1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Helicobacter pylori 2.1.1 Helicobacter pylori (H. pylori) H. pylori merupakan bakteri patogen gram negatif anaerob berbentuk spiral yang ditemukan pada mukosa lambung, dan pertama kali diisolasi oleh Waren dan Marshall pada tahun 1983. Pada awalnya H. pylori diklasifikasikan sebagai Campylobacter pylori, tetapi kemudian tahun 1989 dimasukkan kedalam genus baru Helicobacter, dan diberi nama Helicobacter pylori (Brown, 2000). Nama H. pylori berasal dari bahasa Latin yang artinya “batang spiral pada perut bagian bawah” (Bakri, 2012). Bakteri H. pylori bersifat non-invasif, hidup pada mukus, mikroaerofilik (memerlukan kadar oksigen yang rendah), berbentuk S dengan 2-6 flagela yang membuatnya bergerak sesuai kontraksi lambung dan penetrasi pada mukosa lambung, dengan panjang 2,4-4,0 μm dan lebar 0,5-1,0 μm. Reservoarnya pada lambung terutama bagian antrum dan tidak berkoloni pada lambung yang dengan metaplasia atau displasia (Gambar 2.1) (Brown, 2000; Atherton, 2010). Gambar 2.1 H. pylori (dengan skaning berwarna electron micrograph pada permukaan sel lambung) (Logan, 2001)
21
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfUrease menghidrolisis urea menjadi karbondioksida dan amonia, sehingga memungkinkan H. pylori untuk bertahan pada suasana lambung yang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Helicobacter pylori
2.1.1 Helicobacter pylori (H. pylori)
H. pylori merupakan bakteri patogen gram negatif anaerob berbentuk spiral
yang ditemukan pada mukosa lambung, dan pertama kali diisolasi oleh Waren dan
Marshall pada tahun 1983. Pada awalnya H. pylori diklasifikasikan sebagai
Campylobacter pylori, tetapi kemudian tahun 1989 dimasukkan kedalam genus
baru Helicobacter, dan diberi nama Helicobacter pylori (Brown, 2000). Nama H.
pylori berasal dari bahasa Latin yang artinya “batang spiral pada perut bagian
bawah” (Bakri, 2012).
Bakteri H. pylori bersifat non-invasif, hidup pada mukus, mikroaerofilik
(memerlukan kadar oksigen yang rendah), berbentuk S dengan 2-6 flagela yang
membuatnya bergerak sesuai kontraksi lambung dan penetrasi pada mukosa
lambung, dengan panjang 2,4-4,0 µm dan lebar 0,5-1,0 µm. Reservoarnya pada
lambung terutama bagian antrum dan tidak berkoloni pada lambung yang dengan
metaplasia atau displasia (Gambar 2.1) (Brown, 2000; Atherton, 2010).
Gambar 2.1
H. pylori (dengan skaning berwarna electron micrograph pada permukaan sel
lambung) (Logan, 2001)
2
Infeksi H. pylori merupakan salah satu faktor risiko keganasan pada lambung
termasuk limfoma dan kanker lambung. Tahun 1994, World Health Organization
(WHO) mengklasifikasikan H. pylori sebagai karsinogen kelas 1 (Radosz-
Komoniewska, 2005).
2.1.2 Epidemiologi H. pylori
Infeksi H. pylori sangat umum di Amerika Serikat dengan prevalensi yang
bervariasi sesuai usia, sekitar 50% didapatkan pada usia 60 tahun dan sekitar 20%
pada usia 30 tahun, dan di negara berkembang lainnya didapatkan lebih dari 80%
(Atherton, 2010). WHO mendapatkan mayoritas infeksi H. pylori terjadi pada usia
muda dan menengah (25-50 tahun) (Alsaimary, 2009).
