beberapa gejala sebagai
berikut:
a. Heterogenitas sosial. Kehidupan penduduk mendorong
terjadinya
persaingan dalam pemanfaatan ruang. Orang dalam bertindak
memilih-
milih yang paling menguntungkan bagi dirinya sehingga
tercapai
spesialisasi.
b. Hubungan sekunder, Jika hubungan antarpenduduk di desa
disebut
primer, hubungan atarpenduduk di kota disebut sekunder.
Pengenalan
dengan orang lain serba terbatas pada bidang hidup tertentu. Hal
ini
karena tempat tinggal juga cukup terpencar dan saling mengenal
hanya
menurut perhatian antarpihak. Pengawasan sekunder. Di kota
orang
tidak memedulikan perilaku pribadi sesamanya. Meskipun ada
kontrol
sosial, sifatnya nonpribadi. Selama tidak merugikan bagi
umum,
tindakan dapat ditoleransikan.
c. Toleransi sosial. Orang-orang kota secara fisik berdekatan,
tetapi secara
sosial berjauhan.
d. Mobilitas sosial. Di sini yang dimaksudkan adalah perubahan
status
sosial seseorang. Orang menginginkan kenaikan dalam jenjang
kemasyarakatan. Dalam kehidupan kota, segalanya
diprofesionalkan,
-
27
dan melalui profesinya orang dapat naik posisinya. Selain usaha
dan
perjuangan pribadi untuk berhasil, secara kelompok seprofesi
juga ada
solidaritas kelas. Ikatan sukarela. Secara sukarela orang
menggabungkan diri ke dalam perkumpulan yang disukainya.
Individualisasi. Ini merupakan akibat dari sejnis atomisasi.
Orang dapat
memutuskan hal-hal secara pribadi, menentukan kariernya
tanpa
desakan orang lain. Segregasi keruangan. Akibat kompetisi
ruang
terjadi pola sosial berdasarkan persebaran tempat tinggal
sekaligus
kegiatan sosial-ekonomis. Maka terjadilah semacam pemisahan
berdasarkan ras. Misalnya ada wilayah kaum Cina, Arab, orang
patuh
beragama (kauman) dan lainnya.
Kedua, aspek mental lebih melihat pada aspek kejiwaan
masyarakat
kota. Adapun kejiwaan masyarakat kota dapat diperinci atas
beberapa
gejala. Atomisasi dan pembentukan massa, kepekaan terhadap
rangsangan dan sikap masabodo, egalisasi dan sensasi,
industri
kesenangan dan pengisisan waktu luang.17
Di samping karakteristik masyarakat urban yang telah dijelaskan
di atas,
dalam masyarakat urban beragam bentuk rumah adat yang kaya di
Indonesia,
menunjukkan hasil yang utuh dari usaha masyarakat mencakup
tempat hunian bagi
17 Daldjoeni, Seluk Beluk Masyarakat Kota (Bandung: Alumni,
1997), 51-57.
-
28
keluarganya. Perkembangan ini mengandung unsur tanggungjawab
setiap keluarga
mengupayakan pengadaan perumahannya sendiri, baik secara
individual maupun
kolektif. Proses perumahan dikembangkan atas dasar unit keluarga
sebagai intinya,
terintegrasi secara imbang dengan lingkungan sekitarnya. Ini
adalah ciri pokok
perkembangan rumah adat Indonesia yang sekaligus membuktikan
bahwa
perumahan berada dalam dua dominan berbeda yaitu: domein privat,
yakni upaya
merumahkan sendiri yang berlawanan dengan perumahan domein
publik yang
berupaya merumahkan warga secara formal. Pola perumahan yang
diusahakan oleh
masyarakat masih terus berlangsung, baik di kota maupun desa
dalam keadaan dan
proses yang berbeda, karena daya dukung lingkungan sudah amat
terbatas dan
kemampuan masyarakat umumnya rendah.18
Kota adalah ruang domisili sekaligus arena sosialisasi dan
praktik budaya
para pemukimnya. Ekspresi kultural itu dapat diakomodasi secara
selayaknya.
Dinamika kehidupan masyarakat urban dalam mencari sebuah
identitas baru
sebagai eksistensi dalam sebuah kelompok atau komunitasnya tak
lepas dari
kontruksi lingkungan sosial, budaya dan tradisi. Lingkungan,
bagi masyarakat urban
mendorong untuk mengekspresikan diri dan terlibat dalam
komunitas atau
18 Lihat Freek Colombijn, Martine Barwegen, Purnawan Basundoro,
Johny Alfian Khusyairi,
(eds.), Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia
(Jakarta: Ombak, 2005), 3.
