42 BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU KEBERAGAMAAN DAN KULTUR SOSIOLOGI AGAMA Bab ini akan menguraikan teori-teori yang menjadi kata kunci dalam penulisan ini sesuai dengan judul bahasan, yaitu perilaku keberagamaan dan kultur sosiologi agama masyarakat. A. Teori Perilaku Agama dan Keberagamaan 1) Teori asal usul Agama ( kepercayaan ) Sedikitnya para sarjana antropologi banyak yang mencatat dan merumuskan berbagai teori dengan pendektan dan latar belakangnya masing masing sesuai keilmuanya. Ada dua teori pokok tentang asal usul agama, diantaranya: Pertama, bersumberkan pada ajaran-ajaran wahyu bahwa asal muasal agama adalah dari Tuhan yang diturunkan kepada manusia, Kedua, tinjauan teoritis yang lebih menitik beratkan pada tinjauan antropologis, sosiologis, historis, maupun psikologis yang intinya sama, yaitu agama merupakan suatu evolusi dari bentuknya sederhana (natural religion) ke bentuk yang lebih sempurna yang ada pada sekarang ini. 1 Dengan demikian, asal usul agama dalam kajian teologis tentu berdasarkan wahyu yang diyakini para penganut agamanya. Oleh karena itu, ―kebenaran‖ asal-usul agama adalah kebenaran berdasarkan ajaran dan keyakinan tiap-tiap agama. Asal usul agama dalam kajian teoritis didasarkan 1 E.E Pritchcard, theories of Primitief Religion, Clarendon Press, Oxpford, 1989, hlm.viii dalam Muhtar Ghazali Adeng, Agama dan Keberagamaan dalam kontek Perbandingan Agama, CV. Pustaka Setia tahun 2004, Hal. 32.
75
Embed
BAB II KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214146310022.pdfPENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127 8002
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
42
BAB II
KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU KEBERAGAMAAN
DAN KULTUR SOSIOLOGI AGAMA
Bab ini akan menguraikan teori-teori yang menjadi kata kunci dalam
penulisan ini sesuai dengan judul bahasan, yaitu perilaku keberagamaan dan
kultur sosiologi agama masyarakat.
A. Teori Perilaku Agama dan Keberagamaan
1) Teori asal usul Agama ( kepercayaan )
Sedikitnya para sarjana antropologi banyak yang mencatat dan
merumuskan berbagai teori dengan pendektan dan latar belakangnya masing
masing sesuai keilmuanya. Ada dua teori pokok tentang asal usul agama,
diantaranya:
Pertama, bersumberkan pada ajaran-ajaran wahyu bahwa asal muasal
agama adalah dari Tuhan yang diturunkan kepada manusia,
Kedua, tinjauan teoritis yang lebih menitik beratkan pada tinjauan
antropologis, sosiologis, historis, maupun psikologis yang intinya sama, yaitu
agama merupakan suatu evolusi dari bentuknya sederhana (natural religion)
ke bentuk yang lebih sempurna yang ada pada sekarang ini.1
Dengan demikian, asal usul agama dalam kajian teologis tentu
berdasarkan wahyu yang diyakini para penganut agamanya. Oleh karena itu,
―kebenaran‖ asal-usul agama adalah kebenaran berdasarkan ajaran dan
keyakinan tiap-tiap agama. Asal usul agama dalam kajian teoritis didasarkan
1 E.E Pritchcard, theories of Primitief Religion, Clarendon Press, Oxpford, 1989, hlm.viii dalam
Muhtar Ghazali Adeng, Agama dan Keberagamaan dalam kontek Perbandingan Agama, CV.
Pustaka Setia tahun 2004, Hal. 32.
43
pada kajian-kajian empirik berdasarkan teori-teori keilmuan tertentu yang
dihasilkan melalui penelusuran fakta-fakta keagamaan yang ditemukan di
lapangan.
Abbas Mahmoud Al-Akkad,2 untuk kalangan orang primitif mitos-mitos
merupakan bagian dari asal-usul agama. Teori animisme mula dipelopori pada
kurun ke-19 masehi oleh Sir Edawrd Burnett Tylor.3 Menurut beliau,
animisme adalah suatu gambaran kepada bentuk kepercayaan masyarakat
primitif. Teori ini dibina berdasarkan pengamatan beliau kepada kepercayaan-
kepercayaan yang wujud dalam komuniti manusia yang masih primitif.
Hasilnya, beliau telah mempelopori dua teori signifikan. Pertama, kepercayaan
manusia primitif adalah animisme. Kedua, teori evolusi agama yaitu animisme
sebagai kepercayaan tertua dan menjadi asas kepada agama-agama dunia.4
Spencer lebih cenderung asal mula kepercayaan (agama) adalah
pemujaan terhadap roh nenek moyang yang merupakan bentuk ibadah yang
2 Abbas Mahmoud Al-Akkad, Ketuhanan sepanjang Ajaran-ajaran Agama dan Pemikiran
Manusia, terjemahan A. Hanafi, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm.14. dalam Muhtar Ghazali
Adeng, Agama dan Keberagamaan dalam kontek Perbandingan Agama, CV. Pustaka Setia tahun
2004, Hal.33. 3 Edward Burnett Tylor (2 Oktober 1832 - 2 Jan 1917), adalah seorang ahli antropologi
Inggeris dan seorang profesor antropologi di Universiti Oxford, digelar bapa kepada bidang
antropologi moden. Beliau adalah pelopor kepada suatu teori yang menggambarkan kepercayaan
masyarakat primitif, iaitu animisme. Beliau juga pendukung kepada teori evolusi agama dan
menjadikan animisme sebagai batu asas kepada semua kepercayaan-kepercayaan manusia di
dunia. Lihat William H. Swatos dan Peter Kivisto, ―Tylor Edward B.‖ dalam Encyclopedia of
Religion and Society (California: Rowman Altamira, 1998), 528 dan Paul A. Erickson dan Liam D.
Murphy, Readings for a History of Anthropological Theory (Canada: University of Toronto Press,
2013), 29. Dalam Mohd Khairulnazrin bin Mohd Nasir Muhammad Syafee Salihin Hasan Ishak
bin Haji Suliaman KEPERCAYAAN ANIMISME MENURUT PERSPEKTIF SUNNAH
NABAWI DAN AHLI ANTROPOLOGI BARAT: SATU KAJIAN AWAL - JURNAL
PENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127-
8002 - BIL 9, ISU II: 2016. 4 Teori animisme telah dipelopori oleh Edward Burnett Tylor (1832-1917) dalam bukunya
Primitive Culture: Research Into Development Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art
and Custom yang diterbitkan buat pertama kali pada April 1871.
44
paling tua. Pemujaan terhadap roh nenek moyang ini sulit untuk diterima,
karena pada kenyataanya tidak berlaku untuk setiap masa, sehingga hilang
kehawatiran bentuk penghambaan pada roh-roh itu, namun kepercayaan itu
akan muncul pada orang-orang yang lemah keimanannya.
