BAB II KAJIAN PUSTAKA 1. BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1 Low Back Pain (LBP) 1.1.1 Definisi Low back pain (LBP) adalah nyeri, ketegangan otot, atau kekakuan yang terlokalisir dibawah costal margin dan diatas lipatan inferior gluteal, dengan atau tanpa sciatica (Chou, 2010). LBP merupakan salah satu gangguan muskuloskeletal yang disebabkan oleh aktivitas tubuh yang kurang baik. LBP dapat disebabkan oleh berbagai penyakit muskuloskeletal, gangguan psikologis dan mobilisasi yang salah (Pengel et al., 2002). 1.1.2 Epidemiologi Lebih dari 70% penduduk Negara berkembang akan mengalami LBP. Setiap tahun diperkirakan antara 15-45% orang dewasa mengalami LBP (Chou, 2010). Penelitian terbaru mengenai prevalensi LBP pada populasi dewasa menunjukkan point prevalence sebesar 12–33% dan prevalensi selama satu tahun adalah 22–65% (Walker, 2000). Setiap tahun sekitar 3-4% dari populasi tidak dapat beraktivitas untuk sementara, dan satu persen dari populasi usia produktif tidak dapat beraktivitas secara permanen disebabkan oleh LBP (Shah et al., 2010). Jumlah individu penderita LBP meningkat seiring meningkatnya usia. Prevalensi LBP paling tinggi pada wanita dan pada orang berusia 40-80 tahun (Hoy et al., 2012). 1
39
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA · Obesitas, masalah postur, masalah struktur, dan peregangan berlebihan dapat berakibat nyeri punggung (Porth, 2011). Diskus intervertebralis akan mengalami
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1. BAB II KAJIAN PUSTAKA
1.1 Low Back Pain (LBP)
1.1.1 Definisi
Low back pain (LBP) adalah nyeri, ketegangan otot, atau kekakuan yang
terlokalisir dibawah costal margin dan diatas lipatan inferior gluteal, dengan atau
tanpa sciatica (Chou, 2010). LBP merupakan salah satu gangguan muskuloskeletal
yang disebabkan oleh aktivitas tubuh yang kurang baik. LBP dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit muskuloskeletal, gangguan psikologis dan mobilisasi yang salah
(Pengel et al., 2002).
1.1.2 Epidemiologi
Lebih dari 70% penduduk Negara berkembang akan mengalami LBP.
Setiap tahun diperkirakan antara 15-45% orang dewasa mengalami LBP (Chou,
2010). Penelitian terbaru mengenai prevalensi LBP pada populasi dewasa
menunjukkan point prevalence sebesar 12–33% dan prevalensi selama satu tahun
adalah 22–65% (Walker, 2000). Setiap tahun sekitar 3-4% dari populasi tidak dapat
beraktivitas untuk sementara, dan satu persen dari populasi usia produktif tidak
dapat beraktivitas secara permanen disebabkan oleh LBP (Shah et al., 2010).
Jumlah individu penderita LBP meningkat seiring meningkatnya usia. Prevalensi
LBP paling tinggi pada wanita dan pada orang berusia 40-80 tahun (Hoy et al.,
2012).
1
2
Data epidemiologi mengenai LBP di Indonesia belum ada, namun
diperkirakan 40% penduduk pulau Jawa Tengah berusia diatas 65 tahun pernah
menderita nyeri pinggang. Prevalensi pada laki-laki 18,2% dan pada wanita 13,6%.
Insiden berdasarkan kunjungan pasien ke beberapa rumah sakit di Indonesia
berkisar antara 3-17% (Sadeli & Tjahyono, 2001). Suatu studi di poliklinik
neurologi RS Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2002 didapatkan 15,6% pasien
yang diteliti menderita LBP (Purba & Rumawas, 2006).
1.1.3 Patofisiologi
Low back pain terjadi karena biomekanik vertebra lumbal akibat perubahan
titik berat badan dengan kompensasi perubahan posisi tubuh dan akan
menimbulkan nyeri. Ketegangan (strain) otot dan keregangan (sprain) ligamentum
tulang belakang merupakan salah satu penyebab utama LBP (Levy & Wegman,
1995). Faktor risiko yang berpotensi menyebabkan LBP adalah faktor individu
seperti berat badan dan usia, faktor biomekanik seperti mengangkat beban berat dan
postur tubuh, dan faktor psikososial seperti ketidakpuasan terhadap pekerjaan yang
dilakukan (Latza et al., 2000).
Kolumna vertebralis dapat dianggap sebagai sebuah batang elastis yang
tersusun atas banyak unit rigid (vertebrae) dan unit fleksibel (discus
intervertebralis) yang diikat satu sama lain oleh komplek sendi faset, berbagai
ligamen dan otot paravertebralis. Konstruksi punggung yang unik tersebut
memungkinkan fleksibilitas dan tetap dapat memberikan perlindungan yang
maksimal terhadap sumsum tulang belakang. Lengkungan tulang belakang akan
3
menyerap goncangan pada saat berlari atau melompat. Batang tubuh membantu
menstabilkan tulang belakang. Otot-otot abdominal dan torak sangat penting pada
aktivitas mengangkat beban. Bila tidak pernah dipakai akan melemahkan struktur
pendukung ini. Obesitas, masalah postur, masalah struktur, dan peregangan
berlebihan dapat berakibat nyeri punggung (Porth, 2011).
Diskus intervertebralis akan mengalami perubahan sifat ketika usia
bertambah tua. Pada orang muda diskus terutama tersusun atas fibrokartilago
dengan matriks gelatinus. Pada lansia akan menjadi fibrokartilago yang padat dan
tak teratur. Degenerasi diskus merupakan penyebab nyeri punggung yang sering
terjadi. Diskus di daerah L4-L5 dan L5-S1 menderita stres mekanis paling berat dan
perubahan degenerasi terberat. Hernia nucleus pulposus (HNP) atau kerusakan
sendi faset dapat mengakibatkan penekanan pada akar saraf ketika keluar dari
kanalis spinalis yang mengakibatkan nyeri yang menyebar sepanjang saraf tersebut
(Porth, 2011).
