BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Kajian Teoritik Kontrak Baku Kajian teoritik merupakan pendukung dalam membangun atau berupa penjelasan permasalahan yang dianalisis. Kajian teoritik digunakan sebagai pisau analisis terhadap pemecahan permasalahan hukum yang diteliti yang memuat uraian sistematis tentang teori dasar yang relevan terhadap bahan hukum dan hasil penelitian sebelumnya yang berasal dari pustaka mutakhir yang memuat teori, propisisi, konsep atau pendekatan terbaru yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan. 1 Kajian pustaka terdiri dari teori-teori, doktrin, asas-asas dan konsep-konsep yang dipakai dalam membahas isu hukum yang ada dalam penelitian ini. Teori hukum adalah suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum. 2 Filsafat ilmu memberikan konteks dari teori merupakan sesuatu yang paling tinggi yang dapat dicapai oleh suatu disiplin ilmu. 3 Terdapat beberapa teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini yakni, teori keadilan, teori kehendak, teori keseimbangan dalam kontrak, teori perlindungan hak asasi manusia, teori perlindungan minimum dan teori fungsi negara sebagai regulator Doktrin-doktrin yang dipergunakan adalah doktrin unconscionability, doktrin keberlakuan hak asasi manusia dalam hukum perdata. Pembahasan diperdalam 1 Johnny Ibrahim, Op.Cit, hal.293. 2 J.J.H.Brugink, 1996, Refleksi Tentang Hukum Pengertian-Pengertian Dasar Dalam Teori Hukum, Terjemahan Arief Shidarta, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.160. 3 Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-dasar filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.11.
81
Embed
BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Kajian Teoritik Kontrak Baku · bisnis memahami bahwa kedua istilah antara perjanjian dan kontrak mempunyai ... komersial, misalnya perjanjian waralaba,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
KAJIAN TEORITIK
2.1. Kajian Teoritik Kontrak Baku
Kajian teoritik merupakan pendukung dalam membangun atau berupa
penjelasan permasalahan yang dianalisis. Kajian teoritik digunakan sebagai pisau
analisis terhadap pemecahan permasalahan hukum yang diteliti yang memuat
uraian sistematis tentang teori dasar yang relevan terhadap bahan hukum dan hasil
penelitian sebelumnya yang berasal dari pustaka mutakhir yang memuat teori,
propisisi, konsep atau pendekatan terbaru yang berhubungan dengan penelitian
yang dilakukan.1 Kajian pustaka terdiri dari teori-teori, doktrin, asas-asas dan
konsep-konsep yang dipakai dalam membahas isu hukum yang ada dalam
penelitian ini.
Teori hukum adalah suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan
dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum.2
Filsafat ilmu memberikan konteks dari teori merupakan sesuatu yang paling tinggi
yang dapat dicapai oleh suatu disiplin ilmu.3Terdapat beberapa teori yang
digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini yakni, teori keadilan, teori
kehendak, teori keseimbangan dalam kontrak, teori perlindungan hak asasi
manusia, teori perlindungan minimum dan teori fungsi negara sebagai regulator
Doktrin-doktrin yang dipergunakan adalah doktrin unconscionability, doktrin
keberlakuan hak asasi manusia dalam hukum perdata. Pembahasan diperdalam
1Johnny Ibrahim, Op.Cit, hal.293.
2J.J.H.Brugink, 1996, Refleksi Tentang Hukum Pengertian-Pengertian Dasar Dalam Teori
Hukum, Terjemahan Arief Shidarta, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.160.
3Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-dasar filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, h.11.
dengan menguraikan asas-asas yang berhubungan dengan kontrak pada umumnya
dan kontrak baku pada khususnya, serta ajaran-ajaran dalam hak asasi manusia.
2.1.1. Tinjauan umum kontrak baku
2.1.1.1. Peristilahan dan pengertian kontrak
Pembahasan mengenai kontrak baku dilakukan dengan terlebih dahulu
memahami pengertian kontrak itu sendiri. Istilah kontrak digunakan dalam
praktek bisnis selain istilah perjanjian dan persetujuan. Kerancuan akan istilah
kontrak atau perjanjian masih sering diketemukan dalam praktek bisnis. Pelaku
bisnis memahami bahwa kedua istilah antara perjanjian dan kontrak mempunyai
pengertian yang sama. Menurut Muhammad Syaifuddin4 pengertian antara
perjanjian dan kontrak adalah sama, jika dilihat dari pengertian yang terdapat
dalam KUHPer sebagai produk warisan kolonial Belanda, maka ditemukan istilah
“overeenkomst” dan “contract” untuk pengertian yang sama, sebagaimana
dicermati dalam Buku III Titel Kedua Tentang Perikatan-Perikatan yang Lahir
dari Kontrak atau Persetujuan, yang dalam bahasa Belanda ditulis “Van
verbintenissen die uit contract of overeenkomst geboren worden”.
Para sarjana seperti Mariam Darus Badrulzaman5, J.Satrio
6, dan Purwahid
Patrik7 juga menganut pandangan yang menyatakan bahwa istilah kontrak dan
4Muhammad Syaifuddin, 2012, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), Mandar Maju,
Bandung, h.15.
5Mariam Darus Badrulzaman, 2011, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, (selanjutnya
disebut Mariam Darus Badrulzaman I), h.89.
6J.Satrio,1992, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut J.Satrio
I), h.19.
7Purwahid Patrik, 1994, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya
disebut Purwahid Patrik I), hal.19.
perjanjian mempunyai pengertian yang sama. Agus Yudha Hernoko8 memberikan
alasan bahwa kedua istilah tersebut juga digunakan dalam istilah kontrak
komersial, misalnya perjanjian waralaba, perjanjian sewa guna usaha, kontrak
kerjasama, perjanjian kerjasama dan kontrak konstruksi.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh Ricardo Simanjutak, yang menyatakan
bahwa;
Adapun pengertian kontrak secara tegas dimaksudkan sebagai
kesepakatan para pihak yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat.
Walaupun istilah kontrak merupakan istilah yang telah lama diserap ke dalam
bahasa Indonesia, karena secara tegas digunakan dalam KUH Perdata,
pengertian kontrak tidak dimaksudkan seluas dari pengertian perjanjian seperti
yang dimaksudkan dalam Pasal 1313 KUH Perdata. Pengertian kontrak lebih
dipersamakan dengan pengertian dari perikatan ataupun hukum perikatan yang
digambarkan dalam Pasal 1233 KUH Perdata9.
Pendapat Ricardo Simanjutak lebih menekankan pada istilah “kontrak”
karena memiliki kekuatan hukum yang mengikat berbeda dengan perjanjian yang
lebih luas sifatnya. Pendapat Ricardo tersebut menekankan pada akibat hukum
dari kontrak.
Geoff Monahan dan David Barker berpendapat mengenai bentuk dari
kontrak. Bentuk dari kontrak bisa lisan ataupun tulisan bahkan kombinasi dari
lisan dan tulisan namun disyaratkan mempunyai akibat hukum bagi para pihak
sehingga kontrak yang tidak menimbulkan akibat hukum dipandang sebagai
bukan kontrak. Hal tersebut dapat dilihat dari pendapatnya sebagai berikut:
A valid contract is a contract that the law will enforce and creates legal
rights and obligations. A contract valid ab initio (from the beginning) contains
all the three essential elements of formation:
8Agus Yudha Hernoko, 2011, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komsersial, Kencana Prenada Media, Jakarta, hal.13.
9Ricardo Simanjutak, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Cet-1, Gramedia, Jakarta,
(selanjutnya disebut Ricardo Simanjutak I), h.27.
• agreement (offer and acceptance);
• intention (to be bound by the agreement);
• consideration (for example, the promise to pay for goods or services
received).
In addition, a valid contract may have to be in writing to be legally valid
(although most contracts may be oral, or a combination of oral and written
words)10
.
