7 BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS A Kajian Teori 1. Lanjut Usia (Lansia) Lanjut usia merupakan tahap perkembangan normal yang akan dialami oleh setiap individu yang mencapai usia lanjut dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari. a. Definisi Lansia Lanjut usia adalah kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan yang bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade (Notoatmojo, 2007). Lanjut usia dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan, dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Aulia Dwi Natalia, 2009) Menurut Notoatmojo(2007;281) lanjut usia meliputi: 1) Usia pertengahan (middleage) yaitu usia antara 45 sampai 59 tahun, 2) Usia lanjut (eldery) yaitu usia antara 60 sampai 70 tahun, 3) Lanjut usia tua (old) yaitu usia antara 75 sampai 90 tahun, dan 4) Usia sangat tua (veryold) yaitu usia diatas 90 tahun. b. Klasifikasi Lansia Batasan usia lanjut didasarkan atas undang-undang No. 13 Tahun 1998 adalah 60 tahun. Namun, berdasarkan pendapat beberapa ahli dalam program kesehatan usia lanjut, Departemen Kesehatan membuat pengelompokan seperti di bawah ini:
26
Embed
BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS - abstrak.uns.ac.id · Keseimbangan dinamis merupakan keseimbangan pada saat tubuh melakukan gerakan atau saat berdiri diatas landasan yang bergerak
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
7
BAB II
KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS
A Kajian Teori
1. Lanjut Usia (Lansia)
Lanjut usia merupakan tahap perkembangan normal yang akan dialami
oleh setiap individu yang mencapai usia lanjut dan merupakan kenyataan yang
tidak dapat dihindari.
a. Definisi Lansia
Lanjut usia adalah kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses
perubahan yang bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade (Notoatmojo,
2007).
Lanjut usia dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur
kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13
Tahun 1998 tentang kesehatan, dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang
yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Aulia Dwi Natalia, 2009)
Menurut Notoatmojo(2007;281) lanjut usia meliputi:
1) Usia pertengahan (middleage) yaitu usia antara 45 sampai 59 tahun,
2) Usia lanjut (eldery) yaitu usia antara 60 sampai 70 tahun,
3) Lanjut usia tua (old) yaitu usia antara 75 sampai 90 tahun, dan
4) Usia sangat tua (veryold) yaitu usia diatas 90 tahun.
b. Klasifikasi Lansia
Batasan usia lanjut didasarkan atas undang-undang No. 13 Tahun 1998
adalah 60 tahun. Namun, berdasarkan pendapat beberapa ahli dalam program
kesehatan usia lanjut, Departemen Kesehatan membuat pengelompokan seperti
di bawah ini:
8
1) Kelompok pertengahan umur
Kelompok usia dalam masa virilitas, yaitu masa persiapan usia lanjut
yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa (45-54
tahun).
2) Kelompok usia lanjut dini
Kelompok dalam masa prasenium, yaitu kelompok yang mulai
memasuki usia lanjut (55-64 tahun)
3) Kelompok usia lanjut
Kelompok dalam masa senium (65 tahun ke atas)
4) Kelompok usia lanjut dengan resiko tinggi
Kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut
yang hidup sendiri, terpencil menderita penyakit berat atau cacat.
(Notoatmojo, 2007).
c. Masalah Pada Lanjut Usia
Dalam diri Lansia ada beberapa hal yang menarik yang pasti berbeda dari
kebanyakan orang dewasa lainnya. tidak dapat dibantah, bila seseorang bertambah
tua, kemampuan fisik dan mental hidupnya pun akan perlahan –lahan tetapi pasti
menurun. Akibatnya aktivitas - aktivitas hidupnya akan ikut terpengaruh, hal ini
berdampak pada penurunan kesigapan Lansia itu sendiri.
Menurut Lilik (2011:19) secara umum menjadi tua atau menua (ageing
process), ditandai oleh kemunduran biologis yang terlihat sebagai gejala-gejala
kemunduran fisik dan kemunduran kemampuan kognitif. Kemunduran fisik yang
dialami oleh Lansia tersebut sering menimbulkan masalah-masalah dalam
keseharian Lansia. Lansia menjadi tidak berdaya dan tergantung kepada orang-
orang disekitarnya.
d. Komponen Kebugaran pada Lansia
Komponen aktivitas dan kebugaran pada Lansia menurut Darmojo
(2004:94) terdiri dari:
1) Self Effacy (Keberdayagunaan-mandiri) adalah istilah untuk
menggambarkan rasa percaya atas keamanan dalam melakukan aktifitas.