2.1.3 Perjalanan Alamiah H. pylori
Infeksi H. pylori seringkali asimtomatik (>70%), tetapi sekitar 10% individu
yang terinfeksi menunjukkan ulkus peptikum, dan beberapa dengan kanker
lambung (Vilaichone et al., 2013). Infeksi H. pylori dipengaruhi oleh jenis strain
bakteri (faktor virulensi) (Gambar 2.2) dan faktor host (predisposisi genetik,
respon imun terhadap infeksi, dan diet) (Radosz-Komoniewska, 2005). Faktor
risikonya meliputi merokok, konsumsi alkohol, diet, kecelakaan kerja, paparan
yang ditularkan melalui air, higiene, faktor sosial, dan riwayat keluarga dengan
penyakit lambung (Brown, 2000).
Rute transmisi infeksi H. pylori yaitu fekal-oral, oral-oral, dan gastrik-oral
(Radosz-Komoniewska, 2005). Setelah tertelan, bakteri menghindari aktivitas
bakterisidal isi lumen lambung dan masuk ke lapisan mukus. Mukosa lambung
sangat terlindungi dari infeksi bakteri tetapi H. pylori mampu beradaptasi dengan
3
baik pada ekologi tersebut dan mampu masuk ke dalam mukus, berenang,
menyesuaikan diri dalam mukus, berikatan dengan sel epitel, menghindari respon
imun, dan pada akhirnya bisa mengadakan kolonisasi dan transmisi yang persisten
(Suerbaum, 2002).
Gambar 2.2
H. pylori dan virulensinya (Tiwari, 2011)
Urease merupakan enzym paling penting yang diproduksi oleh H. pylori
untuk dapat bertahan pada lingkungan pH yang rendah dan juga sebagai alat bantu
kolonisasi pada membran mukosa lambung (Radosz-Komoniewska, 2005).
Urease menghidrolisis urea menjadi karbondioksida dan amonia, sehingga
memungkinkan H. pylori untuk bertahan pada suasana lambung yang asam.
Aktivitas enzym diatur oleh pH-gated urea chanel (UreI) yang terbuka pada pH
rendah dan menghentikan influks urea pada kondisi netral (Suerbaum, 2002).
Infeksi H. pylori biasanya didapatkan saat anak-anak. Infeksi akutnya
menyebabkan hipoklorida yang bersifat sementara dan jarang terdiagnosis.
Gastritis kronik akan berkembang pada hampir semua orang dengan koloni yang
4
menetap, tetapi 80-90% biasanya asimtomatis. Perkembangan klinis selanjutnya
sangat bervariasi dan tergantung pada faktor bakteri dan host. Pasien dengan
sekresi asam yang tinggi cenderung lebih dominan dengan gastritis antrum yang
mempengaruhi terjadinya ulkus duodenum, sedangkan pasien dengan sekresi
asam yang lebih rendah cenderung dengan gastritis pada korpus lambung,
predisposisi menjadi ulkus lambung, dan dapat menyebabkan terjadinya kanker
lambung. Walaupun jarang infeksi H. pylori juga dapat merangsang terjadinya
limfoma MALT pada mukosa lambung, yaitu limfoma maligna yang timbul dari
jaringan limfoid mukosa (Gambar 2.3) (Suerbaum, 2002).
Gambar 2.3
Perjalanan alamiah infeksi H. pylori (Suerbaum, 2002).
Berbagai faktor virulensi yang terlibat pada patomekanisme infeksi H. Pylori
meliputi: berbagai enzym (seperti urease, katalase, lipase, fosfolipid dan protease),
toksin seperti vacuolating cytotoxin (VacA) dan cytotoxin-associated gene (CagA)
yang berlokasi pada pathogenicity island (PAI). PAI juga terdiri dari sejumlah gen
5
lain yang bertanggung jawab untuk virulensi dan ekspresi sitokin proinflamasi
terutama interleukin (IL)-8 pada sel epitelial (Radosz-Komoniewska, 2005).
