14 BAB II KAJIAN TEORETIS A. Kajian Teori 1. Hakikat Pendidikan Nilai dan Karakter a. Pengertian Pendidikan Nilai dan Karakter Pendidikan memiliki fungsi mempersiapkan sekaligus memberikan bekal pada generasi muda agar siap terjun ke lingkungan masyarakat yang lebih luas. Melalui pendidikan, generasi muda akan memperoleh bekal berupa pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), serta nilai-nilai untuk hidup (value). Melalui pendidikan seluruh aspek kepribadian dan kemampuan manusia, baik dilihat dari aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik berusaha dikembangkan. Tidak mengherankan apabila pendidikan memiliki makna yang lebih luas daripada pengajaran. Namun, perlu dipahami bahwa pengajaran merupakan sarana yang efektif dalam menyelenggarakan pendidikan. Pasal 3 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa, “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut dijadikan dasar dalam pengembangan pendidikan nilai dan karakter bangsa, sehingga tidak sekedar melahirkan dan membentuk
59
Embed
BAB II KAJIAN TEORETIS A. Kajian Teori 1. Hakikat ... · efektif dalam menyelenggarakan pendidikan. ... mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
14
BAB II
KAJIAN TEORETIS
A. Kajian Teori
1. Hakikat Pendidikan Nilai dan Karakter
a. Pengertian Pendidikan Nilai dan Karakter
Pendidikan memiliki fungsi mempersiapkan sekaligus memberikan bekal
pada generasi muda agar siap terjun ke lingkungan masyarakat yang lebih luas.
Melalui pendidikan, generasi muda akan memperoleh bekal berupa pengetahuan
(knowledge), keterampilan (skill), serta nilai-nilai untuk hidup (value). Melalui
pendidikan seluruh aspek kepribadian dan kemampuan manusia, baik dilihat dari
aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik berusaha dikembangkan. Tidak
mengherankan apabila pendidikan memiliki makna yang lebih luas daripada
pengajaran. Namun, perlu dipahami bahwa pengajaran merupakan sarana yang
efektif dalam menyelenggarakan pendidikan.
Pasal 3 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003
menyebutkan bahwa, “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Rumusan tujuan
pendidikan nasional tersebut dijadikan dasar dalam pengembangan pendidikan
nilai dan karakter bangsa, sehingga tidak sekedar melahirkan dan membentuk
15
manusia yang cerdas, namun juga berkarakter sesuai dengan nilai-nilai luhur
bangsa Indonesia dan ajaran agama.
Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan
masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab (Yudi Hartono,
2012: 55). Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja,
akan tetapi lebih luas lagi yaitu sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai
(enkulturasi dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang
menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup
sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu: (1) afektif yang tercermin
pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur
serta kepribadian unggul dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada
kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin
pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan
kompetensi kinestetis.
Ada tiga sifat penting pendidikan menurut Nana Syaodih (2013: 58-59)
antara lain; pertama, pendidikan mengandung nilai dan memberikan pertimbangan
nilai. Hal itu disebabkan karena pendidikan diarahkan pada pengembangan
pribadi anak agar sesuai dengan nilai-nilai yang ada dan diharapkan masyarakat.
Karena tujuan pendidikan mengandung nilai, maka isi pendidikan harus memuat
nilai. Proses pendidikannya juga harus bersifat membina dan mengembangkan
nilai. Kedua, pendidikan diarahkan pada kehidupan di masyarakat. Pendidikan
bukan hanya untuk pendidikan, tetapi menyiapkan anak untuk kehidupan di
16
masyarakat. Generasi muda perlu mengenal dan memahami apa yang ada di
masyarakat, memiliki kecakapan-kecakapan untuk dapat berpartisipasi di
masyarakat, baik sebagai warga maupun sebagai karyawan. Ketiga, pelaksanaan
pendidikan dipengaruhi dan didukung oleh lingkungan masyarakat tempat
pendidikan itu berlangsung. Kehidupan masyarakat berpengaruh terhadap proses
pendidikan, karena pendidikan sangat melekat dengan kehidupan masyarakat.
Proses pendidikan merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat.
Pelaksanaan pendidikan membutuhkan dukungan dari lingkungan masyarakat,
penyediaan fasilitas, personalia, sistem sosial budaya, politik, keamanan, dan lain-
lain. Berikut merupakan gambaran konsep mengenai internalisasi nilai-nilai yang
perlu ditanamkan pada siswa berdasarkan pusat kurikulum.