Hal ini sangat berhubungan dengan ketergantungan dalam aktifitas sehari-
9
hari. Dengan keberdayagunaan ini seseorang usia lanjut mempunyai
keberanian dalam melakukan aktifitas.
2) Latihan pertahanan (Resistence Training) keuntungan fungsional atas
latihan pertahanan berhubungan dengan hasil yang didapat atas jenis
latihan yang bertahan. Antara lain mengenai kecepatan bergerak sendi,
luas lingkup gerak sendi (Range of Motion) dan jenis kekuatan.
3) Daya tahan (Endurance) adalah kemampuan seseorang untuk melakukan
kerja dan waktu yang relatif cukup lama. Pada Lansia latihan daya
tahan/kebugaran yang cukup keras akan meningkatkan kekuatan yang
didapat dari latihan bertahan. Hasil akibat latihan kebugaran tersebut
bersifat khas untuk latihan yang dijalankan (Training Specific), sehingga
latihan kebugaran akan meningkatkan kekuatan berjalan lebih dengan
latihan bertahan.
4) Kelentukan (Flexibility) pembatasan atas lingkup gerak sendi, banyak
terjadi pada lanjut usia yang sering berakibat kekuatan otot dan tendon.
Oleh karena itu latihan kelenturan sendi merupakan komponen penting
dari latihan atau olahraga bagi lanjut usia.
5) Keseimbangan-keseimbangan merupakan penyebab utama yang sering
mengakibatkan Lansia sering jatuh. Keseimbangan merupakan tanggapan
motorik yang dihasilkan oleh berbagai faktor, diantaranya input sensorik
dankekuatan otot. Penurunan keseimbangan pada lanjut usia bukan hanya
sebagai akibat menurunya kekuatan otot atau penyakit yang diderita.
Penurunan keseimbangan dapat diperbaiki dengan berbagai latihan
keseimbangan. Latihan yang meliputi keseimbangan akan menurunkan
insiden pada Lansia.
e. Teori Penuaan
Para ahli yang mengadakan studi tentang proses aging berpendapat bahwa
adalah sangat penting untuk membedakan secara hati – hati antara normal
aging dan pathological aging. Secara umum teori penuaan dibagi menjadi dua
kelompok besar yaitu teori genetik dan teori non genetik (Ririn pudjiastuti dan
Budi, 2000:5)
10
1) Teori Genetik
Pada teori ini menitikberatkan mekanisme penuaan yang terjadi pada
nukleus sel. Penjelasan teori yang berdasarkan genetik diantaranya sebagai
berikut:
a) Teori Hayflick
Pada teori ini penuaan disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain
perubahan fungsi sel, efek akumulatif, dari tidak normalnya sel,
kemunduran sel dalam organ dan jaringan. Semakin cepat suatu organisme
dia hidup maka semakin cepat pula mereka menua. Hal ini terjadi karena
kehidupan cepat di definisikan sebagai proses diferensiasi dan
pertumbuhan yang cepat serta metabolisme yang tinggi sehingga sel – sel
lebih cepat mengalami penuaan.
b) Teori Error Sintesis Protein
Teori ini dikenalkan oleh Orgel pada tahun 1963, dimana
pendapatnya sebagai berikut: kesalahan pembentukan protein yang
mengandung materi genetik, jika kesalahan tersebut terus menerus terjadi
dan diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya maka jumlah
molekul abnormal akan semakin banyak. Keadaan tersebut dapat
menyebabkan faal atau fungsi biologi mengalami gangguan, hal ini akan
berdampak pada terganggunya faal organ dan berakhir dengan kematian.
Yang dapat dimasukkan dalam teori ini adalah teori persambungan silang
(Crosslinking theory) dari Bjorksten dan Kohn pada tahun 1974. Dalam
pendapatnya bahwa seiring dengan pertambahan umur manusia maka
akan berdampak pada jumlah jaringan kolagen yang terbentuk akan
semakin banyak dan mengganggu faal atau fungsi fisiologi organ semula.
