7 BAB II KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS DAN METODE PENELITIAN 1.1 Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran berisi dasar-dasar dan alur pikir dalam melaksanakan penelitian. Bagian ini terdiri dari sumber-sumber pustaka yang menjadi dasar penelitian dan konsep optimasi Agro Eco-Industrial Park (AEIP) berbasis industri tahu. 1.1.1 Pemodelan Sistem Model adalah gambaran dari suatu sistem nyata yang sedang berlangsung. Model dapat digunakan untuk memecahkan masalah dengan memperhatikan beberapa ciri atau perilaku suatu sistem nyata. Ada beberapa alasan dan manfaat menggunakan model (Simatupang, 1995): 1) Biaya terlalu mahal untuk melakukan percobaan atau rekayasa pada sistem nyata; 2) Tidak dimungkinkannya melakukan rekayasa pada sistem nyata; 3) Model dapat menyajikan/menampilkan elemen tertentu untuk menjelaskan perilaku sistem; 4) Model dapat digunakan untuk memprediksi perilaku sistem. Adapun tahapan dalam proses pemodelan adalah sebagai berikut: 1) Mendefinisikan masalah dan tujuan pembuatan model; 2) Membuat konsep keterkaitan antar variabel yang membentuk perilaku sistem; 3) Merumuskan formulasi dari perilaku model dalam bentuk fungsi yang memuat variabel-variabel;
31
Embed
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS DAN METODE …media.unpad.ac.id/thesis/240120/2017/240120170001_2_2943.pdf · Faktor-faktor tersebut dapat diperbaiki namun tidak dapat dikendalikan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
7
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS DAN METODE
PENELITIAN
1.1 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran berisi dasar-dasar dan alur pikir dalam melaksanakan
penelitian. Bagian ini terdiri dari sumber-sumber pustaka yang menjadi dasar
penelitian dan konsep optimasi Agro Eco-Industrial Park (AEIP) berbasis industri
tahu.
1.1.1 Pemodelan Sistem
Model adalah gambaran dari suatu sistem nyata yang sedang berlangsung.
Model dapat digunakan untuk memecahkan masalah dengan memperhatikan
beberapa ciri atau perilaku suatu sistem nyata. Ada beberapa alasan dan manfaat
menggunakan model (Simatupang, 1995):
1) Biaya terlalu mahal untuk melakukan percobaan atau rekayasa pada sistem
nyata;
2) Tidak dimungkinkannya melakukan rekayasa pada sistem nyata;
3) Model dapat menyajikan/menampilkan elemen tertentu untuk menjelaskan
perilaku sistem;
4) Model dapat digunakan untuk memprediksi perilaku sistem.
Adapun tahapan dalam proses pemodelan adalah sebagai berikut:
1) Mendefinisikan masalah dan tujuan pembuatan model;
2) Membuat konsep keterkaitan antar variabel yang membentuk perilaku sistem;
3) Merumuskan formulasi dari perilaku model dalam bentuk fungsi yang memuat
variabel-variabel;
8
4) Melakukan pengujian ketelitian dan validitas model;
5) Mengimplementasikan model yang telah teruji.
Tahapan tersebut digambarkan dalam Gambar 1.
Teori, Prinsip, Hukum,
Konsep, Asumsi,
Postulat, Pengalaman,
dan lingkup observasi
SISTEM NYATA
Masalah
Tujuan Studi Pendekatan Sistem
- Elemen
- Relasi
- Atribut
- Aktivitas
- Status
Model Konseptual
Karakterisasi Sistem
- Variabel sistem
- Relasi antarvariabel
- Sifat deterministik atau stokastik
- Statis atau dinamis
Formulasi Model
- Variabel simbolik
- Relasi dan fungsi
- Model formal
- Verifikasi model
- Analisis model
- Solusi model
Parameterisasi
Validasi Model
Implementasi Model
Pengumpulan data
- Penyampelan
- Pengukuran
Gambar 1. Tahap-tahap Pemodelan Sistem (Sumber: Simatupang, 1995)
Salah satu bentuk model adalah model matematis, yaitu gambaran dari suatu
sistem yang dinyatakan dalam notasi-notasi dan ungkapan matematika. Model
matematis mempunyai beberapa laba, yaitu: (1) dapat menggambarkan masalah
dengan cara yang singkat; (2) memudahkan penyelesaian masalah dengan
mempertimbangkan semua hubungan yang terkait secara bersamaan; dan (3)
9
menjadi jembatan dalam penyelesaian dengan komputerisasi. Di sisi lain, model
matematis memerlukan pendekatan dan asumsi untuk menyederhanakan masalah
sambil tetap memperhatikan validitas agar model dapat diselesaikan. (Hillier &
Lieberman, 1994).