Tabel 2.1
Faktor virulensi H. pylori (Cellini, 2000)
Faktor Gen Fungsi
Urease
Fosfolipase
Flagel
Nap
Adhesin
IceA
VacA
Cag PAI
CagA
Ure operon
Gen
FlaA FlaB
NapA
BabA1, BabA2
IceA1 IceA2
VacA
31 gen
CagA
Toksisitas mukosal netralisasi asam lambung,
pencampuran nitrogen organik
Gangguan pertahanan mukosa lambung
Motilitas bakterial
Aktivasi neutrofil
Berikatan dengan epitel lambung
Homolog N Ia III endonuklease restriksi
Sitotoksisitas untuk epitelial lambung
C-X-C famili kemokin meningkatkan infiltrasi
neutrofil kedalam epitelial lambung
Antigen imundominan
2.1.4 Diagnosis Infeksi H. pylori
Indikasi untuk pemeriksaan H. pylori: penyakit ulkus peptikum, pasien
dengan uninvestigated dyspepsia usia<45 tahun, dan yang tanpa tanda alarm
(perdarahan, anemia, cepat kenyang, kehilangan berat badan yang tidak
terjelaskan, disfagia progresif, odinofagia, muntah berulang, riwayat keluarga
dengan kanker gastrointestinal, dan keganasan esofagogastrik sebelumnya),
limfoma MALT, setelah reseksi endoskopik kanker lambung stadium awal, dan
pasien dengan kekerabatan kanker lambung tingkat 1 (Stenstrom, 2008).
Keadaan yang belum direkomendasikan (tidak konklusif) untuk pemeriksaan
H. pylori meliputi: dispepsia fungsional, gastroesophageal reflux disease
(GERD), pasien yang mengkonsumsi non-steroidal anti-inflammatory drugs
(NSAID), anemia defisiensi besi, dan pasien dengan risiko tinggi terjadinya
kanker lambung (Chey, 2007; Stenstrom, 2008).
6
Pilihan tes untuk H. pylori tergantung pada ketersediaan sarana dan biaya
termasuk perbedaan tujuan antara tes yang digunakan, apakah untuk menegakkan
diagnosis atau untuk mengkonfirmasi terapi eradikasi. Tes untuk H. pylori
dibedakan menjadi dua: tes invasif dengan biopsi dan tes non-invasif (Atherton,
2010). Pemeriksaan H. pylori:
1. Tes invasif: H. pylori dideteksi dengan pemeriksaan endoskopi dengan biopsi
yang dilanjutkan dengan pemeriksaan histologi, kultur atau tes urea.
a. Pemeriksaan histologi, dari bahan biopsi menggunakan pewarnaan Giemsa
atau Warthin-Starry untuk mengidentifikasi bakteri. Bahan biopsi diambil
dari antrum dan korpus. Pemeriksaan histologi dapat memberikan
informasi tambahan tentang derajat, pola inflamasi, atrofi, metaplasia, dan
displasia (Atherton, 2010; Micu et al., 2010).
b. Pemeriksaan kultur, isolasi mikrobiologi secara teori merupakan standard
baku untuk mengidentifikasi berbagai infeksi bakteri. Spesifisitasnya
tinggi, tapi kurang sensitif karena sulitnya mengisolasi H. pylori (Hunt et
al., 2011).
c. Rapid urea test (RUT), tes biopsi urease dengan bahan biopsi dari antrum
yang ditempatkan pada gel berisi urea dan sebuah indikator, hindari
konsumsi antibiotik dan PPI minimal 2 minggu untuk menghindari hasil
positif palsu (Atherton, 2010).
d. Polymerase chain reaction (PCR) digunakan untuk mengidentifikasi
genom spesifik H. pylori dengan sensitivitas 90% dan spesifisitasnya
hampir 100% (Micu et al., 2010).
7
2. Tes non-invasif
a. Urea breath test (UBT), untuk mendapatkan aktivitas urease pada
lambung, secara kualitatif dapat mendeteksi infeksi dengan sensitivitas dan
spesifisitas lebih dari 90%. Tes ini diindikasikan pada diagnosis awal
adanya infeksi dan untuk follow-up terapi eradikasi (Suerbaum, 2002).