2) Teori Non Genetik
Pada teori ini memfokuskan lokasi diluar nukleus sel, seperti organ,
jaringan, dan sistem. Teori yang berdasarkan non genetik antara lain sebagai
berikut:
a) Teori Autonium
11
Menurut teori ini proses menua diakibatkan oleh antibodi yang
bereaksi terhadap sel normal dan merusaknya. Reaksi itu terjadi karena
tubuh gagal mengenal sel normal dan memproduksi antibodi yang salah.
Teori imunologis berangkat dari pengamatan bahwa dengan bertambahnya
usia maka terjadi penurunan kadar imunoglobulin, terutama
imunoglobuluin D, peningkatan natural killer cell, penurunan faal
Limfosit dan resistensi terhadap infeksi, serta peningkatan kejadian
penyakit – penyakit autonium ( Ririn Pudjiastuti dan Budi, 2000:6).
b) Teori Radikal Bebas
Menerangkan proses menua berdasarkan timbulnya kerusakan
jaringan yang disebabkan oleh radikal bebas. Radikal bebas adalah atom
atau molekul dengan susunan elektron tak lengkap. Susunan elektron yang
tidak lengkap menyebabkan atom atau molekul sangat terpengaruh oleh
medan magnet. Ini yang mengakibatkan radikal bebas menjadi bersifat
sangat reaktif. Radikal bebas dapat terbentuk akibat hilangnya maupun
penambahan elektron di lintasannya pada saat terputusnya ikatan kovalen
atom atau molekul yang bersangkutan. Energi untuk memutuskan ikatan
kovalen tersebut berasal dari panas, radiasi elektromagnetik atau reaksi
redoks berlebihan (Halliwell, 1996). Radikal bebas dapat dirusak oleh
enzim protektif yang dibentuk tubuh yaitu superoksid dismutase, katalase,
dan glutation peroksidase. Bila terdapat sebagian radikal bebas yang tak
terdestruksi (escape) maka radikal bebas tersebut akan merusak membran
organel subselular seperti membran mitokondria,dan mikrosom. Keadaan
tersebut akan mengakibatkan terjadinya kerusakan sel. Bentuk kerusakan
yang tampak misalnya kerusakan endotel dengan akibat munculnya
berbagai proses degeneratif .
2. Keseimbangan
a. Definisi keseimbangan
Keseimbangan adalah salah satu kunci pokok pada saat kita bergerak,
keseimbangan merupakan proses yang komplek yang melibatkan penerimaan dan
12
integrasi input sensorik dan perencanaan serta pelaksanaan suatu gerak untuk
mencapai tujuan yang membutuhkan postur tegak (Allison L, 2001). menurut
Harsono (1998:23), adalah kemampuan untuk mempertahankan sistem
neuromuscular dalam suatu posisi atau sikap yang efisien saat kita bergerak.
Sementara itu, menurut Winter dalam Howe, et al., (2008) keseimbangan adalah
kemampuan untuk mempertahankan proyeksi pusat tubuh pada landasan
penunjang baik saat berdiri, duduk, transit dan berjalan.
Keseimbangan potural adalah kemampuan tubuh untuk memelihara pusat
dari massa tubuh dengan batasan dari stabilitas yang ditentukan oleh dasar
penyangga, pusat massa tubuh adalah titik dimana jumlah gaya yang bekerja sama
dengan nol. Pada orang normal, pusat massa tubuh terletak di depan vertebra
sacral ke – 2 atau berada 55 – 57 % dari tinggi badan seseorang diatas tanah.
Batasan stabilitas adalah tempat pada suatu ruang dimana tubuh dapat menyangga
posisi tanpa berubah dari dasar penyangga. Keseimbangan melibatkan berbagai
gerakan disetiap segmen tubuh dengan didukung oleh sistem muskuloskeletal dan
bidang tumpu. Kemampuan untuk menyeimbangkan massa tubuh dengan bidang
tumpu akan membuat manusia mampu untuk beraktivitas secara efektif dan
efisien (Suhartono, 2005)
b. Anatomi dan Fisiologi Keseimbangan
Fungsi keseimbangan diatur secara fisiologi oleh bagian-bagian otak yang
mempunyai fungsi sensomotorik masing-masing yang berperan dalam mengontrol
fungsi keseimbangan, yaitu:
1) Batang Otak
Fungsi motorik batang otak yang berhubungan dengan sistem otot
rangka dapat dibagi dalam kedua kelompok besar, fungsinya membantu
menopang badan terhadap daya tarik bumi dalam mempertahankan
keseimbangan (Guyton and Arthur, 1994).