-
29
pengorganisasian sebuah pemukiman. Pada situasi inilah
masyarakat urban akan
menentukan identitasnya yang baru.19
Studi-studi sosial secara definitif mengenal istilah pembedaan
masyarakat
dalam dua tipologi, yaitu masyarakat pedesaan dan perkotaan.
Desa didefinisikan
sebagai wilayah sosial dengan karakteristik khas masyarakatnya,
seperti
mengutamakan harmonisasi ketimbang konflik, mematuhi nilai
tradisional, memiliki
semangat kolektivitas, kekeluargaan, dan berbagai karakteristik
sopan-santun atau
ramah-tamah lainnya. Sedangkan kota digambarkan sebagai wilayah
yang dihuni
oleh masyarakat berkarakteristik individualis, egois,
kompetitif, produktif, dan
berbagai karakteristik manusia modern lainnya. Menilik pada
tipologi tersebut,
Durkheim menyatakan bahwa perubahan yang terjadi dalam
masyarakat solidaritas
mekanik ke masyarakat solidaritas organik.20
Maka kedua tipologi masyarakat di atas dapat dipetakan bahwa
Desa
merupakan sebuah pengertian sosial atau konsep yang merujuk pada
orang-orang
atau sekumpulan individu, yang saling berhubungan antara satu
sama lain dan
tinggal di suatu tempat di luar daerah perkotaan. Hubungan
sosial masyarakat
pedesaan kerap didasarkan pada kekuatan ikatan tali
persaudaraan, kolektifitas,
kekeluargaan dan ikatan perasaan secara psikologis.
Hubungan-hubungan sosial
19Lebih lanjut bisa dilihat dalam karyanya Derya Oktay, “The
quest for urban identity in the
changing context of the city northern cyorus”,
http://ww.webjournal.unior.it (www.elsevier.com/locate/cities), The
International Journal of Urban Policy and Planning, Cities, Vol.
19, No. 4, pp. 261–271, 2002, 261.
20Durkheim, The Division of Labour,,
http://ww.webjournal.unior.it/http://www.elsevier.com/locate/cities
-
30
pedesaan mencerminkan kesatuan-kesatuan kelompok yang didasari
hubungan
kekerabatan atau garis keturunan.21
3. Kerangka Konseptual tentang Identitas Urban
Kota adalah produk fisik dari tautan berbagai macam jaringan
yang saling
bekerjasama, seperti jaringan ekonomi, budaya, sosial dan
politik. Kota merupakan
produk budaya yang beragam satu dengan lainnya, karena
jaringan
pembentukannya sangat beragam. Menurut Munford (1968), kota
sangat spesifik
terhadap budaya, tidak ada dua kota pun yang sama persis,
meskipun memiliki latar
belakang budaya yang serupa. Meskipun tiap kota sangat spesifik,
tetapi Lynch
percaya bahwa ada kesepakatan publik mengenai elemen-elemen yang
dikenal
pada suatu kota.22
Identitifikasi citra kota dengan proses yang panjang dapat
membentuk
identitas baru sebuah kota. Kevin Lynch mendefinisikan identitas
urban tidak dalam
arti keserupaan suatu obyek dengan yang lain, tetapi justru
mengacu kepada makna
individualitas yang mencerminkan perbedaannya dengan obyek lain
serta
pengenalannya sebagai entitas tersendiri. Lynch menegaskan bahwa
identitas kota
adalah citra mental yang terbentuk dari ritme biologis tempat
dan ruang tertentu
21Durkheim, The Division of Labour,,, 22 Kevin Lynch , A Theory
of Good City Form (M.I.T. Press, Cambridge, Massachusetts,
1981)
-
31
yang mencerminkan waktu (sense of time), yang ditumbuhkan dari
dalam secara
mengakar oleh sosial, ekonomi, budaya masyarakat kota itu
sendiri.23
Teori identitas urban ini dipengaruhi oleh teori yang
diformulasikan Kevin
Lynch, seorang tokoh peneliti kota. Risetnya yang cukup populer
didasarkan pada
citra mental jumlah penduduk dari kota tersebut. Dalam risetnya,
ia menemukan
bahwa betapa pentingnya citra mental karena citra jelas akan
memberikan banyak
kontribusi penting bagi masyarakatnya, seperti kemampuan untuk
berorientasi
dengan mudah dan cepat disertai perasaan nyaman, identitas yang
kuat terhadap
suatu tempat, dan keselarasan hubungan dengan tempat-tempat
lain. Menurut
Lynch, bahwa citra lingkungan merupakan proses dua arah antara
pengamat
dengan benda yang diamati, atau disebut juga sebagai kesan atau
persepsi antara
pengamat terhadap lingkungannya. “The creation of the
environmental image is a
two way process between observer and observed” Agrumentasi Lynch
di atas
menandakan bahwa dalam proses pembentukan sebuah identitas urban
terbentuk
melalui suatu pengamatan citra atas kota itu sendiri, hal ini
dapat berkembang
dengan waktu yang lama untuk menjadi sebuah identitas kolektif
(masyarakat
urban). Citra bukanlah identitas urban, melainkan sebuah
identitas urban dapat
dibentuk oleh proses pemaknaan citra kota.24
23 Kevin Lynch, The Image of The City (M.I.T. Press, Cambridge,
Massachusetts, 1960), 131. 24 Kevin Lynch, The Image of The
City,,
-
32
Identitas sebagai seuatu ciri khas sebuah kota berarti sesuatu
yang secara
kuat menunjukkan kesamaan dan kesatuan, sehingga dapat dibedakan
dari yang
lainnya. Seperti yang dikemukakan oleh Kevin Lynch, ia
beranggapan bahwa
identitas kota adalah sesuatu hal unik yang membedakan dengan
kota lainnya.
