BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS 2.1 Pengertian Konformitas Santrock (2003:249) mendefenisikan konformitas sebagai perubahan dalam sikap atau pendapat individu sebagai hasil dari tekanan yang nyata atau diimajinasikan oleh individu atau kelompok. Pendapat tersebut diartikan bahwa konformitas dapat terjadi pada individu bila mendapat tekanan dari kelompoknya baik secara nyata maupun secara tidak nyata. Minsalnya dalam bentuk ancaman fisik maupun abstrak dari individu atau kelompok individu lain minsalnya perasaan takut dijauhi oleh anggota kelompok. Baron dan Byrne (2005:53) menyatakan bahwa konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial dimana individu mengubah keyakinan dan tingkah laku agar sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Hal senada juga dikemukakan oleh Willis (dalam Sarwono, 1995:229-230), bahwa konformitas merupakan usaha terus-menerus dari individu untuk selalu selaras dengan norma-norma yang diharapkan kelompok. Kedua pendapat tersebut mengartikan bahwa konformitas menekankan adanya suatu perubahan sesuai dengan tuntutan yang dikehendaki individu lainnya, perubahan tersebut dapat berupa persepsi, sikap dan perilaku. Asch (dalam Sarwono, 1995:80), mengatakan bahwa konformitas adalah situasi dimana individu mengikuti tekanan kelompok walaupun tidak ada tuntutan atau permintaan lansung dari kelompok. Demikian pula halnya dengan Kiesler (dalam Sarwono, 1999:172), yang mengatakan bahwa konformitas adalah perilaku 10
22
Embed
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS 2.1 ...eprints.ung.ac.id/6095/5/2012-2-86201-111409106-bab2...Konformitas sebuah kelompok acuan dapat mudah terlihat dengan adanya ciri-ciri
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
10
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
2.1 Pengertian Konformitas
Santrock (2003:249) mendefenisikan konformitas sebagai perubahan
dalam sikap atau pendapat individu sebagai hasil dari tekanan yang nyata atau
diimajinasikan oleh individu atau kelompok. Pendapat tersebut diartikan bahwa
konformitas dapat terjadi pada individu bila mendapat tekanan dari kelompoknya
baik secara nyata maupun secara tidak nyata. Minsalnya dalam bentuk ancaman
fisik maupun abstrak dari individu atau kelompok individu lain minsalnya
perasaan takut dijauhi oleh anggota kelompok.
Baron dan Byrne (2005:53) menyatakan bahwa konformitas adalah suatu
jenis pengaruh sosial dimana individu mengubah keyakinan dan tingkah laku agar
sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Hal senada juga dikemukakan oleh
Willis (dalam Sarwono, 1995:229-230), bahwa konformitas merupakan usaha
terus-menerus dari individu untuk selalu selaras dengan norma-norma yang
diharapkan kelompok. Kedua pendapat tersebut mengartikan bahwa konformitas
menekankan adanya suatu perubahan sesuai dengan tuntutan yang dikehendaki
individu lainnya, perubahan tersebut dapat berupa persepsi, sikap dan perilaku.
Asch (dalam Sarwono, 1995:80), mengatakan bahwa konformitas adalah
situasi dimana individu mengikuti tekanan kelompok walaupun tidak ada tuntutan
atau permintaan lansung dari kelompok. Demikian pula halnya dengan Kiesler
(dalam Sarwono, 1999:172), yang mengatakan bahwa konformitas adalah perilaku
10
11
atau keyakinan karena adanya tekanan dalam kelompok, baik yang sungguh ada
maupun yang dibayangkan. Kedua pendapat tersebut mengartikan bahwa
konformitas merupakan keadaan yang menuntut individu untuk mengikuti
individu lainnya yang dianggapnya sebagai tekanan.
Menurut David dan O’Sears (1999:53) bahwa bila seseorang
menampilkan perilaku tertentu karena disebabkan oleh karena orang lain
menampilkan perilaku tersebut, disebut konformitas. Menurut Baron dan Byrne
(2005:53) konformitas remaja adalah penyesuaian perilaku remaja untuk
menganut pada norma kelompok acuan, menerima ide atau aturan-aturan yang
menunjukkan bagaimana remaja berperilaku.
Berdasarkan pendapat ahli di atas, maka yang dimaksud konformitas
teman sebaya adalah keadaan dimana individu menyikapi dan melakukan
tindakan berdasarkan pengaruh teman sebaya, yang bila tidak dilakukannya
dianggap dapat membahayakannya di depan teman sebaya.
