Ivan Rismayanto, 2016 PERGESERAN NILAI-NILAI GOTONG ROYONG PADA MASYARAKAT KELURAHAN GEGERKALONG KECAMATAN SUKASARI KOTA BANDUNG Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu BAB II KAJIAN TENTANG NILAI-NILAI GOTONG ROYONG DAN PERUBAHAN SOSIAL 2.1. Pengertian Pergeseran Kata pergeseran berasal dari kata dasar “geser”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001, hlm. 361) kata geser mengandung arti: “bergesek, bergesel, dan bergosokan. Kemudian dari kata pergeseran mengandung arti pergesekan, peralihan; perpindahan; pergantian, dan perselisihan; percekcokan”. Menurut pernyataan di atas, kata geser mengandung banyak arti dan makna yang berbeda. Namun meninjau dari kata pergeserannya saja dapat diartikan sebagai suatu peralihan atau berubahnya suatu kondisi tertentu yang berbeda dengan kondisi semula. Bisa perpindahan naik dalam artian adanya sebuah peningkatan ataupun perpindahan turun dalam arti adanya penurunan. Dalam penelitian ini kata pergeseran digunakan untuk menunjukkan adanya perubahan pada nilai-nilai budaya gotong royong masyarakat. Seberapa besar perubahan yang telah terjadi dan apa saja yang masih tetap dipertahankan hingga saat ini. 2.2. Pengertian Kebudayaan Kata budaya atau kebudayaan identik dengan kearifan lokal masyarakat yang tercipta atas hasil peradaban. Wujud dari budaya tersebut bisa berupa tradisi atau adat istiadat yang telah lama ada dan bersifat turun temurun dari generasi ke generasi. Sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (2009, hlm. 144) “Kebudayaan pada hakikatnya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat, yang dijadikan milik manusia melalui belajar”. Menurut Mutakin dan Pasya (2000, hlm. 51) mendefinisikan kebudayaan sebagai “Keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakan untuk menginterpretasikan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan untuk menciptakan serta mendorong terwujudnya kelakuan”.
30
Embed
BAB II KAJIAN TENTANG NILAI-NILAI GOTONG ROYONG DAN ...repository.upi.edu/23435/5/S_SOS_1106447_Chapter2.pdf · unsur-unsur budaya yang saling berbeda sehingga terjadi keadaan yang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Ivan Rismayanto, 2016 PERGESERAN NILAI-NILAI GOTONG ROYONG PADA MASYARAKAT KELURAHAN GEGERKALONG KECAMATAN SUKASARI KOTA BANDUNG Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu
BAB II
KAJIAN TENTANG NILAI-NILAI GOTONG ROYONG DAN
PERUBAHAN SOSIAL
2.1. Pengertian Pergeseran
Kata pergeseran berasal dari kata dasar “geser”, dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2001, hlm. 361) kata geser mengandung arti: “bergesek, bergesel, dan
bergosokan. Kemudian dari kata pergeseran mengandung arti pergesekan,
peralihan; perpindahan; pergantian, dan perselisihan; percekcokan”.
Menurut pernyataan di atas, kata geser mengandung banyak arti dan makna
yang berbeda. Namun meninjau dari kata pergeserannya saja dapat diartikan
sebagai suatu peralihan atau berubahnya suatu kondisi tertentu yang berbeda
dengan kondisi semula. Bisa perpindahan naik dalam artian adanya sebuah
peningkatan ataupun perpindahan turun dalam arti adanya penurunan. Dalam
penelitian ini kata pergeseran digunakan untuk menunjukkan adanya perubahan
pada nilai-nilai budaya gotong royong masyarakat. Seberapa besar perubahan
yang telah terjadi dan apa saja yang masih tetap dipertahankan hingga saat ini.