Identitas sebuah kota memiliki peranan penting bagi masyarakat
lokal maupun
pengunjung dalam konteks berbeda, karena kota-kota secara
bertahap berubah dan
berevolusi ke dalam bentuk yang baru, dan identitas perkotaannya
dibentuk melalui
interaksi kompleks antara elemen-elemen alam, sosial, dan
lingkungan yang
terbagangun.25 Namun secara teknis, identitas perkotaan
merupakan sesuatu yang
secara tegas konstan dalam konteks perubahan tersebut.
Lingkungan perkotaanpun
harus dipertimbangkan dalam perspektif kesejarahan, tidak hanya
sejarah dari
arsitektur bangunan yang dibangun sebelumnya, melainkan
keseluruhan kehidupan
sosial ekonomi perkotaannya, dengan pertimbangan utama terhadap
kehidupan
manusiannya, bentuk bangunan dan alam.26
Kota-kota terus berubah dan berkembang dalam bentuk baru, di
mana
identitas perkotaan diciptakan melalui interaksi yang kompleks
dari unsur-unsur
alam, sosial dan bangunan. Oleh karena itu, lingkungan perkotaan
harus
dipertimbangkan dari perspektif sejarah, bukan hanya dengan
memahami
25 Derya Oktay, “How Can Urban Context Maintain Urban Identity
and Sustainability?:
Evaluations od Taormina (Sicily) and Kyrenia” (North Cyprus).
http://ww.webjournal.unior.it (www.elsevier.com/locate/cities)
26Gede Budi Suprayoga, “Identitas Kota Sawahlunto Paska Kejayaan
Pertambangan Batu Bara”, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol.
19 / No. 2 Agustus 2008, 2.
http://ww.webjournal.unior.it/http://www.elsevier.com/locate/cities
-
33
signifikansi historis bangunan, namun melalui evaluasi perkotaan
konteks lokal.
Sehubungan dengan aktivitas manusia, bentuk bangunan dan alam.
Tingkat yang
paling dasar, kota-kota diidentifikasi dalam hal pengaturan
geografis mereka;
namun unsur-unsur yang dibangun adalah bentuk paling penting
dalam
mempengaruhi identitas kedua dengan cara yang positif dan
negatif dalam waktu
singkat. Hal ini juga penting dalam penciptaan “dalam arti
tempat”, merupakan
faktor penting guna mencapai identitas dan keberlanjutan
pemukiman perkotaan
seperti yang dinyatakan oleh banyak theoritis.27 Identitas
perkotaan erat terkait
dengan keberlanjutan perkotaan, faktor penting untuk
meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat urban di kota, mencakup aspek-aspek
lingkungan, ekonomi
dan sosial.
Berdasarkan sudut demografis, kota dirumuskan sebagai
pengelompokan
orang atau penduduk dalam ukuran jumlah dan wilayah tertentu.
Sebagai suatu
prosedur yang umum, kota (urban) adalah tempat pemukiman yang
mempunyai
jumlah penduduk besar. Masyarakat perkotaan sering disebut juga
urban
community. Pengertian ini lebih ditekankan pada sifat-sifat
kehidupan serta ciri-ciri
kehidupan yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Perhatian
khusus
masyarakat kota tidak terbatas pada aspek-aspek, seperti
pakaian, makanan dan
27 Lihat juga Derya Oktay, “How can urban context maintain urban
identity and
sustainability?: Evaluations of Taormina (Sicily) and Kyrenia
(North Cyprus” (www.elsevier.com/locate/cities), The International
Journal of Urban Policy and Planning, Cities, Vol. 19, No. 4, pp.