2.2 Aspek-aspek Konformitas
Wiggins (1991:132) mengemukakan bahwa aspek – aspek konformitas
adalah:
1) Kerelaan : rela mengikuti pendapat kelompok yang diinginkan atau
diharapkan agar memperoleh reward berupa pujian dan untuk menghindari
12
celaan, keterasingan, cemooh yang mungkin dijatuhkan jika tidak
mengerjakan keinginan kelompok.
2) Perubahan : saat terjadi perubahan sikap, dalam suatu konformitas ketidak
hadiran seorang anggota kelompok lebih dianggap sesuai dengan pikiran
dan tindakan anggota kelompok yang hadir.
Konformitas sebuah kelompok acuan dapat mudah terlihat dengan adanya
ciri-ciri yang khas. O’Sears (1991:135) mengemukakan secara eksplisit bahwa
konformitas remaja ditandai dengan adanya tiga hal sebagai berikut :
1. Kekompakan
Kekuatan yang dimiliki kelompok acuan menyebabkan remaja
tertarik dan ingin tetap menjadi anggota kelompok. Eratnya hubungan
remaja dengan kelompok acuan disebabkan perasaan suka antara anggota
kelompok serta harapan memperoleh manfaat dari keanggotaannya.
Semakin besar rasa suka anggota yang satu terhadap anggota yang lain, dan
semakin besar harapan untuk memperoleh manfaat dari keanggotaan
kelompok serta semakin besar kesetiaan mereka, maka akan semakin
kompak kelompok tersebut.
a. Penyesuaian Diri
Kekompakan yang tinggi menimbulkan tingkat konformitas yang
semakin tinggi. Alasan utamanya adalah bahwa bila orang merasa dekat
dengan anggota kelompok lain, akan semakin menyenangkan bagi mereka
untuk mengakui kita, dan semakin menyakitkan bila mereka mencela kita.
13
Kemungkinan untuk menyesuaikan diri akan semakin besar bila kita
mempunyai keinginan yang kuat untuk menjadi anggota sebuah kelompok
tertentu.
b. Perhatian terhadap Kelompok
Peningkatan koformitas terjadi karena anggotanya enggan disebut
sebagai orang yang menyimpang. Seperti yang telah kita ketahui,
penyimpangan menimbulkan resiko ditolak. Orang yang terlalu sering
menyimpang pada saat-saat yang penting diperlukan, tidak
menyenangkan, dan bahkan bisa dikeluarkan dari kelompok. Semakin
tinggi perhatian seseorang dalam kelompok semakin serius tingkat rasa
takutnya terhadap penolakan, dan semakin kecil kemungkinan untuk tidak
meyetujui kelompok.
2. Kesepakatan
Pendapat kelompok acuan yang sudah dibuat memiliki tekanan
kuat sehingga remaja harus loyal dan menyesuaikan pendapatnya dengan
pendapat kelompok.
a. Kepercayaan
Penurunan melakukan konformitas yang drastis karena hancurnya
kesepakatan disebabkan oleh faktor kepercayaan. Tingkat kepercayaan
terhadap mayoritas akan menurun bila terjadi perbedaan pendapat,
meskipun orang yang berbeda pendapat itu sebenarnya kurang ahli bila
dibandingkan anggota lain yang membentuk mayoritas. Bila seseorang
sudah tidak mempunyai kepercayaan terhadap pendapat kelompok, maka
14
hal ini dapat mengurangi ketergantungan individu terhadap kelompok
sebagai sebuah kesepakatan.
b. Persamaan Pendapat
Bila dalam suatu kelompok terdapat satu orang saja tidak sependapat
dengan anggota kelompok yang lain maka konformitas akan turun.
Kehadiran orang yang tidak sependapat tersebut menunjukkan terjadinya
perbedaan yang dapat berakibat pada berkurangnya kesepakatan
kelompok. Jadi dengan persamaan pendapat antar anggota kelompok maka
konformitas akan semakin tinggi.
c. Penyimpangan terhadap pendapat kelompok
Bila orang mempunyai pendapat yang berbeda dengan orang lain dia
akan dikucilkan dan dipandang sebagai orang yang menyimpang, baik
dalam pandangannya sendiri maupun dalam pandangan orang lain. Bila
orang lain juga mempunyai pendapat yang berbeda, dia tidak akan
dianggap menyimpang dan tidak akan dikucilkan. Jadi kesimpulan bahwa
orang yang menyimpang akan menyebabkan penurunan kesepakatan
merupakan aspek penting dalam melakukan konformitas.