Penyebab LBP dapat dibagi menjadi penyebab diskogenik (sindroma spinal
radikuler) dan non-diskogenik. Sindroma radikuler biasanya disebabkan oleh suatu
hernia nucleus pulposus yang menekan saraf-saraf disekitar radiks. Diskus hernia
ini bisa dalam bentuk suatu protrusio atau prolaps dari nukleus pulposus dan
keduanya dapat menyebabkan kompresi pada radiks. Lokasinya paling sering di
daerah lumbal atau servikal dan jarang sekali pada daerah torakal. Sampai dekade
ketiga, gel dari nucleus pulposus hanya mengandung 90% air, dan akan menyusut
terus sampai dekade ke empat menjadi kira-kira 65%. Nutrisi dari anulus fibrosus
bagian dalam tergantung dari difusi air dan molekul-molekul kecil yang melintasi
4
tepian vertebra. Hanya bagian luar dari anulus yang menerima suplai darah dari
ruang epidural. Pada trauma yang berulang menyebabkan robekan serat-serat
anulus baik secara melingkar maupun radial. Beberapa robekan anular dapat
menyebabkan pemisahan lempengan, yang menyebabkan berkurangnya nutrisi dan
hidrasi nukleus. Perpaduan robekan secara melingkar dan radial menyebabkan
massa nukleus berpindah keluar dari anulus lingkaran ke ruang epidural dan
menyebabkan iritasi ataupun kompresi akar saraf (Wheeler, 1995).
Penyebab LBP non-diskogenik adalah iritasi pada serabut sensorik saraf
perifer, yang membentuk nervus iskiadikus dan bisa disebabkan oleh neoplasma,
infeksi, proses toksik atau imunologis, yang mengiritasi nervus iskiadikus dalam
perjalanannya dari pleksus lumbosakralis, daerah pelvik, sendi sakroiliaka, sendi
pelvis sampai sepanjang jalannya nervus iskiadikus (neuritis n. iskiadikus)
(Wheeler, 1995). OA lumbal juga dapat menyebabkan terjadinya nyeri non-
diskogenik atau nyeri somatik, terutama disebabkan oleh rangsangan nyeri yang
disebabkan oleh kerusakan pada sendi facet dan diskus intervertebralis.
1.2 Osteoarthritis Lumbal
1.2.1 Anatomi Lumbal Spine
Pemahaman mengenai OA lumbal hanya dapat didalami dengan
mengetahui lebih dalam mengenai anatomi dan biomekanik daerah lumbal yang
unik. Pengetahuan ini dapat membantu pemahaman kita mengenai temuan pada
radiografi dan mengetahui bagaimana predileksi dari OA pada daerah lumbal.
5
Tulang belakang lumbal dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu anterior
(statik) dan posterior (dinamik) dari setiap fungsional unit tulang belakang. Setiap
fungsional unit terdiri dari 2 corpus vertebra, 1 diskus intervertebralis di anterior
dan sendi facet di bagian posterior. Kelainan pada OA lumbal terjadi pada ketiga
komponen tersebut yang disebut sebagai suatu “three joint complex” yaitu adanya
proses degenerasi pada diskus intervertebralis, munculnya traction spur atau
osteofit pada corpus intervertebralis dan proses degenerasi pada sendi facet
(Gambar 1.1). (Borenstein, 2004)
Gambar 1.1 Anatomi tulang belakang lumbal
Pada setiap level tulang belakang terdapat strukur fungsional yang terdiri dari dua corpus vertebra, satu diskus intervertebralis, dan sepasang sendi facet di bagian posterior, ketiganya
membentuk yang disebut sebagai “three joint complex” atau “motion segment”.
Sendi facet atau sendi zygapophyseal merupakan suatu sendi synovial sejati
yang berpasang yang disusun dari artikulasi posterolateral antara dua level tulang
belakang (Gambar 1.2). Setiap sendi terdiri dari prosesus artikularis superior yang
lebih besar, pada bagian posterior, menghadap ke medial yang berbentuk konkaf
dari level tulang belakang yang inferior dari sendi, dan prosesus artikularis inferior
yang secara resiprokal menghadap anterior dan inferior dari tulang belakang yang
superior (Gambar 1.3). Morfologi dari setiap sendi kira-kira berbentuk seperti
antara huruf “C” dan “J”.
7
Gambar 1.3 Gambar CT-Scan sendi facet.
Sendi facet terdiri dari prosesus artikuler superior inferior vertebra yang berukuran lebih besar, terletak di posterior, dan menghadap ke arah medial, dan berhubungan dengan prosesus artikular inferior dari vertebra
superior yang terletak di anterior dan mengadap ke lateral. (Kalichman & Hunter, 2007)
Sendi facet lumbar mengandung tulang rawan hyaline, membran sinovial,
kapsul fibrosa, dan ruang sendi dengan kapasitas potensial antara 1 hingga 2 mL.
Adanya meniskus pada sendi facet lumbar telah dipaparkan dalam berbagai
publikasi. Dua jenis badan inklusi dalam sendi facet lumbar telah diketahui: (1)
reklesi sinovial yang berisi lemak pada superior dan inferior pole dari sendi; (2)
invaginasi fibrosa rudimenter yang berasal dari bagian dorsal dan ventral dari
kapsul sendi. Kedua meniskus tersebut berperan untuk memberikan kompensasi
terhadap inkongruensi permukaan sendi dan untuk mengisi ruang kosong di dalam
sendi.
Panjabi dan kawan-kawan melaporkan adanya kecenderungan
meningkatnya jumlah area yang dilapisi tulang rawan pada sendi facet pada segmen
lumbal. Juga ditemukan pada bagian dalam area kapsuler didapatkan peningkatan
dari L1-2 hingga L5-S1, sehingga facet yang lebih besar juga akan mempunyai
kapsul yang lebih lebar. Kapsul fibrosa pada sendi facet mempunyai tebal 1 mm
8
dan menempel 2 mm dari batas artikuler. Kapsul ini berperan untuk membatasi
rotasi dan melawan gaya meluncur ke belakang pada saat ekstensi.