261–271, 2006, 1-4.
http://www.elsevier.com/locate/cities
-
34
perumahan, tetapi lebih luas lagi.28 Dalam kajian kehidupan
keberagamaan, banyak
ahli menggunakan konsep Geertz tentang agama yang melihatnya
sebagai pola
bagi tindakan. Dalam hal ini agama merupakan pedoman yang
dijadikan sebagai
kerangka interpretasi tindakan manusia. Selain itu, agama juga
merupakan pola
dari tindakan, yaitu sesuatu yang hidup dalam diri manusia dan
tampak dalam
kehidupan kesehariannya. Di sini agama dianggap sebagai bagian
dari sistem
kebudayaan.29
Pola bagi tindakan terkait dengan sistem nilai atau sistem
evaluatif, dan
pola dari tindakan terkait dengan sistem kognitif atau sistem
pengetahuan
manusia. Hubungan antara pola bagi dan pola dari tindakan itu
terletak pada
sistem simbol yang memungkinkan pemaknaan dilakukan.30 Maka
Geertz juga
menekankan bahwa kontruksi sosial terkait dengan sistem
pengetahuan atau
refleksi dan pengetahuan berkesadaran yang melibatkan
seperangkat pengalaman
manusia di dalam kaitannya dengan sosial kulturalnya.31 Tradisi
lokal mengandung
ambivalensi. Sebagai alat untuk menciptakan lokasi sosial dan
membentuk
solidaritas di suatu ruang yang terbatas, yang berada di atas
segala perbedaan dan
keberadaan dalam status sosial, prestise kultural, dan
peluang-peluang ekonomi,
28 Adon Nasrullah Jamaludin, Sosiologi Perkotaan: Memahami
Masyarakat Kota dan
Problematikanya (Bandung: Pustaka Setia, 2015), 35-44. 29
Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1992),
8-9. 30Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2005), 1-2. 31
Lihat juga Mark R. Woodward dalam tulisannya Islam Jawa: Kesalehan
Normatif versus
Kebatinan (Yogyakarta: LkiS, 2001), 366.
-
35
tradisi lokal memang dapat menegakkan integrasi sosial. Tetapi
pada saat yang
sama menyebabkan terciptanya batas-batas dan garis pemisah baru.
32 Solidaritas
sosial masyarakat urban dalam merepresentasikan religositasnya
dapat dielaborasi
melalui serangkaian interaksi masyarakat dengan sistem ruang.
Ruang sebagai
kelengkapan yang terdiri dari kekuatan simbolisme dalam
membangun jaringan
bangunan terjadi dominasi dan subordinasi. Ruang juga membentuk
solidaritas dan
kerjasama antar manusia.33
Ruang sosial memiliki keragaman objek, alam dan sosial,
termasuk
didalamnya jaringan dan jalur yang mampu memfasilitasi
pertukaran suatu barang
dan informasi. Pada prinsipnya, ruang sosial tidak selalu
jaringan pertukaran barang
saja tetapi juga relasi yang terbangun. Ruang dapat
mengkontruksi masyarakat
secara alami tanpa selalu mempengaruhi secara
materialitas.34
Social space contains a great diversity of objects, both natural
and social, including the networks and pathways which facilitate
the exchange of material things and information. Such 'objects' are
thus not only things but also relations. As objects, they possess
discernible peculiarities, contour and form. Social labour
transforms them, rearranging their positions within spatia-temporal
configurations without necessarily affecting their materiality,
their natural state.
32 Hans Dieter Evers dan Rudigrff, Urbanisme di Asia Tenggara;
Makna dan Kekuasaan
dalam Ruang-Ruang Sosial (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2002), 168. 33 Peter Conoly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama
(Yogyakarta: LKiS, 2002), 36. 34 Henri Lefebvre, The Production of
Space (Oxford, OX, UK: Cambridge, Massachusets,
USA: Blackwell, 1991), 76-77.
