11 `BAB II KAJIAN PUSTAKA Penelitian ini menggunakan relationship marketing theory sebagai teori utama dalam menjelaskan pentingnya memelihara hubungan jangka panjang dengan konsumen dan mitra bisnis dalam menghadapi persaingan usaha bisnis yang semakin ketat. Kajian lain yang mendukung penelitian ini adalah kajian tentang manajemen pemasaran, budaya organisasi, sumber daya TI, dan kinerja bisnis. Semua teori dan kajian tersebut selanjutnya dijelaskan sebagai berikut. 2.1 Pengertian Manajemen Pemasaran Menurut Kotler dan Keller (2012:5), manajemen pemasaran terjadi ketika setidaknya satu pihak dalam sebuah pertukaran potensial berpikir tentang cara- cara untuk mencapai respons yang diinginkan pihak lain. Sehubungan dengan itu, manajemen pemasaran dipandang sebagai seni dan ilmu memilih pasar sasaran dan meraih, mempertahankan, serta menumbuhkan pelanggan dengan menciptakan, mengantarkan, dan mengomunikasikan nilai pelanggan yang unggul. Kotler dan Keller (2012:36) mengemukakan bahwa inti pemasaran adalah memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen. Sasaran bisnis adalah mengantarkan nilai pelanggan untuk menghasilkan laba. Untuk penciptaan dan mengantarkan nilai dapat meliputi fase memilih nilai, fase menyediakan nilai, dan fase mengomunikasikan nilai. Urutan penciptaan dan mengantarkan nilai melalui tiga fase, yaitu sebagai berikut.
55
Embed
`BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 2.1 Pengertian Manajemen Pemasaran Menurut Kotler dan Keller (2012:5), manajemen pemasaran terjadi ketika ... berpikir bahwa pelanggan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
11
`BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Penelitian ini menggunakan relationship marketing theory sebagai teori
utama dalam menjelaskan pentingnya memelihara hubungan jangka panjang
dengan konsumen dan mitra bisnis dalam menghadapi persaingan usaha bisnis
yang semakin ketat. Kajian lain yang mendukung penelitian ini adalah kajian
tentang manajemen pemasaran, budaya organisasi, sumber daya TI, dan kinerja
bisnis. Semua teori dan kajian tersebut selanjutnya dijelaskan sebagai berikut.
2.1 Pengertian Manajemen Pemasaran
Menurut Kotler dan Keller (2012:5), manajemen pemasaran terjadi ketika
setidaknya satu pihak dalam sebuah pertukaran potensial berpikir tentang cara-
cara untuk mencapai respons yang diinginkan pihak lain. Sehubungan dengan itu,
manajemen pemasaran dipandang sebagai seni dan ilmu memilih pasar
sasaran dan meraih, mempertahankan, serta menumbuhkan pelanggan dengan
menciptakan, mengantarkan, dan mengomunikasikan nilai pelanggan yang
unggul. Kotler dan Keller (2012:36) mengemukakan bahwa inti pemasaran adalah
memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen. Sasaran bisnis adalah
mengantarkan nilai pelanggan untuk menghasilkan laba. Untuk penciptaan dan
mengantarkan nilai dapat meliputi fase memilih nilai, fase menyediakan nilai, dan
fase mengomunikasikan nilai. Urutan penciptaan dan mengantarkan nilai melalui
tiga fase, yaitu sebagai berikut.
12
1. Fase memilih nilai, pemasar harus menyegmentasikan pasar, memilih
sasaran pasar yang tepat, dan mengembangkan penawaran positioning nilai
(STP).
2. Fase menyediakan nilai, pemasar harus menentukan fitur produk tertentu,
harga, dan distribusi.
3. Fase mengomunikasikan nilai, pemasar mendayagunakan tenaga
penjualan, promosi penjualan, iklan, dan sarana komunikasi lain untuk
mempromosikan produk.
Menurut Kotler dan Keller (2012 : 58), pada dasarnya kegiatan pemasaran
mencakup konsep produksi, konsep produk, konsep penjualan, konsep pemasaran,
dan konsep pemasaran holistik.
1. Konsep produksi
Konsep ini berorientasi pada proses produksi atau operasi. Produsen
meyakini bahwa konsumen hanya akan membeli produk-produk yang murah dan
mudah diperoleh. Para manajer mengasumsikan bahwa konsumen tertarik pada
ketersediaan produk dan harga yang rendah. Orientasi ini berguna ketika
perusahaan ingin memperluas pasar.
2. Konsep produk
Dalam konsep ini pemasar beranggapan bahwa konsumen lebih
menghendaki produk yang memiliki kualitas, kinerja, dan fitur superior. Para
manajer organisasi memusatkan perhatian untuk menghasilkan produk yang
unggul dan memperbaiki mutunya dari waktu ke waktu.
13
3. Konsep penjualan
Konsep ini berorientasi pada tingkat penjualan, yaitu pemasar beranggapan
bahwa konsumen harus dipengaruhi agar penjualan dapat meningkat. Konsep ini
mengasumsikan bahwa konsumen umumnya menunjukkan penolakan untuk
membeli sehingga harus dibujuk supaya membeli.
4. Konsep pemasaran
Konsep pemasaran berorientasi pada pelanggan dengan anggapan bahwa
konsumen hanya akan bersedia membeli produk yang mampu memenuhi
kebutuhan dan keinginannya serta memberikan kepuasan. Konsep pemasaran
terdiri atas empat pilar, yakni pasar sasaran, kebutuhan pelanggan, pemasaran
terpadu atau terintegrasi, dan berkemampuan menghasilkan laba.
