9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sistem, Pendekatan Sistem, dan Model 2.1.1 Sistem Sistem merupakan suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan (Manetsch dan Park, 1977). Sedangkan, Marimin (2004) mendefinisikan sistem sebagai suatu kesatuan usaha yang terdiri atas bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai tujuan dalam suatu lingkungan yang kompleks. Selanjutnya, Chechland (1981) menyatakan bahwa sistem merupakan sekumpulan atau kombinasi elemen yang saling berkaitan membentuk sebuah kesatuan yang kompleks. Sistem terdiri atas: komponen, atribut dan hubungan yang dapat didefinisikan sebagai berikut: (1) komponen adalah merupakan bagian-bagian sistem yang terdiri atas input, proses dan output. Setiap komponen sistem mengasumsikan berbagai nilai untuk menggambarkan pernyataan sistem sebagai seperangkat aksi pengendalian atau lebih sebagai pembatasan. Sistem terbangun atas komponen-komponen, komponen tersebut dapat dipecah menjadi komponen yang lebih kecil. Bagian komponen yang lebih kecil tersebut disebut dengan subsistem, (2) atribut adalah sifat-sifat atau manifestasi yang dapat dilihat pada komponen sebuah sistem. Atribut tersebut mengkarakteristikkan parameter sebuah sistem, dan (3) hubungan merupakan keterkaitan di antara komponen dan atribut. Menurut Chechland (1981) ada beberapa persyaratan dalam berpikir sistem (system thinking) diantaranya (1) Holistik, system thinkers harus berpikir holistik
25
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id Sistem, Pendekatan Sistem, dan Model ... (198 1) ada beberapa persyaratan dalam berpikir sistem (system thinking) ... Menurut Eriyatno (1999
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sistem, Pendekatan Sistem, dan Model
2.1.1 Sistem
Sistem merupakan suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan
terorganisir untuk mencapai suatu tujuan (Manetsch dan Park, 1977). Sedangkan,
Marimin (2004) mendefinisikan sistem sebagai suatu kesatuan usaha yang terdiri
atas bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai tujuan dalam
suatu lingkungan yang kompleks. Selanjutnya, Chechland (1981) menyatakan
bahwa sistem merupakan sekumpulan atau kombinasi elemen yang saling
berkaitan membentuk sebuah kesatuan yang kompleks. Sistem terdiri atas:
komponen, atribut dan hubungan yang dapat didefinisikan sebagai berikut:
(1) komponen adalah merupakan bagian-bagian sistem yang terdiri atas input,
proses dan output. Setiap komponen sistem mengasumsikan berbagai nilai untuk
menggambarkan pernyataan sistem sebagai seperangkat aksi pengendalian atau
lebih sebagai pembatasan. Sistem terbangun atas komponen-komponen,
komponen tersebut dapat dipecah menjadi komponen yang lebih kecil. Bagian
komponen yang lebih kecil tersebut disebut dengan subsistem, (2) atribut adalah
sifat-sifat atau manifestasi yang dapat dilihat pada komponen sebuah sistem.
Atribut tersebut mengkarakteristikkan parameter sebuah sistem, dan
(3) hubungan merupakan keterkaitan di antara komponen dan atribut.
Menurut Chechland (1981) ada beberapa persyaratan dalam berpikir sistem
(system thinking) diantaranya (1) Holistik, system thinkers harus berpikir holistik
10
tidak reduksionis. Yang dimaksud holistik di sini adalah tidak mereduksionis
permasalahan kepada bagian yang lebih kecil (segmentasi) atau tidak hanya
berpikir secara parsial dari sudut pandang mono disiplin tapi harus interdisiplin;
(2) Sibernetik (goal oriented), system thinkers harus mulai dengan berorientasi
tujuan (goal oriented) tidak mulai dengan orientasi masalah (problem oriented).
