BAB II KAJIAN PUSTAKA Penelitian ini menggunakan kajian teoritis dan kajian empiris. Kajian teoritis dalam penelitian ini terdiri dari grand theory dan supporting theori.Grand theory yang digunakan adalah teori penetapan tujuan serta teori sikap & perilaku. Sedangkan supporting theory adalah profesionalisme, independensi, komitmen organisasi, dan kinerja auditor. Kajian empiris yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. 2.1 Teori Penetapan Tujuan Teori penetapan tujuan (goal setting theory) ini mula mula dikemukakan oleh Locke (1968). Teori ini relatif sederhana dimana aturan dasarnya adalah penetapan tujuan secara sadar. Menurut Locke, tujuan yang cukup sulit, khusus dan yang pernyataannya jelas dan dapat diterima oleh karyawan, akan menghasilkan unjuk-kerja yang lebih tinggi daripada tujuan yang tidak khusus, dan yang mudah dicapai. Di samping itu, teori ini juga menunjukkan adanya keterkaitan antara sasaran dan kinerja. Sasaran dapat dipandang sebagai tujuan/tingkat kinerja yang ingin dicapai oleh individu. Goal setting theory berasumsi bahwa ada hubungan langsung antara tujuan yang spesifik dan terukur dengan kinerja. Temuan utama dari goal setting theory adalah bahwa individu yang diberi tujuan yang spesifik dan sulit tapi dapat dicapai memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan orang-orang yang menerima tujuan yang mudah dan kurang spesifik atau tidak ada tujuan sama sekali. Pada saat yang sama, seseorang juga harus memiliki kemampuan yang cukup dalam menerima tujuan yang ditetapkan dan menerima umpan balik yang berkaitan dengan kinerja (Lunenburg, 2011). 8
22
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfBAB II KAJIAN PUSTAKA Penelitian ini menggunakan kajian teoritis dan kajian empiris. Kajian teoritis dalam penelitian ini terdiri dari
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Penelitian ini menggunakan kajian teoritis dan kajian empiris. Kajian
teoritis dalam penelitian ini terdiri dari grand theory dan supporting theori.Grand
theory yang digunakan adalah teori penetapan tujuan serta teori sikap & perilaku.
Sedangkan supporting theory adalah profesionalisme, independensi, komitmen
organisasi, dan kinerja auditor. Kajian empiris yang digunakan dalam penelitian
ini adalah penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.
2.1 Teori Penetapan Tujuan
Teori penetapan tujuan (goal setting theory) ini mula mula dikemukakan
oleh Locke (1968). Teori ini relatif sederhana dimana aturan dasarnya adalah
penetapan tujuan secara sadar. Menurut Locke, tujuan yang cukup sulit, khusus
dan yang pernyataannya jelas dan dapat diterima oleh karyawan, akan
menghasilkan unjuk-kerja yang lebih tinggi daripada tujuan yang tidak khusus,
dan yang mudah dicapai. Di samping itu, teori ini juga menunjukkan adanya
keterkaitan antara sasaran dan kinerja. Sasaran dapat dipandang sebagai
tujuan/tingkat kinerja yang ingin dicapai oleh individu.
Goal setting theory berasumsi bahwa ada hubungan langsung antara tujuan
yang spesifik dan terukur dengan kinerja. Temuan utama dari goal setting theory
adalah bahwa individu yang diberi tujuan yang spesifik dan sulit tapi dapat
dicapai memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan orang-orang yang
menerima tujuan yang mudah dan kurang spesifik atau tidak ada tujuan sama
sekali. Pada saat yang sama, seseorang juga harus memiliki kemampuan yang
cukup dalam menerima tujuan yang ditetapkan dan menerima umpan balik yang
berkaitan dengan kinerja (Lunenburg, 2011).