Adaptasi tulang belakang manusia terhadap posisi berdiri selama masa
evolusi termasuk perkembangan kurvatura pada tulang belakang, terutama kifosis
pada thorakal dan lordosis pada lumbal, sehingga memerlukan adanya perubahan
pada orientasi sendi facet. Orientasi sendi facet memiliki peranan yang penting
dalam memberikan stabilitas pada tulang belakang dan mengontrol gerakan tulang
belakang pada saat pembebanan posisi manusia saat berdiri. Orientasi sendi facet
pada plane transverse bervariasi antara level lumbar atas hingga lumbar bagian
bawah. Facet pada T12-L2 memiliki orientasi lebih dekat kepada plane midsagital
dari corpus vertebra (rata-rata 26-34°), sedangkan facet pada L3-L5 memiliki
orientasi menjauhi plane tersebut (rata-rata 40-56°). Orientasi yang oblik dari sendi
facet memiliki kontribusi pada banyak fungsi tulang belakang, seperti memberikan
tahanan pada gaya shear intervertebral, gaya kompresi, dan gaya torsi
intervertebral. Orientasi sagital dari sendi facet memberikan rentang yang lebih
banyak pada fleksi dan membatasi gerakan rotasi axial pada regio lumbar. Pada
plane sagital, semua sendi facet lumbar memiliki orientasi kurang lebih 170° dari
garis vertikal. Orientasi dari sendi facet lumbar independen tergantung jenis
kelamin dan ras.
1.2.2 Biomekanik Lumbal Spine
Pada semua level tulang belakang, terkecuali pada level C1-C2, ditemukan
yang disebut dengan “three joint complex” atau motion segment yang dibentuk dari
9
tiga artikulasi yaitu antara dua corpus vertebra, satu diskus intervertebralis dan dua
sendi facet di bagian posterior. Sehingga tulang belakang sendiri dapat dianggap
sebagai struktur yang terdiri dari motion segment multipel yang saling berhubungan
dimana gerakan total dari tulang belakang merupakan gabungan dari masing-
masing motion segment tersebut.(Gellhorn et al., 2012).
Dilihat dari segi fungsional, tiga artikulasi yang ada pada setiap motion
segment adalah struktur yang saling terkait dengan erat, sehingga kelainan pada satu
artikulasi akan menyebabkan gangguan pada dua komponen lainnya. Contohnya
adalah gangguan pada diskus intervertebralis akan menyebabkan gangguan pada
sendi facet, sebaliknya trauma dan instabilitas pada struktur posterior pada akhirnya
akan menyebabkan gangguan pada diskus. Pada mayoritas individual patologi yang
terjadi lebih banyak dimulai pada diskus intervertebralis yang akhirnya diikuti oleh
kerusakan pada sendi facet.(Gellhorn et al., 2012).
Dari segi biomekanik, sendi facet memegang peranan penting dalam proses
transmisi beban, dimana sendi facet memberikan bantuan pada load-bearing bagian
posterior, menstabilisasi segmen gerakan pada fleksi dan ekstensi, dan juga
memegang peranan pada kinematika mekanisme rotasional dengan membatasi
gerakan rotasi. Sendi facet didisain untuk menghambat gerakan rotasi dan forward
slide, juga mencegah terjadinya dislokasi pada corpus vertebra saat mengalami
pembebanan saat tulang belakang dalam posisi fleksi ke depan. Pada spinal unit
yang sehat, tulang belakang lumbal meneruskan beban antar segmen intervertebral
melalui corpus vertebra dan diskus intervertebralis dan dua sendi facet. Dalam
keadaan normal antara 3 hingga 25% dari beban segemental diteruskan melewati
10
sendi facet, persentase ini meningkat hingga 47% pada facet yang mengalami
proses degenerasi. Persentase dari beban yang diteruskan melalui elemen posterior
juga sangat tergantung dari postur tulang belakang dan meningkat saat ekstensi
Mobilitas tulang belakang lumbal (Gambar 1.4) paling besar pada saat
gerakan fleksi dan ekstensi (mobilitas kumulatif pada segmen L1-5: 57°) dan lebih
terbatas pada lateral bending (L2-5: 26°) dan rotasi aksial (L1-5: 8°). Rentang yang
cukup besar pada gerakan fleksi dan ekstensi menyebabkan jarak/gap fisiologis
pada sendi facet saat akhir fase gerakan, dan ini dapat menyebabkan tekanan
maksimum pada bagian inferior sendi facet saat ekstensi dan pada bagian atas sendi
facet superior pada saat fleksi (Gambar 1.5). Pada posisi tegak terdapat gaya shear
yang terus menerus yang bekerja pada sendi facet antara vertebra lumbal 5 dan
sakrum oleh karena adanya lordosis lumbal. Pada posisi fleksi, gaya ini akan
meningkat dan juga bekerja pada tulang belakang lumbal dia atas L5-S1. Pada
11
segmen bawah tulang belakang, gaya shearing ini akan lebih tinggi oleh karena
berat badan yang lebih besar pada level di atasnya dan lebih panjangnya leverage
dari pusat massa tubuh. Oleh karena itu, peningkatan area tulang rawan pada sendi
facet pada segmen yang lebih inferior adalah suatu konsekuensi normal dari hukum
Wolf’s. Orientasi yang lebih ke arah coronal pada sendi facet tulang belakang
bagian bawah juga kemungkinan disebabkan oleh karena adaptasi dari gaya
shearing yang mempengaruhi tulang belakang bagian bawah.
Gambar 1.5 Fleksi dan ekstensi tulang belakang lumbal.