Presiden de Brosses,5 seorang ahli jiwa menyatakan bahwa kepercayaan
(agama) berasal dari Fetisisme, yaitu pemujaan terhadap benda-benda dan
binatang-binatang oleh orang-orang negro Pantai Afrika Barat, kemudian
berkembang menjadi politeisme dan akhirnya menjadi monoteisme. Teori ini
kemudian dikembangkan oleh para ahli ilmu jiwa asosiasi pada masa itu, yang
menggambarkan teori roh dan teori jiwa yang meyakini bahwa manusia
primitif pun pada dasarnya dianggap bersifat rasional, sekalipun dalam upaya
menjelaskan fenomenanya masih tanda tanya karena dianggap mentah.
Menurut teori tersebut, semua pengetahuan manusia datang lewat indra. Oleh
karena itu, agama artinya ―tiada kepercayaan sebelum pengindraan‖. Ya‘ni
sentuhan yang memberikan kesan yang paling mendalam tentang kenyataan.
Adapun hal yang tidak dapat diraba oleh manusia seperti matahari dan langit,
memberikan arti infinite ( keterbatasan). Akan tetapi bisa melengkapi materi-
materi untuk memberikan pemahaman tentang ketuhanan.
Selanjutnya, Harun Nasution6 menyajikan beberapa definisi agama
sebagai berikut:
a. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan ghaib
5 Dikutip oleh E. Pritchard, Op.Cit,hlm.26 dalam Muhtar Ghazali Adeng, Agama dan
Keberagamaan dalam kontek Perbandingan Agama, CV. Pustaka Setia tahun 2004, Hal.34. 6 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1985, Jilid I, hlm. 10.
Dalam Adon Nasrullah Jamaluddin, Agama dan Konflik Sosial,PT. Pustaka Setia,Oktober 2015.
Hlm. 66.
45
yang harus di patuhi.
b. Pengikatan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan
pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang
mempengaruhi perbuatan manusia.
c. Kepercayaan pada sesuatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup
tertentu.
d. Pengakuan adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada
kekuatan gaib.
e. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan
perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam
sekitar manusia.
Dari definisi diatas dapat dipahami dan dicermati bahwa agama bukan
wujud yang berdiri sendiri melainkan melekat dan menyatu pada wujud lain,
yaitu pada diri manusia yang beragama. Kata-kata seperti kepercayaan, sikap,
penerimaan, pengakuan, pengikatan, pemujaan dan kata kata lain yang sering
dipakai untuk merumuskan definisi agama menunjuk sesuatu yang melekat
pada manusia. Agama tidak dipandang sebagai kata benda, tetapi kata sifat atau
kata kerja karena semua definisi ini menunjuk pada keadaan atau aktifitas yang
melekat pada diri manusia.7
Oleh karena itu, setiap definisi pada akhirnya menunjukan teori-teori
realitas dan tempat bahwa agama-agama dipegang dan dipertahankan dalam
pemikiran dan kehidupan manusia.Yang paling menarik atau ditonjolkan dalam
definisi ini adalah pengakuan garis pemisah antara manusia dan dewa, atau
7 Adon Nasrullah Jamaluddin, Agama dan Konflik Sosial,PT. Pustaka Setia,Oktober 2015.
Hlm.67.
46
pada waktu bersamaan manusia sangat dekat dengan sesuatu yang absolute,
yaitu suatu ketergantungan terhadap kekuatan tertinggi.
Semua itu menggambarkan ketergantungan terhadap Ulittimate Reality,
yang dialami manusia dari waktu ke waktu. Pengalaman agama ini hampir
terdapat pada semua agama, bahkan dialami pula oleh orang-orang yang tidak
beragama8. Wajarlah kalau Dr. Radhakrisnan, seorang professor dari
Universitas Oxford dan mantan presiden India serta pemikir terkemuka dari
monisme Vedanta, menyatakan bahwa: ―semua agama adalah satu dalam
“pengalaman” tetapi bertentangan dalam ―pengungkapan‖ teologinya.‖9
Dengan mengacu pada dasar pemikiran ini, ada dua kategori dalam
mendefinisikan agama.
Kategori Pertama, definisi yang mengacu pada berbagai pandangan
(definisi nominal), ya‘ni ―agama‖, atau dalam pembendaraan Eropa: religion (
Inggris), La religion (Prancis) de religie ( Belanda), die religion (Jerman)
dipergunakan sebagai istilah umum yang mencakup minat-minat manusia
tertentu di seluruh dunia.10 Secara harfiyah, ada yang mendefinisikan religion
“sebagai suatu hubungan‖, ya‘ni suatu hubungan antara manusia dan yang
‗diluar‘(diatas) manusia. Bagi kebanyakan orang-orang Eropa, religion berarti
― hubungan tetap antara diri manusia dan wujud diluar dirinya, yang suci, yang
maha tahu, yang wujud dengan dirinya sendiri, atau dengan istilah populernya
8 Ismail R Alfaruqi, Pengalaman Keagamaan dalam Islam, Terjemahan, PLP2M, Yogyakarta,
1985, hlm. 115. Dikutip Gghazali, Adeng Mukhtar, ―Agama dan Keberagamaan dalam kontek
Perbandingan Agama”.hlm.27 9 Robert Brow, Asal Usul Agama, Terjemahan, Tonis, Bandung, 1986, hlm. 116.
10 Depag RI, Ilmu Perbandingan Agama, Proyek Pembinaan PT/IAIN, Jakarta, 1981, hlm.48—
51. Dikutif oleh : Gghazali,Adeng Mukhtar ―Agama dan Keberagamaan dalam kontek
Perbandingan Agama”.
47
adalah tuhan11. Ada juga yang berpandangan bahwa “agama” bagian
terjemahan dari religion-tersusun dari dua kata, ya’ni “a” tidak “gama”
artinya pergi; jadi agama artinya “tidak pergi‖. Ada yang berpandangan
agama berarti ―teks atau kitab suci‖. Dalam bahasa sansekerta, agama berarti:
―a‖ tidak dan gama ―kacau‖, jadi agama adalah ―tidak kacau atau teratur‖.
Pengertian lain religion adalah ―dien‖ (bahasa Semit) yang mempunyai arti
ganjaran, perhitungan kepatuhan‖ dan lain-lain. Dalam bahasa Arab kata ini
mengandung arti ―menguasai, patuh, utang, balasan dan kebiasaan.‖12
Kategori kedua, mengacu pada definisi riil (teoritis). Banyak yang
mendefinisikan agama berdasarkan hasil survey, yang melihat gejala-gjala
individual maupun kelompok yang mengungkapkan rasa keagamaannya.
Diantaranya adalah pendapat Elizabeth K. Nottingham, seorang sosiolog
mengatakan bahwa agama dan keberagamannya yang hampir tidak
dibayangkan itu memerlukan deskripsi (penggambaran) dan bukan definisi
(batasan) sehingga tidak ada definisi yang memuaskan. Karena “agama
merupakan gejala yang sering terdapat dimana-mana, sehingga sedikit
membantu kita untuk membuat abstraksi ilmiah”. Disamping itu, agama
berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari
keberadaanya sendiri dan keberadaan alam semesta.13 Sementara itu pendapat
11
Lihat, Ugo Bianchi, the History of Religions, E.J. Brill Leiden, 1974, hlm. 201; Juga lihat
Zaenal Arifin Abbas, Perkembangan Pemikiran Agama, Alhusna, Jakarta, 1984 , hal. 49. Dikutif
oleh Gghazali, Adeng Mukhtar, ―Agama dan Keberagamaan dalam kontek Perbandingan
Agama”. 12
Depag, Op. Cit. hlm. 49. 13
Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, Terjemahan, Rajawali, Jakarta, 1984,
hlm.3 dalam Ghazali, Adeng Mukhtar, ―Agama dan Keberagamaan dalam kontek Perbandingan
Agama”.hlm.26.