3. Ketaatan
Tekanan atau tuntutan kelompok acuan pada remaja membuatnya rela
melakukan tindakan walaupun remaja tidak menginginkannya. Bila
ketaatannya tinggi maka konformitasnya akan tinggi juga.
15
a. Tekanan karena Ganjaran, Ancaman, atau Hukuman
Salah satu cara untuk menimbulkan ketaatan adalah dengan
meningkatkan tekanan terhadap individu untuk menampilkan perilaku
yang diinginkan melalui ganjaran, ancaman, atau hukuman karena akan
menimbulkan ketaatan yang semakin besar. Semua itu merupakan insentif
pokok untuk mengubah perilaku seseorang.
b. Harapan Orang Lain
Seseorang akan rela memenuhi permintaan orang lain hanya karena
orang lain tersebut mengharapkannya. Dan ini akan mudah dilihat bila
permintaan diajukan secara langsung. Gejala ini sangat mudah dilihat bila
permintaan diajukan secara langsung. Misalnya, bila kita menyatakan
kepada teman kita bahwa mereka harus menyumbang sejumlah uang, dan
memberikan peringatan kepada teman kita apabila dia tidak
menyumbangkan sejumlah uang maka kita akan memberikan uang yang
lebih banyak. Harapan-harapan orang lain dapat menimbulkan ketaatan,
bahkan meskipun harapan itu bersifat implisit. Salah satu cara untuk
memaksimalkan ketaatan adalah dengan menempatkan individu dalam
situasi yang terkendali, dimana segala sesuatunya diatur sedemikian rupa
sehingga ketidaktaatan merupakan hal yang hampir tidak mungkin timbul.
Berdasarkan beberapa aspek konformitas dapat disimpulkan bahwa
konformitas adalah keadaan dimana individu menyikapi dan melakukan tindakan
berdasarkan pengaruh teman sebaya, yang bila tidak dilakukannya dianggap
dapat membahayakannya dihadapan teman sebaya. Berdasarkan beberapa aspek
16
tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek konformitas adalah : kekompakan,
kesepakatan dan ketaatan.
2.3 Faktor-faktor yang Mempengruhi Konformitas
O’Sears (1991:80-91) mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi konformitas yaitu:
1. Perilaku Individu Yang Memberikan Informasi Dan Bermanfaat
Individu merupakan sumber informasi yang penting. Seringkali membuat
individu mengetahui sesuatu yang individu lainnya tidak tahu, maka individu itu
akan memperoleh manfaat dari hal tersebut. Informasi yang dimiliki oleh
kelompok dapat dipercayai individu. Oleh karena itu, semankin besar kepercayaan
individu terhadap kelompok sebagai informasi yang benar, semankin besar pula
keinginan untuk menyesuaikan diri dengan kelompok. Bila individu baranggapan
bahwa kelompok selalu benar maka individu akan mengikuti apapun yang
dilakukan oleh kelompok tanpa memperdulikan pendapatnya sendiri. Demikian
bila kelompok memiliki informasi yang penting yang belum dimiliki individu,
konformitas akan sangat meningkat. Salah satu faktor penentu kepercayaan adalah
tingkat keahlian kelompok itu dalam hubungan antara individu. Semankin tinggi
tingkat kepercayaan dan penghargaan individu terhadap pendapatnya.
Faktor yang sangat mempengaruhi rasa percaya diri dan tingkat
konformitas adalah tingkat keyakinan individu tersebut pada kemampuan sendiri
untuk menapilkan satu reaksi. Konformitas dapat diturunkan dengan cara
membuat individu lebih menguasai suatu persoalan. Segala sesuatu yang
17
meningkatkan rasa percaya individu terhadap penilaian sendiri akan menurunkan
konformitas karena kemudian kelompok bukanlah informasi yang unggul lagi.
2. Individu Berkonformitas Karena Ingin Diterima Secara Sosial.
Rasa takut dipandang sebagai individu yang menyimpang merupakan
sebagai faktor dasar hampir dalam semua situasi sosial. Individu ingin agar
kelompok dimana individu berada menyukai, menerima serta memperlakukan
secara baik. Individu cendrung menyesuaikan diri untuk menghindari perselisihan
paham. terkadang individu berkonformitas demi memperoleh persetujuan atau
menghindari celaan individu lain atau kelompok. Kurangnya kepercayaan
individu pada penadapat sendiri membuat individu menyesuaikan diri dengan
kelompok teman sebaya. Semakin tinggi perhatian individu terhadap kelompok
maka semakin tinggi rasa takutnya terhadap penolakan, dan semakin kecil untuk
tidak menyetujui kelompok.