5. Konsep pemasaran holistik
Konsep pemasaran holistik merupakan suatu pendekatan terhadap
pemasaran yang mempunyai kompleksitas tinggi. Pemasaran holistik mengakui
bahwa segala sesuatu bisa terjadi pada pemasaran. Terdapat empat komponen
dari pemasaran holistik, yaitu relationship marketing, integrated marketing,
internal marketing, dan perfomance marketing, seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.1 berikut.
14
Gambar 2.1
Dimensi Pemasaran Holistik
Sumber: Kotler dan Keller (2012)
1. Relationship marketing mempunyai tujuan membangun hubungan jangka
panjang yang saling memuaskan dengan pihak-pihak yang memiliki
kepentingan utama (pelanggan, pemasok, dan distributor) dalam rangka
mendapatkan serta mempertahankan preferensi dan kelangsungan bisnis
jangka panjang.
2. Internal marketing, tugas pemasaran internal adalah merekrut, melatih,
dan memotivasi karyawan yang mampu untuk melayani pelanggan dengan
baik. Pemasaran internal berlangsung pada dua tingkatan. Pertama,
berfungsi sebagai pemasaran sales force, advertising, layanan pelanggan,
Holistic
marketing
Internal marketing
Marketing department
Senior management
Other departments
Integrated marketing
Communications
Products & service
Channels
Costumers Channel Partners
Relationship marketing
Ethics
Environment Legal
Performance marketing
Community
Brand &
costumer
equity
Sales
revenue
15
manajemen produk, dan riset pemasaran. Kedua, pemasaran berlangsung
oleh departemen lain. Departemen tersebut memerlukan pemasaran yang
berpikir bahwa pelanggan dapat menembus keseluruhan perusahaan.
3. Integrated marketing, lebih merencanakan kegiatan pemasaran dan
program pemasaran terpadu untuk menciptakan, mengomunikasikan, dan
memberikan nilai bagi pelanggan. Dengan kata lain, rancangan dan
penerapan suatu aktivitas pemasaran adalah dengan melakukan bisnis
secara menyeluruh dalam manajemen permintaan, manajemen sumber
daya, dan manajemen jaringan.
4. Perfomance marketing adalah konsep pemasaran yang
mempertimbangkan pendapatan penjualan, merek dan ekuitas pelanggan,
hukum, etika, sosial, dan lingkungan.
2.2 Relationship Marketing Theory
Pemasaran dapat dideskripsikan sebagai proses mendefinisikan,
mengantisipasi, menciptakan, dan memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan
terhadap produk dan layanan. Di dalam pemasaran terdapat tujuh fungsi dasar,
yaitu (1) analisis pelanggan, (2) penjualan produk/layanan, (3) perencanaan
produk dan layanan, (4) pricing, (5) distribusi, (6) riset pemasaran, dan (7)
analisis peluang (David, 2011). Salah satu model pemasaran yang berkembang
saat ini adalah pemasaran dengan melakukan kerja sama untuk mencapai tujuan
menguntungkan bersama dalam jangka panjang, yang melibatkan seluruh
stakeholder termasuk kompetitor, yang dikenal dengan pemasaran relasional
(relationship marketing).
16
Menurut Berry dan Parasuraman (1991), relationship marketing berkaitan
dengan menarik, mengembangkan, dan mempertahankan hubungan dengan
pelanggan. Selanjutnya relationship marketing juga didefinisikan sebagai
pemasaran yang dilihat sebagai hubungan, jejaring, dan interaksi (Gummesson,
1994: 2). Definisi lain menyatakan bahwa relationship marketing adalah kegiatan
mengidentifikasi, membangun, mempertahankan, dan meningkatkan hubungan
dengan pelanggan dan pemangku kepentingan (stakeholder) lain secara
menguntungkan sehingga tujuan semua pihak yang terlibat dapat dipenuhi. Hal ini
dilakukan dengan interaksi saling menguntungkan dan pemenuhan hal yang
dijanjikan (Grönroos, 2000: 111). Di pihak lain Sheth (1994) mendefinisikan
relationship marketing sebagai pemahaman, penjelasan, dan manajemen
hubungan bisnis kolaboratif yang berkelanjutan antara pemasok dan pelanggan.
Selanjutnya, Sheth dan Parvatiyar (1995) memandang relationship marketing
sebagai upaya untuk melibatkan dan mengintegrasikan pelanggan, pemasok, dan
mitra (partner) lain ke dalam sebuah aktivitas pengembangan dan pemasaran
perusahaan.
Secara teoretis, ada sepuluh bentuk hubungan yang menunjukkan
relationship marketing berdasarkan konsep Morgan and Hunt (1994), yaitu (1)
kemitraan dalam interaksi relasional bersifat jangka panjang antara pabrikan dan
pemasok; (2) interaksi relasional melibatkan pemasok jasa; (3) aliansi strategis
antara perusahaan dan pesaing; (4) aliansi antara sebuah perusahaan dan
organisasi nirlaba; (5) kemitraan (partnership) untuk penelitian dan
pengembangan bersama; (6) interaksi jangka panjang antara perusahaan dan
17
konsumen; (7) hubungan relasional dalam kemitraan kerja; (8) hubungan
relasional (relational exchange) yang melibatkan bagian-bagian (department)
fungsional; (9) interaksi hubungan relasional (relational exchange) antara sebuah
perusahaan dan pegawainya; serta (10) interaksi hubungan relasional (relational
exchange) di dalam perusahaan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.2
berikut .