Superior facet menunjukkan kerusakan yang lebih banyak pada pole superior, dimana pada saat gerakan fleksi (A), facet inferior menyebabkan tekanan maksimum. Facet inferior menunjukkan kerusakan tulang
rawan paling banyak pada pole inferior dan superior, dimana aposisi tulang paling sering tampak pada pole inferior, dimana kontak tulang antara pole inferior facet inferior dengan lengkung superior facet terjadi pada
saat ekstensi (Kalichman & Hunter, 2007)
Rotasi aksial pada tulang belakang lumbal terjadi pada aksis longitudinal
yang melewati sepertiga bagian posterior dari corpus vertebra dan diskus
intervertebralis. Pada saat gerakan rotasi ini, elemen posterior dari vertebra bagian
atas yang bergerak akan mengayun ke arah lateral, ke arah yang berlawanan dari
gerakan rotasi tersebut. Dengan gerakan ini prosesus artikularis inferior dari
vertebra ini akan mendorong prosesus artikularis yang berlawanan dari vertebra
12
dibawahnya (Gambar 1.6). Mekanisme blok dari rotasi aksial ini berfungsi untuk
melindungi diskus intervertebralis dari gerakan torsi yang berlebihan.
Gambar 1.6 Rotasi tulang belakang lumbal.
Rotasi dari tulang belakang lumbal. Prosesus artikularis inferior dari vertebra di atasnya (warna abu-abu) membentur prosesus artikuler superior dari vertebra bawah pada saat gerakan rotasi. (Kalichman & Hunter,
2007)
1.2.3 Nyeri yang Berasal dari Sendi Facet
Setiap sendi facet diinervasi oleh cabang medial dari dorsal rami primer dari
level yang sama dan level di atasnya. Contohnya pada sendi facet L4-L5 dipersarafi
oleh baik cabang dari L5 dan cabang medial L3. Cabang medial L1-L4 dari dorsal
rami berjalan melewati bagian superior dari prosesus tranversus yang bersebelahan,
dibawah dari ligamen mamillo-accessory pada pertemuan dari prosesus artikularis
superior dan root dari prosesus tranversus, dan kemudian menuju lamina. Pada
lamina, saraf akan terbelah dan memberikan cabang pada sendi facet dibawahnya,
sendi facet pada level tersebut, ligamen dan otot interspinosus, dan otot-otot
multifidus. Dorsal ramus L5 berjalan pada celah antara prosesus artikularis S1 dan
sacral ala. Cabang medial dari L5 terbagi pada ramus dorsal L5 pada aspek inferior
13
sendi facet L5-S1. Cabang komunikans dari posterior ramus S1 dapat berjalan dari
tepi superior foramen S1 hingga ke margin inferior dari sendi facet L5-S1.
Kapsul dari sendi facet kaya dengan inervasi dari nociceptif dan serat saraf
otonom. Mekanoreseptor telah ditemukan pada kapsul sendi facet kelinci dan
inervasi substansi P telah ditemukan pada tulang subkondral sendi facet yang
mengalami degenerasi. Sinovium dapat mengandung nociceptor, walaupun saraf
sinovial ini hanya berfungsi untuk mengatur aliran darah (Kalichman & Hunter,
2007).
Sendi facet telah disebutkan dalam literatur-literatur sebagai sumber LBP
dan nyeri ekstremitas bawah sejak tahun 1911. Fakta bahwa nyeri dapat bersumber
dari sendi facet telah lama diterima pada literatur ortopedi maupun radiologi.
Perkiraan prevalensi dari nyeri sendi facet berkisar antara 7 hingga 75% pada pasien
yang mengalami LBP. Pada basis yang terkontrol, dengan blok lokal anestesi,
prevalensi nyeri sendi facet lumbar adalah 15% dan 40-45% pada praktek
manajemen nyeri (Manchikanti et al., 1999). Pada penelitian yang dilakukan pada
praktek rematologi didapatkan angka prevalensi adalah 40%. Namun hubungan
antara nyeri yang bersumber dari sendi facet dan perubahan degeneratif pada sendi
masih menjadi topik yang kontroversial. Mayoritas penelitian melaporkan tidak
adanya korelasi antara gejala klinis dari LBP dan imaging, termasuk radiografi,
magnetic resonance imaging (MRI), axial computed tomography (CT), single
photon emission (SPECT), dan bone scan radionuklida. Bahkan peranan dari
kelainan sendi facet pada pasien LBP masih terus diperdebatkan. Penelitian yang
dilakukan oleh Schwarzer dan kawan-kawan tidak dapat menunjukkan korelasi
14
yang signifikan antara derajat OA yang tampak pada CT-scan dan pain score yang
didapatkan pada saat blok facet intraartikuler (Schwarzer et al., 1995). Penelitian
lanjutan perlu dilakukan untuk mengetahui hubungan antara perubahan degeneratif
pada sendi facet dan nyeri yang bersumber dari sendi facet.
Neural foramina dibatasi oleh prosesus artikularis superior, pars
interartikularis, dan bagian posterior dari corpus vertebra. Hipertrofi sendi facet
atau kista sinovial dapat menyebabkan lumbal stenosis lateral ataupun sentral.
Sehingga, nyeri sendi facet kadang-kadang dapat menyebabkan nyeri yang hampir
sama dengan herniasi diskus.
Secara klinis nyeri yang berasal dari sendi facet didefinisikan sebagai suatu
“sindrom sendi facet lumbal”. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
klinis dan dengan cara mengekslusikan penyebab LBP lainnya. Gejala dan tanda
yang tipikal adalah nyeri lumbal “pseudoradikuler” yang dapat menjalar secara
unilateral atau bilateral ke daerah pantat, panggul, selangkangan, dan paha, dan
terutama berakhir di atas lutut tanpa adanya defisit neurologis (Gambar 1.7Gambar
1.7 Gambar distribusi referred pain dari sendi facet. Pasien biasanya mengeluhkan
adanya peningkatan rasa nyeri pada pagi hari dan saat tidak sedang beraktivitas.
Nyeri biasanya meningkat dengan adanya tekanan, latihan, ekstensi tulang
belakang, gerakan rotasi, dan saat sedang berdiri atau duduk. Posisi berbaring dan
fleksi dari tulang belakang akan mengurangi nyeri. (Gellhorn et al., 2012)
15
Gambar 1.7 Gambar distribusi referred pain dari sendi facet.