(Kontrak yang sah adalah kontrak yang dapat dipaksakan berlakunya
secara hukum dan menimbulkan akibat hukum berupa hak-hak dan kewajiban-
kewajiban. Sebuah kontrak sah dari awal jika mengandung tiga elemen yakni
persetujuan (penawaran dan penerimaan), maksud untuk terikat dalam
perjanjian, adanya prestasi contohnya janji untuk membayar barang-barang
atau jasa yang diperlukan). Sebagai tambahan, kontrak yang sah dapat
berbentuk tulisan agar sah secara hukum (walaupun beberapa kontrak dapat
lisan, atau kombinasi dari lisan dan tulisan/ garis bawah dari penulis).
Pandangan Geoff Monahan dan David Barker tersebut tidak mensyaratkan
bahwa kontrak harus dalam bentuk tulisan, karena dapat saja kontrak berbentuk
lisan bahkan gabungan antara lisan dan tulisan.
T.M Scanlon menyatakan bahwa ada perbedaan antara janji dengan
kontrak yakni11
While promises do not, I have argued, presuppose a social institution of
agreement-making, the law of contracts obviously is such an institution.
Moreover, it is an institution backed by the coercive power of the state, and
one that, unlike the morality of promises, is centrally concerned with what is to
be done when contracts have not been fulfilled.
(Sementara janji-janji tidak memiliki akan hal ini, saya berpendapat
bahwa hukum dari kontrak adalah sebuah institusi. Bagaimanapun, ia adalah
sebuah institusi yang ada akibat adanya kekuasaan negara dan berbeda dengan
aspek moral dari janji-janji, hukum kontrak menekankan pada apa yang harus
dilakukan bila kontrak-kontrak tidak dipenuhi).
Berdasarkan pendapat tersebut, maka janji lebih menekankan pada aspek
moral sebagai kekuatan mengikatnya, sedangkan pada kontrak ada pada aspek
kekuatan memaksa jika tidak ditaati.
10Geoff Monahan, David Barker, 2001, Essential Contract Law, Second Edition, Cavendish
Publishing, Sydney, p.3.
11T.M. Scanlon, 2001, “Promises and Contracts”, dalam Peter Benson (ed), The Theory of
Contract Law, Cambridge University Press, New York, p.99.
Penekanan pada aspek memaksa dari kontrak dikemukakan oleh
Muhammad Syaifuddin dengan mengutip pendapat Steven L. Emauel mengenai
istilah kontrak bahwa “A “contract” is an agreement that the law will enforce in
some way. A contract must contain at least one promise, i.e, a commitment to do
something in the future” (Kontrak adalah suatu persetujuan yang mana hukum
akan menegakkannya dalam berbagai cara. Kontrak harus memuat paling tidak
satu janji, yaitu suatu komitmen untuk melakukan sesuatu di masa depan).12
Penjelasan Emanuel bahwa “The term”contract” is often used to refer to
a written document which embodies an agreement. But for legal purpose, an
agreement may be a binding and enforceable contract in most circumstance even
though it is oral,” (istilah “kontrak” seringkali digunakan untuk menunjukkan
dokumen tertulis yang didalamnya terkandung persetujuan. Namun, untuk tujuan
hukum, suatu persetujuan juga merupakan suatu kontrak yang mengikat dan dapat
ditegakkan dalam banyak situasi meskipun hanya secara lisan).13
Subekti menganut pandangan bahwa istilah kontrak, memiliki pengertian
yang lebih sempit, karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang
dibuat secara tertulis sedangkan suatu perjanjian yang dibuat secara tidak tertulis
(lisan) tidak dapat disebut dengan istilah kontrak, melainkan perjanjian atau
persetujuan.14
Subekti lebih menekankan perbedaan antara kontrak dengan
perjanjian pada unsur bentuknya.
12Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, h.16.
13Ibid.
14Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, Intermassa, Jakarta, h.1., Pendapat ini juga sama dengan
pendapat Budiono Kusumohamidjojo yang menyatakan bahwa ciri kontrak yang utama adalah
bahwa dia merupakan suatu tulisan yang memuat perjanjian dari para pihak, lengkap dengan
Berdasarkan beberapa pandangan tersebut, penulis lebih sependapat
dengan pendapat dari Ricardo Simanjutak yang memandang kontrak (dalam
bahasa Inggrisnya contract) juga merupakan perjanjian (dalam bahasa Inggrisnya
agreement) dengan penekanan pada konsekuensi hukum (legal enforceability)
apabila tidak dilaksanakan.15
Para pihak dapat membuat suatu kesepakatan-
kesepakatan atau perjanjian-perjanjian yang tidak mempunyai konsekuensi hukum
yang mengikat para pihak walaupun perjanjian-perjanjian tersebut adalah bersifat
komersial.
Ricardo Simanjutak menjelaskan bahwa kontrak merupakan bagian dari
pengertian perjanjian, artinya bahwa kontrak adalah juga perjanjian walaupun
belum tentu perjanjian adalah kontrak. Dalam pengertian kesepakatan para pihak
yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat kontrak sama dengan
perjanjian. Perjanjian yang tidak memiliki konsekuensi hukum tidak sama dengan
kontrak. Dasar untuk menentukan apakah perjanjian mempunyai konsekuensi
hukum yang mengikat ataukah hanya sebagai perjanjian yang mempunyai
konsekuensi moral dapat dilihat dari kemauan dasar dari para pihak yang
berkontrak16
. Dalam penulisan ini lebih mengacu pada pendapat Ricardo
Simanjutak yang menyatakan bahwa kontrak merupakan perjanjian yang memiliki
akibat hukum yang tegas.
ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat, serta yang berfungsi sebagai alat bukti tentang adanya
(seperangkat) kewajiban. Selanjutnya dikemukakan, bahwa kontrak adalah perjanjian yang
dirumuskan secara tertulis yang melahirkan bukti tentang adanya kewajibankewajiban (dan karena
itu memang juga hak-hak) yang timbal balik. Lihat Budiono Kusumohamidjojo, 2001, Panduan
Untuk Merancang Kontrak, Jakarta: Grasindo, h. 6-7).
15Ricardo Simanjutak, Op.Cit., h.28.
16Ibid,h.32.
Konsep perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPer yang menentukan
bahwa “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.” Subekti berpendapat bahwa
”Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.17
Sudikno Mertokusumo menguraikan bahwa “perjanjian adalah hubungan hukum
antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat
hukum”. Berdasarkan kedua pandangan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum antara dua pihak atau lebih
dan dilakukan untuk menimbulkan akibat hukum.
Akibat hukum yang ingin ditimbulkan oleh kontrak adalah berupa
perikatan. Pasal 1233 KUHPer mengatur mengenai perikatan dengan menentukan
bahwa “perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang”.
Perikatan adalah akibat hukum yang hendak dicapai oleh kontrak. Subekti
membedakan pengertian antara perikatan dengan perjanjian. Subekti menyatakan
bahwa hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu
menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, di samping sumber-
sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu
setuju untuk melakukan sesuatu. Menurut Subekti perikatan adalah suatu
perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak
yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”
17Subekti, Loc.Cit.
Secara singkat, perjanjian atau persetujuan menimbulkan perikatan.
Perikatan itu kemudian disebut sebagai kontrak apabila memberikan konsekuensi
hukum yang terkait dengan kekayaan dan mengikat para pihak yang saling
mengikatkan diri dalam perjanjian, atau dengan kata lain kontrak adalah
perjanjian yang memiliki konsekuensi hukum..