48
Edward Burnet Tylor, seorang pelopor antropologi Modern, sejak lama
membatasi agama dengan paham ―animisme‖, secara minimum mendefinisikan
agama sebagai “the beliefs in spiritual beings” (kepercayaan terhadap adanya
roh)14. Pratt mengemukakan bahwa agama sebagai the serious and social
attitude of individuals or communities to ward the power or powers which they
conceive as heving ultimate control ov er their interests and destinies ( sikap
yang serius dan sosial dari individu atau komunitas pada satu atau lebih
kekuatan yang mereka anggap memiliki kekuasaan tertinggi terhadap
kepentingan dan nasib mereka).15 Sekalipun tiap-tiap agama memiliki ajaran
dan cara membahasakan diri yang berbeda-beda dalam kehidupan sehari-hari,
kesadaran umum melihat tujuan yang sama. Dalam bahasa teologis-ya‘ni bagi
agama-agama wahyu atau teistis – agama berpretensi untuk membimbing
manusia menuju Tuhan. Agama adalah erivasi normative dari teologi yang
berisi petunjuk-petunjuk menuju Tuhan.16
Wilayah kerja agama adalah kehidupan manusia-manusia konkret historis
dari sejak lahir sampai matinya. Semua agama menjanjikan kebahagiaan
apapun arti perkataan tersebut, namun tidak semua menuju Tuhan karena ada
agama yang atheistis, sekalipun ia seorang atheis pada dasarnya adalah
beragama.17
14
Dikutip oleh Charles J. A Reader‘s Guide to the Great Religion‘s Second Edition, Mac Millan,
New York, hlm. 6-7. dalam Ghazali, Adeng Mukhtar, ―Agama dan Keberagamaan dalam kontek
Perbandingan Agama”.hlm.27. 15
Adon Nasrullah Jamaluddin, Agama dan Konflik Sosial,PT. Pustaka Setia,Oktober 2015.
Hlm.66. 16
Ibid. Hlm.28 17
Imam Ahmad dalam mengantarkan buku, Seri Prisma, Agama dan Tantangan Zaman, LP3S,
Jakarta, 1985, hlm. Viii. Dikutip Gghazali, Adeng Mukhtar, ―Agama dan Keberagamaan dalam
kontek Perbandingan Agama”.
49
Ada pula satu pendapat tentang agama dari Barbara Hargrove18, seorang
sosiolog menyatakan bahwa definisi agama secara sosiologis akan memberikan
impresi yang betul, kalau tidak, akan jatuh dalam bentuk kesalahan di dalam
pengenalan. Para sosiologis memiliki pokus yang khusus. Mempertimbangkan
terhadap data empiris, seperti tingkah laku, terutama terhadap struktur social
atau perilaku kelompok. Agama merupakan fenomena manusia yang berfungsi
menyatukan kesatuan ritual, social, dan sistem-sistem personality kedalam
suatu lingkungan yang berarti. Secara umum, di sini termasuk komponen-
komponen agama, di antaranya:
1. Komunitas para pengikut (jama‘ah).
2. Mitos-mitos umum yang menafsirkan abstraksi dari nilai-nilai cultural
dalam realitas historis.
3. Tingkah laku ritual, dan Suatu dimensi dari pengalaman yang diakui
karena mencakup sesuatu yang lebih daripada realitas sehari-hari, yakni
‗The Sacred‘ yang suci.19
Dari uraian singkat di atas, dapat dikatakan bahwa unsur perilaku yang
ditunjukkan oleh individu dalam menunjukkan keberagamaan di lingkungan
tempat ia hidup bersama masyarakat merupakan hal penting, yang dalam
penulisan ini penulis akan meneliti sikap dan perilaku kelompok Muslim dalam
kehidupan multikultural masyarakat kampung Cibunut desa Cirukem
Kuningan, dengan harapan ditemukan temuan-temuan yang meneguhkan
perlunya pendidikan dan pemahaman agama agar dapat menjalankan fungsinya
18
Barbara Hargrove, The Sosiology of Religion, Classical and Temporary Approaches, Harlan
Davidson USA, 1979, hlm.3. Dikutip Ghazali, Adeng Mukhtar, ―Agama dan Keberagamaan
dalam kontek Perbandingan Agama”. 19
Ibid.hal.29
50
sebagai pemandu kehidupan seorang, khususnya muslim, di mana seluruh
aspek kehidupan seorang muslim yang terkait dengan kehidupannya
sesungguhnya sudah diatur oleh ajaran-ajaran Islam.
Dengan demikian dapat dijelaskan dalam perspektif sosio antropologis
bahwa wujud agama yang sesungguhnya akan dapat dilihat dari sistem perilaku
yang ditunjukan oleh para penganut agama yang bersangkutan. Action,
tindakan amal nyata sebagai wujud perilaku ummat beragama sehari-hari,
seperti halnya bagaimana ummat muslim Cibunut Cirukem dalam
melaksanakan ajaran Islam yang dianutnya serta bagaimana mengamalkan
ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, itulah realitas agama yang
sesungguhnya dapat diteliti, di observasi dan di kaji secara ilmiah, sehingga
dapat menjelaskan makna agama yang sebenarnya.20
Apabila semua definisi dicermati seksama, seperti kata-kata
kepercayaan, sikap, penerimaan, pengakuan, pengikatan, pemujaan dan kata-
kata lain yang sering jadi rujukan definisi agama, maka dipahami bahwa
agama bukan berdiri sendiri melainkan melekat dan menyatu pada wujud lain,
yaitu : pada diri individu manusia yang beragama dan bermasyarakat.
2) Arti Keberagamaan dan Tingkatannya.
Secara bahasa, agama bukanlah kata sifat, keadaan, atau kata kerja.
Kata yang mengandung makna sifat atau keadaan adalah keberagamaan,
yaitu kata dasar agama yang dibentuk menjadi beragama, lalu diberi imbuhan
ke- dan -an sehingga menjadi keberagamaan. Dalam bahasa Indonesia, kata
20
Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan & Dakwah, Penerbit STAIN PRESS
CIREBON/CAKRAWALA Yogyakarta, Oktober 2007.hal. 106
51
kata yang mendapat imbuhan ke- dan –an mengandung makna, sebagai sifat
atau keadaan, seperti kebekuan (keadaan membeku), kebesaraan (keadaaan
membesar), kerajinan, kepekaan, dan lain lain. Keberagamaan berarti keadaan
atau sifat sifat orang beragama, yang meliputi keadaan, corak atau sifat
pemahaman semangat dan tingkat kepatuhannya untuk melaksanakan ajaran
agama yang dianutnya, dan keadaan perilaku hidupnya sehari-hari setelah ia
menjadi penganut suatu agama. Dari sinilah muncul istilah Islam abangan,
Islam santri, Islam liberal dan lain-lain.