(Gellhorn et al., 2012)
1.2.4 Imaging pada Lumbal Spine
Metode diagnostik standar yang digunakan untuk mengevaluasi degenerasi
sendi facet adalah dengan foto polos, CT, dan MRI (Gambar 1.8). Foto polos, bila
tanpa disertai dengan gambaran oblik tidak banyak membantu dalam menegakkan
degenerasi sendi facet. Gambaran oblik mempunyai sensitivitas 55% dan
spesifisitas 69% dalam membedakan ada atau tidaknya gambaran penyakit pada
sendi facet, untuk membedakan antara gambaran penyakit yang ringan, sedang, dan
berat spesifisitas gambaran oblik mempunyai spesifitas yang lebih tinggi yaitu 94%,
tetapi memiliki sensitivitas yang lebih rendah, yaitu 23%. Oleh karena sendi facet
terletak dalam posisi oblik dan memiliki konfigurasi melengkung hanya bagian
yang paralel dengan sinar x yang tampak. Foto polos juga memiliki keterbatasan
16
yang signifikan dalam mendeteksi OA sendi facet pada fase awal. Oleh karena itu,
walaupun foto polos mudah didapatkan, murah dan relatif tidak berbahaya,
pemeriksaan ini baik digunakan untuk skrining awal dari OA sendi facet (Pathria et
Pemeriksaan radiografi awal pada pasien dengan keluhan nyeri yang
disebabkan oleh kelainan pada sendi facet lumbal adalah foto polos yang meliputi
gambaran AP, lateral, dan oblik. Konfigurasi yang melengkung dan orientasi sagital
dari sendi facet lumbal mengurangi kegunaan dari proyeksi lateral dan frontal.
Namun dari proyeksi lateral, pemeriksa bisa mendapatkan informasi yang berguna
dari profil isthmus seperti defek dari pars interartikularis, dan juga dapat
menunjukkan angulasi pada sendi facet. Proyeksi oblik 45 derajat yang dilakukan
dengan mengarahkan sinar paralel terhadap sendi facet cukup untuk mendiagnosis
kelainan pada sendi facet (Gambar 1.9). (Varlotta et al., 2010).
17
Gambar 1.9 Gambaran foto polos oblik tulang belakang lumbal.
Sendi facet tampak tervisualisasi secara jelas pada view ini. Level L3-L4 menunjukkan gambaran sendi facet yang normal (panah tebal). L4-L5 menunjukkan gambaran sendi facet yang menyempit dan mengalami
proses degenerasi (panah tipis). (Varlotta et al., 2010).
Dibandingkan dengan foto polos, CT scan meningkatkan kemampuan
diagnostik dari sendi facet karena kemampuannya untuk menggambarkan sendi
facet pada potongan aksial dan dengan kontras yang tinggi antara struktur tulang
dan jaringan lunak disekitarnya. Kelainan-kelainan yang dapat dievaluasi dari CT
antara lain adalah pembentukan osteofit, hipertrofi prosesus artikularis, penipisan
tulang rawan, fenomena sendi vakum, kista sinovial dan subkondral, dan kalsifikasi
dari kapsul sendi. Oleh karena CT menggambarkan detail dari tulang lebih jelas dan
relatif murah, CT merupakan metode pilihan untuk imaging dari OA sendi facet.
Beberapa penelitian telah menggambarkan bahwa MRI kurang akurat untuk
mengevaluasi OA sendi facet dibandingkan dengan CT. Fujiwara dan kawan-
kawan mendapatkan bahwa MRI cenderung lebih merendahkan derajat severitas
18
OA dibandingkan dengan CT-scan (Fujiwara et al., 1999). MRI kurang sensitif
dalam menggambarkan batas korteks dari tulang, dan penipisan dari tulang rawan
tidak dapat diukur secara akurat dengan MRI oleh karena efek volume parsial dan
artifak pergeseran kimia. Leone dan kawan-kawan menemukan bahwa CT secara
jelas menggambarkan tanda karakteristik dari arthropati, walaupun gagal untuk
menilai kerusakan tulang rawan pada fase awal proses degeneratif. Pada penelitian
MRI terhadap sukarelawan tanpa keluhan nyeri tulang belakang yang dilakukan
Weishaupt dan kawan-kawan tidak ditemukan adanya OA derajat berat dan hanya
sedikit OA ringan dan sedang pada sendi facet (Weishaupt et al., 1998). Kesimpulan
dari penelitian tersebut adalah temuan adanya OA sendi facet bukanlah suatu
kebetulan, namun merupakan suatu temuan yang berhubungan dengan adanya
keluhan LBP. Pada penelitian oleh Schwarzer didapatkan bahwa CT tidak reliabel
untuk mengidentifikasi sendi facet dengan nyeri (Schwarzer et al., 1995), tetapi
MRI tidak digunakan pada penelitian tersebut.
Scintigrafi tulang dengan SPECT, dapat mengidentifikasi pasien dengan
LBP yang akan mendapatkan keuntungan dari injeksi sendi facet. Scintigrafi tulang
radionuklida dapat menggambarkan area tulang dengan fungsi yang meningkat dan
dapat menggambarkan perubahan sinovial yang disebabkan oleh karena inflamasi
maupun hiperemia. Scintigrafi tulang juga dapat menggambarkan perubahan
degeneratif, terutama yang menunjukkan derajat remodeling yang besar.
19
1.2.5 Patofisiologi terjadinya OA Lumbal
“Three joint complex” atau motion segment pada tulang belakang
memegang peranan penting dalam menjaga stabilitas dari tulang belakang. Sebagai
struktur yang saling terhubung secara erat menyebabkan gangguan pada satu
komponen akan berpengaruh besar pada komponen lainnya. OA lumbal terjadi oleh
karena instabilitas yang dimulai dari segmen anterior yaitu proses degenerasi pada
diskus intervertebralis. Pada segmen yang tidak stabil, maka dengan hubungan yang
erat pada ketiga artikulasi tersebut pada akhirnya akan menyebabkan kombinasi
kerusakan pada ketiga komponen motion segment tersebut. Selanjutnya oleh karena
gangguan pada satu level motion segment, proses patologis dapat terjadi pada
motion segment pada level di atas atau di bawah level yang mengalami gangguan.