2) Aparatus Vestibularis
Ini adalah organ sensoris yang mendeteksi sensasi mengenai
keseimbangan, yang terdiri dari suatu labirintus. Labirin statis memberi
13
informasi mengenai posisi kepala di dalam ruang, labirin kinetik mengirim
informasi mengenai pergerakan kepala. Bila kepala bergerak maka suatu
penyesuaian penglihatan sebagai kompensasi, reflek vestibular okular
diperlukan untuk mempertahankan fiksasi mata terhadap suatu obyek
(Guyton and Arthur,1994)
3) Cerebellum
Fugsinya mengkoordinasikan pergerakan sadar yang terampil
dengan mempengaruhi aktivitas otot dan mengontrol keseimbangan dan
tonus otot melalui hubungan dengan sistem vestibularis dan sumsum
tulang belakang.
c. Penyebab Gangguan Keseimbangan
Gangguan keseimbangan pada Lansia dipengaruhi oleh perubahan yang
terjadi pada sistem neurologis atau saraf pusat, sistem sensori terutama sistem
visual, propioseptif dan vestibuler serta ditambah dengan sistem muskuloskeletal
(Miller, 2004). Perubahan pada sistem neurologis dapat menyebabkan perubahan
psikososial diantaranya adalah kerusakan kognitif, kecemasan dan ketakutan.
Faktor resiko internal dan eksternal juga dapat menyebabkan gangguan
keseimbangan pada Lansia. Faktor resiko internal dapat berupa gangguan
patologis atau penyakit yang diakibatkan oleh perubahan fisiologis dan
psikososial pada Lansia. Selain itu karakteristik usia lanjut seperti usia, jenis
kelamin dan pekerjaan. Riwayat jatuh yang dapat menyebabkan takut jatuh,
aktivitas fisik, nutrisi serta medikasi dapat menjadi faktor resiko gangguan
keseimbangan. Faktor resiko eksternal dapat berupa lingkungan, penggunaan alat
bantu jalan, alas kaki serta pakaian yang tidak adekuat (Miller,2004)
d. Dampak Gangguan Keseimbangan
Akibat dari gangguan keseimbangan adalah jatuh dan sering mengarah
pada injuri, kecacatan, kehilangan kemandirian dan berkurangnya kualitas hidup
(Salzam,2010). Jatuh merupakan kejadian yang tidak disengaja sebagai
konsekuensi dalam mempertahankan pukulan yang keras, kurangnya kesadaran,
serangan paralisis yang tiba-tiba pada stroke atau serangan epilepsi (Lord, et
14
al.,2007). Jatuh mengakibatkan keterbatasan fisik, mengurangi kapasitas untuk
melaksanakan aktivitas sehari-hari, kegagalan sistem pernafasan dan
muskuloskeletal, kerusakan fisik, fraktur pada panggul radius ulna, humerus, kaki,
leher, injuri seperti luka memar, lecet dan terkilir, subdural hematom,
hospitalisasi, peningkatan biaya perawatan dan bahkan mortalitas. Resiko
kejadian jatuh dapat dikurangi dengan cara meningkatkan keseimbangan (
Singh,2000).
e. Keseimbangan Lansia
Stabilitas postural adalah masalah yang umum pada Lansia. Lansia
mengalami kemunduran atau perubahan morfologis pada otot yang menyebabkan
perubahan fungsional otot, yaitu terjadi penurunan kekuatan dan kontraksi otot,
elastisitas dan fleksibilitas otot, serta kecepatan dan waktu reaksi. Penurunan
fungsi dan kekuatan otot akan mengakibatkan penurunan kemampuan
mempertahankan keseimbangan postural atau keseimbangan tubuh Lansia.
Penurunan kekuatan otot ektrimitas bawah dapat mengakibatkan
kelambanan gerak, langkah pendek, kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan
lebih gampang goyah (Darmojo, 2000). Penurunan kekuatan otot juga
menyebabkan terjadinya penurunan mobilitas Lansia. Karena kekuatan otot
merupakan komponen utama dari kemampuan melangkah, berjalan dan
keseimbangan.
f. Jenis Keseimbangan postural
Menurut Suhartono, (2005) bahwa keseimbangan postural dapat dibagi
menjadi dua bentuk yaitu keseimbangan postural statik dan keseimbangan
postural dinamik.