2.1.1.2. Peristilahan dan pengertian kontrak baku
Istilah yang dipergunakan dalam kontrak baku beragam.18
Mariam
Darus Badrulzaman mempergunakan istilah “perjanjian baku19
” yang dialih
bahasakan dari istilah bahasa Belanda yakni standaardcontract atau
staandardvoorwaarden. Dalam kepustakaan Jerman, istilah yang dipergunakan
untuk perjanjian baku adalah allgemeine geshaftsbedingun, standaardvertrag,
standaardkenditionen, sementara istilah dari bahasa Inggris, yaitu standardized
18Beberapa sarjana menyamakan istilah “baku” dengan “standar”. (Lihat Mariam Darus
Badrulzaman, 2003, Perjanjian Baku (Standard), Perkembangannya di Indonesia, dalam Buitr-
Butir Pemikiran Guru Besar dari Masa ke Masa, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas
Hukum USU 1979-2001, penyunting Tan Kamello, Pustaka Bangsa, Medan). P.Lindawaty S.Sewu
mempergunakan isilah”baku” di samping mengakui pula beragam peristilahan lainnya untuk
kontrak baku seperti kontrak-kontrak adhesi, syarat-syarat umum, syarat-syarat konsumen, kontrak-kontrak menggilas, ketentuan-ketentuan standar, syarat-syarat standar, kontrak-kontrak
standar (Lihat Lindawaty S.Sewu, 2006,“Aspek Hukum Perjanjian Baku dan Posisi Berimbang
Para Pihak Dalam Perjanjian Waralaba”, Disertasi, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung,
h.135-136). Istilah berbeda dipergunakan oleh J.Satrio yang mempegunakan istilah “adhesie”
(lihat J.Satrio, 1993, Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir Dari Undang-Undang, Citra Aditya
Bakti, Bandung). Istilah dari bahasa Inggris, yaitu standardized contract, standard form of
contract, contract of adhesion. (Lihat Ahmad Fikri Assegaf, 2014, Penjelasan Hukum
(Restatment0 Tentang Klausula Baku, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK),
Jakarta, h.3, istilah “standard form of contract” ;Catherine Elliott and Frances Quinn, 2003,
Contract Law, Pearson Education Limited, England, h.20, lihat juga Roger Halson, 2001, Contract
Law, Pearson Education Limited, England, h.4, P.S.Atiyah, 1995, An Introduction to the Law of
Contract, Clarendon Press, Oxford, h.16. Istilah “contract of adhesion” lihat Jane P.Mallor et.all, 2003, Business Law: The Ethical, Global, and E-Commerce Environment, McGraw Hill, New
York, h.336; dan istilah “baku” diartikan dalam Bahasa Indonesia (lihat Kamus Besar Bahasa
Indonesia,Departemen Pendidikan Nasional, h.94) diartikan sebagai tolak ukur yang berlaku untuk
kuantitas dan kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan, sedangkan standar diartikan
sebagai patokan.(Kamus Besar Bahasa Indonesia,Departemen Pendidikan Nasional, h.1089). 19Beberapa sarjana mempergunakan istilah kontrak baku, Lihat Muhammad Syaifuddin,
Op.Cit. h216, Munir Fuady, 2007, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku
Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Munir Fuady I), h.75.
contract, standard form of contract, contract of adhesion. 20
J.Satrio21
mempergunakan istilah perjanjian adhesie untuk kontrak baku, sedangkan
P.Lindawaty S.Sewu22
menyebutkan beragam peristilahan untuk kontrak baku
seperti kontrak-kontrak adhesi, syarat-syarat umum, syarat-syarat konsumen,
32Lihat pembagian kontrak berdasarkan tulisan Agus Yudha Hernoko yang menekankan
pembedaan kontrak antara kontrak komersial dengan kontrak konsumen. Kontrak ini dibedakan
berdasarkan hubungan dan orientasi tujuan. Kontrak komersial bertujuan pada “profit motive”,
hubungan para pihak setara, salah satu pihak bukan merupakan konsumen, sedangkan kontrak
konsumen kedudukan para pihaknya subordinat (atas-bawah), bentuknya standar/adhesi, dan salah satu pihak merupakan konsumen/end user. Penulis beranggapan bahwa pembagian berdasarkan
jenis ini memiliki kesamaan yakni sama-sama bergerak di lapangan harta kekayaan dan dalam
kontrak konsumen pun terdapat “profit motive”, demikian pula dalam kontrak komersial bisa
terjadi hubungan atas-bawah (supplier dengan distributor), sehingga penulis lebih setuju dengan
menempatkan kontrak baku dalam kontrak komersial.(Lihat Agus Yudho Hernoko, Op.Cit, h.34-
35).
33Abdul Kadir Muhammad,1992, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perdagangan, Citra Aditya
Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Abdul Kadir Muhammad II), h.6.
Dalam prakteknya yang perlu diperhatikan adalah antara istilah
“klausula baku” dengan istilah “kontrak baku”. Secara leksikal, Kamus Besar
Bahasa Indonesia memberikan arti “klausul” adalah ketentuan tersendiri dari
perjanjian, yang salah pokok atau pasalnya diperluas atau dibatasi34
, sedangkan
kontrak adalah kesepakatan oleh para pihak yang menimbulkan akibat hukum.35
Apabila dihubungkan dari segi bahasa maka klausula baku adalah ketentuan
tersendiri dan bersifat tetap (baku) yang ditambahkan dalam kontrak.36
Pendapat yang menyamakan antara istilah “klausula baku” dengan
“kontrak baku” diungkapkan oleh P. Lindawaty Sewu yang mempergunakan
istilah “syarat-syarat baku” untuk istilah “klausula baku” dengan menyebutkan
bahwa syarat-syarat baku dapat diberi pengertian sebagai syarat-syarat konsep
tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih akan dibuat, yang
jumlah tidak tentu, tanpa membicarakan terlebih dahulu isinya, asas perjanjian
adalah tetap dan tidak dapat diadakan perundingan lagi dan dinyatakan juga
sebagai perjanjian baku.37
Artinya adalah bahwa klausula baku merupakan bagian
dari kontrak baku. Di dalam kontrak baku selalu terkandung klausula-klausula
baku sebagai syarat-syarat yang tidak dapat dinegoisasikan lagi.
Salah satu jenis klausula baku adalah klausula eksonerasi atau eksemsi.
Klausula eksonerasi atau eksemsi dalam bahasa Inggris disebut exoneration atau
34Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, h.351.
35Ricardo Simanjutak, Op.Cit, h.27.
36Ahmad Fikri Assegaf, Op.Cit, h.13.
37P.Lindawaty Sewu, Op.Cit, h.127-128, Adrian Sutedi juga yang menyamakakan antara
istilah klausul baku dengan kontrak standar (Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk Dalam
Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia, Bogor, h.1.)
exemption38
. Klausul terkait memuat pembebasan atau pengecuali terhadap suatu
tanggung jawab tertentu. Klausula eksemsi atau exemption clause didefinsikan
sebagai “A contractual provision providing that a party will not be liable for
damages for which that party would otherwise have ordinarily been liable”.
(ketentuan dalam suatu kontrak yang menentukan bahwa salah satu pihak tidak
akan bertanggung jawab atas kerugian-kerugian, ketika biasanya ia harus
bertanggung jawab).39
2.1.1.3. Ciri-ciri kontrak baku
Ciri-ciri dari kontrak baku diuraikan oleh beberapa sarjana. Todd Rakoff
sebagaimana dikutip oleh Wayne R.Barnes40
menyatakan bahwa kontrak baku
memiliki 7(tujuh) ciri yakni:
1. Bentuknya formulir berisikan beberapa syarat yang tertuang dalam
formulir;
2. Formulir dibuat oleh salah satu pihak yang terlibat dalam kontrak yang
biasanya adalah perusahaan bisnis;
3. Kegiatan bisnisnya melibatkan transaksi jenis yang sama sebagai kegiatan
rutin;
4. Perusahaan selalu menghadirkan form kepada pihak lainnya dengan pola
dasar“take-it-or-leave-it”;
38John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia: An English-Indonesian
Dictionary, h.223.
39Bryan A.Garner, Op.Cit, h.325
40Wayne R.Barnes, 2007, “Toward A Fairer Model of Consumer Assent to Standard Form
Contract: In Defense of Restatement Subsection 211 (3)”, Article, Washington Law Review
Association, Washington, h.234-235.