1.1.2 Model Optimasi
Optimasi merupakan suatu studi permasalahan pengambilan keputusan yang
bertujuan mendapatkan hasil maksimal atau minimal melalui cara matematis dan
sistematis (Zhang, dkk., 2015). Dengan demikian model optimasi adalah suatu
model yang merepresentasikan permasalahan pengambilan keputusan untuk
mendapatkan hasil maksimal atau minimal.
Model optimasi memiliki tiga jenis variabel dasar: variabel keputusan, variabel
hasil dan variabel tak terkendali (atau parameter). Variabel keputusan merupakan
variabel bebas yang mewakili tindakan yang dilakukan oleh pengambil keputusan.
Variabel hasil adalah variabel tak bebas yang merupakan hasil dari tindakan
pengambilan keputusan, faktor-faktor yang tidak terkendali, dan hubungan antar
variabel. Variabel tidak terkendali (atau parameter) adalah faktor yang
memengaruhi variabel hasil tapi tidak dapat dikendalikan secara langsung oleh
pengambil keputusan. Faktor-faktor tersebut dapat diperbaiki namun tidak dapat
dikendalikan secara langsung karena dipengaruhi oleh elemen-elemen lingkungan
sistem. Jenis-jenis model optimasi misalnya linear programming, nonlinear
programming, multiobjective programming, dan bilevel programming. (Zhang,
dkk., 2015).
10
1.1.3 Goal Programming
Goal Programming adalah suatu model penyelesaian persoalan optimasi yang
melibatkan beberapa variabel keputusan disertai fungsi pembatas untuk mencapai
beberapa tujuan sekaligus (Tabucanon, 1988),. Goal Programming merupakan
teknik pengembangan dari Linear Programming dengan fungsi tujuan berbentuk
minimasi variabel-variabel penyimpangan (deviation variables) yang
menggantikan optimasi fungsi tujuan dalam Linear Programming. Variabel-
variabel penyimpangan ini dapat diberi prioritas atau bobot sesuai keinginan
pengambil keputusan. Bentuk umum Goal Programming dapat dituliskan sebagai
berikut:
Minimasi:
m
i
iuiioi dPdPz1
)( .............................. [6]
Dengan batasan:
n
j
iiijij bddxa1
)( , untuk i = 1, 2, ..., m ........ [7]
0,,
iij ddx untuk i = 1, 2, ..., m ........ [8]
j = 1, 2, ..., n ....... [9]
dengan xj adalah variabel dalam persamaan goal, bi adalah target atau goal, aij
adalah koefisien variabel basis, di- menggambarkan kekurangan pencapaian dari
goal i, di+ menggambarkan kelebihan pencapaian dari goal i, Pui adalah prioritas
yang berhubungan dengan di-, dan Poi
adalah prioritas yang berhubungan dengan
di+. Jika kekurangan pencapaian yang berlebihan diijinkan, maka di
- harus
disingkirkan dari fungsi tujuan dan jika goal harus dicapai tepat seperti yang
ditentukan, maka di- dan di
+ harus ada dalam fungsi tujuan. Variabel penyimpangan
11
harus diperingkat (ranking) berdasarkan prioritasnya, dari yang paling penting ke
yang kurang penting. Jika goal dikelompokkan dalam sejumlah R peringkat, faktor
prioritas Pr (r = 1, ..., R) harus diberikan pada variabel-variabel penyimpangan.