Gambar 2.2
Bentuk Hubungan Relationship Marketing
Sumber: Morgan and Hunt (1994)
Kemitraan Lateralis
(Lateral Partnerships)
Hubungan dengan
Pembeli
(Buyer Partnerships)
Kemitraan Internal
(Internal Partnerships)
Perusahaan yang
Fokus
(Focal Firm)
Penyedia Jasa
(Services
Suppliers)
Pemasok
Barang (Good
Suppliers)
Unit Bisnis
(Business Unit)
Karyawan
(Employees)
Departemen
Fungsional
(Functional
Departments)
Pelanggan
Menengah
(Intermediate
Customers)
Pelanggan
Utama (Ultimate
Customers)
Pemerintah
(Government)
Pesaing
(Competitors)
Organisasi
Nirlaba
(Nonprofit
Organizations)
Hubungan Kemitraan
(Suppliers Partnerships)
18
Berdasarkan konsep hubungan pada Gambar 2.2 diketahui bahwa di dalam
relationship marketing termuat interaksi focal firm dengan pihak pemasok barang
dan jasa; lateral partnership yang terdiri atas pesaing, organisasi non profit, dan
pemerintah; buyers partnership yang terdiri atas intermediate customers dan
ultimate customers, serta internal partnership yang terdiri atas unit bisnis,
pekerja, dan departemen fungsional. Hubungan pada Gambar 2.2 tidak membatasi
relationship marketing hanya pada hubungan pelanggan (customers relationship).
Kesepuluh interaksi tersebut bersifat hubungan relasional sehingga relationship
marketing mengacu pada semua aktivitas pemasaran yang ditujukan untuk
membangun, mengembangkan, dan mempertahankan interaksi hubungan yang
sukses. Secara umum, strategi berbasis relationship marketing didesain untuk
memungkinkan perusahaan lebih mudah berbagi, mengembangkan, dan
memanfaatkan sumber-sumber daya (informasi, proses, dan kompetensi) dengan
perusahaan lain dan konsumen. Melalui kerja sama, perusahaan dapat
berkompetisi dengan lebih efisien dan efektif (Morgan and Hunt, 1994).
Penelitian dalam area relationship marketing telah mengidentifikasi
minimum delapan tipe faktor yang memengaruhi kesuksesan strategi berbasis
relationship marketing. Untuk lebih jelasnya, kedelapan tipe faktor yang
memengaruhi kesuksesan strategi berbasis relationship marketing seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2.3 berikut.
19
Gambar 2.3
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Relationship Marketing
Sumber : Hunt and Hurnett (2004)
Resource Factor
Complementary
Idiosyncratic
Competence Factor
Alliance competences
Market-relating
capabilities
Relationship portfolio
management
Internal Marketing Factor
Internal market
orientation
Part-time marketers
Relational Factor
Trust
Commitment
Cooperation
Keeping promise
Shared values
Communication
Information Technology
Factors
Interorganizational
information system
Integrated infrastructure
CRM
Database
Data mining
Public Policy Factor
Property rights
Contract law
Alternative governance
mechanisms
Historical Factor
Opportunistic behavior
Termination cost
Relationship benefits
Market Offering Factors
Quality
Innovativeness
Customization
Brand Equity
Relationship Marketing
Success
Competitive advantage
Financial performance
Satisfaction
Learning
Propensity to stay
Acquiescence
Decreased uncertainty
20
1) Faktor relasional
Teori relationship marketing yang berkaitan dengan faktor-faktor dan
pengaruhnya pada kesuksesan strategi berbasis relationship marketing dibangun
di atas teori interaksi sosial (social exchange theory) (Blau, 1964; Homans, 1958;
Macaulay, 1963; Thibaut dan Kelley, 1959) dan relational contracting (Macneil,
1980). Studi ini meneliti faktor-faktor yang membedakan antara interaksi atau
transaksi diskrit dan interaksi relasional. Interaksi diskrit (discrete exchange)
memiliki awal yang jelas, akhir yang jelas, durasi singkat, dan melibatkan pihak-
pihak yang anonim. Sebaliknya, interaksi relasional (relational exchange)
mencakup serangkaian interaksi pada periode waktu yang panjang dengan para
pihak yang saling mengenal satu sama lain (Dwyer et al., 1987; Macneil, 1980).
Pandangan faktor-faktor relasional mengartikan bahwa keberhasilan relationship
marketing dihasilkan dari aspek tertentu dari hubungan yang mencirikan interaksi
relasional yang sukses.
Penelitian yang telah ada mengidentifikasi banyak faktor yang berkaitan
dengan interaksi relasional (relational exchange) yang sukses. Akan tetapi, enam
faktor yang paling sering digunakan, yaitu sebagai berikut.
a. Kepercayaan (trust) (Dwyer et al., 1987; Morgan and Hunt, 1994; Sividas
dan Dwyer, 2000; Smith and Barclay, 1997; Wilson, 1995).
b. Komitmen (Anderson dan Weitz, 1992; Day, 1995; Geyskens et al., 1999;
Moorman et al., 1992).
c. Kerja sama (Anderson and Narus, 1990; Morgan and Hunt, 1994).
d. Menepati janji (Gronroos, 1990, 1994).
21
e. Nilai bersama (shared values) (Brashear et al., 2003; Morgan and Hunt,
1994; Yilmaz and Hunt, 2001).
f. Komunikasi (Mohr and Nevin, 1990; Mohr et al., 1996).
Spekman et al. (2000: 43) menyatakan bahwa kepercayaan (trust) dan
komitmen merupakan kondisi yang perlu (sine qua non) dari aliansi karena tanpa
kepercayaan dan komitmen, tidak akan terdapat aliansi. Hubungan
antarperusahaan didasarkan pada upaya harus sering bekerja sama untuk bersaing
(Morgan and Hunt, 1994). Hubungan yang dicirikan oleh komunikasi yang
efektif, nilai-nilai bersama, dan tindakan menepati janji menghasilkan
kepercayaan antarperusahaan, yang mendorong kerja sama (Grönroos, 1990,
1994; Morgan and Hunt, 1994; Sarkar et al., 2001). Kerja sama yang efektif
memungkinkan para mitra (partners) berhasil mengombinasikan sumber daya
dengan cara yang berkontribusi untuk pengembangan keunggulan kompetitif
(Madhok dan Tallman, 1998). Penjelasan faktor relasional untuk kesuksesan
strategi berbasis relationship marketing mendesak pemasar untuk
mengembangkan dan merawat karakteristik hubungan yang diasosiasikan dengan
interaksi relasional yang sukses, yaitu kepercayaan (trust), komitmen,
komunikasi, tepat janji, nilai-nilai bersama, dan kerja sama.