Jadi mulai dengan tujuannya apa, kemudian identifikasi masalah yaitu gap antara
tujuan (kondisi informatif) dengan keadaan aktual baru problem solving; dan
(3) Efektif, dalam ilmu sistem erat kaitannya dengan prinsip dasar manajemen di
mana suatu aktivitas yang mentransformasikan input menjadi output yang
dikehendaki secara sistematis dan terorganisasi guna mencapai tingkat efektif dan
efisien.
Menurut Muhammadi et al (2001) untuk berfikir sistem (system thinkers)
syaratnya adalah adanya kesadaran untuk mengapresiasi dan memikirkan suatu
kejadian sebagai sebuah sistem (systemic approach). Kejadian apapun baik fisik
maupun non fisik dilihat secara keseluruhan sebagai interaksi antar unsur sistem
dalam batas lingkungan tertentu. Jadi dalam ilmu sistem, hasil harus efektif
dibanding efisien. Jadi ukurannya adalah cost effective bukan cost efficient. Akan
lebih baik lagi bila hasilnya efektif dan sekaligus juga efisien.
2.1.2 Pendekatan sistem
Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang
menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Pada dasarnya
pendekatan sistem adalah penerapan dari sistem ilmiah dalam manajemen.
Dengan cara ini dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan
11
keberhasilan suatu organisasi atau sistem. Pendekatan sistem dapat memberi
landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab
ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem (Marimin, 2004).
Saat ini dalam dunia nyata banyak permasalahan yang kompleks dan
beragam sehingga penyelesaiannya tidak mungkin dapat berhasil diselesaikan
oleh satu atau dua metode spesifik saja. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan
sistem (System Approach). Dalam teori sistem dinyatakan bahwa kesisteman
adalah suatu meta disiplin, dimana proses dari keseluruhan disiplin ilmu dan
pengetahuan sosial dapat dipadukan dengan berhasil (Gigh dan Carnavayal dalam
Eriyatno, 1999).
Keutamaan pendekatan sistem adalah dapat menyelesaikan permasalahan
yang kompleks yang sulit diselesaikan dengan pendekatan lainnya. Seperti
dinyatakan oleh Chechland (1981) bahwa system thinking muncul akibat dari
reaksi terhadap ketidakmampuan natural science dalam memecahkan
permasalahan dunia nyata yang kompleks. Selanjutnya, Manetsch dan Park (1977)
berpendapat bahwa untuk permasalahan multidisiplin yang komplek pendekatan
sistem memberikan penyelesaian masalah dengan baik. Persoalan yang
diselesaikan dengan pendekatan sistem umumnya persoalan yang memenuhi
karakteristik: (1) Kompleks, di mana interaksi antar elemen cukup rumit,
persoalan menyangkut multidisiplin dan multifaktor; (2) Dinamis, dalam arti,
faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan;
dan (3) Stokastik, yaitu diperlukannya fungsi peluang (probabilistik) dalam
12
inferensi kesimpulan maupun rekomendasi.
Menurut Eriyatno (1999) dalam metodologi sistem ada enam tahap analisis
sebelum tahap sintesa atau rekayasa, yaitu: (1) analisis kebutuhan, (2) identifikasi
sistem, (3) formulasi masalah, (4) pembentukan alternatif sistem, (5) determinasi
dari realisasi fisik, social, dan politik, dan (6) penentuan kelayakan ekonomi dan
keuangan. Tahap ke satu sampai dengan ke enam umumnya dilakukan dalam satu
kesatuan kerja yang dikenal sebagai analisis sistem.
2.1.3 Model
Model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia riil atau nyata
yang akan bertindak seperti sistem dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu
(Manetsch dan Park, 1977). Menurut Eriyatno (1999) model merupakan suatu
abstraksi dari realitas, yang akan memperlihatkan hubungan langsung maupun
tidak langsung serta timbal balik atau hubungan sebab akibat. Suatu model dapat
dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang dikaji.
Pada umumnya model dibangun untuk tujuan peramalan (forecasting) dan
evaluasi kebijakan yaitu menyusun strategi perencanaan kebijakan dan
memformulasikan kebijakan (Tasrif, 2004). Model dikelompokkan menjadi tiga
tipe yaitu model kuantitatif, kualitatif, dan ikonik (Muhammadi et al, 2001).