Deteksi H. pylori non-invasif dengan urea 13
C berdasarkan prinsip bahwa
larutan berlabel urea dengan karbon 13 akan dihidrolisis dengan cepat oleh
enzyme urease yang diproduksi oleh H. pylori. UBT mendeteksi aktivitas
urease lambung dengan mengukur perubahan 13
C pada sampel pernapasan
ekspirasi setelah mengkonsumsi urea berlabel 13
C. Bahan yang mirip tetapi
bersifat radioaktif yaitu urea 14
C (Logan, 2001). Test 14
C tidak
direkomendasikan untuk diagnosis awal tetapi lebih untuk evaluasi terapi
eradikasi H. pylori (Bakri, 2012).
b. Tes serologi, digunakan secara luas untuk mendiagnosis infeksi H. pylori
pada pasien sebelum diberikan terapi (Suerbaum, 2002). Antibodi IgG H.
pylori dapat dideteksi dengan enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) atau tes aglutinasi lateks. Tes ini umumnya sederhana, dapat
direproduksi, dan dapat dilakukan pada sampel yang telah disimpan
sebelumnya (Logan, 2001), sebagai prediktor pada infeksi dengan
prevalensi tinggi di negara berkembang (Hunt et al., 2011).
c. Pemeriksaan antigen feses, tes ini memiliki sensitivitas 89-98% dan
spesifisitas lebih dari 90% (Suerbaum, 2002), mendeteksi adanya antigen
H. pylori pada feses dengan menggunakan ELISA, tes ini dapat
8
dilakukan pada studi epidemiologi dengan skala yang luas (Logan, 2001).
Perbandingan tes untuk infeksi H. pylori seperti pada Tabel 2.2 (meliputi
sensitivitas, spesifisitas, ketersediaan dan perkiraan biaya).
Tabel 2.2
Perbandingan akurasi, ketersediaan dan biaya tes H. pylori (Logan, 2001)
Tes Sensitivitas
(%)
Spesifisitas
(%)
Ketersediaan Biaya
Invasif
Histologi 88-95 90-95 √ √ √ √ + + + +
Kultur 80-90 95-100 √ √ + + +
Tes Urease 90-95 90-95 √ √ √ √ + + +
Non-Invasif 13
C UBT 90-95 90-95 √ √ √ √ + + + 14
C UBT 86-95 86-95 √ √ √ + +
Serologi
ELISA 80-95 80-95 √ √ √ +
NPT 60-90 70-85 √ √ √ √ + +
Antigen Feses 90-95 90-95 √ √ + +
2.1.5 Terapi Eradikasi Infeksi H. pylori
Tujuan terapi H. pylori adalah untuk mengeleminasi organismenya secara
lengkap. Regimen eradikasi klinis yang relevan terhadap H. pylori harus memiliki
tingkat kesembuhan sekurang-kurangnya 80% tanpa efek samping utama dan
dengan resistensi minimal. Semua tujuan tersebut tidak dapat dicapai dengan
antibiotik tunggal (Suerbaum, 2002). Dua faktor penting kesuksesan terapi H.
pylori yaitu kepatuhan pasien dengan obatnya dan penggunaan obat H. pylori
yang tidak menimbulkan resistensi (Atherton, 2010).
Asam luminal mempengaruhi efektivitas beberapa obat antimikroba yang
aktif melawan H. pylori sehingga antibiotik dikombinasikan dengan proton pump
inhibitors (PPI) atau ranitidin bismuth sitrat. Kombinasi dua atau lebih obat
antimikroba meningkatkan tingkat perbaikan dan menurunkan risiko resistensi
9
terhadap H. pylori. Antibiotik utama yang digunakan yaitu amoksisilin,
klaritromisin, metronidasol, tertrasiklin, dan bismuth (Suerbaum, 2002).