Gambar 2.1. Konsep Internalisasi Nilai-Nilai Yang Ditanamkan Pada Siswa SMP
(Sumber: Pusat Kurikulum, 2011)
17
Setiap lingkungan masyarakat memiliki kecenderungan sosial budaya yang
berbeda (relatif). Sistem ini mampu mengatur pola kehidupan dan hubungan antar
anggota masyarakat, antar anggota dan lembaga, serta antar lembaga dan lembaga.
Oleh karena itu, upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan cita-
cita nasional, memerlukan evaluasi maupun refleksi terhadap sistem pendidikan
dan paradigma pendidikan Indonesia. Pembelajaran di sekolah perlu difokuskan
pada pengembangan kemampuan intelektual secara sosial dan kultural yang
mendorong siswa dalam membangun pengetahuannya sendiri dalam konteks
sosial yang dimulai dari pengetahuan awal mengenai perspektif budaya.
Kesemuanya itu akan terangkum sesuai dengan 3 aspek penting perkembangan
individu yakni perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Melalui
pendidikan formal maupun informal, konsep pendidikan yang bersifat universal
harus sesuai dengan karakteristik budaya dan nilai-nilai sistem sosial setempat
(lokal) untuk dijadikan sebagai landasan dan acuan.
Salah satu aspek yang cukup penting dalam sistem sosial-budaya adalah
tatanan nilai. Tatanan nilai merupakan seperangkat ketentuan, peraturan, hukum,
moral yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku warga masyarakat. Nilai-
nilai tersebut bersumber dari agama, budaya, kehidupan politik, maupun dari segi-
segi kehidupan lainnya. Nilai-nilai yang ditumbuhkembangkan dalam diri siswa
harus berupa nilai-nilai dasar yang disepakati secara nasional. Sejalan dengan
perkembangan masyarakat dan zaman, maka nilai-nilai itu pun selalu berkembang
dan mungkin pada suatu saat perkembangannya begitu drastis, sehingga tidak
jarang menimbulkan konflik nilai karena adanya perbedaan sudut pandang atau
18
variasi sumber-sumber nilai. Namun, secara spesifik terdapat nilai moral
individual dan sosial.
Nilai moral individual menyangkut hubungan manusia dengan kehidupan
diri pribadi sendiri atau cara manusia memperlakukan diri pribadi. Nilai moral
tersebut mendasari dan menjadi panduan hidup manusia sebagai arah dan aturan
yang perlu dilakukan dalam kehidupan pribadinya. Adapun nilai moral individual
yang dimaksud meliputi: kepatuhan, pemberani, rela berkorban, jujur, adil dan
bijaksana, menghormati dan menghargai, bekerja keras, menepati janji, tahu balas
budi, baik budi pekerti, rendah hati, dan hati-hati dalam bertindak. Nilai moral
sosial, terkait dengan hubungan antar manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Setiap orang perlu memahami norma-norma yang berlaku agar
hubungannya dapat berjalan lancar atau tidak terjadi kesalahpahaman. Setiap
orang seharusnya mampu membedakan antara perbuatan yang baik dan yang
buruk dalam melakukan hubungan dengan manusia lain. Adapun nilai-nilai moral
sosial tersebut meliputi; bekerjasama, suka menolong, kasih sayang, kerukunan,
peduli nasib orang lain, dan suka mendoakan orang lain (Nilawati Syahrul, 2013:
105). Variasi nilai-nilai tersebut tercermin melalui karakter yang terdapat dalam
diri setiap individu. Oleh karena itu, karakter dapat dibangun melalui media
pendidikan, baik formal maupun non formal.
Karakter berasal dari bahasa Yunani charassein, yang berarti mengukir.
Sifatnya yakni melekat terhadap benda yang diukir. Menghilangkan ukiran sama
dengan menghilangkan esensi benda yang diukir, karena ukiran harus melekat dan
menyatu dengan bendanya. Secara sederhana, karakter dapat dimengerti sebagai
19
pegangan dalam berperilaku positif dalam masyarakat yang karena berbagai hal
telah terdegradasi oleh pengaruh eksternal (globalisasi). Istilah “karakter”, selalu
digunakan untuk merujuk pada hal yang positif. Artinya, jika seseorang dikatakan
berkarakter, maka orang tersebut bisa dipastikan memiliki sikap maupun perilaku
yang baik.