Individu diharapkan pada keputusan kelompok yang sudah bulat akan
mendapatkan tekanan kuat untuk menyesuaikan pendapatnya. Namun bila
kelompok tidak bersatu maka akan tampak adanya penurunan konformitas.
Penurunan konformitas yang drastis karena hancurnya kesepakatan disebabkan
beberapa faktor, pertama tingkat kepercayaan terhadap mayoritas akan menurun
jika terjadinya penbedaan. Kedua, bila anggota kelompok lain mempunyai
pendapat yang sama, keyakinan individu terhadap pendapat sendiri, akan semakin
kuat, dimana keyakinan yang kuat akan menurunkan konformitas.
Menurut Baron dan Byrne (2005:56), faktor-faktor yang mempengaruhi
konformitas sebagai berikut:
18
1. Kohesivitas
Individu menerima pengaruh dari individu lain yang disukainya.
Kohesivitas dapat di defenisika sebagai kertarikan yang dirasakan individu
terhadap suatu kelompok. Jika tingkat kohesivitas tinggi maka tekanan untuk
berkonformitas semakin besar.
2. Ukuran Kelompok
Penelitian-penelitian terdahulu seperti Asch, Gerard, Wilhemy, dan
Conely (dalam Baron dan Byrne, 2005:57), menemukan bahwa konformitas
meningkat sejalan dengan bertambahnya anggota kelompok, namun hanya
penambahan sekitar tiga anggota kelompok, lebih dari itu, nampaknya tidak akan
berpengaruh atau mungkin menurun. Namun penelitian terbaru yang dilakukan
Smith (dalam Baron dan Byrne 2005:57) menemukan bahwa konformitas
cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya kelompok hingga berjumlah
delapan anggota.
3. Norma Sosial Deskriptif dan Sosial Injungtif
Norma sosial deskriptif merupakan norma yang hanya mendeskripsikan
sebagian besar yang individu lakukan pada situasi tertentu. Norma-norma ini
mempengaruhi tingkah laku dengan cara memberitahu diri mengenai apa yang
umumnya dianggap efektif pada suatu situasi. Norma Injungtif menetapkan apa
yang harus dilakukan, tingkah laku yang dapat diterima atau tidak dapat di terima
pada situasi tertentu. Kedua pengaruh tersebut dapat memberikan pengaruh yang
kuat pada tingkah laku. Cialdini (dalam Baron dan Byrne, 2005:57) mempercayai
19
bahwa pada situasi-situasi tertentu, terutama tingkah laku anti sosial cenderung
mencul, norma injungtif dapat memberikan pengaruh yang kuat.
Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa beberapa
faktor yang mempengaruhi konformitas diantaranya adalah adanya individu yang
memberikan informasi yang bermanfaat, keinginan untuk diterima secara sosial,
kohesivitas kelompok, ukuran kelompok, serta norma-norma yang bersifat
Deskriptif dan Injungtif.
2.4 Pengertian Asertif
Dalam kehidupan sosial, adanya kecendrungan sikap asertif sangat
membantu untuk menjalin hubungan kerja sama dan kemampuan memahami
individu lain yang sangat dibutuhkan guna dalam meningkatkan profesionalime
dalam kompetensi individu dalam kehidupan sehari-hari. Asertif berasal dari kata
assert (sadar) yang berarti menegaskan, yang mengandung satu atau lebih hal
seperti ; hak azazi manusia, kejujuran, atau ekspresi emosi yang tepat. Istilah
asertif menunjukan pada suatu tingkah laku. Hal ini sesuai dengan pendapat Wilis
dan Daisley (1990:23) bahwa perilaku asertif merupakan suatu bentuk tingkah
laku dan bukan merupakan sifat dari kepribadian (personality trait).
Menurut Cawwod (1997:13) perilaku asertif adalah ekspresi yang lansung,
jujur dan pada tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan atau hak-hak anda
tanpa kecamasan yang tidak beralasan. Pesan yang ditampikan jelas, terfokus dan
wajar, tidak menghakimi. Berbicara tidak berputar-putar, tidak mengemas ulang
atau memanipulasi individu lain. Jujur adalah perilaku yang selaras, semua isyarat
20
cocok, kata-kata, gerak-gerik, dan perasaan semuanya mengatakan hal yang sama.