Terdapat tiga tipe fungsi pembatas dalam formulasi model optimasi Goal
Programming: fungsi pembatas minimal, fungsi pembatas maksimal, dan fungsi
pembatas pada nilai tertentu (Fauziyah, 2016). Ketiga tipe fungsi pembatas tersebut
dijelaskan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Tipe-tipe Fungsi Pembatas dalam Formulasi Model Optimasi Goal
Programming
Tipe Fungsi Pembatas Formulasi Fungsi
Matematika
Variabel Deviasi yang
Diminimumkan
𝑓(𝑥) ≥ 𝑏1
𝑓(𝑥) ≤ 𝑏1
𝑓(𝑥) = 𝑏1
𝑓(𝑥) + 𝑑1− − 𝑑1
+ = 𝑏1
𝑓(𝑥) + 𝑑1− − 𝑑1
+ = 𝑏1
𝑓(𝑥) + 𝑑1− − 𝑑1
+ = 𝑏1
𝑑1−
𝑑1+
𝑑1−, 𝑑1
+ (Sumber: Fauziyah, 2016)
Ada empat filosofi yang mendasari Goal Programming, yaitu: kecukup-puasan
(satisficing), pengoptimalan (optimising), pengurutan atau pemeringkatan
(ordering/rangking), dan penyeimbangan (balancng). ‘Kecukup-puasan’ berarti
bahwa Goal Programming berupaya untuk mencapai beberapa tujuan yang
ditetapkan sekaligus sedekat mungkin sehingga jika tujuan-tujuan tersebut tercapai
maka akan memberikan kepuasan yang cukup bagi pengambil keputusan.
Pengoptimalan berarti bahwa Goal Programming akan mencari nilai terbaik dari
berbagai alternatif nilai yang mungkin di bawah serangkaian kendala atau batasan.
Pengurutan atau pemeringkatan berarti bahwa pengambil keputusan dapat
menetapkan uratan peringkat dalam pencapaian tujuan-tujuan yang ditetapkan
12
dalam model Goal Programming. Penyeimbangan diartikan sebagai pemerataan
pencapaian tujuan sehingga penyimpangan minimal yang dicapai secara merata
pada semua tujuan (Jones&Tamiz, 2010).
1.1.4 Agroindustri dan Agribisnis
Agribisnis adalah “suatu kesatuan kegiatan usaha yang meliputi salah satu atau
keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran yang ada
hubungannya dengan pertanian dalam arti luas” (Arsyad dkk., 1985 dalam
Soekartawi, 2005). Agribisnis dapat dibagi menjadi paling sedikit empat subsistem,
yaitu: (1) subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness) yang menyediakan
sarana pendukung pertanian seperti pupuk, pestisida, benih, bibit, alat dan mesin
pertanian; (2) subsistem usaha tani (on-farm agribusiness) atau pertanian budidaya;
(3) subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness) yang mengolah hasil
pertanian menjadi bahan baku atau produk jadi; serta (4) subsistem jasa layanan
pendukung seperti perkreditan, asuransi, transportasi, pergudangan, penyuluhan,
kebijakan, dll. (Saragih, 1998, dalam Soekardono, 2009).
Agroindustri memiliki dua arti, yaitu agroindustri sebagai industri yang
mengolah hasil pertanian, dan agroindustri sebagai tahapan pembangunan sebagai
kelanjutan dari pembangunan pertanian menuju pembangunan industri
(Soekartawi, 2005). FAO memberikan acuan bahwa industri yang menggunakan
minimal 20% bahan baku dari hasil pertanian dapat dikategorikan sebagai
agroindustri (Hicks, 1995 dalam Soekartawi, 2005).
Pembangunan agroindustri berkelanjutan adalah pembangunan agroindustri
yang memperhatikan aspek manajemen dan konservasi sumber daya alam sehingga
13
sesuai dengan daya dukung sumber daya alam, menguntungkan secara ekonomi,
dan diterima oleh masyarakat. Ciri-ciri dari agroindustri berkelanjutan adalah: (1)
produktivitas dan keuntungan dapat dijaga dan ditingkatkan untuk memenuhi
kebutuhan masa sekarang dan mendatang; (2) sumber daya pendukung (alam dan
pertanian) dapat dipelihara untuk menyediakan bahan baku secara terus menerus;
dan (3) dampak negatif dari pemanfaatan sumber daya dapat diminimalkan
(Soekartawi, 2005).