Model kuantitatif adalah model yang berbentuk rumus matematik, statistik atau
komputer. Model kualitatif adalah model yang berbentuk gambar, diagram atau
matriks yang menyatakan hubungan antar unsur. Dalam model kualitatif tidak
digunakan rumus matematik, statistik atau komputer. Model ikonik adalah model
yang mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan meskipun
13
skalanya dapat diperbesar atau diperkecil. Menurut Manetsch dan Park (1977)
model diklasifikasikan menjadi dua yaitu model makro dan model mikro, yang
ada kaitannya dengan derajad agregasinya.
Membangun model umum (generic model) dimulai dengan menyusun
elemen-elemen dasar yang menyusun sebuah sistem yang bersifat dinamis.
Kemudian mengidentifikasi gejala sampai menghasilkan sruktur permasalahan
untuk analisis kebijakan. Muhammadi et al. (2001) menyatakan bahwa untuk
menghasilkan model yang bersifat sistemik ada beberapa langkah yang harus
ditempuh yaitu: (1) identifikasi proses yang menghasilkan kejadian nyata,
(2) identifikasi kejadian yang diinginkan, (3) identifikasi kesenjangan antara
kenyataan dengan keinginan, (4) identifikasi dinamika menutup kesenjangan, dan
(5) analisis kebijakan. Dalam simulasi model setiap gejala dalam proses dapat
distrukturkan ke dalam kategori atau kombinasi kategori tertentu seperti level,
rate, auxilliary, constanta, flow, serta fungsi fungsi tertentu seperti delay, step,
pulse, graph, if , table, dan timecycle.
Perilaku dinamis dalam model ini dapat dikenali dari hasil simulasi model.
Simulasi model itu sendiri terdiri dari beberapa tahap yaitu: penyusunan konsep,
pembuatan model, simulasi dan validasi hasil simulasi (Eriyatno, 1999).
Selanjutnya, dikatakan bahwa validasi hasil simulasi bertujuan untuk mengetahui
kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model
dapat dinyatakan baik bila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap
gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Hasil simulasi yang
sudah divalidasi tersebut digunakan untuk memahami perilaku gejala atau proses
14
serta kecenderungan di masa depan, yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi
pengambil keputusan untuk merumuskan suatu kebijakan di masa mendatang.
Validasi juga memberikan keyakinan sejauh mana model dapat dipertanggung
jawabkan dalam analisis kebijakan untuk pemecahan masalah.
2.1.4 Pemodelan dinamik
Pemodelan merupakan alat bantu dalam pengambilan keputusan. Model
didefinisikan sebagai suatu penggambaran dari suatu sistem yang telah dibatasi.
Sistem yang dibatasi ini merupakan sistem yang meliputi semua konsep dan
variabel yang saling berhubungan dengan permasalahan dinamik (dynamic
problem) yang ditentukan (Richardson dan Pugh, 1986).
Forrester (1961) menyatakan bahwa model yang dikembangkan dengan
sistem dinamik mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Menggambarkan hubungan sebab akibat dari sistem
b. Sederhana dalam mathematichal nature
c. Sinonim dengan terminology dunia industry, ekonomi, dan sosial dalam
tatanama, dan
d. Dapat melibatkan perubahan yang tidak kontinyu jika dalam keputusan
memang dibutuhkan.