5. Pihak lainnya tidak sering terlibat dengan transaksi jenis tersebut,
dibandingkan dengan volume jenis transaksi tersebut yang dilakukan oleh
pihak perusahaan;
6. Biasanya kewajiban utama dari konsumer atau pihak lainnya adalah hanya
membayar sejumlah uang.
Mariam Darus Badrulzaman41
menguaraikan ciri-ciri dari kontrak baku
adalah sebagai berikut:
1. Isinya ditentukan secara sepihak oleh pihak yang posisi ekonominya kuat;
2. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi
kontrak;
3. Penerimaan atas kontrak didasarkan atas kebutuhan dari debitur;
4. Bentuknya tertentu (tertulis);
5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal dan kolektif.
P.Lindawati Sewu42
menyatakan bahwa unsur-unsur pokok dari suatu
kontrak baku adalah sebagai berikut:
1. kontrak disepakati oleh para pihak yang dijadikan acuan/pedoman bagi
para pihak yang terikat dalam kontrak;
2. pihak penyusun perjanjian adalah pihak pemilik/produsen dari barang atau
jasa yang memiliki daya tawar lebih kuat karena memilik kekuatan lebih;
3. pihak yang menerima kontrak biasanya berada dalam posisi menerima isi
kontrak yang ditawarkan kepadanya tanpa atau dengan kemungkina untuk
melakukan negosisasi lagi;
41Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, h.1.
42P.Lindawati Sewu, Op.Cit, h.137.
4. posisi para pihak dalam keadaan tidak seimbang;
5. klausula kontrak biasanya disusun oleh salah satu pihak;
6. isi dari kontrak berupa klausula-klausula yang dibuat secara seragam untuk
diperlakukan kepada para pihak yang terikat dalam kontrak tanpa kecuali;
7. hampir tidak ada kebebasan bagi para pihak yang menerima penawaran
untuk melakukan negoisasi ulang atas klausula-klausula yang disodorkan
kepadanya.
Abdul Kadir Muhammad43
mengemukakan ciri-ciri kontrak baku adalah
sebagai berikut:
1. Bentuknya tertulis
Kata-kata atau kalimat pernyataan kehendak yang termuat dalam
kontrak baku dibuat secara tertulis berupa akta otentik atau akta di bawah
tangan.
2. Format yang dibakukan
Format kontrak meliputi model, rumusan, dan ukuran. Format ini
dibakukan, artinya telah ditentukan model, rumusan, dan ukurannya
sehingga tidak dapat diganti, diubah, atau dibuat dengan cara lain karena
telah dicetak.
3. Syarat-syarat kontrak ditentukan oleh pengusahan
Syarat-syarat kontrak yang merupakan pernyataan kehendak
ditentukan sendiri secara sepihak oleh penguasa.
4. Konsumen hanya menerima atau menolak
43Abdul Kadir Muhammad I, Op.Cit, h.92.
Jika konsumen bersedia menerima syarat-syarat kontrak yang
diberikan kepadanya, maka konsumen dapat menandatangani kontrak
tersebut, dengan konsekwensi bersedia menerima tanggung jawab kontrak.
Jika tidak setuju maka konsumen tidak dapat menawar, sehingga kontrak
tidak ditandatangani;
5. Penyelesaian sengketa
Dalam syarat-syarat kontrak terdapat klausula baku yang menentukan
mengenai penyelesaian sengketa, yang pada umumnya dilakukan melalui
arbitrase, namun tidak menutup kemungkina dilakukan di pengadilan;
6. Kontrak menguntungkan salah satu pihak (pengusaha)
Dalam kontrak baku, syarat-syarat baku biasanya dimuat lengkap
dalam naskah kontrak, atau ditulis sebagai lampiran yang tidak terpisah
atau merupakan satu kesatuan dengan formulir kontrak.
Dari berbagai pendapat mengenai ciri-ciri kontrak baku, maka dapat ditarik
ciri-ciri pokok dari kontrak baku adalah;
1. Kontrak baku bentuknya tertulis;
2. Format yang dibakukan, disusun secara seragam dan dibuat dalam jumlah
kolektif dan massal
3. Adanya klausula-klausula baku yang tidak dapat ditawar oleh pihak
lainnya;
4. Klausula kontrak disusun oleh salah satu pihak yang memiliki posisi lebih
5. Posisi para pihak tidak seimbang.
Berdasarkan ciri-ciri kontrak baku tersebut di atas, maka bentuk-bentuk
dari kontrak baku dibedakan menjadi 3 yang dikemukakan oleh Mariam Darus
Badrulzaman44
yakni:
1. Kontrak baku sepihak, adalah kontrak yang isinya ditentukan oleh pihak
yang kuat kedudukannya, misalnya kreditur yang lazimnya memiliki
posisi (ekonomi) yang lebih kuat dibandingkan dengan debitur;
2. Kontrak baku yang ditetapkan oleh pemerintah, ialah kontrak baku yang
mempunyai objek hak-hak atas tanah;
3. Kontrak baku yang ditentukan oleh Notaris atau Advokat, yang disediakan
untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat.
AZ Nasution45
memberikan pembagian terhadap bentuk-bentuk kontrak
baku berdasarkan Pasal 1 angka 10 UUPK, bentuk kontrak baku dibagi menjadi 2
yakni kontrak dan syarat-syarat:
1. Dalam bentuk kontrak, yakni suatu kontrak yang memuat klausula-
klausula baku yang telah dipersiapkan oleh salah satu pihak, dalam hal ini
pihak pelaku usaha. Kontrak baku selain memuat aturan-aturan umum
yang biasanya terkandung dalam kontrak-kontrak lainnya, juga memuat
pula persyaratan khusus yang berkaitan dengan pelaksanaan kontrak;
2. Dalam bentuk persyaratan, klasula baku berupa syarat-syarat tertentu yang
dimuat dalam kuitansi, tanda penerimaan, papan pengumuman, atau
44Mariam Darus Badrulzaman, 1986, “Perlindungan Konsumen Dilihat dari Sudut Peraturan
Perjanjian Baku (Standar)”, Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen,
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, Bina Cipta, (selanjutnya disebut Mariam Darus
Badrulzaman III), h.58.
45AZ Nasution, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar, Diadit Media,
Jakarta, h.99-100.
secarik kertas tertentu yang termuat dalam kemasan atau wadah produk
yang bersangkutan.
2.1.2. Teori-teori terkait kontrak baku
2.1.2.1. Teori keadilan oleh Aristoteles
Teori keadilan oleh Aristoteles dipakai dalam menjawab rumusan
masalah pertama, kedua dan ketiga. Terhadap rumusan masalah yang pertama,
untuk mengetahui landasan filosofis pembuatan kontrak baku dalam perspektif
hak asasi manusia diperlukan nilai-nilai yang berada di balik perlindungan hak-
hak asasi manusia yakni nilai keadilan. Aspek filosofis dari kontrak adalah
berdasarkan nilai keadilan. Penentuan isi nilai keadilan dengan memakai teori dari
Aristotels yang dikembangkan lagi oleh John Rawls. Rumusan masalah yang
kedua mengenai apakah kontrak baku dapat melindungi hak-hak asasi manusia?
diukur dengan nilai-nilai keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles yang
selanjutnya dikembangkan oleh John Rawls. Rumusan masalah yang ketiga terkait
dengan asas-asas hukum yang dapat dijadikan rujukan dalam pembuatan kontrak
baku yang dapat melindungi hak asasi manusia adalah asas-asas hukum kontrak
yang dapat “mendorong atau meningkatkan” nilai keadilan dalam pembuatannya,
sehingga dipakai teori keadilan.