1) Keseimbangan statis (statis balance)
Keseimbangan statik adalah suatu keadaan dimana seseorang dapat
memelihara keseimbangan tubuhnya pada suatu posisi tertentu. Sebagai contoh
ekstrimnya pada anak – anak yang menirukan patung.
2) Keseimbangan dinamis (dynamic balance)
15
Keseimbangan dinamis merupakan keseimbangan pada saat tubuh
melakukan gerakan atau saat berdiri diatas landasan yang bergerak (Dynamic
tanding) yang akan menempatkannya dalam kondisi yang tidak stabil, dan pada
keadaan ini kebutuhan akan kontrol keseimbangan postural akan semakin
meningkat, misalnya pada saat bangkit berdiri dari duduk dikursi, berjalan,
berlari, naik di atas perahu, ataupun berlari di atas treadmill.
Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di setiap segmen tubuh
dengan didukung oleh sistem muskuloskeletal dan bidang tumpu. Kemampuan
untuk menyeimbangkan masa tubuh dengan bidang tumpu akan membuat
manusia mampu untuk beraktivitas secara efektif dan efisien.
Keseimbangan merupakan interaksi yang kompleks dan integrasi/interaksi
sistem sensorik (vestibular, visual, dan somatosensorik termasuk propioceptor)
dan muskuloskeletal (otot, sendi dan jaringan lunak lain) yang dimodifikasi/di
atur dalam otak (kontrol motorik, sensorik, basal ganglia, cerebellum, dan area
asosiasi) sebagai respon terhadap perubahan kondisi ekternal dan internal
(Setiawan, 2010). Serta dipengaruhi oleh faktor lain seperti, usia, motivasi,
kognisi, lingkungan, kelelahan, pengaruh obat dan pengalaman terdahulu.
Dalam praktek kehidupan sehari-hari keseimbangan statik dan dinamik
saling bertumpang tindih dan tidak dapat dipisahkan secara mutlak karena tubuh
manusia jarang sekali dalam keadaan diam yang sempurna tanpa gerakan sama
sekali. Tubuh secara berkesinambungan melakukan pengaturan postur yang tidak
dapat dirasakan secara sadar. Pengaturan postur ini mengatur posisi tubuh yang
optimal untuk konservasi/ penghematan energi.
d. Keseimbangan dinamis Lansia
Keseimbangan dinamis Lanjut usia (Lansia) merupakan kemampuan untuk
menyeimbangkan massa tubuh dengan bidang tumpu yang akan membuat Lansia
mampu untuk beraktifitas secara efektif dan efisien. Lansia meupakan masa
perkembangan terakhir dalam hidup manusia, karena adanya proses penurunan
kemampuan sehingga pada Lansia seperti keadaan ini kebutuhan akan kontrol
keseimbangan postural semakin meningkat. Keseimbangan dinamis melibatkan
16
berbagai gerakan disetiap segmen tubuh dengan didukung oleh sistem
muskuloskeletal dan bidang tumpu. Kemampuan untuk menyeimbangkan massa
tubuh dengan bidang tumpu akan membuat manusia mampu untuk beraktivitas
secara efektif dan efisien. Dengan keseimbangan, fleksibilitas dan kekuatan yang
baik maka akan terwujud pola jalan yang baik pada setiap individu. Pada saat
berjalan itu melibatkan banyak aspek antara lain muskuloskeletal, neurologis,
stimulus reseptor. Apabila semua aspek tadi bagus, maka kemampuan berjalan
akan baik serta aktifitas Lansia akan terjaga. Berjalan terdiri dari beberapa fase,
yaitu fase menumpu dan melayang, semua saling berkaitan untuk menuju jalan
dengan keseimbangan yang sempurna.
e. Komponen-komponen Pengontrol Keseimbangan
1) Sistem informasi sensoris
Sistem informasi sensoris meliputi vestibular, somatosensoris, dan visual.
a) Sistem vestibular
Menurut (Andi Sugiarto, 2005) organ vestibular memberikan informasi ke
sistem saraf pusat tentang posisi dan gerakan dari kepala serta pandangan mata
melalui reseptor makula dan krista ampularis yang ada di telinga dalam.