2.2. Pengertian Kebudayaan
Kata budaya atau kebudayaan identik dengan kearifan lokal masyarakat
yang tercipta atas hasil peradaban. Wujud dari budaya tersebut bisa berupa tradisi
atau adat istiadat yang telah lama ada dan bersifat turun temurun dari generasi ke
generasi. Sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (2009, hlm. 144)
“Kebudayaan pada hakikatnya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan
hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat, yang dijadikan milik manusia
melalui belajar”.
Menurut Mutakin dan Pasya (2000, hlm. 51) mendefinisikan kebudayaan
sebagai “Keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang
digunakan untuk menginterpretasikan dan memahami lingkungan yang dihadapi
dan untuk menciptakan serta mendorong terwujudnya kelakuan”.
11
Kemudian antropolog E.B. Taylor (dalam Soekanto, 2003, hlm. 172),
memberikan definisi bahwa “kebudayaan adalah kompleks yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh
manusia sebagai anggota masyarakat”.
Dari pendapat di atas, dapat diketahui bahwa kebudayaan merupakan
keseluruhan sistem gagasan dalam diri manusia yang diperoleh melalui hasil
belajar. Kebudayaan-kebudayaan tersebut terwujud ke dalam beberapa bentuk
yang kemudian diaplikasikan oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari.
Menurut J.J. Honigmann (dalam Koentjaraningrat, 2009, hlm. 150), mengatakan
ada tiga bentuk gejala kebudayaan yaitu:
a. Wujud kebudayaan sebagai sesuatu yang kompleks dari ide, gagasan,
nilai, norma, dan peraturan. Ide dan gagasan dalam suatu masyarakat
merupakan wujud ideal dari kebudayaan sifatnya abstrak tidak dapat
diraba atau difoto, karena tempatnya ada di alam pikiran masyarakat
dimana kebudayaan itu hidup.
b. Wujud kebudayaan sebagai suatu aktivitas kompleks serta tindakan yang
berpola dari manusia dalam masyarakat, dapat disebut juga sebagai
sistem sosial yang berkaitan dengan tindakan yang berpola dari manusia
itu sendiri, misalnya aktivitas-aktivitas manusia dalam berinteraksi,
berhubungan, dan bergaul dengan sesama anggota masyarakat.
c. Wujud kebudayaan berupa benda-benda hasil karya manusia, yang
merupakan seluruh hasil aktivitas, perbuatan, dan karya manusia dalam
kehidupan masyarakat.
Soekanto (2003, hlm. 199) mengemukakan beberapa ciri kebudayaan yang
merupakan wujud dari kebudayaan itu sendiri adalah sebagai berikut:
a. Kebudayan yang terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia.
b. Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu
generasi tertentu, dan tidak akan mati dengan usia generasi yang
bersangkutan.
c. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah
lakunya.
d. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-
kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-
tindakan yang dilarang dan tindakan-tindakan yang di ijinkan.
Selain memiliki ciri, kebudayaan juga memiliki fungsi. Menurut Koentjaraningrat
(1990, hlm. 25) fungsi dari kebudayaan yaitu:
12
Nilai-nilai budaya ini berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam
masyarakat, tetapi sebagai konsep, sutau nilai budaya itu sangat umum dan
memiliki ruang lingkup yang luas, dan biasanya sulit diterangkan secara
rasional dan nyata. Makna nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan
berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi
warga dari kebudayaan yang bersangkutan.
Seiring perkembangan zaman, pengaruh-pengaruh kebudayaan global semakin
deras masuk ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tanpa adanya filter dari
masyarakatnya sendiri akan sulit untuk mengendalikannya bahkan akan berakibat
fatal. Banyak hal yang mempengaruhi perubahan tersebut diantaranya sudah
terdapat ketidaksesuaian lagi dengan apa yang mereka anut saat ini. Seperti yang
diungkapkan Herimanto dan Winarno (2008, hlm. 35), “perubahan kebudayaan
adalah perubahan yang terjadi sebagai akibat adanya ketidaksesuaian diantara
unsur-unsur budaya yang saling berbeda sehingga terjadi keadaan yang fungsinya
tidak serasi bagi kehidupan”.