Terapi tripel 7-10 hari terdiri dari: PPI, amoksisilin, dan klaritromisin
merupakan standar pilihan terapi first line untuk eradikasi H. pylori sejak pertama
kali diterima pada panduan internasional tahun 1996 (Federico, 2014) dengan
dosis omeprazole 2x20 mg, klaritromisin 2x500 mg, dan amoksisilin 2x1g, atau
omeprazole 2x20 mg, klaritromisin 2x500 mg, dan metronidasol 2x500 mg yang
diberikan dalam waktu 7-14 hari, serta second-line: omeprazole 2x20 mg, bismuth
subsalisilat 4x2 tablet, tetrasiklin 4x500 mg, dan metronidasol 3x500 mg
diberikan selama 14 hari (Atherton, 2010). Skema terapi third line meliputi
antibiotik dari kategori lainnya seperti levofloksasin dan rifabutine (Micu et al.,
2010).
2.2 Dispepsia
Dispepsia didefinisikan sebagai “rasa nyeri atau rasa tidak nyaman yang
kronik atau berulang, yang berpusat pada perut bagian atas” (Mapel, 2012). Nama
dispepsia berasal dari bahasa Yunani, dari kata “duis” (artinya buruk atau sulit)
dan “peptin” (artinya menelan) (Desai, 2012).
Dispepsia merupakan masalah umum yang luas, di Amerika Serikat
prevalensinya sekitar 25% (Talley, 2005). Diperkirakan sekitar 20-40% populasi
mengeluh dispepsia. Kebanyakan (50-70%) pasien dengan dispepsia tidak
didapatkan kelainan organik (non-ulcer dyspepsia, NUD) berupa lesi fokal atau
struktural yang signifikan ditemukan pada endoskopi (Baker, 2006) dan hanya
10
sebagian kecil dengan kelainan organik seperti peptic ulcer disease (PUD)
(Abahussain, 1998).
Pada sebuah studi investigasi dispepsia, didapatkan tiga struktural utama
penyebab dispepsia yaitu: PUD (10%), GERD (20%), dan keganasan (2%)
(Baker, 2006). Rasa tidak nyaman diartikan dengan berbagai gejala termasuk
cepat kenyang atau rasa penuh pada perut bagian atas (Talley, 2005).
Tidak ada mekanisme patofisiologi definitif untuk dispepsia (Loyd,
2011), beberapa patofisiologinya: keterlambatan pengosongan lambung, gangguan
penyesuaian lambung terhadap makanan, hipersensitivitas distensi lambung,
infeksi H. pylori, perubahan respon terhadap lipid atau asam duodenal, motilitas
duodenojejenum abnormal, atau disfungsi sistem saraf pusat (Sabih, 2013).
Pasien dispepsia berusia lebih dari 55 tahun atau yang dengan tanda alarm
(perdarahan saluran cerna, anemia, rasa kenyang diawal, penurunan berat badan
yang tidak terjelaskan (>10%), disfagia progresif, odinofagia, muntah yang
persisten, riwayat keluarga dengan kanker gastrointestinal, keganasan
esofagogastrik sebelumnya, ulkus peptikum sebelumnya, limfadenopati, atau
massa abdominal) seharusnya diperiksa endoskopi untuk mengeksklusi
kemungkinan PUD, keganasan esofagogastrik, dan penyakit jarang lainnya pada
traktus gastrointestinal atas (Talley, 2005).
2.2.1 Infeksi H. pylori dan Dispepsia
H. pylori diketahui sebagai mikroba utama yang merangsang respon inflamasi
gastroduodenal. Dispepsia dapat merupakan tanda infeksi H. pylori akut atau
11
kronis. Studi dengan populasi yang luas menunjukkan peningkatan insiden infeksi
H. pylori pada pasien dispepsia (Loyd, 2011).
Prevalensi infeksi H. pylori pada pasien dispepsia di Kuwait didapatkan
sebesar 49,7% (Alazmi, 2010), di India sebesar 59% (Sodhi et al., 2013), di
Myanmar sebesar 48% (Myint et al., 2015), dan di Iran didapatkan sebesar 31,2%
(Niknam, 2014).