Komponen vestibular merupakan sistem sensoris yang berfungsi penting dalam
keseimbangan, kontrol kepala, dan gerak bola mata. Reseptor sensoris vestibular
berada di dalam telinga. Reseptor pada sistem vestibular meliputi kanalis
semisirkularis, utrikulus, serta sakulus. Reseptor dari sistem sensoris ini disebut
dengan sistem labyrinthine. Sistem labyrinthine mendeteksi perubahan posisi
kepala dan percepatan perubahan sudut. Melalui refleks vestibulo-occular, mampu
mengontrol gerak mata, terutama ketika melihat obyek yang bergerak. Kemudian
meneruskan pesan melalui saraf kranialis VIII ke nukleus vestibular yang
berlokasi di batang otak. Beberapa stimulus tidak menuju nukleus vestibular tetapi
ke cerebellum, formatio retikularis, thalamus dan korteks serebri.
Nukleus vestibular menerima masukan (input) dari reseptor labyrinthine,
retikular formasi, dan serebelum. Keluaran (output) dari nukleus vestibular
menuju ke motor neuron melalui medula spinalis, terutama ke motor neuron yang
17
menginervasi otot-otot proksimal, kumparan otot pada leher dan otot-otot
punggung (otot-otot postural). Sistem vestibular bereaksi sangat cepat sehingga
membantu mempertahankan keseimbangan tubuh dengan mengontrol otot-otot
postural.
b) Somatosensoris
Sistem somatosensoris terdiri dari taktil atau proprioseptif serta persepsi-
kognitif. Informasi propriosepsi disalurkan ke otak melalui kolumna dorsalis
medula spinalis. Sebagian besar masukan (input) proprioseptif menuju
cerebellum, tetapi ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui lemniskus
medialis dan thalamus.
Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam ruang sebagian
bergantung pada impuls yang datang dari alat indra dalam dan sekitar sendi. Alat
indra tersebut adalah ujung-ujung saraf yang beradaptasi lambat di sinovial dan
ligamentum. Impuls dari alat indra ini dari reseptor raba di kulit dan jaringan lain,
serta otot di proses di korteks menjadi kesadaran akan posisi tubuh dalam ruang.
c) Visual
Visual memegang peran penting dalam sistem sensoris. (Cratty dan
Martin, 1969) menyatakan bahwa keseimbangan akan terus berkembang sesuai
umur, mata akan membantu agar tetap fokus pada titik utama untuk
mempertahankan keseimbangan, dan sebagai monitor tubuh selama melakukan
gerak statis atau dinamis. Penglihatan juga merupakan sumber utama informasi
tentang lingkungan dan tempat kita berada, penglihatan memegang peran penting
untuk mengidentifikasi dan mengatur jarak gerak sesuai lingkungan tempat kita
berada. Penglihatan muncul ketika mata menerima sinar yang berasal dari obyek
sesuai jarak pandang.
Dengan informasi visual, maka tubuh dapat menyesuaikan atau bereaksi
terhadap perubahan bidang pada lingkungan aktivitas sehingga memberikan kerja
otot yang sinergis untuk mempertahankan keseimbangan tubuh.
2) Kekuatan otot (muscle strength)
18
Kekuatan otot umumnya diperlukan dalam melakukan aktivitas. Semua
gerakan yang dihasilkan merupakan hasil dari adanya peningkatan tegangan otot
sebagai respon motorik.
Kekuatan otot dapat digambarkan sebagai kemampuan otot menahan
beban baik berupa beban eksternal (eksternal force) maupun beban internal
(internal force). Kekuatan otot sangat berhubungan dengan sistem neuromuskuler
yaitu seberapa besar kemampuan sistem saraf mengaktifasi otot untuk melakukan
kontraksi. Sehingga semakin banyak serabut otot yang teraktifasi, maka semakin
besar pula kekuatan yang dihasilkan otot tersebut.
Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus kuat untuk
mempertahankan keseimbangan tubuh saat adanya gaya dari luar. Kekuatan otot
tersebut berhubungan langsung dengan kemampuan otot untuk melawan gaya
gravitasi, seperti gerakan berdiri dikursi, ditahan beberapa detik berulang-ulang
atau aktifitas dengan tahanan tertentu misalnya latihan dengan tali elastis, serta
beban eksternal lainnya yang secara terus menerus mempengaruhi posisi tubuh.