Jadi, pendidikan nilai dan karakter dapat dimengerti sebagai suatu sistem
penanaman nilai-nilai karakter khususnya kepada siswa, yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-
nilai tersebut. Sehingga, karakter bangsa merupakan kondisi watak yang
merupakan identitas bangsa atau identitas nasional. Identitas nasional bisa
dimengerti sebagai jati diri atau kepribadian nasional. Jati diri nasional suatu
bangsa tentu berbeda dengan jati diri bangsa lain karena adanya perbedaan latar
belakang sejarah, kebudayaan, maupun geografis. Jati diri nasional bangsa
Indonesia terbentuk karena rakyat Indonesia memiliki pengalaman sejarah yang
sama sehingga menumbuhkan kesadaran kebangsaan yang pada akhirnya
melahirkan identitas nasional. Fungsi dari pendidikan nilai dan karakter tersebut
antara lain:
1) Pengembangan : mengembangkan potensi siswa agar berkepribadian baik yang
mampu mencerminkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;
2) Perbaikan : memperkokoh peran pendidikan nasional sebagai bagian dari
tanggung jawab dalam memperbaiki kondisi bangsa;
3) Penyaring : menyaring budaya sendiri dan bangsa lain yang tidak sesuai
dengan kepribadian Indonesia akibat pengaruh derasnya arus globalisasi.
20
Upaya membudayakan pendidikan karakter di lingkungan sekolah juga
membutuhkan peranan berbagai pihak. Pendidikan karakter harus dibangun sedini
mungkin. Konsep ini menjelaskan bahwa pendidikan karakter itu tidak sekedar
dibangun, namun juga dibiasakan sehingga membudaya. Keluarga merupakan
sekolah pertama bagi anak. Oleh karena itu harapan besar bertumpu pada
keluarga, lingkungan masyarakat, sekolah, serta pemerintah sebagai pembuat
kebijakan. Keteladanan orang-orang terdekat menjadi aspek yang sangat penting
bagi kepribadian anak, selain juga didasari atas nilai-nilai yang terkandung dalam
agama, Pancasila, budaya luhur bangsa Indonesia, serta tujuan pendidikan
nasional.
Gambar 2.2. Grand Desain Pendidikan Karakter
(Sumber: Pusat Kurikulum, 2011)
21
b. Nilai Kearifan Lokal
Kearifan lokal secara etimologis terdiri dari dua kata. Kearifan dapat
dimengerti sebagai kemampuan manusia dalam menggunakan akal dan
perasaannya dalam menyikapi suatu kejadian, obyek, atau situasi dengan cara
yang bijaksana. Sedangkan lokal, merujuk pada ruang interaksi dimana peristiwa
atau situasi itu terjadi. Terdapat beberapa istilah konseptual yang dipakai dalam
mengasumsikan kearifan lokal. Avonia dan Sudikan (dalam I Nyoman Suaka,
2013: 49) mengungkapkan bahwa terdapat tiga istilah yang sering digunakan
secara tumpang tindih, yaitu pengetahuan lokal (local knowledge), kearifan lokal
(local wisdom), dan kecerdasan setempat (local genius) yang memiliki tempat dan
penggunaan berbeda.
Nakorntap (dalam Mungmachon, 2012: 176) menjelaskan bahwa kearifan
lokal adalah pengetahuan dasar manusia untuk memperoleh keseimbangan hidup
dengan alam yang berhubungan dengan akumulasi budaya serta turun-temurun
pada suatu komunitas. Kearifan lokal bisa tidak kasat mata maupun sebaliknya,
akan tetapi yang paling penting adalah pembentukan karakter dari suatu
kebenaran maupun pengalaman manusia tentang kehidupan seperti menekankan
nilai-nilai moralitas yang berdasarkan pada pengalaman hidup manusia itu sendiri.
Irmayanti Meliono (2011: 227) menjelaskan; kearifan lokal merupakan
bentuk ekspresi dari etika masyarakat Indonesia yang berdasarkan ide atau
gagasan yang mengarah pada aktivitas tertentu. Kearifan lokal dikenal sebagai
suatu sistem proses sosial dari masyarakat komunal yang terdiri dari tiap individu.
Kearifan lokal terbangun secara alamiah oleh suatu komunitas masyarakat tertentu
22
sebagai upaya untuk berinteraksi dengan sesamanya maupun beradaptasi dengan
lingkungan setempat. Kearifan lokal dapat berupa ide/pemikiran, sikap, maupun
perilaku. Kebiasaan tersebut berkembang, kemudian diwariskan pada generasi
selanjutnya sehingga menjadi sebuah kebudayaan yang mencakup pada daerah
atau lokalitas tertentu. Secara umum kearifan lokal bisa terdiri dari hal yang tidak
kasat mata (intangible) dan hal yang kasat mata (tangible). Wujud nyata kearifan
lokal yang tidak kasat mata berupa ide, gagasan, atau pemikiran dalam
membangun aktualisasi diri, pemikiran visioner, dan berkarakter mulia.