Pendapat lain menurut Saebani (2012, hlm. 181) mengungkapkan bahwa:
“Perubahan budaya dapat timbul akibat terjadinya perubahan lingkungan
masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh,
berakhirnya zaman es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan
kemudian memancing inovasi-inovasi baru lainnya dalam kebudayaan”.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan
merupakan keseluruhan sistem gagasan hasil karya manusia yang terhimpun ke
dalam berbagai bentuk kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh melalui hasil belajar.
Kebudayaan yang terbentuk bisa berupa kebudayaan fisik baik berupa seni
tradisional ataupun berupa non-fisik seperti pengaturan hidup sehari-hari yang
diwariskan secara turun temurun. Kebudayaan juga dapat dijadikan sebagai
pengendali sosial dalam masyarakat karena di dalamnya terkandung batasan-
batasan atau aturan bagi warganya dalam berkehidupan.
2.3. Nilai Gotong Royong
2.3.1. Pengertian Nilai
Kata nilai biasa digunakan untuk menunjukan sebuah ukuran atau patokan
dan biasanya dianggap sebagai sesuatu yang penting dan berharga. Namun pada
13
tatanan keilmuan khususnya ilmu sosiologi kata nilai diartikan berbeda. Menurut
Setiadi dan Kolip (2011, hlm. 118-119), “...nilai merupkan kumpulan sikap
perasaan ataupun anggapan terhadap sesuatu hal yang tentang baik buruk, benar
salah, patut tidak patut, hina mulia, maupun penting tidak penting”.
Menurut Kluckhon dan kawan-kawan (dalam Marzali, 2005, hlm. 115)
“Nilai merupakan sebuah konsepsi, eksplisit atau implisit, yang khas milik
seseorang individu atau suatu kelompok, tentang yang seharusnya diiginkan yang
mempengaruhi pilihan yang tersedia dari bentuk-bentuk, cara-cara, dan tujuan-
tujuan tindakan”.
Sedangkan menurut Henslin (2007, hlm. 48) mengungkapkan “Nilai
merupakan standar orang menentukan apa yang baik dan buruk, indah dan jelek.
Nilai mendasari prefensi kita, memandu pilihan kita, dan mengindikasi apa yang
kita anggap berharga dalam hidup ini”.
Kemudian menurut Mifflen (dalam Mifflen & Mifflen, 1986, hlm. 268)
mengatakan:
Nilai adalah suatu kepercayaan yang stabil sebagai akibat dari suatu
penilaian bahwa suatu obyek yang diingini secara sosial dan perorangan
sebagai suatu tindakan yang baik, atau suatu gaya tindakan yang
memerlukan kedua-dua gaya gerak itu ke arah obyek dan kehendak-
kehendak yang selaras dengan kepercayaan.
Pendapat lain mengenai pengertian tentang nilai menurut para ahli dikemukakan
oleh Rohmat (dalam Mulyana, 2004, hlm. 2004) antara lain:
a. Nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar
pilihannya. Gordon Allfort (1964). Definisi ini dilandasi oleh pendekatan
psikologis, karena itu tindakan dan perbuatannya seperti keputusan
benar-salah, baik-buruk, indah-tidak indah, adalah hasil proses
psikologis. Termasuk kedalam wilayah ini seperti hasrat, sikap,
keinginan, kebutuhan dan motif.
b. Nilai adalah patokan normative yang mempengaruhi manusia dalam
menentukan pilihannya diantara cara-cara tindakan relative (Kuperman,
1983). Penekanan utama definisi ini pada faktor eksternal yang
mempengaruhi perilaku manusia. Pendekatan yang melandasi definisi ini
adalah pendekatan sosiologis. Penegakan norma sebagai tekanan utama
dan terpenting dalam kehidupan sosial akan membuat seseorang menjadi
tenang dan membebaskan dirinya dari tuduhan yang tidak baik.
c. Nilai adalah konsepsi (tersurat atau tersirat, yang sifatnya membedakan
individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang diinginkan, yang
14
mempengaruhi tindakan pilihan terhadap cara, tujuan antara dan tujuan
akhir (Kluckhon, Brameld, 1957).