(Gellhorn et al., 2012).
Proses perubahan pada tulang belakang lumbal dimulai pada dekade ketiga
dan kelima. Manifestasi pertama dari proses penuaan adalah pada diskus
intervertebralis. Pada tahun pertama nukleus akan kehilangan cairan dan strukur
anulus mengalami fisura dan proses degenerasi. Fase pertama dari OA lumbal
adalah adanya degenerasi pada diskus intervertebralis. Pada fase ini terjadi
ketidakstabilan pada segmen anterior tulang belakang yang menyebabkan
terjadinya transfer dari beban ke segmen posterior yaitu sendi facet dan ligamen.
Lalu terjadi strain pada kapsul sendi facet, hipermobilitas hingga akhirnya terjadi
proses degenerasi pada sendi facet. Perubahan ini mirip dengan yang terjadi pada
instabilitas sendi lutut. Perubahan ini sering bermanifestasi pada pemeriksaan
radiologis yaitu adanya traction spur, yang terbentuk di bagian anterior corpus
20
vertebra, 1 hingga 2 mm dari diskus intervertebralis. Ligamentum flavum juga akan
mengalami kekuatan tensil yang berlebihan oleh karena terjadi penurunan tinggi
keseluruhan dari tulang belakang yang disebabkan oleh karena penyempitan ruang
sendi intervertebralis. Degenerasi diskus sendiri dapat saja tidak menimbulkan
nyeri. Pasien dengan degenerasi diskus dapat asimptomatik hingga saat terjadinya
gangguan pada alignment sendi facet yang menyebabkan nyeri artikular. Pada fase
ini nyeri yang dirasakan adalah nyeri yang terlokalisir pada daerah lateral dari
midline, tepat di atas sendi facet, dan dipicu oleh gerakan ekstensi tulang belakang
tanpa adanya nyeri menjalar atau nyeri radikuler. (Borenstein, 2004; Gellhorn et al.,
2012).
OA pada tulang belakang merupakan proses yang sama dengan OA pada
sendi diarthrodial yang lain. Degradasi tulang rawan akan berujung menjadi
pembentukan erosi yang awalnya fokal hingga difus, dengan sklerosis dari tulang
subkondral. Hipertrofi facet, malalignment apophyseal, dan pembentukan osteofit
dapat menyebabkan penyempitan pada canalis spinalis atau foramen
intervertebralis dan dapat menyebabkan stenosis central atau lateral. Destabilisasi
dari kompleks 3-sendi (diskus intervertebralis dan dua sendi facet) dapat
menyebabkan instabilitas spondilolistesis degeneratif dan skoliosis.
Beberapa penelitian melaporkan adanya perubahan degeneratif yang lebih
sering pada sendi facet superior daripada sendi facet inferior. Kerusakan tulang
rawan terjadi terutama pada margin permukaan sendi, bagian sentral umumnya
tetap baik. Facet superior sering menunjukkan kerusakan pada kutub superior,
dimana saat gerakan fleksi facet inferior akan menyebabkan tekanan maksimal
21
(Gambar 1.5A). Facet bagian inferior menunujukkan kerusakan tulang rawan baik
pada superior maupun kutub inferior, dimana aposisi tulang paling sering tampak
khususnya pada kutub inferior, dimana kontak tulang antara kutub inferior dari
facet inferior dan lengkungan dari facet superior dapat terjadi pada gerakan ekstensi
(Gambar 1.5 B). Kapsul cenderung menjadi kecil dan tipis dengan adanya
perubahan degeneratif pada sendi facet lumbal, gerakan sendi kemungkinan akan
terbatas atau terganggu oleh karena perubahan struktural pada kapsul tersebut.
Hipertrofi dari prosesus artikularis juga telah disebutkan dalam beberapa
penelitian sebagai tanda dari OA sendi facet, dimana sering disebut sebagai
“hipertrofi sendi facet”. Namun Barry dan Lievesley pada penelitian terhadap CT
dari 100 pasien menemukan bahwa dari 13 pasien dengan sendi facet degeneratif
dan dengan diskus yang normal tidak ditemukan adanya pembesaran pada sendi
facet dibandingkan pada 35 pasien dengan penyakit diskus. Mereka menyimpulkan
bahwa istilah “hipertrofi sendi facet” tidak digunakan bila ditemukan kelainan OA
pada CT, oleh karena ukuran sendi ini tidak lebih besar daripada sendi facet normal
(Barry & Livesley, 1997).
1.3 Menopause
Menopause berasal dari kata men dan pauseis yang berasal dari bahasa
Yunani yang pertama kali digunakan untuk menggambarkan berhentinya haid
(Prawirodihardjo, 2003). Menopause adalah terhentinya siklus menstruasi secara
permanen oleh karena penurunan sekresi hormon oleh ovarium yang terjadi secara
natural atau disebabkan karena operasi, kemoterapi, atau radiasi. Menopause dapat
22
dikatakan natural bila seorang wanita mengalami amenorrhea selama 12 bulan dan
tidak terdapat kelainan patologis (Nelson et al., 2005).
Menopause terjadi disebabkan oleh gagalnya ovarium memproduksi
hormon estrogen. Kegagalan ovarium memproduksi estrogen dimulai saat akhir
usia 30 tahun. Sebagian besar wanita mengalami gejala penurunan hingga
hilangnya produksi estrogen pada pertengahan usia 50 tahun. Transisi fungsi
ovarium dari normal menjadi gagal berfungsi disebut menopausal transition
(Goodman et al., 2006).
Menopause dibagi menjadi 3 tahapan. Fase pra menopause berawal antara
usia 40 tahun dan merupakan jangka waktu sebelum terjadi fase peri menopause.