Sebaliknya, kearifan lokal berupa fisik atau kasat mata seperti situs-situs
bersejarah masa lampau, kesenian, rumah, senjata, alat musik, dan pakaian
tradisional yang pada umumnya mewakili suatu lokalitas tertentu, serta memiliki
makna filosofis dan nilai-nilai positif yang tertuang secara simbolik sebagai
pembelajaran masyarakat.
Kearifan lokal yang terkandung dalam produk budaya, mengandung unsur-
unsur sebagai berikut. Pertama, unsur religi, kearifan lokal ini berhubungan
dengan sikap serta perilaku secara vertikal terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Kedua, unsur diri sendiri (subyek), yakni managemen diri agar dapat menerima
dan diterima pribadi lain di luar diri sendiri. Ketiga, unsur komunitas, kemampuan
beradaptasi dengan masyarakat luas dimana diri sendiri menjadi bagian darinya.
Unsur yang ketiga ini berkaitan dengan rasa keadilan, toleransi dan empati yang
bermuara pada bagaimana diri ini mampu menyenangkan perasaan orang lain agar
dapat diterima sebagai bagian yang penting dan dibutuhkan. Keempat, unsur sikap
dan perilaku anggota keluarga (kerabat) yang berhubungan dengan diri pribadi.
23
Kearifan lokal ini berkaitan dengan etos belajar dan etos bekerja yang akan
mengantarkan menjadi insan yang kreatif dan produktif. Kelima, unsur
lingkungan setempat yang memberikan rasa aman dan nyaman karena lingkungan
yang terjaga dan terpelihara akan memberi manfaat positif pada kehidupan
(Sutarto dalam I Nyoman Suaka, 2013: 49).
Uraian para ahli di atas memberikan setidaknya tujuh konsep, antara lain; a)
kearifan lokal dalam sebuah komunitas masyarakat diperoleh dari proses
pengalaman panjang, b) kearifan lokal berhubungan erat dengan lokalitas tertentu,
c) kearifan lokal digunakan manusia untuk beradaptasi, d) kearifan lokal
merupakan produk budaya yang diwariskan pada generasi selanjutnya, e) kearifan
lokal bersifat relatif, f) pada umumnya bersifat tradisional dan memiliki semangat
dalam menjaga lingkungan sekitar, g) kearifan lokal membentuk keseimbangan
hidup manusia dalam arus globalisasi sehingga tercapai kehidupan yang harmoni.
Mengingat derasnya pengaruh arus globalisasi di zaman IT seperti saat ini,
maka penanaman nilai-nilai luhur yang terdapat dalam kearifan lokal bangsa
Indonesia merupakan suatu keharusan. Usaha untuk menanamkan nilai-nilai luhur
budaya dan kearifan lokal bangsa tersebut tidak lain adalah melalui pendidikan.
Penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal ini diharapkan akan
mampu membentuk siswa berkarakter yang mampu beradaptasi di tengah arus
globalisasi. Selain itu, harapannya kepada generasi muda agar tidak meninggalkan
rasa cintanya terhadap budaya lokal di era yang serba canggih seperti ini.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk melestarikan kearifan lokal
yakni dengan menjadikan sumber inspirasi dalam pembelajaran sosial-budaya di
24
sekolah. Sistem pendidikan berbasis kearifan lokal yang berhubungan dengan
pembentukan kepribadian warga negara, akan mampu menghadapi tantangan
globalisasi. Guru sebagai fasilitator di kelas harus mampu mengintegrasikan nilai-
nilai kearifan lokal tersebut dalam muatan pembelajaran. Pengintegrasian ini
tentunya harus disesuaikan dengan materi yang disampaikan, tingkat
perkembangan siswa, termasuk metode yang digunakan. Sehingga keberagaman
serta makna nilai-nilai kearifan lokal sebagai sumber inspirasi dalam
pembelajaran di sekolah mampu membentuk karakter siswa dan mampu
melestarikan kearifan lokal bangsa Indonesia yang seiring waktu semakin
terdegradasi.
c. Pendekatan Kontekstual
Kontekstual berarti berkenaan atau berkaitan secara langsung dengan
sesuatu. Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar dan mengajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia
nyata siswa, serta mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai diri pribadi,
anggota keluarga, masyarakat, dan warga negara. Siswa akan memiliki
kemudahan belajar apabila disertai dengan contoh nyata di lapangan. Contoh
nyata tersebut akan memberikan inspirasi maupun membawa imajinasi yang
positif terhadap siswa, pembelajaran pun tidak bersifat kosong, akan tetapi lebih
bermakna sekaligus memberikan keteladanan.