-
36
B. Teori Hibriditas atau Liminalitas Hommi K. Bhabha
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan “integrasi”
sebagai
pembauran hingga menjadi kesatuan. Kata kesatuan mengisyaratkan
berbagai
macam elemen yang berbeda satu sama lain mengalami proses
pembauran. Jika
pembauran telah mencapai suatu perhimpunan, maka gejala
perubahan ini dinamai
integrasi. Dalam bahasa inggris, integrasi (integration) antara
lain bermakna
keseluruhan atau kesempurnaan.35 Homi K. Bhabha adalah seorang
doktor filsafat
dari Oxford University yang lahir dalam masyarakat Paris Bombay,
India. Bhabha
juga seorang pengajar di beberapa universitas, antara lain
Princeton, Pennylvania,
juga School of Cristism and Theory di Darmouth Coledge. Kajian
pascakolonial
Bhabha cukup dipengaruhi oleh para pemikir post-strukturalis
seperti Jacques
Derrida, Jacques Lacan, dan Michel Foucault. Bagi Bhabha antara
teori dengan
praktek tidak dapat dipilih salah satu saja untuk dikritik.
Teori dan praktek berada
bersebelahan. Teori adalah wahana ideologi dan dalam
mewujudkannya, teori
menciptakan situasi politis. Dengan menyandingkan teori dan
praktek, Bhabha
berusaha menemukan pertalian dan ketegangan antara keduanya yang
melahirkan
hibriditas. Bhabha melukiskan bagaimana budaya-budaya itu
bergerak keluar masuk
ruang ketiga dengan indahnya.36
35 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Jakarta:
Balai Pustaka, 1998). 36 36Homy K Bhabha, The Location of Culture
(London and New York: Routletge, 1994), 36.
-
37
Sistem budaya sebagai identitas kultural merupakan
representasi
masyarakat hibrid, dan beragam kultur membuka ruang kontruksi
suatu
kebudayaan dalam masyarakat dengan pemaknaan baru yang terus
berkembang.
Seperti kata Hommi K. Bhaba, budaya dan sistem budaya terbentuk
dalam ruang
ketiga. Independensi itu mengambil wajah dalam hibriditas. Di
mana, hibriditas
identitas memunculkan diri dalam budaya, bahasa, ras dan
sebagainya. Menurut
Benhabib (2000), budaya adalah konteks di mana kita perlu
menempatkan diri,
untuk itu hanya berdasarkan interpretasi, orientasi dan
nilai-nilai yang diberikan
oleh budaya bahwa kita dapat merumuskan identitas kita untuk
mengatakan, ‘siapa
kita’ dan ‘darimana kita berasal’.37
Berdasarkan pandangan Bhabha, maka cultural studies memaknai
identitas
sebagai sebuah entitas yang dapat diubah menurut sejarah, waktu
dan ruang
tertentu. Identitas bukanlah sesuatu yang melekat begitu saja,
tetapi merupakan
serangkaian proses yang terus berkembang menjadi seperti yang
tercitrakan.
Mereka membuat dan mendefinisikan dirinya dalam sebuah kontruksi
yang ideal
tentang diri mereka. Sebagai konsekuensinya mereka akan
tergabung dalam sebuah
solidaritas kebersamaan atas dasar gagasan yang serupa. Dengan
demikian, proses
identifikasi seseorang dari pengaruh lngkungan sosial sehingga
melahirkan sebuah
identitas baru sangat dimungkinkan. Sebagimana Canclini yang
mengintrodusir
37 Culture is the context within which we need to situate the
self, for it is only by virtue of
the interpretations, orientations and values provided by culture
that we can formulate our identities, say ‘who we are’, and ‘where
we are coming from
-
38
kecenderungan persentuhan budaya antar kultur ini sebagai budaya
hibrida atau
hybrid culture (budaya hybrid).38
Upaya mewujudkan identitas sosial dapat dijembatani oleh Homi K
Bhabha
dalam karyanya “The Location of Culture”, ia menyatakan bahwa
keterikatan
multikultural merupakan hasil dari kesadaran bersama atas apa
yang dirasakan
bersama oleh masyarakat tradisional yang lahir sepanjang sejarah
itu terjadi.
Bahkan suatu perbedaan dalam lintas budaya tidak bukanlah
sesuatu penghalang
atas kesedaran dimana mereka menempati ruang yang sama.