Aristoteles mendefinisikan apa itu keadilan dengan melihat apa itu
ketidakadilan. Terlebih dahulu Aristoteles mendefinisikan apa yang dimaksud
dengan individu yang tidak adil. Individu yang tidak adil dapat berupa 1)
pelanggar hukum; 2) orang yang menginginkan lebih dari bagiannya; 3) orang
yang tidak bertindak secara kepatutan/layak. Hukum berfungsi untuk membuat
warganya menjadi baik (dengan memaksakan perilaku yang bermoral). Aristoteles
menyebut hukum adalah kebajikan/keutamaan yang sempurna, karena merupakan
kebaikan tertinggi dalam kaitan hubungan bermasyarakat.46
Intinya keadilan
adalah kebajikan dan ketidakadilan adalah ketidakbaikan Artistoteles menyatakan
bahwa “The just, then, is the lawful and the fair, the unjust the unlawful and the
unfair” (Keadilan adalah tindakan yang sah dan layak, sedangkan ketidakadilan
adalah tindakan yang tidak sah dan tidak layak).47
Ketidakadilan tampak dalam dua jenis yakni: 1) Jenis tertentu
(particular type) yang berkaitan dengan pendistribusian barang-barang yang tidak
adil; 2) jenis umum (general type) yang mengatur mengenai pelanggar hukum dan
hal-hal yang berhubungan dengannya. Secara singkat maka ketidakadilan adalah
tindakan yang melanggar hukum dan ketidakseimbangan (unequal), sedangkan
keadilan adalah tindakan berdasarkan hukum dan keseimbangan (equal).
Ketidakseimbangan adalah salah satu bentuk dari ketidaktaatan pada hukum.48
Keadilan juga dapat dibedakan menurut pembagian yakni keadilan jenis tertentu
equality/fairness (keseimbangan/kelayakan) dan keadilan jenis umum (lawfulness)
berdasarkan hukum.
Keadilan jenis tertentu dibagi menjadi dua bentuk yakni distributive
justice (keadilan distribusi) berkaitan dengan pembagian atau distribusi barang-
barang yang sesuai dalam masyarakat (bersifat geometric), dan keadilan korektif
(corrective justice) berkaitan dengan hubungan antar orang (horizontal). Keadilan
46Aristotles, 2009, The Nicomachean Ethics, translated by David Ross, Oxford Univiersity
Press, Oxford New York, h.223-227.
47Ibid, h.225.
48Ibid, h.229-231.
di bidang korektif ini juga dapat dibagi menjadi dua kategori yakni transaksi yang
sukarela (voluntary) dan transaksi yang tidak sukarela (involuntary). Kegiatan
yang bersifat sukarela dalam bidang bisnis seperti jual beli, transaksi-transaksi
komersial, sedangkan kegiatan yang bersifat tidak sukarela dalam bidang
pelanggaran-pelanggaran seperti pencurian, pemerkosaaan, pembunuhan.49
Aristoteles berupaya mendefinisikan titik tengah dari ketidakadilan. Ia
menyatakan bahwa dikarenakan ketidakadilan identik dengan ketidakseimbangan
(since the equal is intermediate, the just will be an intermediate).50
Di antara
kedua titik ekstrem antara keadilan dengan ketidakadilan adalah
kelayakan/keseimbangan (equal). Dalam membahas distribusi yang “equal” atau
layak bukan berarti setiap orang mendapat bagian yang sama namun
pembagiannya berdasarkan kepantasan atau kepatutan, disinilah Aristoteles lebih
menekankan pada pembagian yang proporsional (pembagian berdasarkan
ketidakadilan artinya pembagian yang tidak proporsional, di satu pihak lebih dan
di pihak lainnya secara proporsional kurang). Orang yang tidak adil mendapatkan
lebih banyak sedangkan yang lainnya menderita akibat keuntungan pihak yang
tidak adil. Untuk itulah diperlukan koreksi terhadap pembagian yang tidak adil
yang menimbulkan kesengsaraan. Aristoteles menyatakan bahwa “Unjust is what
violates the proportion; for the proportional is intermediate, and the just is
proportional” (ketidakadilan adalah apa yang melanggar proporsi, dan
proporsional adalah titik tengah, dan keadilan adalah proporsional).51
49Ibid, h.227-231.
50Ibid, h.231-232.
51Ibid, h.232-233.
Keadilan korektif berkaitan dengan equality (persamaan/keseimbangan),
namun proporsional berkaitan dengan aritmetika. Persamaan ini berhubungan
dengan tindakan hakim untuk memulihkan keadilan, tindakan-tindakan untuk
memulihkan pelanggaran hukum, melalui hukuman-hukuman terhadap orang-
orang yang mendapatkan sesuatu berdasarkan tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan hukum. Untuk memulihkan keadaan, keadilan korektif
mencari titik tengah yang mungkin berarti menimbulkan kerugian pada seseorang
yang telah tanpa hak memperoleh sesuatu52
. Keadilan korektif dalam kegiatan-
kegiatan yang bersifat sukarela (voluntary) dengan para pihaknya paling sedikit 2
(dua) orang yang terlibat.
Aristoteles menyatakan bahwa hubungan timbal balik yang bersifat
proporsional merupakan hubungan yang penting dalam mewujudkan keadilan di
masyarakat. Hubungan timbal balik yang menguntungkan merupakan perekat
dalam masyarakat (saling memberi dalam hubungan timbal balik yang
proporsional atau “proportionate reciprocal giving”). Aristoteles mencontohkan
seorang pembuat rumah dan seorang pembuat sepatu yang berniat melakukan
tukar menukar barang-barang atau jasa-jasa. Untuk mewujudkan keadilan mereka
harus melakukan tukar menukar dalam bentuk keseimbangan yang proporsional.
Artinya mereka harus mencari berapa sepatu yang harus ditukar untuk membayar
jasa pembuat rumah53
. Apabila kesamaan atau kelayakan (“equility”) ditemukan
maka hubungan timbal balik yang menguntungkan yang bersifat proporsional
(establisih proportional equlity) baru dapat terwujud. Aristoteles menyatakan
52Aristoteles, Op.Cit, h.234-237.
53Aristoteles, Op.Cit, h.239
bahwa tidak semua harus disamakan, namun para pihak harus berusaha untuk
menemukan proporsional yang pantas untuk semua orang agar bisa bahagia54
.
Keadilan adalah titik tengah sedangkan ketidakadilan adalah titik
ekstrem dan merupakan karakter yang berkaitan dengan
kelayakan/kepantasan/fairness. Ketidakadilan adalah merupakan sesuatu yang
berlebihan (mendapatkan lebih banyak barang) dan merupakan sesuatu yang
kekurangan (mengambil milik orang lain) dan merupakan sesuatu yang buruk
karena menyebabkan penderitaan.
Orang hanya bisa melakukan ketidakadilan apabila dilakukan dalam
tindakan yang sukarela. Apabila melakukan tindakan yang tidak adil dalam
keadaan terpaksa maka orang itu dapat disalahkan namun tidak seluruhnya
dikatakan melakukan tindakan yang tidak adil. Tindakan yang tidak dilakukan
secara sukarela apabila dilakukan dalam ketidaktahuan, bukan merupakan
pilihannya, dilakukan akibat paksaan.55
Syarat-syarat untuk dapat dikatakan
melakukan tindakan yang tidak adil adalah dilakukan dengan sengaja (voluntary),
dilakukan berdasarkan pilihan yang sadar (a product of choice) dan tidak
dilakukan akibat paksaaan (not spurred by external actions).
Teori keadilan dari Aristotels menitikberatkan keadilan berlandaskan
perimbangan khususnya keadilan komutatif dalam bidang tukar menukar.
Keadilan korektif ini yang diharapkan akan terwujud dalam perlindungan hak-hak
asasi manusia di bidang kontrak baku di lapangan hukum keperdataan.
54Aristoteles, Op.Cit, h.238.
55Aristoteles, Op.Cit, h.243.