Pandangan lebih jauh, dapat dicermati bahwa penerimaan, kepercayaan,
pengakuan, sikap, dan lain-lain, yang ada pada sekelompok orang tidak pernah
sama meskipun mereka seagama. Perbedaan itu tidak membuat mereka
berbeda agama. Agamanya tetap satu. Yang berbeda pada mereka bukan
agamanya, melainkan keberagamaanya, yaitu corak dan kadar pemahaman
serta cara dan kualitas pengamalannya. Perbedaan keberagamaan bisa saja
terjadi pada setiap individu dalam suatu kelompok penganut agama yang
sama.21
Menurut dister,22 keberagamaan berarti religiusitas, karena adanya
internalisasi agama ke dalam diri seseorang. Oleh karena itu, Berbicara tentang
tingkat keberagamaan berarti berbicara tentang religiusitas seseorang dalam
kehidupannya. Religiusitas berasal dari bahasa latin religio, akar katanya
religure yang berarti mengikat. Mengandung makna pada umumnya religi
21
Adon Nasrullah Jamaluddin, Agama dan Konflik Sosial,PT. Pustaka Setia,Oktober 2015.
Hlm.86 22
Dister, N.S., Pengalaman dan motivasi Beragama, yoyakarta: kanisius, 1988, hlm.5. dalam
Adon Nasrullah Jamaluddin, Agama dan Konflik Sosial,PT. Pustaka Setia,Oktober 2015.Hlm.87
52
(agama) memiliki aturan dan kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan
oleh pemeluknya dan semua itu untuk mengikat seseorang atau sekelompok
orang dalam hubungan dengan Tuhan, sesama manusia dan alam sekitarnya.
Keberagamaan atau religiusitas berasal dari Bahasa Inggris ―religiosity”
dari akar kata ―religy‖ yang berarti agama. Religiusity merupakan bentuk
kata dari ―religius” yang berarti taat kepada agama.23
Menurut Glock dan Stark,24 dimensi keberagamaan (religiusitas) terdiri
dari lima, yaitu : dalam bukunya American Piety: “The Nature of Religion
Commitmen”, menyebut ada lima dimensi agama dalam diri manusia, yakni
(1) dimensi keyakinan (ideologis), (2) dimensi peribadatan dan praktek
pengamalan (konsekuensial) dan (5) dimensi pengetahuan agama
(intelektual). Oleh karena itu agama adalah sistem simbol, sistem keyakinan,
sistem nilai, sistem perilaku yang terlembagakan. Semuanya berpusat pada
persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi. Seluruh
sistem tersebut berpusat pada satu konsep, yaitu ketuhanan. Maksudnya agama
merupakan sistem yang mengatur hubungan antara manusia dengan kekuatan
adikodrati, yang dipandang sakral (suci atau kudus).
23
E. Pino dan Twittermalls, Kamus Lengkap Inggris Indonesia, Indonesia Inggris, cet XII
(Jakarta : PT. Prandnya Paramita, 1980), hlm. 37 24
Dalam Roland Robertson, op.cit.,hlm.291 dalam Adon Nasrullah Jamaluddin, Agama dan
Konflik Sosial,PT. Pustaka Setia,Oktober 2015. Hlm.87. Dan dalam Robert H. Thoules,
Pengantar Psikologi Agama,hlm.10.
53
Jalaluddin Rakhmat mendefinisikan keberagamaan sebagai perilaku
yang bersumber langsung atau tidak langsung kepada nash.25 Nash
merupakan sumber ajaran yaitu berupa teks baik lisan maupun tulisan yang
sakral dan menjadi sumber rujukan bagi pemeluk agama. Untuk agama
Islam Nashnya adalah al-Qur‘an dan al-Hadits.
Keberagamaan dapat di definisikan sebagai segala perwujudan dari
pengakuan seseorang terhadap sesuatu agama, tetapi keberagamaan
bukanlah semata-mata karena seseorang mengaku beragama melainkan
bagaimana agama yang dipeluk itu mempengaruhi seluruh hidup dan
kehidupannya. Dengan kata lain keberagamaan dapat diartikan sebagai
realisasi dari ketaatan dan keterikatan manusia kepada aturan atau hukum yang
tertuang dalam ajaran agama.
Dalam pandangan Islam, keberagamaan adalah fitrah adalah sesuatu
yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya. Fitrah
merupakan bagian dari internal yang mampu membedakan hakiki manusia dan
hewan, baik manusia yang lahir di negara komunis, maupun beragama, lahir
dari kalangan primitif maupun modern, lahir dari orang tua shalih maupun
orang jahat, menurut fitrahnya mempunyai potensi beragama.26 Beragama
berarti mengadakan hubungan dengan sesuatu yang kodrati, hubungan
makhluk dengan kholiknya, hubungan ini mewujudkan dalam sikap batinnya
serta tampak dalam ibadah yang dilakukannya dan tercermin pula dalam
25
Jalaluddin Rakhmat, Metodologi Penulisan Agama dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed) Metodologi Penulisan Agama Sebuah Pengantar,( Yogyakarta : Tiara Wacana, 1989), hlm. 93. (Jakarta: Raja Grafindo, 2003), 26
Syamsu Yusuf, LN. “Psikologi Belajar Agama Persfektif Agama Islam”, Penerbit Pustaka Bani
Quraisy, Revisi: Desember 2005. Hlm 32.
54
sikap kesehariannya.27 Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan manusia.
Bicara real dalam konteks kehidupan sehari-hari, terkadang sulit untuk
membedakan antara sesuatu yang murni agama dan hasil pemikiran atau
interpretasi dari agama. Kalau sesuatu yang murni agama, berarti berasal dari
Tuhan, absolut dan mengandung nilai sakralitas, tapi kalau hasil pemikiran
manusia, agama berarti berasal dari selain Tuhan (manusia), bersifat temporal,
suatu waktu akan berubah, dan tidak mengandung nilai sakral. Pada aspek
realisasi, kadang mengalami kesulitan membedakan keduanya karena terjadi
tumpang tindih dan terjadi pencampuradukan makna antara agama dengan
hasil pemikiran manusia yang di jadikan nilai agama, baik sangaja atau tidak.
Perkembangan selanjutnya, hasil pemikiran agama kadang-kadang telah
berubah menjadi agama itu sendiri, sehingga ia disakralkan dan dianggap
berdosa bagi yang berusaha merubahnya.28
Pengingkaran terhadap agama agaknya dikarenakan faktor-faktor
tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-
masing, karena kembali kepada fitrah beragama. Jiwa beragama atau
kesadaran beragama menuju kepada aspek rohaniah individu yang berkaitan
dengan keimanan kepada Allah dan pengaktualisasiannya melalui peribadatan
kepada-Nya, baik yang bersifat hablumminallaah maupun
Artinya : ‖Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui‖.
Inti dari kehidupan beragama adalah penghayatan hubungan manusia
dengan Allah, SWT. Secara psikologis, penghayatan ini membawa manusia
kedalam pengalaman transendental, pengalaman yang mengatasi dunia realnya
sendiri. Pengalaman transendental, secara pisikologis membawa manusia pada
29
Syamsu Yusuf, LN. “Psikologi Belajar Agama Persfektif Agama Islam”, Penerbit Pustaka Bani
Quraisy, Revisi: Desember 2005. Hlm 31. 30
Syamsu Yusuf, LN. “Psikologi Belajar Agama Persfektif Agama Islam”, Penerbit Pustaka Bani
Quraisy, Revisi: Desember 2005. Hlm 31.