Pemahaman atas
hibriditas ini bukan sekedar nalar final atau sebuah realitas,
tetapi bagaimana kita
menuju artikulasi aktivitas manusia yang memberi nilai
rasionalitas yang ia
rasakan.39 Rumusan tentang hybrid culture bukanlah sesuatu yang
baru di
Indonesia, sebagaimana Soekarno pada pidatonya menjawab
permintaan BPUPKI
tentang dasar negara Indonesia yang segera berdiri dengan sangat
sadar memilih
pandangan yang khas dianut oleh Barat, yakni mendasarkan negara
pada
38Bagi Canclini, dijelaskan dalam bukunya Hybrid Cultures:
Strategies for Entering and
Leaving Modernity (Minneapolis London: University of Minnesota
Press, 1995), xxiii. Bahwa studi tentang hibriditas telah mengubah
bicara tentang identitas, budaya, perbedaan, ketidaksetaraan, multi
budaya, dan tentang pasangan konseptual yang digunakan untuk
mengatur konflik dalam ilmu sosial. Yakni tradisi atau modernitas,
lokalitas atau global. Mengapa isu hibriditas begitu penting, bagi
Canclini istilah hibriditas secara khusus untuk mengidentifikasi
merupakan hasil dari karakterisasi konsekuensi sejak awal
modernitas, bahasa elit dan populer pasca terjadinya ekspansi Eropa
ke Amerika. Canclini berpendapat bahwa inti dari gagasan budaya
hibrid adalah gagasan antropologi yang berfokus pada tradisi dan
sosiologi dengan berkonsentrasi pada modernitas. Di samping itu
juga studi hibriditas ini merupakan disiplin dalam mempelajari
produksi ketidaksetaraan melalui segmentasi pasar tenaga kerja di
mana perbedaan dalam pekerjaan, gaji, dan status beralih ke
kelompok yang berada berdasarkan faktor-faktor kelas, jenis
kelamin, dan ras.
39Homy K Bhabha, The Location of Culture (London and New York:
Routletge, 1994), 245-247.
-
39
kebangsaan, bukan pada etnis, agama, atau pandangan politik.
Dengan demikian,
identitas Indonesia akan terus berada dalam ruang tarik-ulur
yang bergerak, yakni
ruang ketiga, ruang ambang.40
Berkembangnya perayaan ritual keagamaan yang dibingkai model
kebudayaan lokal secara kolektif, Canclini dalam argumentasinya
cukup meyakinkan,
bahwa identias bukanlah sesuatu yang melekat begitu saja. Tetapi
merupakan
serangkaian proses yang terus menerus berkembang menjadi seperti
yang
tercitrakan (dalam hal ini simbol-simbol ritual sosial kegamaan
dan kebudayaan).
Sebagaimana Canclini yang mengintrodusir kecenderungan
persentuhan budaya
antar kultur ini sebagai hybrid culture (Canclini, 1995). Maka,
ruang-ruang bersama
dalam tradisi kultural keagamaan masyarakat urban merupakan
jalan yang kuat
untuk menjadi identitas kolektif. Tradisi ini sebagai strategi
adaptasi masyarakat
muslim dalam menghadapi dinamika zaman. Secara lebih luas,
pemaknaan terhadap
tradisi sebagai bentuk konstruksi simbol komunal yang mengikat
bersama. Maka
konstruksi dimaksudkan di atas sebagai bentuk penempelan
simbol-simbol kultural
yang kemudian menjadi identitas pribadi atau kolektif. Kontruksi
kultural seperti
yang dijelaskan Homi K. Bhaba di atas, mengembangkan hibriditas
dalam wacana
antara asli dan campur dengan konteks kekuasaan politik kultural
penjajah di mana
ia merumuskannya bahwa hibriditas merupakan produk kontruksi
kultural kolonial
40 Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed), Hermeneutika
Pascakolonial (Yogyakarta:
Kanisius, 2004), 152.
-
40
yang mau tetap membagi strata identitas murni asli penjajah
dengan ketinggian
kultur yang didiskriminasikan dengan kaum campuran.
Hybridity is the sign of productivity og colonial power, its
shifting forces and fixities: it is the name for the strategic
reversal of the process of domination through disavowl (that is,
the production of discriminatory identities that scure the pure an
original identity of authority). Hybridity is the revolution of the
assumption of colonial identity through the repetition of
discriminatory identity effects.41
Bhabha membangun pemikiran tentang hibriditas di atas fondasi
pemikiran
Edward Said dan Fanon. Bhabha belajar dari Said melalui karyanya
yang klasik,
Orientalisme bahwa kecenderungan studi orang Eropa terhadap Asia
bersifat Eropa
centris dan oposisi biner. Menurut Said, studi orientalisme
adalah upaya untuk
menjinakkan orang Asia dan memandang mereka sebagai subyek yang
diam, di
bawah kuasa Eropa. Hasilnya, gambaran tentang Timur adalah
gambaran yang
homogen, baku dan merendahkan.42 Dari Fanon, yang mengkaji
mereka yang
terjajah dalam buku Black Skin White Masks, Bhabha belajar bahwa
dari sisi orang
yang dijajah ada hasrat untuk menjadi sama sekaligus takut
terhadap penjajah.43
Proses elaborasi pemikiran di atas, Bhabha mengintegrasikan
keduanya. Bagi
Bhabha, relasi penjajah dan pihak terjajah bukan oposisi biner.