Fase peri menopause merupakan saat berlangsungnya perubahan siklus menstruasi
dan endokrin, namun belum mencapai 12 bulan amenorrhea. Fase terakhir adalah
post menopause yang dimulai saat menstruasi terakhir, tetapi baru disadari setelah
terjadi amenorrhea selama 12 bulan (Prawirodihardjo, 2003; Nelson et al., 2005).
Tanda dan gejala menopause mempunyai ciri-ciri khusus baik fisik maupun
psikis. Gejala-gejala menopause disebabkan oleh adanya perubahan kadar estrogen
dan progesteron. Berkurangnya kadar estrogen secara bertahap menyebabkan tubuh
secara perlahan menyesuaikan diri terhadap perubahan hormon, tetapi pada
beberapa wanita penurunan kadar estrogen ini terjadi secara tiba-tiba dan
menyebabkan gejala-gejala yang hebat.
23
1.4 Estrogen
Estrogen adalah sekelompok senyawa steroid yang berfungsi terutama
sebagai hormon seks wanita. Estrogen juga memiliki efek pada sistem
kardiovaskular, kulit, dan tulang. Estrogen terdiri dari tiga tipe yaitu estrone,
estradiol, dan estriol (Gambar 1.10). Estrogen yang paling banyak dan paling aktif
adalah estradiol (E2). Estrogen bekerja di jaringan dengan cara berikatan dengan
estrogen reseptor α dan β yang terdapat pada berbagai jaringan. Estrogen juga
diproduksi pada pria dan memiliki fungsi penting dalam spermatogenesis, sistem
kardiovaskular, dan homeostasis tulang (de Ronde et al., 2003; Sniekers et al.,
2010). Estradiol adalah estrogen yang paling poten, dengan potensi 12 kali lipat
dari estrone, dan 80 kali lipat dari estriol. Oleh karena itu, estradiol dianggap
sebagai estrogen utama (Sniekers et al., 2010).
Gambar 1.10 Struktur kimia estrone, estradiol, dan estriol.
(Sniekers et al., 2010)
1.4.1 Biosintesis Estrogen
Estrogen diproduksi terutama dengan mengembangkan folikel di ovarium,
korpus luteum, dan plasenta. Luteinizing hormone (LH) merangsang produksi
24
estrogen di ovarium. Beberapa estrogen juga diproduksi dalam jumlah yang lebih
kecil dengan jaringan lain seperti hati, kelenjar adrenal, payudara, dan sel lemak.
Sumber-sumber sekunder estrogen terutama penting pada wanita menopause
(Nelson & Bulun, 2001).
Estrogen adalah produk akhir suatu jalur biosintesis yang berasal dari
cholesterol 12 hingga menjadi androgen (Gambar 1.11). Testosterone 8 teroksidasi
dua kali pada C-19 oleh steroid 19-hydroxylase dan kemudian diaromatisasi
menjadi estradiol oleh enzim aromatase (CYP 19). 17 β-Hydroxysteroid
dehydrogenase (17 β-HSD) berperan dalam interkonversi estradiol dan estrone.
Isoform reduktif 17 β -HSD tipe 1 mengkonversi E1 ke E2, dan isoform oksidatif
17 β-HSD tipe 2 bekerja sebaliknya dengan mengkonversi E2 ke E1 (Simpson et
al., 1999; Ackerman & Carr, 2002).
Gambar 1.11 Biosintesis estrogen di ovarium.
(Ackerman & Carr, 2002)
Pada wanita premenopause, estradiol disintesis di dalam ovarium dari
kolesterol yang diambil dari darah. Kolesterol kemudian dikonversi dalam beberapa
tahap menjadi androstenedione di dalam sel folikel teka. Di dalam sel granulosa
25
yang terdapat di dalam folikel yang sedang berkembang, androstenedione
kemudian diaromatisasi menjadi estrone, yang kemudian diikuti dengan konversi
dari estrone menjadi estradiol. Alternatifnya, androstedione dikonversi menjadi
testosteron, yang selanjutnya akan mengalami aromatisasi menjadi estradiol.
Sebagian kecil dari estradiol juga diproduksi oleh korteks adrenal, dan pada pria
juga diproduksi di testis. Hormon prekursor, khususnya testosteron, dikonversi
dengan cara aromatisasi menjadi estradiol pada jaringan selain gonad, misalnya
pada otot, lemak, tulang, dan jaringan saraf. Sumber estrogen sekunder ini penting
terutama pada wanita pasca menopause (Sniekers et al., 2010).
1.4.2 Metabolisme Estrogen
Estrogen bersirkulasi di dalam tubuh sebagian besar berikatan dengan sex
hormone binding globulin (SHBG) dan hanya estrogen yang tidak terikat yang dapat
masuk ke sel dan menyebabkan efek biologis. Perubahan konsentrasi SHBG akan
mempengaruhi aktivitas estrogen dengan cara mengubah availabilitas estrogen
terhadap sel target. Efek biologis estrogen dalam tubuh tergantung bagaimana
estrogen dimetabolisme. Metabolisme oksidatif estrogen terutama terjadi di hati
diperantarai oleh sitokrom p450, didetoksifikasi dan dikeluarkan dalam bentuk
metabolit yang kurang atau tidak aktif melalui urin dan/atau feses. Metabolisme
estrogen terdiri dari dua fase yaitu fase I (hidroksilasi), dan fase II (metilasi dan
glukoronidasi) (Zhu & Conney, 1998; Kiuru, 2005; Kennelly et al., 2009; Hall &
Guyton, 2010).