Kemudian menurut Soekanto (1990, hlm. 161) bahwa “nilai berkaitan dengan
standar-standar tentang sesuatu yang lebih baik atau buruk, cantik atau jelek,
menyenangkan atau tidak menyenangkan, sesuai atau tidak sesuai”.
Setiap tindakan yang seseorang lakukan tentu membutuhkan kontrol baik
yang berasal dari dirinya sendiri maupun dari orang lain. Terlebih di negara kita
merupakan negara hukum yang mengatur setiap tindakan yang akan dilakukan
warganya sehingga bisa tercipta kehidupan yang rukun dan damai. Ketika dalam
kehidupan masyarakat peran hukum yang berlaku telah sulit untuk diterapkan
maka norma masyarakat turut berperan dalam hal tersebut. Salah satunya peran
nilai yang dianggap sebagai patokan atau tolak ukur tindakan seseorang dalam
bertindak pada kehidupan bermasyarakat. Sebagaimana yang dikemukakan Baier
(dalam Mulyana, 2004, hlm. 8) bahwa:
Seorang sosiolog menafsirkan nilai dari sudut pandangnya sendiri tentang
keinginan, kebutuhan, kesenangan seseorang sampai pada sanksi dan
tekanan dari masyarakat. Seorang psikolog menafsirkan nilai sebagai suatu
kecenderungan perilaku yang berawal dari gejala-gejala psikologis, seperti
hasrat, motif, sikap, kebutuhan, dan keyakinan yang dimiliki secara
individual sampai pada wujud tingakh lakunya yang unik. Seorang
antropolog melihat nilai sebagai “harga” yang melekat pada pola budaya
masyarakat seperti dalam bahasa, adat kebiasaan keyankinan, hukum dan
bentuk-bentuk organisasi sosial yang dikembangkan manusia. Lain dengan
seorang ekonom yang melihat nilai sebagai “harga” suatu produk dan
pelayanan yang dapat diandalkan untuk kesejahteraan manusia.
Lebih lanjut dijelaskan mengenai nilai dalam kehidupan sehari-hari menurut
Notonegoro (dalam Setiadi dan Kolip, 2011, hlm. 124-125) dibedakan menjadi
tiga macam, yaitu:
a. Nilai material, yaitu meliputi berbagai konsepsi tentang segala sesuatu
yang berguna bagi jasmani manusia. Misalnya nilai tentang baik
buruknya atau harga suatu benda yang diukur dengan alat ukur tertentu
seperti uang, atau benda-benda berharga lainnya.
b. Nilai vital, yaitu meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan dengan
segala sesuatu yang berguna bagi manusia dalam melaksanakan berbagai
aktivitas. Suatu benda akan dinilai dari daya guna yang dimiliki oleh
benda tersebut.
15
c. Nilai kerohanian, yakni meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan
dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan rohani
manusia, seperti: 1) Nilai kebenaran; 2) Nilai keindahan; 3) Nilai moral;
4) Nilai keagamaan.
Selain terdiri dari beberapa macam bentuk, nilai juga memiliki fungsi dalam
kehidupan sehari-hari. Seperti yang diungkapkan Setiadi dan Kolip (2011, hlm.