Munir Fuady menjelaskan lebih lanjut teori Aristoteles yang membagi
keadilan menjadi tiga yakni keadilan distributif, keadilan komutatif (keadilan
korektif), dan keadilan hukum (legal justice). Pembagian ini bertujuan untuk
menemukan kesamaan. Keadilan distributif memberikan setiap orang apa yang
patut didapatnya atau yang sesuai dengan prestasinya seperti jasa baik (merits)
dan kecurangan atau ketercelaan (demerits), yang merupakan pekerjaaan dari
legistlatif. Keadilan distributif berlaku pada bidang hukum publik.56
Keadilan distritubitf berlaku dalam hukum publik, dan keadilan korektif
yang kedua berlaku dalam hukum perdata dan pidana. Keadilan distributif
berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama rata
diberikan oleh pencapaian yang sama rata, sama-sama bisa didapatkan oleh
anggota masyarakat, dengan mengesampingkan pembuktian matematis57
.
Aristoteles menyatakan bahwa “Distributive justice, in accordance with
geometrical proportion,” yang berarti bahwa keadilan distribusi pada dasarnya
memberikan bagian masing-masing orang sama banyaknya, tidak perlu dibedakan
apakah ia kaya atau miskin, dilakukan berdasarkan nilai yang ada di masyarakat.58
Keadilan korektif (komutatif) menurut Aristoteles adalah memberikan
setiap orang haknya atau sedekat mungkin dengan haknya (to give each one his
due) tidak sama rata. Keadilan korektif oleh Aristotetles dikaitkan dengan
pembagian yang bersifat aritmetik.59
Keadilan korektif (komutatif) merupakan
56Munir Fuady, 2007, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, (selanjutnya disebut
Munir Fuady II), h.111.
57Carl Joachim Friedrich diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, 2010, Filsafat Hukum
Perspektif Historis, Nusa Media, Bandung, h.25.
58Aristoteles, Op.Cit, h.231.
59Ibid,h.234.
pekerjaan para hakim dalam hal menjatuhkan hukuman sesuai dengan kadar
kesalahannya atau memberikan ganti rugi sesuai kerugian yang dideritanya,
sehingga tidak ada orang yang mendapatkan keuntungan atas penderitaan orang
lain. Keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu
kontrak dilanggar maka keadilan korektif berupaya memberikan kompensasi yang
memadai bagi para pihak yang dirugikan.60
Menurut The Liang Gie61
bahwa keadilan yang dikemukakan oleh
Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia (fairness in human action).
Kelayakan berada di tengah-tengah antara titik yang terlalu banyak dan terlalu
sedikit. Keadilan menurut Aristoteles menitik beratkan pada perimbangan.
Keadilan berdasarkan Aristoteles berasal dari konsep yang rasional.62
Keadilan distributif (distributive justice) berwujud suatu perimbangan
(proportion) agar merupakan keadilan, yang merupakan suatu persamaan dari dua
perbandingan (equality of ratios). Aristoteles mengemukakan “Therefore the just
is intermediate, between a sort of gain and a sort of loss,namely, those which are
involuntary, it consists in having an equal amount before and after the transaction
(Terjemahan: oleh sebab itu keadilan adalah berada pada titik tengah, antara
keuntungan dan kerugian, terutama mereka yang tidak secara sadar atau sukarela
yang berupaya mendapatkan beberapa hal sebelum dan sesudah transaksi)63
”
Ketidakadilan adalah apa yang melanggar proporsi itu. Aristoteles
60Carl Joachim Friedrich, Op.Cit, h.24.
61The Liang Gie, 1982, Teori-Teori Keadilan Sumbangan Bahan untuk Pemahaman
Pancasila, Supersukses, Yogyakarta, h. 23-25.
62E.Fernando M.Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan; Tinjauan Hukum Kodrat
dan Antinomi Nilai, Kompas Media Nusantara, Jakarta, h.13.
63Aristoteles, Op.Cit, h.238.
mengilustrasikan bahwa bagian A yang diterima sesuai dengan jasa A, dan bagian
B yang diterima sesuai dengan jasa B. Teori keadilan distributif dari Aristoteles
ini mendasarkan pada prinsip persamaan (equality).64
Keadilan korektif atau komutatif dimaksud untuk mengembalikan persamaan
dengan menjatuhkan hukuman kepada pihak yang bersangkutan. Pertukaran itu
merupakan unsur timbal balik yang proporsional (proportionate reciprocity).65
Aristoteles menyatakan bahwa “reciprocity in accordance with proportion and
not on the basis of precisely equal return66
” (pertukaran yang berdasarkan pada
proporsional bukan berdasarkan pada nilai balik yang equal atau sama). Keadilan
ini mengatur hubungan yang adil antara orang yang satu dan yang lain atau antara
warganegara yang satu dengan warga negara lainnya. Keadilan jenis ini
menyangkut hubungan horisontal antara warga yang satu dengan warga yang lain,
disebut juga sebagai keadilan komutatif atau niaga (commutative justice).
Dalam bisnis, keadilan komutatif juga disebut atau berlaku sebagai
keadilan tukar. Dengan kata lain, keadilan komutatif menyangkut pertukaran yang
adil antara pihak-pihak yang terlibat. Prinsip keadilan komutatif menuntut agar
semua orang menepati apa yang telah dijanjikannya, mengembalikan pinjaman,
memberi ganti rugi yang seimbang, memberi imbalan atau gaji yang pantas, dan
menjual barang dengan mutu dan harga yang seimbang. Keadilan perbaikan dan
keadilan komutatif bertujuan untuk memelihara ketertiban masyarakat dan
kesejahteraan umum
64The Liang Gie, Loc.Cit.
65Ibid.
66Aristoteles, Op.Cit, h.239
John Rawls mengembangkan keadilan korektif atau komutatif yang
dikemukakan oleh Aristoteles dalam teori keadilan yang disebut sebagai keadilan
sebagai kelayakan (Justice as Fairness). Menurut John Rawls keadilan akan
diperoleh jika dilakukan maksimum penggunaan barang secara merata dengan
memperhatikan dua prinsip keadilan. Rawls mendasarkan teori keadilannya
melalui pendekatan kontrak, “Justice as fairness is an example of what I have
called a contract theory”.67
Secara spesifik Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-
prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaannya yang
dikenal dengan posisi asali dan selubung ketidaktahuan. Setelah selubung
ketidaktahuan itu dibuka orang akan tetap secara rasional berupaya untuk
memperoleh lebih besar barang-barang. Rawls menyatakan bahwa “But from the
standpoint of the original position, it is rational for the parties to suppose that
they do want a larger share, since in any case they are not compelled to accept
more if they do not wish to” (Terjemaan: bersandar dari posisi asli, adalah rasional
apabila mereka menginginkan bagian yang lebih besar, karena dalam hal apapun
mereka tidak dipaksa untuk menerima lebih banyak apabila mereka tidak
menginginkannya), 68
Rawls berupaya untuk memposisikan adanya situasi yang sama dan
setara antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat serta tidak ada pihak yang
memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, seperti misalnya
kedudukan, status sosial, tingkat kecerdasan, kemampuan, kekuatan, dan lain
67John Rawls, 1999, A Theory of Justice Revised Edition, The Belknap Press of Harvard
UniversityPress, Cambrigde Massachosetts, h.14.
68Ibid, h.23.
sebagainya. Tujuan dari kesamaan tersebut adalah agar orang-orang tersebut dapat
melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara seimbang (khususnya dalam
kontrak). Teori ini jika dikaitkan dengan kontrak maka kedudukan para pihak
adalah sama sebelum kontrak dibuat, tidak ada diskriminasi, tidak ada kedudukan
pihak yang lebih kuat atau pihak yang lebih lemah, sehingga akan tercapai
pertukaran hak dan kewajiban yang adil.
Di dalam teorinya terdapat dua prinsip utama: Prinsip pertama bahwa
setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan kebebasan dasar yang paling
luas dan kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain, yang
dikenal dengan prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle), seperti
misalnya kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan
mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression), serta kebebasan
beragama (freedom of religion)69
.