56
paham pundamental tentang agamanya. Selama nilai pundamental tersebut
memperdalam penghayatan iman seseorang terhadap agamanya tidak
mengganggu eksistensi orang lain, maka hal itu, termasuk dalam positif.
Orang yang memiliki religiusitas beragama baik cenderung memiliki
fanatisme agama kuat. Namun sikap fanatisme agama yang berlebihan akan
menimbulkan sikap sentimen agama yang tinggi. Ia hanya beranggapan agama
dialah yang paling suci dan beranggapan sementara agama lain adalah musuh
bahkan sering tidak berprikemanusiaan.
Oleh karena itu, melihat kondisi tersebut, ada tiga pola atau klasifikasi
tentang klaim kebenaran yang diperankan oleh para pemeluk agama, yaitu
sebagai berikut.31
a. Eksklusivisme, yaitu kebenaran absolut hanya dimiliki agama tertentu
secara eklusif. Artinya sikap ini beranggapan bahwa ajaran yang paling
benar hanyalah agama yang dianutnya. Sedangkan agama lainya sesat
dan wajib dikikis, atau pemeluknya dikonversi, sebab agama dan
penganutnya terkutuk dalam pandangan Tuhan.32
b. Inklusivisme, Yaitu klaim kebenaran absolut yang lebih longgar. Klaim
Inklusivisme ingin mengambil sikap tengah-tengah antara eksklusivisme
dan pluralisme. Arinya berpandangan diluar agama yang ia peluknya
pun juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh agama yang ia
31
Raimundo Panikar, Dialog Intra Religius, Yogyakarta : Kanisius, 1994, hlm.18 dan jhon Hick
dalam bukunya Problems of Religious Pluralism, Houndmills, B asingstoke: The Macmillan Press,
1985. Dalam Adon Nasrullah Jamaluddin, Agama dan Konflik Sosial,PT. Pustaka Setia,Oktober
2015. Hlm.88-90. 32
. Muhtar Ghazali Adeng, Agama dan Keberagamaan dalam kontek Perbandingan Agama, CV.
Pustaka Setia tahun 2004, Hal.152. Dalam Adon Nasrullah Jamaluddin, Agama dan Konflik
Sosial,PT. Pustaka Setia,Oktober 2015. Hlm.88-90.
57
peluknya.
c. Pluralisme, Yaitu sama istilah dengan paralelisme, artinya
penggabungan. Sikap teologi terekpresikan dalam macam-macam
rumusan, misalnya : ―agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama
syah untuk mencapai kebenaran yang sama‖. ―Setiap agama
mengekpresikan bagian penting sebuah kebenaran‖.33
Dari ketiga pola diatas, menurut hemat penulis bahwa persoalan apa
yang terjadi di masyarakat Cibunut Cirukem merupakan bagian dari pola
pluralisme. Karena satu bagian kelompok dalam mengekpresikanya masing
masing memiliki kebenaran dan memiliki perilaku keberagamaan dalam
penyikapan para penganut agama terhadap ajaran Tuhan.
B. Konsep Sosiologi Agama.
1. Pengertian Sosiologi Agama.
Pendekatan sosiologis dibedakan dari pendekatan studi agama lainya
karena fokus perhatiannya pada interaksi antara agama dan masyarakat.34 Studi
sosiologis terhadap agama tidak hanya memberi perhatian pada dependensi
keyakinan dan komunitas keagamaan terhadap kekuatan dan proses sosial,
melainkan juga kekuatan penggerak organisasi dan doktrin keagamaan dalam
dunia sosial. Lebih lanjut, agamawan sendiri dalam menyandarkan pembahasan
dan penjelasan sosiologis tentang naik turunnya beragam model keagamaan di
33
Muhtar Ghazali Adeng, Agama dan Keberagamaan dalam kontek Perbandingan Agama, CV.
Pustaka Setia tahun 2004, Hal.158. 34
Peter Connolly (ed), ―Aneka Pendekatan Studi Agama” PT LkiS Printing Cemerlang Cemerlang
Yogyakarta, hal.271.
58
dunia modern, dan yang belum modern dan sekte-sekte kecil kecil atau
gerakan-gerakan keagamaan baru yang mncari legitimasi sosiologis atas
kebebasan keberagamaan yang mereka upayakan dalam menghadapi serangan
terhadap integritasnya, pembatasan-pembatasan birokratis, atau legal terhadap
aktivitas mereka.35 Untuk lebih jelasnya penulis definisikan terlebih dahulu
arti Sosiologi Agama untuk lebih memahaminya, diantaranya sebagai berikut :
Pertama, sebagai landasan kerja, penulis pakai definisi Dr. W. Goddijn
yang berbunyi sebagai berikut: Sosiologi Agama ialah bagian dari Sosiologi
Umum (versi Barat) yang mempelajari suatu ilmu budaya empiris, profan dan
positif yang menuju kepada pengetahuan umum, yang jernih dan pasti dari
struktur, fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok keagamaan
dan gejala-gejala kekelompokan keagamaan.36
Kedua, Seorang ahli Sosiologi Agama di Indonesia, Hendropuspito,
menyatakan : ―Sosiologi Agama ialah suatu cabang dari Sosiologi
Umum yang mempelajari masyarakat agama secara Sosiologis guna mencapai
keterangan-keterangan ilmiah yang pasti demi kepentingan masyarakat
agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.‖37 Segi-segi penting
yang hendak ditonjolkan dalam definisi itu antara lain:
a) Sosiologi Agama adalah cabang dari Sosiologi Umum.
35
Peter Connolly (ed), ―Aneka Pendekatan Studi Agama” PT LkiS Printing Cemerlang Cemerlang
Yogyakarta, hal.273. 36
D. Hendro Puspito, O. C. Sosiologi Agama, Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI), Yogyakarta, dan B. P. K. Gunung Mulia, Jakarta, 1983, Cetakan I, halaman 7. 37
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Penerbit P. T. Rosda Karya, Bandung, 2000, hal.46.
59
b) bahwa Sosiologi Agama adalah sungguh ilmu sebagaimana Sosiologi
Umum adalah benar-benar suatu ilmu.
c) Tugasnya, mencari keterangan ilmiah.