Dalam relasi tersebut
ada timbal balik di antara mereka, si penjajah tidak pernah bisa
sepenuhnya
41 Homi K. Bhabha, “Sign Taken for Wonders” in H.L. Gates Jr.
(ed.), Chicago: Yniversity of
Chicago Press, 1985. 42 Homy K Bhabha, The Location,, 43 Fanon,
Black Skin White Masks, 1986.
-
41
menguasai si terjajah. Si terjajah tidak pernah sepenuhnya
takluk kepada penjajah.
Keadaan inilah yang membuka ruang negosiasi antara mereka.
Kelompok esensialisme meyakini, identitas adalah sesuatu yang
alami.
Argumentasinya bahwa seseorang atau sekelompok orang, secara
alami terlahir
sebagai orang beretnis tertentu. Secara natral, orang Jawa
misalnya, memiliki
karakteristik fisik dan budaya tertentu, yang membedakannya
dengan etnik yang
lain. Berbeda dengan kelompok anti esensialisme, yang
beranggapan bahwa
identitas sepenuhnya dibangun secara sosial. Karena itu tidak
ada yang disebut
identitas baku. Ien Ang dalam bukunya On Not Speaking Chinese44,
menjelaskan
bahwa Hibriditas merupakan cara pandang yang berada di luar
pemahaman
essensialisme dan anti essensialisme. Hibriditas
mempermasalahkan segala bentuk
identitas yang bersifat kaku. Dalam essensialisme, kekakuan dan
kebakuan itu
adalah etnik yang alami. Dalam anti essensialisme kekakuan itu
adalah pilihan bebas.
Hibriditas mampu melampaui batas etnis, tetapi tidak
menghapuskannya secara
total. Hibriditas mengaburkan batas sekaligus mengafirmasi batas
identitas dalam
pengertian yang cair. Dengan demikian, disini hibriditas menolak
pemahaman
essensialis yang melihat identitas sebagai sesuatu yang baku,
kaku, dan alami. Ia
juga menolak pandangan anti essensialisme yang memutlakkan
pilihan bebas
manusia dalam menentukan identitasnya. Hibriditas meyakini tidak
ada satu
44 Ien Ang, On Not Speaking Chinese: Living Between Asia and the
West (London:
Routledge, 2001)
-
42
kategori identitas yang murni. Bahkan, Ieng Ang juga menolak
pemahaman akan
identitas yang tidak punya batas sama sekali.45
Keberagaman kebudayaan dalam masyarakat multikultural
melahirkan
tradisi dan identitas lokal masyarakat beragama. William James
mengatakan untuk
mencapai kondisi kehidupan mereka dengan penyerahan diri dan
menahan hawa
nafsu guna memperoleh kebahagiaan yang penuh gairah, sesuai
dengan kebutuhan
mereka. Di sini pula agama menurut James telah memberikan kepada
anggota-
anggota dari setiap kelompok, itu suatu ikatan yang kuat untuk
kepercayaan
tradisional yang dihayati bersama tentang eksistensi kebudayaan
mereka. 46
Berbagai sumber, bentuk dan ekspresi suatu kebudayaan dimanapun
berada
merupakan perpaduan elemen tradisi lokal dengan keragaman budaya
dan tradisi
lokal yang lain. Pada perkembangan berikutnya perpaduan budaya
yang terjadi
bukan hanya berlangsung secara lokal atau antar etnis tetapi
lebih luas lagi, bahkan
merupakan sebuah langkah atau proses persilangan budaya
universal yang
berlangsung melalui interaksi sosial dan komunikasi budaya
dengan berbagai
bangsa dan media, diantaranya melalui medium kesenian, pergaulan
sehari-hari,
bahkan medium “tuker-tambah” budaya dengan unsur-unsurnya yang
spesifik.
(Adipurnomo, 2013:26). Proses ini menciptakan sebuah kolase atau
mosaik budaya
45 Darwin Darmawan, Identitas Hibrid Orang Cina (Yogyakarta:
Gading Publishing, 2014),
24-26. 46 Harold R. Issacs, Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis:
Kelompok dan Perubahan Politik
(Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 1993), 198.