8
2
Goal setting theory juga merupakan bagian dari teori motivasi. Teori ini
menyatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen tujuan tinggi akan
mempengaruhi kinerja manajerial. Adanya tujuan individu menentukan seberapa
besar usaha yang akan dilakukannya, semakin tinggi komitmen karyawan
terhadap tujuannya akan mendorong karyawan tersebut untuk melakukan usaha
yang lebih keras dalam mencapai tujuan tersebut. Menurut Lunenburg (2011)
tujuan memiliki pengaruh yang luas pada perilaku karyawan dan kinerja dalam
organisasi dan praktik manajemen.
Locke dan Latham (2002) menyatakan bahwa sebuah tujuan agar efektif,
dibutuhkan ringkasan umpan balik yang mengungkapkan kemajuan manajer
dalam mencapai tujuan. Jika mereka tidak tahu bagaimana kemajuannya, akan
sulit bagi mereka untuk menyesuaikan tingkat atau arah usaha dalam
menyesuaikan strategi kinerja untuk mencocokkan apa yang diperlukan dalam
mencapai tujuan. Dalam penetapan tujuan juga diperlukan keterlibatan dalam
perencanaan untuk mengembangkan strategi yang akan dilakukan dalam
pencapaian tujuan. Adanya partisipasi dalam penetapan tujuan audit akan
menciptakan pertukaran informasi yang memungkinkan pegawai untuk
memperoleh pemahaman yang lebih jelas mengenai tujuan audit sehingga
nantinya dapat mengurangi ambiguitas dalam melakukan pekerjaan mereka.
2.2. Teori Sikap dan Perilaku
Teori sikap dan perilaku dikembangkan oleh Triandis (1971), menyatakan
bahwa perilaku ditentukan oleh sikap, aturan-aturan sosial dan kebiasaan. Sikap
3
terdiri dari komponen kognitif yaitu keyakinan, komponen afektif yaitu suka atau
tidak suka, berkaitan dengan apa yang dirasakan dan komponen perilaku yaitu
bagaimana seorang ingin berperilaku terhadap sikap. Robbins (2003) menyatakan
bahwa sikap adalah pernyataan evaluatif, baik yang menguntungkan atau tidak
menguntungkan tentang obyek, orang, atau peristiwa.Khikmah (2005)
menyatakan bahwa sikap memberikan pemahaman tentang tendensi atau
kecenderungan untuk bereaksi. Sikap bukan perilaku tetapi lebih pada kesiapan
untuk menampilkan suatu perilaku, sehingga berfungsi mengarahkan dan
memberikan pedoman bagi perilaku.
Triandis (1971) menegaskan bahwa model perilaku interpersonal yang lebih
komprehensif dengan menyatakan faktor-faktor sosial, perasaan dan konsekuensi
dirasakan akan mempengaruhi tujuan perilaku. Teori ini berusaha menjelaskan
mengenai aspek perilaku manusia dalam suatu organisasi, khususnya pada
akuntan publik atau auditor yaitu dengan meneliti bagaimana sikap auditor
mengenai profesionalisme, independensi yang akan mempengaruhi kinerja auditor
dengan tingkat komitmen organisasi yang berbeda-beda diantara auditor.
2.3. Profesionalisme
Profesi dan profesionalisme dapat dibedakan secara konseptual. “Profesi
merupakan jenis pekerjaan yang memenuhi beberapa kriteria, sedangkan
profesionalisme merupakan suatu atribut individual yang penting tanpa melihat
suatu pekerjaan merupakan suatu profesi atau tidak” (Kalbers dan Fogarty, 1995).
Profesionalisme yang dimiliki auditor menjadi begitu penting untuk diterapkan
dalam melakukan pemeriksaan karena akan memberi pengaruh pada peningkatan
4
kinerja auditor. Harapan masyarakat terhadap tuntutan transparansi dan
akuntabilitas akan terpenuhi jika auditor dapat menjalankan profesionalisme
sehingga masyarakat dapat menilai kinerja auditor (Gautama dan Arfan, 2010).