126-127) mengenai fungsi-fungsi tersebut, diantaranya:
a. Faktor pendorong cita-cita atau harapan bagi kehidupan sosial.
b. Petunjuk arah seperti cara berpikir, berperasaan, dan bertindak dan
panduan dalam menimbang penilaian masyarakat, penentu, dan
terkadang sebagai penekan para individu untuk berbuat sesuatu dan
bertindak sesuai dengan nilai yang bersangkutan, sehingga sering
menimbulkan perasaan bersalah bagi para anggota yang melanggarnya.
c. Alat perekat solidaritas sosial di dalam kehidupan kelompok.
d. Benteng perlindungan atau penjaga stabilitas budaya kelompok atau
masyarakat.
Jadi dapat disimpulkan, bahwa nilai merupkan sebuah patokan atau tolak ukur
bagi seseorang guna mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, pantas
dan tidak pantas dalam menjalani kehidupan sehari-hari pada masyarakat. Selain
sebagai sebuah benteng nilai juga bisa berperan sebagai alat pemersatu antara satu
individu dengan individu lainnya.
2.3.2. Konsep Gotong Royong
Setiap bangsa dalam sebuah negara pasti memiliki kebudayaan yang khas
yang membedakan dari bangsa lainnya. Seperti bangsa Indonesia yang dikenal
ramah dan menjunjung tinggi nilai luhur kebudayaan yang diwariskan oleh
generasi terdahulu. Salah satu budaya yang masih dipegang oleh masyarakat
Indonesia yaitu budaya gotong royong. Budaya yang mengedepankan kepentingan
umum dibandingkan kepentingan pribadi. Dimana setiap orang bahu membahu
membantu meringankan beban orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan.
Menurut Abdillah (2011, hlm. 7) “gotong royong berasal dari kata dalam
Bahasa Jawa, atau setidaknya mempunyai nuansa Bahasa Jawa. Kata gotong dapat
dipadankan dengan kata pikul atau angkat. Kata royong dapat dipadankan dengan
bersama-sama. Dalam bahasa Jawa kata saiyeg saeko proyo atau satu gerak satu
16
kesatuan usaha memiliki makna yang amat dekat untuk melukiskan kata royong
ini”.
Adapun pengertian gotong royong menurut Sudrajat (2014, hlm. 14)
mengatakan bahwa “Gotong royong adalah sebagai bentuk solidaritas sosial,
terbentuk karena adanya bantuan dari pihak lain, untuk kepentingan pribadi
ataupun kepentingan kelompok sehingga di dalamnya terdapat sikap loyal dari
setiap warga sebagai satu kesatuan”. Kemudian menurut Sajogyo dan Pudjiwati
(2005, hlm. 28) megungkapkan “gotong royong adalah aktifitas bekerjasama
antara sejumlah besar warga desa untuk menyelesaikan suatu proyek tertentu yang
dianggap berguna bagi kepentingan umum”.
Selain itu pendapat lain diungkapkan oleh Pasya (dalam Sudrajat, 2014,
hlm. 16) bahwa ‘gotong royong sebagai bentuk integrasi banyak dipengaruhi oleh
rasa kebersamaan antarwarga komunitas yang dilakukan secara sukarela tanpa
adanya jaminan berupa upah atau pembayaran dalam bentuk lainnya’.
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat ditarik kesimpulan mengenai
pengertian dari gotong royong merupakan kegiatan yang dilakukan secara
bersama-sama dengan tujuan menolong secara sukarela. Melalui kegiatan gotong
royong masyarakat bisa bersatu dalam sebuah kesatuan.
Beberapa daerah di Indonesia diantaranya masih ada yang mempertahankan
budaya gotong royong. Karena selain menguntungkan bagi warganya sendiri,
gotong royong juga dapat menumbuhkan rasa persaudaraan sebagai rasa senasib
sepenanggungan sesama warga. Gotong royong juga lahir dari kesadaran diri
sendiri tanpa adanya unsur paksaan atau perintah dari orang lain. Menurut
Sudrajat (2014, hlm. 16), dengan adanya gotong royong masyarakat dapat
memperoleh beberapa keuntungan, diantaranya: “Pertama, pekerjaan menjadi
lebih mudah dan ringan dibandingkan apabila dilakukan secara perorangan.