Prinsip kedua dari teori Rawls bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi
diatur sedemikian rupa, sehingga dapat diperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi
anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan, disebut dengan prinsip
perbedaan. Jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi semua orang
dalam keadaan dimana adanya persamaan kesempatan yang adil (prinsip
persamaan kesempatan). Prinsip perbedaan dapat dibenarkan sepanjang
69John Rawls memiliki dua prinsip yaitu:” First, each person is to have and equal right to most extensive basic liberty compatible with a similar liberty for others, second: social and
economic inequalities are to be arranged so that are both (a) reasonable expected to be to
everyone‟s advantage (b) attached to position and office open to all”. (Terjemahan: pertama
bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas
kebebasan yang sama bagi semua orang. Kedua, bahwa ketimpangan sosial dan ekonomi diatur
sedemikian rupa sehingga (a) memberikan keutungan bagi semua orang dan (b) semua poisis dan
jabatan terbuka bagi semua orang). John Rawls, Op.Cit, h.60 , lihat juga Agus Yudha Hernoko,
Op.Cit, h..52-53.
menguntungkan yang lemah, sehigga ketidaksamaan kesempatan akibat adanya
perbedaan kualitas kemampuan, kemauan dan kebutuhan dapat dipandang sesuatu
yang adil menurut Rawls, asalkan memberi manfaat pada orang yang kurang
beruntung atau lemah70
. Hasil kontrak tidak harus pembagian yang sama secara
matematis, namun bersifat proporsional sesuai dengan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban para pihak dalam kontrak.
Rawls menempatkan kebebasan akan hak-hak dasar sebagai nilai yang
tertinggi untuk mewujudkan masyarakat yang adil yang diikuti dengan adanya
jaminan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk menduduki jabatan atau
posisi tertentu dan adanya pembedaan tertentu juga dapat diterima sepanjang
meningkatkan atau membawa manfaat terbesar bagi orang-orang yang paling
tidak beruntung. Bagi teori Rawls ini, setiap orang mempunyai hak yang sama
untuk kaya, bukan hak untuk memiliki kekayaan yang sama. Teori keadilan dari
John Rawls yang lebih menekankan pada proporsional dipakai untuk menekankan
nilai keadilan dalam kontrak tidaklah harus sama melainkan lebih megarah ke
proporsional. Hasil tidak harus sama secara matematis namun pembagian hak dan
kewajiban diantara para pihak dilakukan secara proporsional71
..
2.1.2.2. Teori kehendak (will theory) oleh Roscoe Pound
Teori kehendak dipakai dalam membahas rumusan masalah pertama dan
masalah kedua. Teori kehendak untuk menjelaskan dasar filosofi kebebasan
berkontrak yang berasal dari kehendak bebas. Kehendak bebas sebagai dasar dari
kebebasan berkontrak merupakan penjelmaan dari nilai-nilai hak asasi manusia.
70Ibid.
71John Rawls, Op.Cit, h.15.
Pelopor dari teori ini adalah Roscoe Pound dalam buku An Introduction to the
Philoshopy of law72
, menguraikan bahwa:
Putting them in the order of their currency, we may call them (1) the will
theory, (2) the bargain theory, (3) the equivalent theory, (4) the injurious-
reliance theory. That is, promises are enforced as a giving effect to the will of
those who agree, or to the extent that they are bargains or parts of bargains, or
where an equivalent for them has been rendered, or where they have been
relied on by the promisee to his injury, according to the theory chosen.
(Terjemahan: menempatkan mereka dalam urutan; kita dapat
menyebutnya (1) teori kehendak; (2) teori tawar menawar; (3) teori kesamaan,
(4) teori kerugian-ketergantungan. Adalah janji-janji dapat dipaksakan akibat
adanya kehendak dari mereka yang sepakat, atau perjanjian diakui sampai
kepada batas tawar menawar atau bagian dari tawar menawar, atau dimana
suatu kesamaan/kesetaraan terhadap janji yang telah diberikan, atau apabila
perjanjian dipercayai oleh pihak yang menerima janji atas kerugiannya,
berdasarkan pada teori-teori yang dipilih).
Teori kehendak ini menekankan pada pentingnya “kehendak” ( will atau
intend ) dari pihak yang memberikan janji. Ukuran dari eksistensi, kekuatan
berlaku dan substansi dari suatu kontrak diukur dari kehendak tersebut.
Teori kehendak (the will theory) adalah suatu kesepakatan mengikat
karena merupakan keinginan para pihak yang menginginkan kesepakatan itu
mengikat atau para pihak yang menyatakan kehendaknya untuk mengikatkan
diri73
. Teori ini menekankan pada hasrat dari pihak yang memberikan janji,
ukuran dari eksistensi kontrak, kekuatan berlaku substansi diukur dari hasrat
tersebut. Dalam sebuah kontrak yang terpenting adalah apa yang mereka inginkan.
Berdasarkan teori kehendak ini maka kesepakatan mengikat karena
kehendak para pihak yang menginginkan kesepakatan itu mengikat. Para pihak
sendiri yang pada intinya menyatakan kehendaknya untuk mengikatkan diri. Kata
72Roscoe Pound, 1922, An Introduction To The Philosophy Of Law, Yale University Press, h.
57.
73Ibid, p.151.
sepakat antara subyek terjadi secara sadar dan disengaja untuk menimbulkan suatu
akibat hukum berupa prestasi. Ukuran dari eksistensi, kekuatan berlaku, dan
substansi dari suatu kontrak diukur dari hasrat/kehendak tersebut. Inti dari
perjanjian adalah perwujudan kehendak para pihak. Teori ini didukung oleh
Subekti yang menyatakan bahwa "Perikatan yang lahir dari perjanjian memang
dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian.”74
Teori kehendak ini dikembangkan lagi oleh Charles Fried dalam teori
Contract as Promise dengan mengemukakan inti utama dari teorinya adalah "An
individual is morally bound to keep his promises because he has intentionally
invoked a convention whose function it is to give grounds--moral grounds--for
another to expect the promised performance. (Individu terikat pada janjinya
secara moral karena individu tersebut telah sengaja menimbulkan persetujuan
yang berfungsi ntuk memberikan dasar-dasar moral bagi orang lain untuk
mengharapkan pemenuhan perjanjian)"75
Janji itu mengikat karena pemberi janji
(promisor) telah memilih dengan sengaja (dari kehendaknya) untuk terikat dengan
janji tersebut. Penggunaan paksaan untuk melaksanakan perjanjian tersebut adalah
sah karena sejak semula pemberi janji memberikan kewenangan tersebut
berdasarkan kehendaknya untuk terikat. Kehendak dimaksud di sini adalah
kehendak bebas tanpa paksaan.
74Subekti, Op.Cit, h.3.
75Charles Fried, 1981, Contract as Promise A Theory of Contractual Obligation, Harvard
University Press, America, h.16.
Berdasarkan teori ini, maka hasrat atau kehendak yang dipakai sebagai
landasan mengikatnya kontrak menimbulkan janji76
. Kehendak yang dapat
dipaksakan berlakunya adalah kehendak yang bebas dari paksaan. Kontrak
dibangun atas dasar kepercayaan dan penghargaan terhadap orang. Pihak yang
telah membuat kontrak secara moral berkewajiban untuk melaksanakan janji-janji
karena pihak tersebut telah berjanji. Janji berasal dari apa yang diucapkan atau
diperbuat yang memberikan tanda adanya persetujuan77
. Landasan mengikat
kontrak adalah janji yang dibuat yang berdasarkan dari kehendak. Pemenuhan
akan janji merupakan pemenuhan terhadap moral. Janji dan moral tidak dapat
dipisahkan. Teori ini dipergunakan untuk memberikan landasan bahwa
keberlakuan kontrak baku adalah dibenarkan apabila terbentuk dari kehendak
yang bebas tanpa paksaan.