3) Respon otot-otot postural yang sinergis (Postural muscles response
synergies)
Respon otot-otot postural yang sinergis mengarah pada waktu dan jarak
dari aktivitas kelompok otot yang diperlukan untuk mempertahankan
keseimbangan dan kontrol postur. Beberapa kelompok otot baik pada ekstremitas
atas maupun bawah berfungsi mempertahankan postur saat berdiri tegak serta
mengatur keseimbangan tubuh dalam berbagai gerakan. Keseimbangan pada
tubuh dalam berbagai posisi hanya akan dimungkinkan jika respon dari otot-otot
postural bekerja secara sinergis sebagai reaksi dari perubahan posisi, titik tumpu,
gaya gravitasi, dan garis tubuh.
Kerja otot yang sinergis berarti bahwa adanya respon yang tepat
(kecepatan dan kekuatan) suatu otot terhadap otot yang lainnya dalam melakukan
fungsi gerak tertentu.
4) Adaptive systems
19
Kemampuan adaptasi akan memodifikasi input sensoris dan keluaran
motorik (output) ketika terjadi perubahan tempat sesuai dengan karakteristik
lingkungan.
5) Lingkup gerak sendi (Joint range of motion)
Kemampuan sendi untuk membantu gerak tubuh dan mengarahkan
gerakan terutama saat gerakan yang memerlukan keseimbangan yang tinggi.
Penurunan kemampuan muskuluskeletal dapat menurunkan ROM, sehingga akan
mempengaruhi Lansia dalam melakukan aktifitas sehari-hari (Adhitya putra,
2012).
f. Faktor yang Berpengaruh Terhadap Keseimbangan
Faktor yang mempengaruhi keseimbangan menurut Ririn Pudjiastuti dan Budi
(2000) adalah sebagai berikut:
1) Pusat gravitasi (Center of Gravity-COG)
Pusat gravitasi terdapat pada semua obyek, pada benda, pusat gravitasi
terletak tepat di tengah benda tersebut. Pusat gravitasi adalah titik utama pada
tubuh yang akan mendistribusikan massa tubuh secara merata. Bila tubuh selalu
ditopang oleh titik ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang. Pada manusia, pusat
gravitasi berpindah sesuai dengan arah atau perubahan berat. Pusat gravitasi
manusia ketika berdiri tegak adalah tepat di atas pinggang diantara depan dan
belakang vertebra sakrum ke dua.
Derajat stabilitas tubuh dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu: ketinggian
dari titik pusat gravitasi dengan bidang tumpu, ukuran bidang tumpu, lokasi garis
gravitasi dengan bidang tumpu, serta berat badan.
2) Garis gravitasi (Line of Gravity-LOG)
Garis gravitasi merupakan garis imajiner yang berada vertikal melalui
pusat gravitasi dengan pusat bumi. Hubungan antara garis gravitasi, pusat
gravitasi dengan bidang tumpu adalah menentukan derajat stabilitas tubuh.
3) Bidang tumpu (Base of Support-BOS)
Bidang tumpu merupakan bagian dari tubuh yang berhubungan dengan
permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada di bidang tumpu, tubuh
20
dalam keadaan seimbang. Stabilitas yang baik terbentuk dari luasnya area bidang
tumpu. Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi stabilitas. Misalnya berdiri
dengan kedua kaki akan lebih stabil dibanding berdiri dengan satu kaki. Semakin
dekat bidang tumpu dengan pusat gravitasi, maka stabilitas tubuh makin tinggi.
Menurut (Andi Sugiarto, 2005) kemampuan mengontrol keseimbangan sangat
perlu, karena dalam melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari tubuh hampir
selalu berubah pusat massanya (COM = center of mass) dan landasan
penunjangnya (BOS = base of support).
g. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan Tubuh Lansia
Keseimbangan dipengaruhi oleh beberapa faktor resiko, yaitu faktor
internal dan eksternal.
1) Faktor Internal
a) Usia
Keseimbangan berkurang seiring bertambahnya usia karena perubahan
yang terjadi pada Lansia (Sihvonen,2004). Maciel dan Guerra (2005)
menemukan hubungan antara usia diatas 75 tahun dan keseimbangan yang
buruk pada penelitiannya yang dilakukan pada 310 Lansia yang berusia
lebih dari 60 tahun (Gai, et al., 2010). Menurut Tinetti dalam Gai, et al
(2010) juga menyatakan bahwa lebih dari sepertiga penduduk berusia 65
tahun atau lebih di dunia mengalami jatuh dan setengahnya merupakan
kejadian berulang. Jatuh merupakan dampak langsung dari gangguan
keseimbangan (Gai, et al., 2010).
b) Jenis Kelamin
Perbedaan keseimbangan antara perempuan dan Laki-laki dapat
dipengaruhi oleh faktor antropometri yang berbeda (Sihvonen,2004).