Hardjana (2002) memberikan pengertian bahwa seorang profesional adalah orang
yang menjalani profesi sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Dalam hal ini,
seorang profesional dipercaya dan dapat diandalkan dalam melaksanakan
pekerjaannya sehingga dapat berjalan lancar, baik dan mendatangkan hasil yang
diharapkan.
Kalbers dan Fogarty (1995) menyatakan bahwa terdapat lima dimensi
profesionalisme, yaitu:
a) Pengabdian pada profesi
Hal ini dicerminkan dari dedikasi profesionalisme dengan menggunakan
pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Keteguhan untuk tetap
melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik kurang. Sikap ini
adalah ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan.
Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan, bukan hanya sebagai alat untuk
mencapai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga
kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan adalah kepuasan rohani,
baru kemudian materi.
b) Kewajiban sosial
5
Merupakan suatu pandangan tentang pentingnya peranan profesi dan
manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun profesional karena adanya
pekerjaan tersebut.
c) Kemandirian
Kemandirian dimaksudkan sebagai suatu pandangan seseorang yang
profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari
pihak lain (pemerintah, klien, dan bukan anggota profesi). Setiap ada
campur tangan dari luar dianggap sebagai hambatan kemandirian secara
profesional.
d) Keyakinan pada profesi
Merupakan suatu keyakinan bahwa yang palingberwenang menilai
pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan orang luar yang
tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka.
e) Hubungan dengan sesama profesi
Yang dimaksud adalah menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk
didalamnya organisasi formal dan kelompok kolega informal sebagai ide
utama dalam pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional
membangun kesadaran profesional.
2.4. Independensi
Independensi merupakan suatu tindakan baik sikap perbuatan atau mental
auditor dalam sepanjang pelaksanaan audit dimana auditor dapat memposisikan
dirinya dengan auditeenya secara tidak memihak dan dipandang tidak memihak
oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap hasil auditnya. Independen berarti
6
akuntan publik tidak mudah dipengaruhi. Akuntan publik tidak dibenarkan
memihak kepentingan siapapun. Akuntan publik berkewajiban untuk jujur tidak
hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditur
dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas pekerjaan akuntan publik
(Christiawan, 2002).
Dalam Kode Etik Akuntan Publik disebutkan bahwa independensi adalah
sikap yang diharapkan dari seorang akuntan publik untuk tidak mempunyai
kepentingan pribadi dalam melaksanakan tugasnya, yang bertentangan dengan
prinsip integritas dan objektivitas. The CPA Handbook E.B. Wilcox menyatakan
bahwa independensi merupakan suatu standar auditing yang penting, karena opini
akuntan independen bertujuan untuk menambah kredibilitas laporan keuangan
yang disajikan oleh manajemen. Jika akuntan tersebut tidak independen terhadap
kliennya, maka opininya tidak akan memberikan tambahan apapun (Mautz
danSharaf, 1993). Auditor secara intelektual harus jujur, bebas dari kewajiban
terhadap kliennya dan tidak mempunyai kepentingan dengan klien, baik terhadap
manajemen maupun pemilik (IAI, 2013: Seksi 220).
Carrey dan Mautz (1961) menyatakan bahwa independensi akuntan publik
dari segi integritas dan hubungannya dengan pendapat akuntan atas laporan
keuangan meliputi:
1) Kepercayaan terhadap diri sendiri yang terdapat pada beberapa orang
profesional. Hal ini merupakan bagian integritas profesional.
2) Independensi berarti sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak
dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain. Independensi
7
juga berarti adanya kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan
fakta dan adanya pertimbangan yang obyektif tidak memihak dalam diri
auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya. Independensi
akuntan publik merupakan dasar utama kepercayaan masyarakat pada
profesi akuntan publik dan merupakan salah satu faktor yang sangat penting
untuk menilai mutu jasa audit.