Ketiga, Menurut kamus Sosiologi adalah Sociology of Religion atau
Sosiologi Agama adalah Sosiologi yang melibatkan analisa yang
sistematik mengenai fenomena agama dengan menggunakan konsep dan
metode Sosiologi.38
Secara sederhana, sosiologi agama adalah ilmu yang membahas tentang
hubungan antara berbagai kesatuan masyarakat, perbedaan atau masyarakat
secara utuh dengan berbagai sistem agama, tingkat dan jenis spesialisasi
berbagai peranan agama dalam berbagai masyarakat dan sistem keagamaan
yang berbeda. Sosiologi agama dapat diartikan juga sebagai studi tentang
fenomena social, dan memandang agama sebagai fenomena social. Sosiologi
agama selalu berusaha untuk menemukan prinsip-prinsip umum mengenai
hubungan agama dengan masyarakat. Di lain pihak, ada juga yang mengatakan
bahwa sosiologi agama adalah suatu cabang sosiologi umum yang
mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-
keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri
dan masyarakat luas pada umumnya.39
38
Hartini,G.Kartasapoetra,Kamus Sosiologi dan Kependudukan,BumiAksara,Jakarta,1992,hlm
397. 39
D. Hendropuspito. Sosiologi Agama, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1979, hlm.8. dalam
Yesmil Anwar, SH., M.si dan Adang, SH., MM. dalam ―sosiologi untuk universitas” PT Refika
Aditama, Cetakan Kesatu, Maret 2013. Hal.305 dan dalam Thomas F. O‘dea, Sosiologi Agama
Suatu Pengenalan Awal, Raja Wali Press, Jakarta, 1990, hal.28
60
Dari pengertian di atas dapat menjelaskan: apa itu Sosiologi Agama; apa
fungsinya; bagaimana cara bekerjanya. Kalau Sosiologi Umum
bertugas mencapai hukum kemasyarakatan yang (berdaya laku) seluas
mungkin bagi kehidupan masyarakat umumnya; maka Sosiologi Agama
bertugas mencapai keterangan-keterangan ilmiah tentang masyarakat agama
khususnya.40
Keberadaan sosiologi agama bisa dikatakan untuk mencari dan
menentukan apa sebenarnya sosiologi agama itu. Emile Durkheim dapat
memberikan jawabanya dari karyanya, yaitu The Elementary Forms of
Religious Life (1961). Dalam studinya, Durkheim berusaha memasukan
keanekargaman agama ke dalam sebuah bentuk kesatuan agama. Kajian klasik
sosiologi bersifat pengantar dan memuat beberapa kesimpulan untuk
membantah definisi-definisi agama yang telah ada sebelumnya. Definisi-
definisi tersebut cenderung memandang agama sebagai usaha salah kaprah
manusia memahami dunia dengan merujukan segala sesuatu kepada konsep-
konsep semisal ―Tuhan‖, ―roh‖, atau ―jiwa‖.41
Emile Durkheim, mengatakan bahwa agama hanya bisa dipahami dengan
melihat peran sosial yang dimainkannya dalam menyatukan komunitas
masyarakat dibawah satu kesatuan ritual dan kepercayaan umum.42 Maka
agama didefinisikan sebagai sesuatu yang membagi dunia menjadi yang sakral
40
Hendropuspito, Op. Cit., halaman 8. 41
Bryan S. Turner, Relasi Agama & Teori Sosial Kontemporer, cetakan pertama April 2012 (Edisi
Baru), PT. IRCiSoD Wonosari Yogjakarta, Hal. 33. 42
Idem, Hal.33.
61
dan yang profan; konsekuensi sosial praktek-praktek yang diarahkan kearah
yang sakral adalah penciptaan dan reproduksi kesadaran kolektif (consciense
collective), sebuah kesatuan sosial yang mengikat seluruh anggotanya ke dalam
unit-unit yang homogen.
Berdasarkan definisi ini, agama-agama manusia dapat saja berbeda-beda
rupanya, tapi tetap mendasarkan diri pada satu tema sentral, karena agama-
agama tersebut dibangun diatas dasar ―struktur elementer‖ tadi. Dengan
menerima definisi agama ini sebagai “fakta sosial” kolektifitas manusia,
masalah agama yang lebih mendalam nampaknya hilang dari sosiologi
Durkheim, seolah-olah tidak ada yang rumit dalam persoalan agama.43
Sosiologi lahir karena keinginan untuk memahami kehidupan sosial
dan bagaimana orang bertindak di dalamnya. Ilmu ini berkembang seiring
dengan berlangsungnya evolusi sosial, politik dan budaya. Melalui obyeknya
pula (di atas segala ilmu lainnya) menjadi cermin zamannya: ia mereflesikan
3. Pendekatan Sosiologi Ala Durkheim tentang Agama.
Pendekatan-pendekatan sosiologi yang digunakan Durkheim, sangat
dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran August Comte (1798-1857),
selanjutnya ditulis Comte. Selain Comte, Durkheim juga dipengaruhi dan
mengikuti tradisi yang digariskan oleh Saint Simon (1760-1825), Ernets
Renan, dan gurunya sendiri Fustel de Coulanges. Saint Simon, seorang
pemikir sosialis awal abad ke-18 yang berpendirian bahwa semua milik
pribadi harus diserahkan kepada negara. Ernest Renan, seorang kritikus Bibel,
juga memiliki keterkaitan terhadap masalah sosial kemasyarakatan pada
zaman Yahudi kuno maupun masyarakat Kristen kontemporer. Fustel de
Coulanges, seorang sejarawan Perancis, menegaskan bahwa sejarah
merupakan ilmu tentang fakta sosial. Studi klasiknya The Ancient City
[1864], memfokuskan pada hubungan antara agama dan kehidupan sosial pada
zaman klasik. Selain itu, situasi dan kondisi Perancis modern yang mengalami
revolusi besar pada akhir tahun 1800-an,60 juga ikut memberikan pengaruh
tersendiri bagi perkembangan pemikiran Durkheim itu sendiri.
Durkheim, sebenarnya seorang murid yang ragu-ragu terhadap
pemikiran August Comte (yang menggambarkan bahwa proses berpikir
59
Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan dan Dakwah, PT.CAKRAWALA, Yogyakarta DAN
STAIN PRESS CIREBON, Tahun 2007. Hal 86 dan hal 289. 60
Revolusi Perancis yang terjadi pada akhir tahun 1800-an yang ditandai dengan terjadinya
perubahan besar, baik pada sector ekonomi, sosial, budaya, percayaan, agama, moral dan nilai-
nilainya. Artinya masyarakat Perancis pada waktu itu mulai mempersoalkan tentang hak-
hak keistimewaan yang dimiliki kaum ningrat. Dari sini memunculkan ide-ide untuk
mewujudkan prinsip-prinsip umum tentang keadilan dan kebebasan. Masyarakat Perancis
mulai menyadari bahwa kekeliruan atas paham individualisme yang dianut selama ini. KJ.
Veeger, , Realitas Sosial, (Gramedia, Jakarta, 1993)hlm. 140.