2.1.2.3. Teori Keseimbangan dalam kontrak (the balance theory of contracts)
oleh Joel Levin dan Banks Mc.Dowell
Teori ini dipakai untuk memberikan jawaban terhadap rumusan masalah
yang ketiga. Teori ini memberikan rujukan asas-asas yang dipakai dalam
pembuatan kontrak baku agar dapat memberikan keadilan terhadap para pihak
sehingga mampu melindungi hak asasi manusia. Teori ini dikemukakan oleh Joel
Levin dan Banks Mc.Dowell dengan awal thesis landasan kekuatan mengikatnya
76Interprestasi dari perbuatan sebagai perbuatan hukum dan kontrak sebagai suatu proses yang didasarkan atas kehendak dikemukakan pula oleh Wirjono Projodikoro yakni: Suatu perjanjian
berdasarkan atas janji seorang subjek dan janji berdasarkan kemauan orang itu berjanji. Maka
pokoknya harus ada kemauan. Akan tetapi oleh karena suatu janji tentu ditujukan kepada pihak
lain, yang kemudian mendapat hak atas pelaksanaan janji itu, kemauan orang itu baru berarti bagi
pihak lain itu, apa bila diucapkan. Bagaimanapun keluarnya dari suatu kemauan, kalau kemauan
ini disimpan saja di dalam hati sanubari seseorang, ini tidak berarti dalam hukum. (Wirjono
Projodikoro, 2000, Asas-asas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, h.27)
77Ibid, h.4-5.
kontrak adalah “A legally binding contract exists where an obligation has been
voluntarily assumed, is reasonably fair to the party against whom it is enforced, is
consistent with society‟s contractual expectations, and gives rise to no
administrative difficulties barring enforcement”(sebuah kontrak memiliki
kekuatan mengikat secara hukum apabila kewajiban yang timbul secara sukarela,
adil bagi pihak yang lainnya, konsisten dengan harapan-harapan masyarakat dalan
hubungan kontraktual, dan tidak memiliki kesulitan administrasi dalam
pelaksanaannya)78
:
Komponen kontrak yang dapat mengikat secara hukum terdiri dari
empat komponen yakni (1) Dilakukan secara sukarela (voluntariness); (2)
keadilan/kelayakan (fairness), (3) harapan-harapan hubungan kontraktual dalam
masyarakat/ketertiban umum (society‟s contractual expectations); (4) tidak ada
kesulitan adminsitrasi dalam pelaksanaannya (absence of administrative
difficulties). Komponen teori pertama dan kedua yakni “dilakukan secara sukarela
(kesukarelaan)” dan “keadilan” merupakan variabel yang berubah-ubah namun
bersifat “check and balance” artinya dalam suatu kontrak apabila tingkat
kesukarelaannya kurang maka secara proporsional keadilan harus ditingkatkan,
demikian pula sebaliknya apabila tingkat kesukarelaannya tinggi maka penekanan
pada tingkat keadilan menjadi lebih berkurang.
Kesukarelaan (voluntariness) diukur berdasarkan tindakan yang
dilakukan secara sadar (consciously) dan dipilih berdasarkan kehendak bebas
(willingly) dari pemberi janji. Semakin tinggi tingkat kesukarelaan maka semakin
78Joel Levin and Banks McDowell, “The Balance Theory of Contracts: Seeking Justice in
besar kekuatan berlakunya yang dapat dipaksakan oleh hukum untuk berlakunya.
Kontrak yang di dalamnya tidak terdapat pilihan bebas (tidak ada pilihan lain)
tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sehingga menimbulkan
kebutuhan akan “keadilan/kelayakan” di dalamnya.
Keadilan atau kelayakan (fairness) adalah sebuah konsep moral yang
menjadi perdebatan sejak dahulu. Berdasarkan teori ini konsep keadilan/kelayakan
(fairness) ditandai dengan adanya pengetahuan yang cukup terhadap semua aspek
dari kontrak dan memiliki kemampuan untuk memperhitungkan akibat dari
kontrak79
. Penekanannya pada hal-hal yang secara wajar akan disepakati oleh
para pihak berdasarkan pengetahuannya bukan pada persamaan hasil yang akan
diharapka (proporsional). Pengetahuan yang penuh oleh para pihak terhadap hal-
hal yang disyaratkan dalam kontrak.
Komponen ketiga dan keempat yakni sesuai dengan ketertiban umum
(consistency with society‟s contractual expectations) 80
dan tidak ada kesulitan
administratif (administrative convenience) dalam pelaksanaanya merupakan
variable yang tergantung pada undang-undang dan bersifat relatif. Kesulitan
administratif diartikan tidak menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaanya
contohnya penentuan ganti rugi yang jelas dan dapat diukur.
79Hal ini sesuai dengan teori keadilan dari John Rawls yang menekankan pada kelayakan
dalam keadilan.
80Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa ketertiban umum yang dibuat untuk membatasi kebebasan berkontrak tidak harus dalam ruang lingkup hukum publik namun terdapat pula dalam
ruang lingkup hukum privat, ketertiban umum tidak harus selalu berupa aturan hukum yang
bersifat memaksa, melainkan dapat pula berupa asas-asas hukum. Suatu kontrak bertentangan
dengan ketertiban umum apabila bertentangan dengan asas yang fundamental dari organisasi
kehidupan bermasyarakat yang ada. Asas-asas fundamental merupakan nilai-nilai filosofis dari
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. (Lihat Peter Mahmud Marzuki, 2003, “Batas-Batas
Kebebasan Berkontrak”, Artikel, Majalah Yuridika Volume 18 No.3 selanjutnya disebut Peter
Mahmud Marzuki II, hal.215)
2.1.3. Doktrin Unconscionability
Doktrin unconscionability berkembang di Amerika Serikat, diatur dalam
Uniform Commercial Code (UCC) Section 2-302 yang menentukan bahwa81
:
(1) If the court as a matter of law finds the contract or any clause of the
contract to have been unconscionable at the time it was made, the court
may refuse to enforce the contract, or it may enforce the remainder of the
contract without the unconscionable clause as to avoid any
unconscionable result;
(2) When it is claimed or appears to the court that the contract or any clause
thereof may be unconscionable the parties shall be afforded a reasonable
opportunity to present evidence as to its commercial setting, purpose and
effect to aid the court in making the determination
(Terjemahan bebas:
(1) Apabila pengadilan berdasarkan hukum menenumkan sebuah kontrak atau
klausula dalam kontrak tidak dibuat berdasarkan hati nurani, pengadilan
dapat menolak melaksanakan kontrak, atau dapat memaksa
memperlakukan sisa kontrak tanpa adanya klausula tersebut untuk
menghindari akibat yang tidak berdasarkan moral;
(2) Apabila diklaim atau diperlihatkan kepada pengadila bahwa kontrak atau
klausula tertentu merupakan klausula yang tidak sesuai dengan hati
nurani, para pihak seharusnya diberikan kesempatan yang wajar untuk
menunjukkan bukti terkait pengaturan komersial, tujuan dan akibat-
akibat untuk membantu pengadilan membuat keputusan).
Pengertian dari unconscionability tidak diatur dalam UCC, mengakibatkan
penentuan dari unconscionability ini diserahkan kepada kebebasan hakim
(penafsiran pengadilan) terhadap fakta-fakta dari pengadilan itu sendiri. Namun
jika dilihat dari asal katanya yakni conscience yang artinya “1. the moral sense of
right and wrong; esp a moral sense applied to one‟s own judgment and action. 2.
In law, the moral rule that requires justice and honest dealings between people.
(Terjemahan bebas: Perasaan moral atau nilai moral tentang benar dan salah,
dipakai sebagai pedoman penilain dan tindakan.2. aturan moral terkait dengan
81Sumber http://www.law.cornell.edu/ucc/2/2-302, diakses pada tanggal 25 Agustus 2016.