-
43
baru, antara lain perpaduan antar dua unsur budaya atau lebih,
utamanya melalui
cara-cara tradisional yang diikuti terbentuknya entitas budaya
baru. Dalam kajian
Homy K Bhabha, salah satu tokoh dalam kajian poskolonial,
hibriditas merupakan
salah satu konsep yang penting.47
Seperti yang dikemukakan oleh Berger dan Luckmann, pergulatan
yang
terjadi dalam pembentukan identitas merupakan proses dialektika
yang terjadi
terus menerus dalam kehidupan manusia dengan lingkungan
sosialnya. Dialektika
tersebut terjadi dua arah, yaitu ke luar (antara individu dengan
lingkungan
sosialnya) dan ke dalam (antara kebutuhan individu dengan
identitas yang
terbentuk karena pengaruh lingkungan dan interaksi sosial).
Sementara Burke dan
Stets menyatakan, identitas terbentuk karena posisi interaksi
dan negosiasi terus-
menerus antara agensi atau pelaku dan struktur sosial.48
Gagasan tentang identitas masyarakat urban telah banyak
ditelitian.
Sebagaimana hasil riset beberapa karya yang didapat penulis,
setidaknya ada
beberapa contoh hasil penelitian, diantaranya: “The quest for
urban identity in the
changing context of the city northern cyorus”, salah satu karya
Derya Oktay,
pengajar di Eastern Mediterranean University. Derya Oktay, dalam
karyanya
berupaya menjelaskan dinamika masyarakat urban dalam mencari
sebuah identitas
baru melalui sebuah komunitas. Dalam hal ini Derya menawarkan
sebuah teori
47 Homy K Bhabha, The Location of Culture (New York: Routletge,
1994), 122. 48Benny Baskara, Islam Bajo Agama Orang Laut (Banten:
Javanica, 2016), 220-221.
-
44
identitas urban sebagai hasil studi kasus di konteks pemukiman
Cipriot.49 Identitas
masyarakat urban terus mengalami perubahan seiring perkembangan
sosial
budaya yang ada. Berbicara pada wilayah identitas kolektif,
seperti Dolores Hayden
menegaskan bahwa identitas erat dengan memori (Haydn, 1997:9).
Hal itu hadir
melalui suatu memori dan rasa antara masa lalu, sekarang dan
masa depan secara
kontinuitas. Membangun makna identitas memerlukan sebuah
kontinuitas narasi.50
Jika berbagai macam elemen yang berada satu sama lain merujuk
pada
kemajemukan sosial yang telah pula mencapai suatu kehidupan
bermasyarakat,
maka proses ini dinamai integrasi sosial. Dalam disiplin
sosiologi51, integrasi sosial
berarti proses penyesuaian unsur-unsur yang saling berbeda dalam
kehidupan
masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang
memiliki
keserasian fungsi. Dengan demikian, ada dua unsur pokok
integrasi sosial. Pertama,
pembauran atau penyesuaian, sedangkan unsur kedua adalah unsur
fungsional. Jika
kemajemukan sosial gagal mencapai pembauran atau penyesuaian
satu sama lain
maka kemajemukan sosial berarti disintegrasi sosial. Dengan kata
lain,
kemajemukan gagal membentuk (disfungsional) masyarakat.52
49Lebih lanjut bisa dilihat dalam karyanya Derya Oktay, “The
quest for urban identity in the
changing context of the city northern cyorus”,
(www.elsevier.com/locate/cities), The International Journal of
Urban Policy and Planning, Cities, Vol. 19, No. 4, pp. 261–271,
2002, 261.
50 William J.V Neill, Urban Planning and Cultural Identity (New
York: Routledge, 2004), 10. 51Emile Durkheim, The Division of
Labour in Society (New York: The Free Press a Dvision of
Macmillan, 1984), 158-160 52Muhammad, Semarangan Lintas,,
http://www.elsevier.com/locate/cities
-
45
Integrasi sosial di atas menjadi substansi daripada proses
identifikasi
identitas masyarakat urban. Identitas bukanlah sesuatu yang
alami, dapat
dikontruksi dan tidak tunggal. Jankis mengatakan bahwa identitas
dan identifikasi
mengindikasikan bahwa keduanya memiliki jalinan yang kuat.
Kontribusi teori ini
penekannannya mengenai pentingnya identifikasi sebagai rujukan
identitas, karena
tanpa tahapan identifikasi tidak akan memahami siapa adalah
siapa atau apa adalah
apa.53
53 Richard Jankins, Social Identity (London and New York:
Routledge Taylor&Francis Group,
2004), 1-3.