Studi multicenter di 5 kota besar di Indonesia tahun 2003-2004 mendapatkan
prevalensi H. pylori pada pasien dispepsia sebesar 10,2% dengan prevalensi
tertinggi di Jogjakarta (30,6%) dan terendah di Jakarta (8%) (Syam et al., 2006).
Laporan studi lainnya di Jakarta mendapatkan prevalensi H. pylori sebesar 52,3%
dari 310 pasien dispepsia (Utia, 2010). Di RS M Djamil Padang prevalensi H.
pylori pada pasien dispepsia didapatkan sebesar 45% (Zubir, 2000).
Hasil meta analisis menunjukkan bahwa prevalensi infeksi H. pylori lebih
banyak pada pasien dispepsia dibandingkan kontrol dengan odds ratio 2,3 (95%
CI, 1,9-2,7) (Suzuki, 2011). Prevalensi H. pylori pada pasien dewasa dengan
dispepsia di Iran sebesar 31,2% (Niknam, 2014), di Malaysia 49,0% (Goh, 1997)
dan di India sebesar 80% (Ahmed et al., 2007).
Studi meta analisis 14 studi dengan 2.993 pasien mengkonfirmasi perbaikan
gejala dispepsia lebih sering terjadi setelah terapi H. pylori dibandingkan dengan
pemberian plasebo (odd ratio=1,38, 95% CI 1,18-1,62, p<0,0001) dengan tanpa
perbedaan antara Eropa, Amerika Serikat, dan Asia (Zullo et al., 2014). Studi
Helicobacter Eradication Relief of Dyspeptic Symptoms (HEROES) yang
dilakukan mendapatkan hasil bahwa eradikasi H. pylori pada pasien dispepsia
12
memberikan manfaat yang signifikan (perbaikan gejala dan kualitas hidup)
dibandingkan yang hanya diberikan plasebo dengan number of needed to treat
(NTT) 9 (95% CI: 5-59) (Mazzoleni et al., 2011).
H. pylori menginduksi aktivasi kompleks, menarik sitokin, dan kemokin pada
mukosa lambung, menginduksi hipersekresi asam lambung yang berperan pada
patogenesis dispepsia. Sekitar 10%-15% pasien dengan infeksi H. pylori
menunjukkan gastritis yang dominan pada antrum sebagai akibat hipersekresi
asam lambung dan merangsang menurunan sekresi somatostatin pada antrum dan
menyebabkan peningkatan sekresi gastrin dan meningkatkan sekresi asam
lambung (Suzuki, 2011).
Infeksi H. pylori dapat menyebabkan gejala dispepsia melalui mekanisme
seperti perubahan sekresi asam lambung, inflamasi aktif dan persisten pada
mukosa lambung, dan perubahan pasca infektif pada mukosa gastroduodenal
(Zullo et al., 2014).
H. pylori dan NSAID merupakan faktor patogenik utama pada penyakit ulkus
lambung tetapi interaksi keduanya masih kontroversial. NSAID bersama-sama
dengan bakteri memberikan gambaran patologi lambung termasuk kerusakan
epitelial lambung, gangguan mikrosirkulasi, dan terjadinya inflamasi kronik
(Brzozowski et al., 2006).
2.3 Endotelin 1 (ET-1)
Endotelin (ET) merupakan vasokonstriktor poten yang awalnya diisolasi
dari media kultur sel endotelial aortik (Kawanabe, 2011). ET ditranslasi sebagai
200 asam amino preproendothelin yang dipecah oleh enzym furin-like ke bentuk
13
asam amino 38 inaktif (proendothelin atau disebut juga big endothelin).
Proendothelin dipecah menjadi asam amino 21 ET oleh endothelin converting