26
Hidroksilasi menghasilkan banyak jenis metabolit, namun terutama adalah
yaitu 2-hydroxyestrone (2-OH), 16-OH, dan 4-OH yang memiliki aktivitas biologis
yang berbeda. Metabolit 2-OH disebut juga dengan estrogen baik karena memiliki
aktivitas estrogenik yang sangat lemah. Metabolit 16-OH dan 4-OH memiliki
aktivitas estrogenik yang tinggi dan dapat memicu pertumbuhan sel yang
berlebihan. Metabolit 2-OH dan 4-OH selanjutnya akan didetoksifikasi melalui
proses metilasi. Metabolit 4-OH melalui proses metilasi akan berkurang aktivitas
estrogeniknya. Apabila metabolit 2-OH dan 4-OH tidak melalui proses metilasi,
maka kedua metabolit ini dapat diubah menjadi molekul reaktif yang dapat
menghancurkan DNA. Molekul estrogen akan bergabung dengan kelompok asam
glukoronat untuk membantu eliminasi kelebihan estrogen dalam tubuh. Proses ini
disebut glukoronidasi. (Muti et al., 2000; Kennelly et al., 2009; Hall & Guyton,
2010).
Gambar 1.12 Metabolisme estrogen.
(Kiuru, 2005)
27
1.4.3 Reseptor Estrogen
Sinyal estrogen diikat oleh reseptor estrogen. Terdapat dua subtipe utama
dari reseptor estrogen yaitu reseptor estrogen α (ERα) dan estrogen reseptor β
(ERβ). Keduanya memiliki struktur yang berbeda dan dikode oleh gen yang
berbeda (ESR1 dan ESR2). Kedua reseptor estrogen diekspresikan di dalam sel
pada berbagai jaringan. Distribusi jaringan yang mengandung reseptor ERα dan
ERβ adalah berbeda, namun terdapat tumpang tindih terhadap distribusinya.
Reseptor-reseptor ini merupakan reseptor intraseluler yang terdapat dalam
sitoplasma. Pada saat estrogen bebas berdifusi ke dalam sel, estrogen akan terikat
pada domain ligand-binding dari reseptor, yang mengalami disosiasi dari kaperon
sitoplasmiknya, kompleks estrogen-reseptor estrogen kemudian mengalami difusi
ke dalam inti sel. Kompleks estrogen-reseptor estrogen ini akan mengikat ke dalam
sekuens DNA spesifik yang disebut sebagai elemen respons estrogen dan
menginisiasi terjadinya transkripsi (Gruber et al., 2002). Selain dari reseptor
estrogen klasik ini, reseptor lain seperti reseptor yang berpasangan dengan G-
protein transmembran (GPR30) telah diketahui berikatan dengan estrogen (Filardo,
2002; Revankar et al., 2005). Namun peran fungsionalnya tidak diketahui.
Sel-sel tulang mengekspresikan kedua ERα dan ERβ, dan estrogen
merupakan salah satu regulator penting dalam keseimbangan resorpsi dan
pembentukan sel tulang (Pelletier, 2000; Braidman et al., 2001; Lerner, 2006). ER
α dan β juga diekspresikan pada kondrosit berbagai spesies binatang (Richmond et
al., 2000; Claassen et al., 2001) dan juga pada manusia (Ushiyama et al., 1999;
Claassen et al., 2001), yang mengindikasikan bahwa tulang rawan merupakan
28
jaringan yang responsif terhadap hormon estrogen. Penelitian in-vitro telah
menunjukkan adanya pengaruh estrogen terhadap sintesis proteoglikan, ekspresi
dari matriks metaloproteinase (Lee et al., 2003; Richette et al., 2004), dan stress
oksidatif yang diinduksi oleh spesies oksigen reaktif (Claassen et al., 2005). Efek
yang terjadi bervariasi tergantung dari kadar estrogen yang diberikan. Selain pada
tulang dan tulang rawan, reseptor estrogen juga diekspresikan pada jaringan pada
sendi seperti ligamen dan sinovium (Dietrich et al., 2006). Sehingga estrogen dapat
mempengaruhi terjadinya proses OA melalui tulang, tulang rawan, dan atau
jaringan lain yang terdapat di dalam sendi.
Osteoblas, osteosit, dan osteoklas mengekspresikan estrogen reseptor
fungsional. Sel-sel tulang memiliki dua reseptor estrogen yaitu ERα dan Erβ.
Distribusi kedua reseptor ini tidak homogen di dalam tulang. ERα adalah reseptor
terbanyak pada cortical bone, dan ERβ terbanyak pada tulang trabekular. ERα
paling berperan pada kerja estrogen di sel tulang. Estrogen memiliki kemampuan
untuk menstimulasi dan menekan ekspresi gen yang mengkode faktor
osteoklastogenik yang penting seperti IL-6, TNF-α, dan M-CSF. Estrogen reseptor
yang aktif dapat terikat pada faktor transkripsi seperti NF-κB dan mencegah faktor
tersebut berikatan dengan DNA dan selanjutnya akan menekan produksi IL-6
(Weitzmann & Pacifici, 2006). Estrogen mencegah bone loss melalui beberapa efek
pada tulang rawan dan sel-sel tulang yang akan menyebabkan penurunan
pembentukan osteoklas, peningkatan apoptosis osteoklas, dan penurunan kapasitas
osteoklas matur untuk meresorpsi tulang (Cenci et al., 2000).
29
1.5 Defisiensi Estrogen
Kadar estrogen menurun pada keadaan menopause, disfungsi ovarium,
infertilitas, sindrom Turner, amenorea akibat hipopituitari, anoreksia nervosa,
keadaan stres, dan sindrom testikular feminisasi pada wanita (Demers, 1999).
Produksi estradiol akan menurun sampai titik terendah pada awal siklus ovulasi dan
akan mulai meningkat oleh karena adanya efek hormon FSH. Kadar dibawah 30
pg/mL menunjukan keadaan oligomenore atau amenore sebagai indikasi kegagalan
gonad. Hormon estradiol dipengaruhi oleh ritme sirkadian yaitu adanya variasi
diurnal pada wanita pasca menopause yang diperkirakan karena adanya variasi pada
kelenjar adrenal (Aron & Findling, 1997).
30
Tabel 1.1 Tabel kadar hormon estrogen
Hormon Jenis Kelamin Unit Konvensional Estradiol Wanita