2) Faktor sumber daya
Teori relationship marketing yang fokus pada faktor sumber daya dan
pengaruhnya pada strategi berbasis relationship marketing bersumber pada
penelitian Penrose (1959) dan artikel berpengaruh dari Lippman dan Rumelt
(1982), Rumelt (1984), dan Wernerfelt (1984), yang telah mengembangkan
22
”pandangan berbasis sumber daya” (resource-based view). Pandangan berbasis
sumber daya memberikan masukan untuk teori keunggulan sumber daya (resource
advantage theory) tentang kompetisi (Hunt, 2000; Hunt and Morgan, 1995).
Sumber daya didefinisikan sebagai entitas berwujud atau tak berwujud yang
tersedia bagi perusahaan yang memungkinkannya untuk menghasilkan sebuah
penawaran pasar (market offering) secara efisien dan efektif yang memiliki nilai
untuk beberapa segmen pasar (Hunt and Morgan, 1995: 11).
Terkait dengan hubungan antarperusahaan (interfirm relationship), para
peneliti berpegang bahwa kesuksesan strategi berbasis relationship marketing
dipengaruhi secara signifikan oleh sumber daya yang dikontribusikan oleh tiap-
tiap mitra untuk sebuah hubungan dan derajat sejauh mana sumber daya baru
diciptakan di dalam sebuah hubungan (Jap, 1999). Menurut Das dan Teng (2000:
36), strategi berbasis relationship marketing adalah upaya menciptakan nilai
terbanyak dari sumber daya yang sudah ada dalam sebuah perusahaan yang
dikombinasikan dengan sumber daya perusahaan lain. Seperti dinyatakan Das dan
Teng (2000) bahwa sumber daya para mitra mungkin tumpang tindih (dalam arti
dimiliki oleh kedua mitra) atau tidak tumpang tindih (dalam arti unik untuk mitra
tertentu). Mereka menyatakan bahwa sumber daya yang tumpang tindih
(overlapping) bisa bermanfaat untuk sebuah aliansi (sumber daya suplementer)
atau tidak bermanfaat (surplus). Mereka berpegang bahwa sumber daya yang tidak
tumpang tindih bisa juga bermanfaat bagi sebuah aliansi (komplementer), tetapi
bisa juga tidak berguna meskipun sumber daya suplementer memberikan manfaat
untuk strategi berbasis relationship marketing. Penelitian menunjukkan bahwa
23
sumber daya komplementer secara khusus penting untuk kesuksesan (Das dan
Teng, 2000; Sarkar et al., 2001). Menurut Jap (1999), para mitra dengan sumber
daya komplementer dipaksa untuk mengabaikan kesulitan dan fokus pada hasil-
hasil. Hal itu penting karena disadari bahwa mereka dapat menghasilkan produk-
produk bersama yang unggul (superior) dibandingkan dengan yang dapat
diproduksi oleh salah satu perusahaan secara tersendiri. Sumber daya
komplementer yang dihasilkan dari hubungan menurut Lambe et al. (2002)
meliputi hal-hal di bawah ini.
a. Dikembangkan selama hidup hubungan.
b. Diciptakan dengan mengombinasikan sumber-sumber daya masing-
masing dari para mitra.
c. Unik untuk hubungan tersebut.
Penelitian menunjukkan bahwa sumber daya komplementer sangat penting
dalam kesuksesan strategi berbasis relationship marketing. Lambe et al. (2002)
meneliti 145 aliansi strategis dan menemukan bahwa sumber daya komplementer
merepresentasikan sebuah variabel mediasi kunci dalam model kompetensi
aliansi. Penjelasan faktor-faktor sumber daya terhadap kesuksesan strategi
berbasis relationship marketing menyarankan para pemasar untuk mencari mitra
dengan sumber daya bersifat komplementer.
3) Faktor kompetensi
Teori relationship marketing terkait dengan faktor kompetensi. Teori ini
bersumber pada literatur manajemen strategis. Dalam teori ini kompetensi
didefinisikan sebagai sebuah kemampuan untuk mempertahankan pengerahan aset
24
secara terkoordinasi dengan cara membantu perusahaan untuk mencapai
sasarannya (Sanchez et al., 1996: 8). Karena kompetensi krusial, memungkinkan
perusahaan menggunakan sumber daya secara efisien dan efektif. Artinya,
kompetensi merepresentasikan sebuah pandangan berbasis sumber daya (Lado et
al., 1992; Reed and De Fillippi, 1990). Karena banyak kompetensi tidak dapat
secara eksplisit diartikulasikan, maka kompetensi dipelajari dengan melakukan
(learned by doing) (Polanyi, 1966). Karena kompetensi melibatkan hubungan
yang kompleks di antara keterampilan (skills) banyak individu, kompetensi
tertanam secara mendalam di dalam organisasi (Day, 1994: 38).