2.5. Komitmen Organisasi
Komitmen organisasional didefinisikan oleh Durkin dan Bennet (1999)
sebagai perasaan yang kuat dan erat dari seseorang terhadap tujuan dan nilai suatu
organisasi dalam hubungannya dengan peran mereka terhadap upaya pencapaian
tujuan dan nilai-nilai tersebut. Luthans (2006:249) menyatakan bahwa komitmen
organisasional merupakan sikap yang menunjukkan loyalitas karyawan dan
merupakan proses berkelanjutan bagaimana seorang anggota organisasi
mengekspresikan perhatian mereka kepada kesuksesan dan kebaikan
organisasinya. Lebih lanjut sikap loyalitas ini diindikasikan dengan tiga hal, yaitu:
(1) keinginan kuat seseorang untuk tetap menjadi anggota organisasinya; (2)
kemauan untuk mengerahkan usahanya untuk organisasinya; (3) keyakinan dan
penerimaan yang kuat terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi. Komitmen
organisasional akan membuat pekerja memberikan yang terbaik kepada organisasi
tempat dia bekerja. Pekerja dengan komitmen yang tinggi akan lebih berorientasi
pada kerja. Pekerja yang memiliki komitmen organisasional tinggi akan
cenderung senang membantu dan dapat bekerjasama.
8
Curtis dan Wright (2001) mengemukakan bahwa komitmen didefinisikan
sebagai kekuatan identifikasi individu yang berada dalam sebuah organisasi. Jika
seseorang memiliki komitmen untuk organisasi, ia akan memiliki identifikasi
yang kuat dengan organisasi, memiliki nilai-nilai keanggotaan, setuju dengan
tujuan dan sistem nilai, kemungkinan akan tetap di dalamnya, dan akhirnya, siap
untuk bekerja keras demi organisasinya.
John dan Taylor (1999); Allen dan Meyer (1991); Sopiah (2008)
mengemukakan suatu model anteseden (faktor-faktor yang mendahului) dari
komitmen organisasional yaitu:
1) Karakteristik Pribadi
Beberapa karakteristik pribadi dianggap memiliki hubungan dengan
komitmen organisasional yaitu usia dan masa kerja, tingkat pendidikan,
status perkawinan, dan jenis kelamin.
2) Karakteristik Pekerjaan
Karakteristik pekerjaan merupakan posisi pekerjaan, yaitu karakteristik
yang berkaitan dengan peran, self-employment, otonomi, jam kerja,
tantangan dalam pekerjaan, serta tingkat kesulitan dalam pekerjaan.
3) Pengalaman Kerja
Pengalaman kerja dipandang sebagai suatu kekuatan sosialisasi utama yang
mempunyai pengaruh penting dalam pembentukan ikatan psikologis dengan
organisasi.
4) Karakteristik Struktural
9
Karakteristik struktural adalah karakteristik yang dikembangkan untuk
meningkatkan komitmen individu kepada organisasi, meliputi kemajuan
karir dan peluang promosi di masa yang akan datang, besar atau kecilnya
organisasi, bentuk organisasi, dan tingkat pengendalian yang dilakukan
organisasi terhadap karyawan.
Tett dan Meyer (1993); Meyer et al. (1993); Karakus dan Aslan (2008);
Luthans (2008:249); Aydogdu dan Asikgil (2011) mengemukakan tiga dimensi
dari komitmen organisasi yaitu sebagai berikut:
1) Komitmen afektif (affective comitment)
Komitmen afektif adalah keterikatan emosional, identifikasi serta
keterlibatan seorang karyawan pada suatu organisasi. Komitmen afektif
seseorang akan menjadi lebih kuat bila pengalamannya dalam suatu
organisasi konsisten dengan harapan-harapan dan memuaskan kebutuhan
dasarnya dan sebaliknya. Komitmen afektif menunjukkan kuatnya
keinginan seseorang untuk terus bekerja bagi suatu organisasi karena ia
memang setuju dengan organisasi itu dan memang berkeinginan
melakukannya. Karyawan yang mempunyai komitmen afektif yang kuat
tetap bekerja dengan organisasi karena mereka menginginkan untuk bekerja