Selain itu, perbedaan tersebut juga dipengaruhi oleh faktor psikologis,
kekuatan otot, dan faktor hormonal (Sihvonen, 2004).
Observasi terhadap kejadian jatuh pada 963 Lansia berusia lebih dari 65
tahun di Inggris menemukan peningkatan kejadian jatuh pada Lansia
wanita lebih tinggi daripada pria yaitu dari 30% menjadi 50% sedangkan
21
pada pria meningkat dari 13% menjadi 30% (Lord, et al., 2007). Menurut
Davis dalam Lord, et al (2007) yang mengkaji kejadian jatuh pada Lansia
jepang yang tinggal di Hawai menemukan bahwa kejadian jatuh terjadi
pada Lansia laki-laki sebesar 13,9% dan wanita sebesar 27,6%. Rata-rata
kejadia jatuh pada Lansia wanita adalah 40% sedangkan laki-laki sebesar
38% dan akan terus meningkat pada usia diatas 65 tahun. Kejadian
tersebut dapat disebabkan berkurangnya kekuatan otot pada Lansia wanita
dan kurangnya kemampuan Lansia wanita dalam mengembalikan stabilitas
tubuh. Lansia wanita juga mengalami kelemahan otot pada ekstremitas
bawah sehingga kurang dapat menyangga berat badan (Lord, et al., 2007)
c) Pekerjaan
Pekerjaan berhubungan dengan ketidak seimbangan tubuh karena
dikaitkan dengan kondisi lingkungan di tempat bekerja. Kondisi
lingkungan tersebut diantaranya kondisi pencahayaan, temperatur dan
kondisi lantai. Selain itu, pekerjaan dapat mempengaruhi keseimbangan
juga dikaitkan dengan aktivitas dalam pekerjaan itu sendiri (Gauchard, et
al., 2003)
d) Gangguan afektif dan kondisi psikologis
Ketakutan akan jatuh menyebabkan gangguan mobilitas yang dapat
mempengaruhi keseimbangan (Gazzola, et al., 2006). Takut jatuh dapat
menyebabkan Lansia membatasi aktivitas fisik, fungsional dan sosial
sehingga mengakibatkan kelemahan otot, penampilan postur yang buruk,
dan lambat berjalan (Todd & Skelton, 2004).
e) Penyakit Kardiovaskular
Miyamoto (2003) menemukan korelasi antara keseimbangan yang diukur
dengan Berg Balance Scale (BBS) dengan penyakit kardiovaskular yaitu
sebesar -0,353 dan alpha kurang dari 0,05 pada 36 sampel dengan usia 65
tahun atau lebih (Gazzola, et al., 2006). Hipotensi postural dapat
mempengaruhi keamanan dan kualitas hidup Lansia serta berkontribusi
pada kejadian jatuh apalagi jika dikombinasikan dengan gangguan
penglihatan dan hambatan lingkungan (Miller, 2004).
22
f) Gangguan metabolik
Gangguan metabolik contohnya adalah obesitas (Salzam, 2010). Obesitas
dikaitkan dengan status nutrisi. Status nitrisi yang diukur dengan IMT atau
Indeks Massa Tubuh berhubungan dengan keseimbangan (Lee & Scudds,
2003). Penelitian Ringsberg, et al (1999) pada 230 Lansia wanita
menghasilkan bahwa berat badan dan tinggi badan berhubungan dengan
keseimbangan dan kekuatan otot.
g) Gangguan Muskuloskeletal
Gangguan muskuloskeletal dapat berupa kelemahan otot, abnormalitas
kaki dan nyeri kaki (Gazzola, et al., 2006). Frekuensi nyeri pada kaki
meningkat seiring dengan peningkatan usia (Helme & Gibson, 1999).
h) Gangguan Neurologis
Gangguan neurologis yang berhubungan dengan gangguan keseimbangan
adalah delirium, demensia, gangguan vestibular dan stroke (Salzman,
2010). Stroke berhubungan dengan keseimbangan karena terjadi