72
manusia dalam menafsirkan dunia dengan segala isinya berkembang secara
evolusi, melalui tahapan religius, metafisika dan vositivisme.61 Sebagai
seorang murid, Durkheim tetap setia pada ajaran Comte yang merupakan
perintis teori evolusionis positivisme Perancis dan juga sekaligus
sebagai pencipta istilah ‖sosiologi‖.62 Pengaruh Comte, pada pemikiran-
pemikiran Durkheim, di antaranya yang tampak pada pola ‖reorganisasi
masyarakat‖ yang dikemukan oleh Comte yang kemudian disempurnakan
oleh Durkheim. Durkheim, melihat konsep Comte cenderung bersifat
‖spekulatif‖ dan ‖pragmatis‖. Artinya bahwa :63 pendekatan positivisme
bersifat spekulatif hanya mempelajari hubungan-hubungan diantara fenomena
yang bisa diamati, dan menurut positivisme, pengetahuan terbatas pada apa
yang tampak oleh panca indra. Durkheim berusaha membenahi kelemahan-
61
Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan dan Dakwah, PT.CAKRAWALA, Yogyakarta DAN STAIN
PRESS CIREBON, Tahun 2007. Hlm 42. 62
Comte, filsafat positif-nya, berakar pada kekaguman yang mendalam akan presisi kuantitatif dari ilmu-ilmu alam, khususnya matematika, fisika dan biologi. Comte, berusaha menerapkan metode-metodeini untuk menemukan prinsip-prinsip keteraturan dan perubahan di dalam masyarakat, sehingga menghasilkan sebuah susunan pengetahuan baru yang dapat dipakai untuk mereorganisasikan masyarakat demi perbaikan manusia. Pendekatan ilmiah dan rasionalis Comte, dikombinasikan dengan sebuah perspektif sejarah, terutama dalam ―Hukum Kemajuan Manusia‖ yang menyatakan bahwa semua masyarakat melewati tiga tahapan, yakni : [1] tahapan teologis atau khayal, [2] tahapan metafisik atau abstak, dan [3] tahapan ilmiah atau positif. Masing-masing tahapan tersebut mencakup sikap intelektual yang berbeda-beda. Dalam tahapan teologis, manusia mencari pengetahuan yang absolut dari sifat hakiki kenyataan dan sebab-sebab pertama dan terakhir yang memuncak pada penjelasan segala sesuatu sebagai hasil kehendak Tuhan. Comte, menyatakan bahwa susunan mental yang pada mulanya emosional akan membuka jalan ke sikap metafisis, di mana kekuatan-kekuatan abstrak mengganti kekuatan-kekuatan adi kodrati, tetapi penjelasan-penjelasan masih ditulis dalam pengertian sifat-sifat hakiki, misalnya apabila nilai ekonomi dijelaskan dengan nilai intrinsik benda-benda. Maka, menurutnya, tahapan yang sebagian besar destruktif ini pada gilirannya akan menggiring kepada gaya ilmiah atau positivis di mana pikiran dengan mengesampingkan pencarian penjelasan-penjelasan akhir, memakai observasi atas fenomena untuk menetapkan hukum-hukum dinamika yang mirip dan berbeda-beda. Jadi, menurut Comte, positivisme pengetahuan terbatas pada apa yang tampak oleh panca indera dan dengan demikian pengetahuan hanya menangani hubungan-hubungan antasedens dan konsekwens di antara fenomena yang teramati [Lihat : Tom Campbell, Seven Theories,…hlm.149-51]. 63
Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan dan Dakwah, PT.CAKRAWALA, Yogyakarta DAN STAIN
PRESS CIREBON, Tahun 2007, hlm 42.
73
kelemahan pemikiran Comte tersebut dengan berusaha tetap menjaga
tujuan umum yang dikehendaki oleh Comte.
Pengaruh lain yang tampak pada kepercayaan Durkheim, yang
menganut sesuatu yang diyakini terlebih dahulu oleh Comte, yakni
kepercayaan akan kemungkinan untuk menunjukan bahwa masyarakat tunduk
pada sebab-sebab alamiah, walaupun Durkheim kurang meyakini rasional
total gurunya tersebut akan posisi organisasi ilmiah masyarakat.
Dengan dasar ini, Durkheim menolak penafsiran ketat dari hukum Comte
tentang kemajuan manusia yang ia anggap sebagai sangat dogmatis dan tidak
tepat. Namun Durkheim tetap menyetujui campuran ilmu pengetahuan dan
pembaharuan ala comte. Menurut Durkheim, secara khusus ilmu sosial dapat
diterapkan pada masalah penetapan kembali tatanan sosial diambang
pergolakan-pergolakan revolusioner abad ke-18 dan efek-efek industrialisasi
yang merugikan masyarakat. Durkheim berharap untuk memperlihatkan
bagaimana sebuah konsensus sosial baru dapat menciptakan kembali nilai-
nilai komunitas dan tatanan sosial, tanpa mengorbankan emansipasi manusia
yang berasal dari keambrukan feodalisme.64 Dengan mengadopsi kerangka
organis yang dikemukakan Comte yang berwatak positivis, maka pemikiran
Durkheim-pun kental dengan nuansa positivis. Namun tanpaknya pandangan
Durkheim berbeda dengan pemikiran Comte. Sebab ciri khas pemikiran
positivisme Durkheim adalah usaha satu-satunya untuk mendekati masyarakat
sebagai sebuah kenyataan organis yang independen yang memiliki hukum-
64
Emile Durkheim,Sosiologi dan Filsafat, terj. Soedjono Dirdjosiswono,(Jakarta
Erlangga,1989),hlm 76.
74
hukumnya sendiri. Holisme metodologi Durkheim berkaitan dengan sebuah
pendirian yang sangat deterministik yang berpendapat bahwa individu-
individu tidak berdaya dihadapan pembatasan-pembatasan dari kekuatan-
kekuatan sosial yang menghasilkan penyesuaian diri dengan norma-norma
sosial atau tingkah laku yang disebabkan oleh norma sosial tersebut.
Durkheim, juga mengkombinasikan pengambilan jarak ilmiah dan
determinisme kausal dengan kepercayaan bahwa ilmu masyarakat memberi
semacam jawaban untuk masalah-masalah etis normatif dari filsafat
tradisional.
Implikasi pandangan ‖positivistik‖ Durkheim terhadap‖ moral dalam
terapan‖, dikategorikan sebagai sebuah ‖fakta sosial‖. Fakta sosial tersebut
didefinisikan sebagai ‖cara-cara bertindak, berpikir dan merasa‖, yang ‖berada
di luar individu‖ dan dilengkapi atau dimuati dengan sebuah kekuatan
memaksa yang dapat mengontrol individu. ‖Fakta sosial‖ itulah yang akan
mempengaruhi setiap tindakan, pikiran dan rasa dari individu. Durkheim,
menyatakan apa yang dipikirkan adalah kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat
dan cara hidup umum manusia sebagai sesuatu yang terkandung dalam
institusi, hukum, moral dan ideologi-ideologi politis. Semua itu dapat saja
bekerja dalam kesadaran individu, tetapi menurutnya semua itu merupakan
fenomena-fenomena yang dapat dibedakan dan ditemukan dengan mengamati
tingkah laku manusia pada umumnya dan bukan dengan memeriksa isi
75
pikiran individu tersebut.65 Durkheim, juga menjelaskan ‖fakta sosial‖ yang
berada ‖di luar‖ diri individu dalam arti bahwa ‖fakta itu datang kepadanya
dari luar dirinya sendiri‖ dan dapat menguasai tingkah lakunya. Ciri
‖idealistis‖ atau ‖moral‖ yang diakui berasal dari ‖fenomena sosial‖,
Durkheim tetap berusaha untuk menemukan cara-cara menjelaskan ‖fakta
sosial‖ tersebut yang dapat teramati dan terukur. Durkheim menyamakan
‖kepadatan sosial‖ dengan konsentrasi populasi dengan memakai statistik.