Menurut Wina Sanjaya (2010: 255-256) terdapat tiga hal yang harus
dipahami dalam konsep pembelajaran kontekstual. Pertama, CTL (Contextual
25
Teaching and Learning) menekankan pada proses keterlibatan siswa untuk
menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman
secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL (Contextual Teaching and
Learning) tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, akan tetapi
proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. Kedua, CTL (Contextual
Teaching and Learning) mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan
antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa
dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah
dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat
mengkorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi
siswa materi itu akan bermakna secara fungsional, akan tetapi materi yang
dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah
dilupakan. Ketiga, CTL (Contextual Teaching and Learning) mendorong siswa
untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya
mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi
bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan
sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL (Contextual Teaching and
Learning) bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, akan tetapi
sebagai bekal mereka dalam mengarungi kehidupan nyata
Melalui konsep belajar Contextual Teaching and Learning (CTL), akan
membantu guru memberikan pembelajaran yang bermakna pada siswa di kelas.
Harapan yang ingin dimunculkan yakni siswa mampu menyerap pembelajaran
dengan baik karena konteks pembelajaran tidak jauh dari kehidupan sehari-hari.
26
d. Nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter
Nilai-nilai karakter bangsa yang dapat diintegrasikan dalam muatan mata
pelajaran di sekolah antara lain;
1) Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan, yakni religius.
2) Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri, antara lain; jujur
bertanggung jawab, disiplin, kerja keras, percaya diri, berjiwa wirausaha,
berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, mandiri, dan sebagainya.
3) Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama, antara lain; sadar akan hak
dan kewajiban diri dan orang lain, patuh pada aturan-aturan sosial, menghargai
karya dan prestasi orang lain, santun, demokratis dan sebagainya.
4) Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan antara lain; peduli sosial
dan lingkungan, melestarikan lingkungan, nilai kebangsaan, nasionalis,
menghargai keberagaman, patriotis, dan sebagainya
Menurut Kementrian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan
Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan (2010) nilai-nilai karakter perlu
dikembangkan dalam pendidikan insan Indonesia yang tercermin melalui empat
sumber berikut, antara lain;
1) Agama : Manusia Indonesia semenjak masa pra aksara sekalipun memiliki
sikap religiusitas sebagai sebuah kepribadian yang sudah mendarah daging.
Secara politis dalam kehidupan bernegara, konstitusi Negara Kesatuan
Republik Indonesia juga mengakui dan menjamin nilai-nilai keagamaan atau
religiusitas.
27
2) Pancasila : NKRI secara politis memiliki dasar negara Pancasila. Satu-satunya
ideologi kebangsaan dan ketatanegaraan di dunia dari, oleh, dan untuk
Indonesia. Rumusan Pancasila digali dari kepribadian masyarakat asli
nusantara, serta dibangun oleh para pendiri bangsa. Pancasila sebagai sumber
dari segala sumber hukum di Indonesia mengandung nilai-nilai yang mengatur
kehidupan politik, ekonomi, sosial-budaya, hukum, keamanan, dan sebagainya
yang berfungsi membentuk generasi penerus bangsa agar menjadi warga
negara yang baik. Nilai-nilai luhur Pancasila lebih lanjut dijabarkan dalam
pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945.
3) Budaya : keberadaban suatu komunitas masyarakat dapat dilihat dari
budayanya. Meskipun budaya di setiap wilayah bernilai relatif, akan tetapi
budaya dianggap sebagai sesuatu yang diakui nilainya dalam berkehidupan.
Budaya Indonesia sebagai budaya ketimuran berkesan sopan santun, ramah,
lemah lembut, murah senyum, menghargai dan sebagainya, merupakan sumber
nilai dalam membentuk karakter bangsa.
4) Tujuan Pendidikan Nasional : memuat berbagai nilai-nilai luhur manusia yang
harus dimiliki warga negara Indonesia. Pembentukan rumusan kualitas
(karakter) manusia Indonesia dikembangkan pada satuan pendidikan di
berbagai jenjang dan jalur. Nilai-nilai yang dikembangkan antara lain; religius,
jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin
tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, berprestasi, bersahabat