Terkait dengan hubungan antarperusahaan (inter-firm relationship), para
peneliti menyatakan bahwa kesuksesan strategi berbasis relationship marketing
dipengaruhi secara signifikan oleh kemampuan sebuah perusahaan untuk
mengembangkan kompetensi aliansi, yang didefinisikan sebagai kemampuan
sebuah organisasi untuk menemukan, mengembangkan, dan mengelola aliansi
(Lambe et al., 2002 : 145). Untuk meningkatkan kesuksesan strategi berbasis
relationship marketing, perusahaan harus mengidentifikasi dan mengintegrasikan
sumber daya yang mendorong identifikasi, pengembangan, dan pengelolaan
aliansi. Sehubungan dengan itu, manajemen pengetahuan (knowledge
management) merupakan sebuah komponen kunci pengembangan dan
pemeliharaan kompetensi aliansi. Seperti yang dikemukakan Kale et al. (2002)
bahwa perusahaan harus dapat mengumpulkan dan menyebarluaskan keahlian
aliansi, yang sering kali terdiri atas pengetahuan diam-diam (implisit, tidak
tertulis, tidak mudah ditransfer) yang didasarkan pada sejarah aliansi dari sebuah
25
perusahaan. Sebuah porsi yang signifikan dari pengetahuan ini berada dalam
individu-individu yang terlibat dalam manajemen hubungan. Perusahaan yang
dapat menemukan cara-cara untuk memfasilitasi pengetahuan berbasis individu
(baik di dalam maupun antarmitra) akan lebih sukses dalam membentuk dan
mempertahankan hubungan antarperusahaan. Simonin (1997) menyatakan bahwa
ketika manajer aliansi belajar tentang bagaimana berkolaborasi dengan mitra
aliansi (dalam arti berbagi pengetahuan), aliansi akan lebih sukses. Dengan
demikian, pengembangan sebuah kompetensi aliansi membutuhkan aksesibilitas
pengetahuan, mekanisme yang bersifat memfasilitasi, dan pengaruh pengetahuan
yang efektif (Inkpen, 1998; Spekman et al., 2000).
Menurut Day (2000: 24), tidak setiap perusahaan dapat atau harus
mencoba untuk menguasai kapabilitas relasi pasar. Akan tetapi, karena kapabilitas
relasi pasar sulit ditiru, kapabilitas ini sering menghasilkan keunggulan kompetitif
yang bertahan lama dibandingkan dengan para pesaing. Gummesson (1994: 17)
menyatakan bahwa tidak semua hubungan penting untuk semua perusahaan
sepanjang waktu. Beberapa pemasaran paling baik ditangani sebagai pemasaran
transaksi. Artinya, tidak semua hubungan yang mungkin dengan para pemangku
kepentingan potensial akan menguntungkan. Dengan demikian, penting bagi para
manajer mengembangkan sebuah kemampuan untuk secara efektif mengelola
portofolio hubungan.
Hunt (1997: 439) menyatakan bahwa perusahaan harus mengembangkan
sebuah portofolio hubungan yang terdiri atas hubungan yang meningkatkan
efisiensi dan efektivitas perusahaan. Setiap hubungan potensial dan hubungan
26
yang sudah ada harus diteliti untuk memastikan bahwa hubungan tersebut
berkontribusi pada kemampuan perusahaan untuk secara efektif dan efisien
menghasilkan penawaran ke pasar yang memiliki nilai bagi beberapa segmen
pasar. Penjelasan kesuksesan strategi berbasis relationship marketing berdasarkan
kompetensi merekomendasikan para pemasar untuk mengembangkan kompetensi
aliansi, mengasah kapabilitas relasi pasar, dan mengelola dengan baik portofolio
hubungan.
4) Faktor pemasaran internal
Teori relationship marketing menonjolkan pentingnya interaksi personal
tidak hanya untuk individu lintas perusahaan, tetapi juga untuk pegawai di dalam
perusahaan. Sehubungan dengan itu, penelitian strategi berbasis relationship
marketing menginvestigasi faktor-faktor pemasaran internal. Akan tetapi, seperti
yang dinyatakan Gummesson (1991) bahwa banyak pegawai yang memengaruhi
kesuksesan strategi berbasis relationship marketing bukan pemasar penuh waktu.
Artinya, banyak pegawai adalah pemasar paruh waktu. Mereka melaksanakan
aktivitas pemasaran, tetapi kontras dengan para pemasar penuh waktu. Mereka
tidak termasuk ke dalam departemen pemasaran atau penjualan (Gummesson,
1991: 60).
Para ahli pemasaran menekankan bahwa penerimaan oleh pegawai adalah
krusial untuk kesuksesan strategi berbasis relationship marketing. Arnett et al.
(2002: 87) menyatakan bahwa untuk mengimplementasikan pendekatan
pemasaran baru secara sukses, sering kali perlu mengubah budaya sebuah
organisasi untuk membantu menyelaraskan sikap pegawai dengan strategi baru
27
tersebut. Secara umum, hal ini mengharuskan pengembangan sebuah orientasi
layanan di dalam perusahaan, yang membutuhkan pengembangan hubungan yang
baik di antara para pegawai di dalam organisasi.
Grönroos (2000: 330) menyatakan bahwa tanpa hubungan internal yang
berfungsi baik, hubungan pelanggan eksternal tidak akan berkembang secara
sukses. Untuk mengimplementasikan strategi berbasis relationship marketing
dengan sukses, manajer harus mengidentifikasi dan memuaskan keinginan dan
kebutuhan para pegawai. Artinya, mereka harus memiliki sebuah orientasi
pemasaran internal (Lings, 2004). Sebuah orientasi pasar internal meningkatkan
aspek-aspek kinerja internal (misalnya kepuasan dan komitmen pegawai), yang
berdampak secara positif pada orientasi pasar eksternal dan aspek-aspek kinerja
eksternal (misalnya kepuasan pelanggan dan laba). Dengan demikian, penjelasan
pemasaran internal untuk kesuksesan strategi berbasis relationship marketing
merekomendasikan para pemasar untuk memastikan bahwa semua pegawai
perusahaan berpartisipasi dalam mengembangkan hubungan intraperusahaan (di
dalam perusahaan) yang mendorong kesuksesan pemasaran hubungan
(relationship marketing).