1.1.5 Ekologi Industri
‘Ekologi industri’ merupakan istilah yang digunakan untuk menganalogikan
sistem industri sebagaimana ekosistem alam yang mendaur ulang sumber daya
dengan sangat efektif sebagai model untuk kegiatan industri. Konsep ini mulai
dikenalkan oleh Frosch dan Gallopoulos pada 1989 dan disebut oleh beberapa ahli
sebagai ‘analogi biologis’. Pengertian lain dikemukakan oleh Robert White pada
1994 yang mendefinisikan ekologi industri sebagai “studi tentang aliran material
dan energi dalam kegiatan industri (produksi) dan konsumsi, dampak dari aliran ini
terhadap lingkungan, dan pengaruh faktor ekonomi, politik, kebijakan, dan sosial
pada aliran, penggunaan, dan transformasi sumber daya” (Lifset&Graedel, 2002).
Beberapa atribut yang terkandung dalam pengertian-pengertian ekologi industri
sebagai berikut: (1) pendekatan sistem gabungan antara sistem ekologi dan industri;
(2) aliran material dan energi; (3) pendekatan multidisiplin ilmu; (4) orientasi masa
depan; (5) perubahan dari proses linier ke proses siklis; (6) usaha untuk mengurangi
dampak lingkungan akibat aktivitas industri; (7) harmonisasi aktivitas industri
dengan sistem ekologi; (8) efisiensi dan keberlanjutan sistem industri; (9) hierarki
14
sistem-sistem alam dengan industri. Sehingga, pengertian ekologi industri dapat
dirumuskan sebagai “keberterimaan suatu sistem industri bagi lingkungan sehingga
sistem industri tersebut dapat selalu mampu memproduksi barang dan jasanya
secara terus menerus (berkelanjutan)” (Djajadiningrat dan Famiola, 2004).
Konsep ekologi industri dilatarbelakangi pandangan mengenai sistem industri.
Sistem industri berdasarkan linearitas aliran materialnya dapat dibedakan dalam
tiga tipe (Graedel dan Allenby, 1995, dalam Lifset dan Graedel, 2002):
1) Tipe I, atau yang disebut sistem linier, yaitu sistem industri yang menggunakan
sumber daya, mengolahnya, dan menghasilkan produk dan sampah. Tidak ada
pemanfaatan ulang dari sampah yang dihasilkan sehingga penggunaan sumber
daya dan sampah yang dihasilkan menjadi tidak terbatas.
2) Tipe II, atau yang disebut sistem quasi-siklis, yaitu sistem industri yang
menggunakan kembali sebagian sampah yang dihasilkan sehingga mengurangi
penggunaan sumber daya dan sampahnya menjadi terbatas.
3) Tipe III, atau yang disebut sistem siklis, yaitu sistem industri yang
menggunakan kembali seluruh sampah yang dihasilkan sehingga sistem tidak
lagi menggunakan sumber daya, hanya membutuhkan masukan energi untuk
bekerja.
15
Gambar 2. Tiga Tipe Sistem Industri Berdasarkan Aliran Materialnya: (a)
Tipe I atau sistem linier; (b) Tipe II atau sistem quasi-siklis; (c) Tipe III atau
sistem siklis (Sumber: Lifset dan Graedel, 2002)
Konsep ekologi industri menggunakan paradigma sistem industri tipe III dengan
berprinsip bahwa aliran material dibuat siklus tertutup melalui penggunaan ulang
sampah atau keluaran non-produk yang dihasilkan. Konsep ini menjadi selaras
dengan pembangunan berkelanjutan karena berpotensi menghemat penggunaan
sumber daya alam dan mengurangi pencemaran lingkungan, bahkan dapat
memperlengkapi atau memperkaya sumber daya alam itu sendiri (Djajadiningrat
dan Famiola, 2004).
16
Dalam ekosistem industri, ada lima jenis anggota kunci yang memungkinkan
terjadinya aliran material dan energi secara optimal: (1) produsen bahan baku