Pada umumnya model dibangun untuk tujuan peramalan (forecasting) atau
perancangan kebijaksanaan. Berbeda dengan model statis, pendekatan model
dinamik bersifat deduktif dan mampu menghilangkan kelemahan-kelemahan
dalam asumsi-asumsi yang dibuat sehingga kesepakatan atas asumsi-asumsi dapat
15
diperoleh. Model dinamik menekankan pada proses perubahan dari satu kondisi
ke kondisi lainnya. Karena perubahan memakan waktu, delay memjadi hal
penting dalam pemodelan dinamik. Apabila dalam model statis tingkat variabel
keadaan dan kelakuan sistem yang lalu menentukan tingkat stok dan kelakuan
sistem sekarang, maka dalam model sistem dinamik hubungan temporal hanya
berlaku untuk tingkat stok saja dan tidak untuk kelakuan sistem. Kelakuan sistem
pada saat sekarang tidak dapat diterangkan oleh kelakuannya pada waktu yang
lalu, melainkan oleh mekanisme interaksi struktur mikro dalam system
(Tasrif, 1993).
Muhammadi et al. (2001) menyatakan bahwa penyusunan model dinamik
mengalami tiga tingkatan alternatif yaitu:
a. Verbal
Model verbal adalah model sistem yang dinyatakan dalam bentuk kata-kata.
b. Visual (analog model kualitatif)
Deskripsi visual dinyatakan secara diagram dan menunjukkan hubungan sebab
akibat banyak variabel dalam keadaan sederhana dan jelas. Analisis deskripsi
visual dilakukan secara kualitatif.
c. Matematis
Model visual dapat direpresentasikan ke dalam bentuk matematis yang merupakan
perhitungan-perhitungan terhadap suatu sistem. Semua bentuk perhitungannya
bersifat ekuivalen, yang mana setiap bentuk berperan sebagai alat bantu untuk
dimengerti bagi yang awam.
16
Permasalahan dalam sistem dinamik dilihat tidak disebabkan oleh pengaruh
dari luar namum dianggap disebabkan oleh struktur internal sistem. Tujuan
metodologi sistem dinamik berdasarkan filosofi kausal (sebab akibat) adalah
mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang tata cara kerja suatu system
(Asyiawati, 2002). Tahapan dalam pendekatan system dinamik adalah:
a. Identifikasi dan definisi masalah
b. Konseptualisasi sistem
c. Formulasi model
d. Simulasi model
e. Analisis kebijakan
f. Implementasi kebijakan.
Tahapan dalam pendekatan sistem dinamik ini diawali dan diakhiri dengan
pemahaman sistem dan permasalahannya sehingga membentuk suatu lingkar
tertutup. Proses dari pendekatan sistem dinamik dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Pendefinisian masalah merupakan tahap yang sangat penting dilakukan
untuk mengetahui dimana sebenarnya pemodelan sistem perlu dilakukan. Tahap
selanjutnya adalah merupakan tujuan dan batas permasalahan dari sistem yang
akan dimodelkan. Batas sistem menyatakan komponen-komponen yang termasuk
dan tidak termasuk dalam pemodelan sistem. Batas sistem ini meliputi kegiatan-
kegiatan di dalam sistem sehingga perilaku yang dipelajari timbul karena interaksi
dari komponen-komponen di dalam sistem (Purnomo, 2003).
17
Implementasimodel
Pemahamansistem
Analisis IdentifikasiKebijakan masalah
Simulasi Konseptualisasimodel sistem
Formulasi model
Sumber: Widayani (1999)Gambar 2.1
Tahapan Pendekatan Sistem Dinamik
Selanjutnya, konseptualisasi model dilakukan atas dasar permasalahan yang
didefinisikan. Ini dimulai dengan identifikasi komponen atau variabel yang
terlibat dalam pemodelan. Variabel-variabel tersebut kemudian dicari
interrelasinya satu sama lain dengan menggunakan ragam metode seperti diagram
sebab akibat (causal), diagram kotak panah (stock and flow), dan diagram sekuens
(aliran). Konseptualisasi model ini memberikan kemudahan bagi pembaca agar
dapat mengikuti pola pikir yang tertuang dalam model sehingga menimbulkan
pemahaman yang lebih mendalam atas sistem (Purnomo, 2003).