5) Faktor teknologi informasi
Teori relationship marketing menyatakan bahwa hubungan kolaboratif
menuntut transfer teknologi dan knowledge sharing di kalangan para mitra (Lam,
1997). Strategi berbasis relationship marketing yang sukses sering menuntut
perusahaan untuk mengadopsi sistem informasi antarorganisasi
(interorganizational information systems), misalnya sistem electronic data
28
interchange (EDI) dan menciptakan proses organisasional yang kondusif untuk
pemanfaatan dan berbagi pengetahuan. Sebagai contoh, untuk mendorong
hubungan pemasok-pabrikan, pabrik mobil AS mengembangkan Extranet yang
disebut Automotive Exchange Network (AXN), yang menghubungkan para
pabrikan mobil dengan ribuan pemasok (Evans and Wurster, 1997). Akan tetapi,
keputusan untuk mengadopsi sebuah sistem informasi antarorganisasi
(interorganizational) bukanlah sebuah keputusan unilateral. Sistem
interorganizational melibatkan kerja sama dan komitmen dari semua anggota
yang berpartisipasi (Premkumar and Ramamurthy, 1995). Adopsi sistem
informasi antarorganisasi (interorganizational) yang sukses membutuhkan
eksistensi dari sebuah hubungan erat di antara perusahaan yang terlibat untuk
mendorong keterlibatan atau penerapan kewenangan untuk memaksakan
keterlibatan. Para mitra (partner) mengadopsi teknologi informasi karena mereka
mempersepsikan bahwa teknologi informasi tersebut akan mendorong tercapainya
tujuan-tujuan, baik dari hubungan maupun tujuan-tujuan individu perusahaan.
Manfaat sistem teknologi informasi antarorganisasi yang sukses mencakup
peningkatan, baik efisiensi internal maupun efisiensi antarorganisasi (Bakos and
Treacy, 1986; Johnston and Vitale, 1988), peningkatan hubungan antara para
mitra (Vijayasarathy and Robey, 1997), dan peningkatan dalam kerja sama
antarperusahaan (Konsynski and McFarlan, 1990; Vijayasarathy and Robey,
1997). Namun, pengembangan sistem informasi antarorganisasi
(interorganizational information systems) tidak cukup untuk menjamin kerja
sama. Untuk meningkatkan kesuksesan sistem informasi antarorganisasi,
29
perusahaan harus mengadaptasi infrastruktur existing dengan cara memfasilitasi
kolaborasi dan berbagi pengetahuan (knowledge sharing) lintas batas organisasi
internal (Gold et al., 2001). Infrastruktur sebuah perusahaan harus menautkan
(link) sistem informasinya dengan sistem komunikasinya. Seperti yang ditekankan
oleh Menon dan Varadarajan (1992: 53) bahwa informasi yang relevan harus
diproduksi dan disebarluaskan ke berbagai departemen dan manajer dalam bentuk
yang paling tepat untuk meningkatkan penggunaannya.
Infrastruktur teknologi informasi memfasilitasi penggunaan pengetahuan
dan berbagai informasi melalui aliran komunikasi internal yang lebih baik
sehingga infrastruktur informasi dan infrastruktur komunikasi harus
diintegrasikan di dalam perusahaan. Sehubungan dengan itu, upaya mengelola
hubungan dengan pelanggan secara khusus merupakan hal yang menantang untuk
banyak perusahaan karena perusahaan terlibat dalam banyak tipe transaksi
berbeda. Selain itu, kebutuhan dan keinginan pelanggan bervariasi signifikan.
Untuk memenuhi tantangan ini, banyak perusahaan beralih pada program-program
manajemen hubungan pelanggan formal yang berpusat pada segmentasi
pelanggan yang dikenal dengan nama pemasaran relasional pelanggan (customer
relationship marketing) disingkat CRM. Program-program CRM melibatkan
sebuah komponen manajemen hubungan (misalnya tim pendukung dan program
loyalitas) dan sebuah komponen yang digerakkan data (misalnya mengidentifikasi
segmen yang menguntungkan melalui teknik-teknik statistik) (Dowling, 2002).
Dalam pendekatan ini teknologi informasi mendukung proses CRM, yaitu
dengan memberikan mekanisme kebutuhan pelanggan, maksudnya data pelanggan
30
dianalisis sehingga dapat digunakan untuk mengembangkan strategi-strategi
pemasaran. Program-program yang digerakkan data menekankan pada database
dan penggunaan teknik-teknik penggalian data (data mining), seperti pohon
keputusan (decision trees), jejaring neural (neural networks), dan analisis klaster
(cluster analysis) (Nairn and Bottomley, 2003). Penggalian data (data mining)
mencoba untuk memformulasikan, menganalisis, dan mengimplementasikan
induksi dasar yang memfasilitasi ekstraksi informasi dan pengetahuan yang
bermakna dari data yang tidak terstruktur (Grossman et al., 1999:1). Hasil-hasil
data mining CRM mungkin menjadi wawasan (insight), aturan, atau model
prediktif yang dapat digunakan untuk mengelola pelanggan dengan lebih baik.
Sebagai contoh, data mining menurut Peacock (1998a, 1998b), dapat digunakan
untuk hal berikut.
a. Memprediksi respons pelanggan terhadap upaya pemasaran langsung.
b. Mengidentifikasi pelanggan penting yang membutuhkan perhatian
khusus.
c. Mengisolasi pelanggan yang membutuhkan biaya lebih daripada yang
dikontribusikan.
Penjelasan teknologi informasi tentang kesuksesan strategi berbasis
relationship marketing merekomendasikan para pemasar untuk mengembangkan
sistem informasi antarorganisasi (interorganizational), mengintegrasikan
infrastruktur informasi dan komunikasi, serta mengimplementasikan program-
program CRM untuk mengelola hubungan pelanggan secara efisien dan efektif.