Kedua, memperkuat dan mempererat hubungan antarwarga komunitas dimana
mereka berada bahkan dengan kerabatnya yang telah bertempat tinggal di tempat
lain. Ketiga, menyatukan seluruh warga komunitas yang terlibat di dalamnya”.
Walaupun kegiatan gotong royong merupakan sebuah tradisi dalam masyarakat,
17
tetapi dalam pelaksanaannya tidak dilakukan secara memaksa. Seperti yang
diungkapkan oleh Marzali (2005, hlm. 161):
Jika seseorang tidak berperan serta dalam suatu kegiatan gotong royong
sebagaimana yang diinginkan oleh anggota kelompok masyarakat, maka
tidak ada yang merasa dirugikan dan patut untuk menuntut balas dari
individu tersebut. Karena di dalam gotong royong yang dituntut adalah
komitmen seseorang terhadap kelompoknya, bukan untuk kepentingan satu
pihak saja, selain itu dituntut dari setiap anggota kelompok adalah semangat
solidaritas sebagai anggota kelompok.
Dari beberapa literasi diketahui bahwa budaya gotong royong terdiri dari dua
bentuk yaitu gotong royong tolong menolong dan gotong royong kerja bakti.
Bentuk pertama yaitu gotong royong tolong menolong menurut Bintarto (1980,
hlm. 10) mengemukakan:
Gotong royong dalam bentuk tolong menolong ini masih menyimpan ciri
khas gotong royong yang asli. Jenis gotong royong ini berupa tolong
menolong yang terbatas di dalam lingkungan beberapa keluarga tetangga
atau satu dukuh, misalnya dalam hal kematian, perkawinan, mendirikan
rumah dan sebagainya. Sifat sukarela dengan tiada campur tangan pamong
desa. Gotong royong semacam ini terlihat sepanjang masa, bersifat statis
karena merupakan suatu tradisi saja, merupakan suatu hal yang diterima
secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya.
Koentjaraningrat (1990, hlm. 59) mengemukakan bahwa aktivitas tolong
menolong juga tampak dalam aktivitas kehidupan masyarakat lain, yaitu:
a. Aktivitas tolong menolong antar tetangga yang tinggal berdekatan, untuk
pekerjaan-pekerjaan kecil sekitar rumah dan pekarangan, misalnya:
menggali sumur, mengganti dinding bambu dari rumah, membersihkan
rumah dan atap rumah dari hama tikus dan sebagainya. Adat untuk
meminta bantuan tetangga guna pekerjaan-pekerjaan serupa itu di daerah
Karanganyar-Kebumen dikonsepsikan sebagai suatu hal yang berbeda
dengan sambatan, dan disebut dengan istilah lain, yaitu guyuban.
b. Aktivitas tolong menolong antara kaum kerabat (dan kadang-kadang
beberapa tetangga yang paling dekat) untuk menyelenggarakan pesta
sunat, perkawinan atau upacara-upacara adat lain sekitar titik-titik
perlaihan pada lingkaran hidup individu (hamil tujuh bulan, kelahiran,
melepaskan tali pusat, kontak pertama dari bayi dengan tanah, pemberian
nama, pemotongan rambut untuk pertama kali, pengasahan gigi dan
sebagainya). Adat tolong menolong antara kaum kerabat seperti itu di
daerah Karanganyar-Kebumen disebut Njurung.
c. Aktivitas spontan tanpa permintaan dan tanpa pamrih untuk membantu
secara spontan pada waktu seorang penduduk desa mengalamni kematian
18
atau bencana. Adat untuk membantu secara spontan seperti itu, di daerah
Karanganyar-Kebumen disbeut tetulung layat.
Bentuk kedua yaitu gotong royong kerja bakti. Koentjaraningrat (1990, hlm. 60)