Atkinson (1997:124) berpendapat bahwa perilaku asertif adalah suatu perilaku
yang timbul apabila individu mengetahui hak-haknya, atau apa yang
diinginkannya, sekaligus tidak melanggar hak individu lain. Sebaliknya dengan
individu non asertif adalah individu yang terlihat mudah mengalah, mudah
tersinggung, cemas, kurang percaya diri, sukar mengungkapkan masalah atau hal-
hal yang diinginkan. Demikian pula dengan pendapat Lange Jakubowski (dalam
Calhoun dan Acocella, 1990:384) bahwa perilaku asertif menuntut hak pribadi
dalam menyatakan pikiran, perasaan dan keyakinan dengan cara jujur dan tepat.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat diuraikan bahwa individu yang menampilkan
perilaku asertif mampu mengungkapkan perasaan dan pikirannya dihadapan
individu lain.
Schroeder Black (dalam Craighead dkk, 1994:112) menyatakan bahwa
perilaku asertif dapat didefenisikan sebagai usaha individu untuk merespon atau
mengatasi situasi yang bermasalah dengan cara meminta individu tingkah laku
dan menolak permintaan yang tidak masuk akal. Pendapat yang senada juga di
kemukan oleh Craighead dkk (1994:113), bahwa perilaku asertif berkaitan dengan
usaha individu untuk mempertahankan hak-haknya. Secara umum pendapat
mengenai perilaku asertif yang dikemukakan para ahli di atas mengacu pada hal
yang sama, yaitu tingkah laku para ahli di atas sacara umum mengatakan hal yang
sama dikatakan bahwa perilaku asertif menuntut individu untuk merespon,
mengungkapkan serta bertingkah laku secara tegas dan jujur terhadap individu
21
tidak sesuai dengan apa yang dirasakan individu tidak menyinggung dan
merugikan individu lain.
Menurut Fensterheim dan Baer (Ardiah, 2003:85) kata asertif berasal dari
Bahasa Inggris to assert, yang diartikan sebagai suatu ungkapan sikap positif,
dimana sikap positif tersebut dinyatakan dengan tegas atau terus terang. Perilaku
asertif menurut Lloyd (1991:78), dikatakan sebagai gaya yang wajar, langsung,
jujur, penuh respon dalam interaksi individu lain, dapat diekspresikan baik secara
verbal maupun dengan menampilkan bahasa tubuh yang serasi. Rimm dan
Masters (Rakos, 1991:134) menyatakan bahwa perilaku asertif adalah suatu
perilaku dalam hubungan interpersonal yang bersifat jujur serta mengekspresikan
pikiran dan perasaan secara langsung dengan tetap memperhitungkan kondisi
sosial yang ada.
Orang yang berperilaku asertif dapat disebutkan sebagai orang yang
mempunyai kepercayaan diri, karena orang yang percaya diri selalu bersikap
positif pada dirinya sendiri dan orang lain. Sikap ini akan menjadikan seseorang
menjadi tegas, jujur dan terbuka, kritis, langsung dan nyaman, akan tetapi mampu
menghormati orang lain (Townend, 1991:23).
Menurut Fensterheim & Baer ( 1995:14) dapat diketahui bahwa pribadi
yang cenderung menampilkan perilaku asertif dapat memiliki 4 (empat) ciri antara
lain adalah
a. Merasa bebas untuk mengemukakan diri sendiri melalui kata –kata
dantindakan mampu mengeluarkan pernyataan “inilah diriku, inilah yang
saya rasakan, saya fikirkan dan saya ingini”.
22
b. Dapat berkomunikasi dengan individu lain dari semua tingkatan baik
individu yang tidak dikenal, sahabat-sahabat maupun keluarga.
komunikasi ini selalu terbuka, langsung, jujur dan sebagaimana mestinya.
c. Mempunyai pandangan aktif tentang hidup, mengejar apa yang
diinginkan dan berusaha agar sesuatu itu terjadi.
d. Bertindak dengan cara yang dihormatinya sendiri, karena sadar bahwa
dirinya tidak dapat selalu menang, maka individu menerima
keterbatasannya, akan tetapi dirinya selalu berusaha mencapai sesuatu
dengan usaha yang sebaik-baiknya.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
kecenderungan perilaku asertif adalah keinginan individu untuk dapat
menampilkan dan mengungkapkan pikiran, perasaan, kehendak, serta kebutuhan
secara tegas, jujur dan terus terang melalui cara-cara yang dapat diterima dan
sesuia dengan sopan santun tanpa melanggar harga diri dan hak-hak pribadi dan
individu lain.
2.5 Aspek-aspek Perilaku Asertif
Aspek-aspek perilaku asertif menurut Galassi (dalam Porpitasari 2007) ada