31
6) Faktor penawaran pasar (market offering)
Teori relationship marketing yang terkait dengan faktor-faktor penawaran
pasar (market offering) menyatakan bahwa penawaran pasar suatu perusahaan
mungkin menjadi sebuah sumber daya bernilai untuk strategi-strategi perusahaan.
Sebagai contoh, sebuah peritel mungkin membentuk sebuah hubungan jangka
panjang dengan sebuah pemasok karena memberikan akses prioritas pada
penawaran bernilai dari pemasok. Untuk peritel (retailer), penawaran pasar dari
pemasok menjadi sebuah sumber daya karena memungkinkan memberikan nilai
lebih bagi pelanggannya. Semakin bernilai penawaran dari pemasok (supplier),
maka hubungan tersebut semakin dikehendaki. Hunt (2000: 43) menyatakan
bahwa sebuah penawaran adalah sebuah entitas unik, yaitu (1) terdiri atas
sejumlah atribut; (2) mungkin bersifat berwujud atau tak berwujud, objektif atau
subjektif; dan (3) mungkin dipandang oleh beberapa pembeli potensial sebagai
sebuah pemuas keinginan.
Kebanyakan penawaran pasar (market offering) memiliki bauran atribut-
atribut yang berwujud (misalnya body mobil) dan tidak berwujud (misalnya
garansi mobil). Jika atribut berwujud (tangible) yang mendominasi, penawaran
pasar disebut sebagai barang (goods). Sebaliknya, jika yang tak berwujud
(intangible) mendominasi, maka disebut jasa (service). Atribut penawaran pasar
dianggap relatif lebih objektif atau subjektif bergantung pada derajat keseragaman
antarpembeli tentang bobot yang diberikan untuk atribut-atribut berbeda. Derajat
penawaran pasar yang berbeda memiliki atribut berbeda dan seberapa jauh
penawaran berbeda memiliki tingkat atribut berbeda.
32
Atribut umum yang digunakan oleh konsumen untuk tujuan perbandingan
mencakup kualitas, inovasi, dan seberapa jauh penawaran pasar dapat disesuaikan
untuk memenuhi kebutuhan individu. Terkait dengan kualitas, tingkat kualitas
yang lebih tinggi diasosiasikan dengan penawaran pasar (market offering) yang
dipersepsikan seperti di bawah ini.
a. Lebih baik memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan.
b. Lebih dapat diandalkan (reliable).
c. Lebih tahan lama (durable) (Clark et al., 1994; Crosby et al., 2003;
Garvin, 1987).
Akibatnya, penawaran berkualitas tinggi ke pasar sering memungkinkan
perusahaan untuk meraih posisi keunggulan kompetitif di pasar (Hunt and
Morgan, 1995).
Keinovatifan mengacu pada penawaran yang dipersepsikan dengan
kebaruan, orisinalitas, keunikan, dan keradikalan (Henard and Szymanski, 2001).
Penelitian menunjukkan bahwa produk inovatif cenderung lebih sukses (Cooper,
2000; Troy et al., 2001; Kleinschmidt and Cooper, 1991). Penelitian tersebut juga
menemukan bahwa penawaran pasar yang inovatif kemungkinan akan meliputi
hal-hal berikut.
a. Sukses dan lebih menguntungkan.
b. Memiliki pangsa pasar domestik dan luar negeri yang lebih tinggi.
c. Membuka peluang baru.
d. Memenuhi target penjualan dan keuntungan.
33
Satu sumber daya yang diidentifikasi sebagai sumber keunggulan
kompetitif yang bernilai bagi banyak organisasi adalah ekuitas merek (Aaker,
1991; Bharadwaj et al., 1993; Keller, 1998). Sesungguhnya aset paling bernilai
dari sebuah perusahaan untuk meningkatkan produktivitas pemasaran adalah
pengetahuan yang telah diciptakan tentang merek dalam benak konsumen dari
investasi perusahaan dalam program-program pemasaran sebelumnya (Keller,
1993:2). Jika positif, pengetahuan ini dapat menambah nilai bagi penawaran pasar
(market offering) organisasi. Di samping itu, manfaat yang dihasilkan dari sebuah
merek yang kuat meliputi loyalitas pelanggan yang lebih besar (Keller, 1998),
kurangnya kerentanan terhadap tindakan pesaing (Aaker, 1991; Kamakura and
Russell, 1991; Keller, 1998), diferensiasi produk (Bharadwaj et al., 1993; Park et
al., 1986), dan keuntungan yang lebih besar (Keller, 1998; Yoo and Donthu,
2001).
Ekuitas merek (brand equity) memiliki karakteristik yang sering menjadi
sebuah sumber keunggulan jangka panjang bagi organisasi. Hal itu disebabkan
oleh sebagian hukum merek memproteksi nama dan simbol yang digunakan oleh
organisasi untuk mewakili bisnis dan penawaran. Sehubungan dengan itu, pesaing
tidak dapat begitu saja menduplikasi penawaran perusahaan lain dengan
memanfaatkan nama merek perusahaan tersebut. Salah satu konsekuensi yang
paling penting dari nama merek yang kuat bersumber dari fakta bahwa ekuitas
membutuhkan waktu yang lumayan lama untuk pengembangannya. Dalam upaya
untuk merespons merek dengan ekuitas tinggi dari perusahaan lain kompetitor
mungkin menemukan kesulitan untuk mengembangkan nama merek sendiri yang
34
kuat dengan cepat. Oleh karena itu, penjelasan kesuksesan strategi berbasis
relationship marketing berdasarkan penawaran pasar (market offering)
merekomendasikan perusahaan untuk fokus pada hubungan yang dapat
memberikan akses pada market offering dengan ekuitas tinggi dan berkontribusi
pada pengembangan market offering dengan ekuitas tinggi.