Misalnya, Durkheim menggunakan angka-angka perceraian untuk membuat
sebuah ‖pernyataan faktual umum‖ mengenai masyarakat sebagai keseluruhan
dan menganggap proses teramati dari berbagai jenis sanksi hukum sebagai ciri-
ciri permukaan dari kenyataan-kenyataan sosial yang mendasarinya. Walaupun
‖fakta sosial‖ dengan cara ini dijelaskan terbuka pada observasi masyarakat,
tetapi bagi Durkheim, semuanya itu pada dasarnya merupakan sebuah
‖fenomena moral‖ atau sesuatu yang ‖bersifat normatif‖ berkaitan dengan
pengaturan tingkah laku individu, melalui ‖sebuah sistem‖ yang dipaksakan
atau merupakan sebuah‖sistem eksternal‖ yang memaksakan nilai-nilai
atau aturan-aturan sebagai sebuah ‖sistem moral‖ atau dengan kata lain
penampilan khasnya berupa kewajiban-kewajiban. Menurut Durkheim,
bagaimanapun sadarnya individu ia harus tetap melaksanakan kewajiban-
kewajiban itu menurut bahasa, adat istiadat, kebiasaan dan hukum
masyarakatnya, di mana kesemuanya itu merupakan ‖fakta-fakta sosial‖ yang
65
Emile Durkheim, Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi
Pendidikan, terj. Lukas Ginting (Jakarta, Erlangga, t.t), hlm. 35 dalam Kamiruddin, FUNGSI
SOSIOLOGI AGAMA (STUDI PROPAN DAN SAKRAL MENURUT EMILE DURKHEIM),
tidak di rekayasa atau tidak diciptakannya melainkan ia terpaksa
menjalankan dan menyesuaikan dirinya dengan fakta sosial tersebut. Jika
individu tidak menyesuaikan diri dengan ‖fakta sosial‖ tersebut - maka
individu tersebut akan menderita konsekuensi-konsekuensi penolakan sosial
dan menerima hukuman. Maka dari sini, ada sebuah unsur idealisme sosiologis
yang jelas dalam teori Durkheim.
4. Konsep Dasar Durkheim Tentang Agama.
Durkheim, mempunyai pandangan bahwa fakta sosial jauh lebih
fundamental dibandingkan dengan fakta individu. Tetapi individu sering
disalah pahamkan ketika pengaruh masyarakat yang begitu kuat terhadapnya
dan di kesampingkan atau tidak diperhatikan dengan teliti.
Menurut Durkheim adalah sia-sia belaka apabila menganggap mampu
memahami apa sebenarnya individu itu hanya dengan mempertimbangkan
faktor biologis, psikologis atau kepentingan pribadinya. Seharusnya individu
dijelaskan melalui masyarakat dan masyarakat dijelaskan dalam konteks
sosialnya. Inilah pemikiran sosiologi Durkheim yang akhirnya membawa
penulis untuk mencermati pemikiran Durkheim, tentang :
a. Agama : sebagai Sacred dan Profan,
Pengertian Sakral dan Profan.
Pengertian sakral yaitu hal yang lebih dirasakan dari pada yang
dilukiskan. Misalnya suatu benda mengandung nilai sakral atau nilai
profan, dalam masyarakat terdapat pandangan yang berbeda,
contohnya seekor lembu, masyarakat yang bukan beragama Hindu
77
beranggapan bahwa lembu itu sebagai hewan yang biasa. Tetapi orang yang
beragama Hindu merupakan suatu hewan yang dihormati dan disucikan.
Dalam hal ini Zakiah Daradjat berpendapat sebagai berikut:
Pengertian sakral merupakan suatu hal yang lebih mudah
dirasakan daripada dilukiskan. Bilamana terdapat suatu anggapan bahwa
suatu benda sakral tersebut mengandung zat yang suci, dan di dalamnya
mengandung pengertian misteri yang mengerikan tetapi mengagungkan. Di
dalam masyarakat, terdapat pandangan yang berbeda-beda mengenai mana
benda yang suci, dan benda yang biasa, atau yang sering dikemukakan
orang benda sakral dengan profan. Selain dari pada itu yang suci ada yang
terdapat di dunia ini dan ada di surga. Orang Hindu menghormati dan
mensucikan lembu, Hajar Aswad di Makkah disucikan oleh orang-orang
Islam, Salib di atas dasar disucikan oleh orang Kristen, masyarakat primitif
membakar mati binatang-binatang totem mereka.66
Implikasi analisis penulis pada sakral dan profan dalam pemujaan
seluruh penganut Hindu terhadap lembu/sapi. Maka yang menjadi nilai
keagamaannya adalah bentuk pemujaan, sedangkan yang menjadi nilai-nilai
moral adalah yang menjadi sumber pada fakta yaitu keharusan untuk tidak
memakan daging sapi/lembu, karena dijadikan kesakralan untuk penganut
Hindu, lain halnya dengan penganut muslim atau yahudi yang makan daging
sapi dan tidak makan daging babi.
Untuk itu, perlu dicermati konsep Emile Durkheim tentang agama yang
mengklaim bahwa agama adalah “sesuatu yang amat bersifat moral”.
Sumber agama adalah masyarakat itu sendiri yang akan menilai sesuatu
66
Nurdinah Muhammad:‖Sakral dan Profan dalam Agama‖...........Jurnal Subtantia Vol.15, No.2, Oktober 2013 dalam Zakiah Darajat, Perbandingan Agama (Jakarta: Bumi Aksara, 1985), 167-168.
78
itu bersifat sakral atau profan. Durkheim menemukan karakteristik paling
mendasar dari setiap kepercayaan agama bukanlah terletak pada elemen-
elemen “supernatural”, melainkan terletak pada konsep tentang “yang
sakral” (secred), dimana keduanya yaitu supernatural.67 Di samping itu ada
pula yang tampak dan tidak dapat diraba, wujud yang suci tersebut ialah seperti
Tuhan, Roh, malaikat, setan, hantu yang semuanya itu dikeramatkan dan
dikagumi, Yesus Kristus serta Santa Maria, Budha dan Budhisatwa disucikan
oleh penganutnya dan dikeramati dalam upacara keagamaan.68
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa suatu benda dapat
disucikan atau dihormati disebabkan ada perasaan batin dan perasaan yang
terpatri di dalam jiwanya dan rasa ketakutan. ―Perasaan kagum inilah
untuk menarik mereka untuk cinta dan ingin terhindar dari bahaya‖.
Dalam hal tinjauan mengenai agama tentang dikotomi Sakral dan Profan
dianggap penting, menurut dua teoritikus agama ya‘ni : Emile Durkheim,
seorang sosiolog yang identik dengan studi-studi kemasyarakatan, dan Mircea
Eliade, seorang filusuf dan sejarawan agama yang menolak segala bentuk
reduksi keilmuan dalam studi agama.69
Konsep Durkheim tentang agama, juga tidak terlepas dari
argumentasinya tentang agama sebagai bagian dari fakta sosial. Artinya,
Durkheim mempunyai pandangan bahwa ‖fakta sosial‖ jauh lebih
fundamental dibandingkan dengan fakta individu. Pemikiran-pemikiran
67
http://webcomche. Google intercontent.Com/ search ?g= cache: s7HH20 vf (s): que.
Indeskripsi.com/mode/798+sakral+dan+profane. diakses tanggal 10 September 2013. 68