18
Pada tahap formulasi (spesifikasi) model dilakukan perumusan makna yang
sebenarnya dari setiap relasi yang ada dalam model konseptual, ini dilakukan
dengan memasukkan data kuantitatif ke dalam diagram model. Spesifikasi model
dilakukan terhadap model variabel-variabel yang saling berhubungan dalam
diagram. Pemodel dapat menentukan nilai parameter dan melakukan percobaan-
percobaan terhadap pengembangan model dengan mengkomunikasikan kepada
aktor-aktor yang terlibat. Dalam hal ini, model diformulasikan dengan
persamaan matematik (Purnomo, 2003).
Pada prinsipnya, model sistem dinamik dapat dinyatakan dan dipecahkan
secara numerik dalam sebuah bahasa pemrograman. Perangkat lunak khusus
untuk sistem dinamik telah banyak tersedia seperti Dynamo, Stella, Powersim,
Vensim, Ithink, dan lain-lain. Pemilihan Powersim sebagai perangkat lunak untuk
simulasi model adalah karena kemudahan dan kecanggihannya yang terus
berkembang. Dalam Powersim, model kualitatif disajikan dalam bentuk grafik
dari satu atau lebih variabel terhadap waktu. Pada model yang telah dibuat, data
kuantitatif berupa data, informasi dimasukkan dengan mengklik variabel-variabel
yang tersedia seperti level, rate, auxiliary, dan konstanta dan kemudian
nilai/formula dimasukkan ke dalam variabel-veriabel tersebut. Selanjutnya,
metode numerik dan time step dapat dipilih untuk mengkalkulasi model
(Muhammadi et al. 2001).
Tahap selanjutnya adalah melakukan simulasi terhadap model dan
melakukan validasi model yang juga akan menimbulkan umpan balik terhadap
permasalahan sistem. Menurut Muhammadi et al. (2001) simulasi model
19
dilakukan untuk memahami gejala atau proses sistem, membuat analisis dan
peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Sedangkan validasi
model dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala
atau proses yang ditirukan. Hasil validasi ini kemudian akan menimbulkan proses
perbaikan dan reformulasi model. Akhirnya dilakukan analisis kebijakan pada
model yang telah valid dan ini akan menambah pemahaman sistem.
2.2 Ketahanan Pangan
Konsep ketahanan pangan yang dikemukakan para ilmuwan atau lembaga
internasional bervariasi. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO)
mendefinisikan ketahanan pangan sebagai “situasi dimana setiap orang pada
setiap saat secara fisik dan ekonomis memiliki akses terhadap pangan yang cukup,
aman dan bergizi untuk dapat memenuhi kebutuhannya sesuai dengan seleranya
bagi kehidupan yang aktif dan sehat“. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan
oleh Riely et al. (1999, dalam Dharmawan dan Kinseng, 2006) di mana
ketahanan pangan dirumuskan sebagai “access for all people at all times to
enough food for an active and healty life”. Hal penting dari kedua konsep di atas
adalah ketersediaan pangan sepanjang waktu, sehingga dalam pembahasan
ketahanan pangan diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai pola produksi
dan distribusi di suatu daerah serta sistem komunitas yang memanfaatkan sumber
pangan tersebut.
Ketahanan pangan berdasarkan UU No 7 Tahun 1996 tentang pangan
diartikan sebagai “kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
20
aman, merata dan terjangkau”. Pengertian mengenai ketahanan pangan di atas
secara lebih rinci dapat diartikan sebagai berikut (Badan Bimas Ketahanan
Pangan, 2001), yaitu : (1) terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang
cukup, diartikan sebagai ketersediaan pangan dalam arti luas yang bermanfaat
bagi pertumbuhan kesehatan manusia, (2) terpenuhinya pangan dengan kondisi
yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia dan benda lain yang
dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta aman
dari kaidah agama, (3) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata,
diartikan pangan yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air,
dan (4) terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah
diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.
Agak berbeda dengan pandangan sebelumnya, Maxwell dan Timothy (1992)
memberikan batasan ketahanan pangan dengan menggunakan tolok ukur dimensi
spasial dan temporal sebagai faktor pembeda, yang dideskripsikan melalui dua