7) Faktor historis
Teori pemasaran hubungan (relationship marketing theory) mencatat
bahwa hubungan yang berhasil membutuhkan waktu untuk pengembangannya.
Tidak seperti interaksi jangka pendek, hubungan jangka panjang yang sukses
memiliki sebuah sejarah. Akibatnya, perilaku mitra (partner) pada masa lalu dan
masa sekarang memiliki kemampuan untuk memengaruhi interaksi pada masa
depan.
Penelitian menunjukkan bahwa faktor sejarah dapat memiliki sebuah
dampak signifikan terhadap hubungan antarperusahaan (Anderson and Narus,
1990; Bucklin and Sengupta, 1993; Morgan and Hunt, 1994). Faktor-faktor yang
diidentfikasi meliputi perilaku oportunis, manfaat hubungan pada masa lalu, dan
biaya tinggi untuk mengakhiri hubungan (Morgan and Hunt, 1994). Perilaku
oportunis meliputi pelanggaran dengan tujuan menipu janji eksplisit atau implisit
tentang peran seseorang yang pantas atau diharapkan (John, 1984: 279). Misalnya,
sebuah pabrik mungkin memindahkan bisnis baru dari pemasok jangka panjang
dengan cara yang melanggar norma-norma hubungan yang sudah mapan. Perilaku
seperti itu jika terungkap, mungkin mengurangi kepercayaan pemasok kepada
pabrik tersebut, yang pada gilirannya mungkin memengaruhi interaksi pada masa
35
depan (misalnya negosiasi harga). Beberapa faktor sejarah berpengaruh positif
terhadap proses pengembangan atau pemeliharaan hubungan. Sehubungan dengan
itu, kesuksesan strategi berbasis relationship marketing berdasarkan faktor-faktor
sejarah menyarankan para pemasar untuk mengelola interaksi dengan semua
mitra. Dengan berjalannya waktu, perilaku oportunis dapat diminimalkan, manfaat
yang diraih didistribusikan secara adil, dan biaya pemutusan hubungan dimonitor.
8) Faktor kebijakan publik
Relationship marketing theory mengakui bahwa kadang-kadang
perusahaan harus bekerja sama untuk bersaing (Hunt, 1997; Morgan and Hunt,
1994). Akan tetapi, seperti semua strategi pemasaran lain, strategi berbasis
relationship marketing juga dipengaruhi oleh kebijakan publik. Hukum
menetapkan batasan untuk semua bentuk interaksi, termasuk interaksi relasional
(relational exchange). Dengan demikian, perubahan aturan dan regulasi sering
memiliki dampak signifikan terhadap hubungan antarperusahaan. Pertama, hukum
antitrust membatasi upaya kerja sama. Diakui secara luas bahwa hukum anti
persaingan tidak sehat (antitrust law) sekarang sangat kuat memengaruhi ekonomi
ekuilibrium neoklasik, yang cenderung memusuhi kerja sama antarperusahaan
(Hunt and Arnett, 2001). Kesuksesan strategis berbasis relationship marketing
bergantung pada bagaimana regulator menginterpretasikan dan merespons upaya
kerja sama perusahaan. Kedua, seperti yang dinyatakan Gundlach (1996: 186)
bahwa dua area hukum kunci merepresentasikan infrastruktur legal dari transaksi
(exchange), yaitu meliputi hukum hak milik dan hukum kontrak.
36
Hukum hak milik berlaku pada transaksi dengan menerapkan hak-hak dan
tanggung jawab dasar bagi mereka yang memiliki sebuah kepentingan pada objek,
baik berwujud maupun tak berwujud (Cribbet, 1986). Hukum kontrak menangani
aturan, prosedur, dan remedi untuk mentransaksikan objek di mana perusahaan
dan individu memiliki hak dan tanggung jawab (Calamari and Perillo, 1987). Baik
hukum hak milik maupun hukum kontrak, cenderung berubah ketika sifat
transaksi atau interaksi berubah. Seperti dinyatakan oleh Vargo and Lusch (2004:
1) bahwa pemasaran telah bergeser dari pertukaran benda berwujud menuju
pertukaran benda tak berwujud, keterampilan, pengetahuan, dan proses khusus.
Pergeseran dari penekanan pada yang berwujud ke tak berwujud telah
menghasilkan tantangan unik untuk kebijakan publik. Sehubungan dengan itu,
kebijakan publik harus berpacu dengan realitas transaksi di pasar.
Menurut Gundlach (1996: 199), kebijakan publik terkait dengan hukum
hak milik memiliki banyak tantangan. Meskipun kebijakan publik terkait dengan
hukum-hukum yang mengatur transaksi beradaptasi agar lebih cocok dengan
realitas pasar, beberapa ilmuwan menonjolkan fakta bahwa hukum-hukum hak
milik dan kontrak tidak akan pernah dapat mengakomodasi sifat yang kompleks
dari interaksi relasional (Morgan and Hunt, 1994). Di samping itu, riset
menekankan pada kebutuhan untuk mengandalkan basis alternatif dari tata kelola
(misalnya tata kelola berbasis kepercayaan) (Hunt and Arnett, 2003). Apabila
dilihat dari perspektif kebijakan publik, ketika mekanisme tata kelola
menghasilkan hasil-hasil positif yang tidak hanya untuk perusahaan, tetapi juga
untuk masyarakat, maka mekanisme tersebut harus diakui dan didukung. Dengan
37
demikian, penjelasan kesuksesan strategis berbasis relationship marketing
berdasarkan kebijakan publik merekomendasikan para pemasar untuk memahami
posisi hukum anti persaingan tidak sehat (antitrust law), hukum hak milik dan
kontrak, dan berupaya merevisi hukum-hukum yang menghalangi adopsi dan
implementasi interaksi relasional yang bermanfaat untuk masyarakat.