BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Unsur Pembangun Novel Suatu karya sastra dibangun oleh unsur-unsur yang membentuknya. Unsur tersebut saling mengisi dan berkaitan sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh dalam sebuah karya sastra. Secara garis besar unsur-unsur karya sastra dibagi menjadi dua bagian, yaitu unsur-unsur luar (ekstrinsik) dan unsur-unsur dalam (intrinsik). Semi (1988: 35) menjelaskan kedua unsur tersebut. Unsur-unsur luar (ekstrinsik) adalah segala macam unsur yang berada di luar suatu karya sastra yang ikut memengaruhi kehadiran karya sastra tersebut, misalnya faktor sosial ekonomi. faktor kebudayaan, faktor sosio-politik, keagamaan dan tata nilai yang dianut masyarakat. Unsur-unsur dalam (intrinsik) adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra tersebut seperti tema, alur, tokoh, dan sudut pandang. 2.1.1.1 Tema Tema sebuah karya sastra pada dasarnya berkaitan dengan makna. Stanton (dalam Nurgiyatoro, 2000: 70) mengartikan tema sebagai makna sebuah cerita yang secara khusus menerapkan sebagian besar unsur dengan cara yang sederhana. Tema bersinonim dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama (central purpose). Dengan demikian tema dapat dikatakan sebagai gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasari suatu karya sastra (Sudjiman, 1988: 50). Nurgiyantoro (2000: 68) mengatakan bahwa tema dalam banyak hal bersifat 9
27
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Noveleprints.umm.ac.id/35968/3/jiptummpp-gdl-rizalrabba-49744-3-babii.pdf · satu. Orang Jawa berpikir dan berperasaan seperti
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Unsur Pembangun Novel
Suatu karya sastra dibangun oleh unsur-unsur yang membentuknya. Unsur
tersebut saling mengisi dan berkaitan sehingga membentuk satu kesatuan yang
utuh dalam sebuah karya sastra. Secara garis besar unsur-unsur karya sastra dibagi
menjadi dua bagian, yaitu unsur-unsur luar (ekstrinsik) dan unsur-unsur dalam
(intrinsik). Semi (1988: 35) menjelaskan kedua unsur tersebut. Unsur-unsur luar
(ekstrinsik) adalah segala macam unsur yang berada di luar suatu karya sastra
yang ikut memengaruhi kehadiran karya sastra tersebut, misalnya faktor sosial
ekonomi. faktor kebudayaan, faktor sosio-politik, keagamaan dan tata nilai yang
dianut masyarakat. Unsur-unsur dalam (intrinsik) adalah unsur-unsur yang
membentuk karya sastra tersebut seperti tema, alur, tokoh, dan sudut pandang.
2.1.1.1 Tema
Tema sebuah karya sastra pada dasarnya berkaitan dengan makna. Stanton
(dalam Nurgiyatoro, 2000: 70) mengartikan tema sebagai makna sebuah cerita
yang secara khusus menerapkan sebagian besar unsur dengan cara yang
sederhana. Tema bersinonim dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama
(central purpose). Dengan demikian tema dapat dikatakan sebagai gagasan, ide,
atau pilihan utama yang mendasari suatu karya sastra (Sudjiman, 1988: 50).
Nurgiyantoro (2000: 68) mengatakan bahwa tema dalam banyak hal bersifat
9
10
mengikat kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa konflik situasi tertentu,
termasuk berbagai unsur intrinsik yang lain, karena hal-hal tersebut haruslah
bersifat mendukung kejelasan tema yang ingin disampaikan. Dengan demikin,
untuk menentukan sebuah tema suatu karya sastra, harus disimpulkan dari
keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan dari sebagian cerita saja.
Ada kalanya tema dinyatakan secara tersurat, tetapi lebih sering tema itu
dinyatakan secara tersirat. Jika penceritaan memasukkan tema cerita secara
tersurat tentunya pembaca bisa dengan mudah menemukan tema yang telah
tertulis dalam cerita. Namun jika pencerita memasukkan tema secara tersirat,
pembaca cenderung sulit untuk menemukan tema yang dimaksud karena pembaca
harus menemukan sendiri tema tersebut. Hal inilah yang menjadikan tema dalam
karya sastra tidak selalu mudah untuk ditemukan. Oleh karena itu, makna yang
terdapat atau ditemukan dalam karya sastra tidak selalu sama dengan apa yang
dimaksud pengarang sebagai temanya. Namun, hal itu wajar karena karya sastra
pada dasarnya dapat ditafsirkan secara ganda. Tafsir dapat dipertanggung jawaban
dengan adanya unsur-unsur di dalam karya sastra yang menunjang tafsiran
tersebut (Sudjiman, 1988: 55).
Tema harus dilihat dari keseluruhan isi cerita. Tema tidak dapat dilihat
hanya berdasarkan satu bagian cerita saja. Oleh karena itu, Sudjiman (1988: 51)
menjelaskan bahwa tema terkadang didukung oleh pelukisan latar, dalam karya
lain tersirat dalam lakuan tokoh, atau dalam penokohan. Tema bahkan dapat
menjadi faktor yang mengikat peristiwa-peristiwa alam satu alur. Nurgiyatoro
(2000: 82) menjelaskan tema merupakan makna yang dikandung sebuah cerita.
Makna cerita terkandung pada sebuah karya fiksi novel, mungkin saja lebih dari
11
satu interpretasi. Hal inilah yang menjadikan sulitnya menentukan tema pokok
sebuah cerita. Tema pokok biasanya tersurat dalam sebagian besar cerita, bukan
makna hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita saja. Makna yang hanya
terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita disebut tema tambahan. Tema
tambahan ini yang mendukung dan mencerminkan makna utama keseluruhan
cerita.
2.1.1.2 Alur
Dalam sebuah cerita rekaan berbagai peristiwa disajikan dalam urutan
peristiwa tertentu. Peristiwa yang diurutkan itu membangun tulang punggung
cerita, yaitu alur (Sudjiman, 1988: 29). Oleh karena itu tidak sedikit yang
menganggap alur sebagai unsur terpenting di antara berbagai unsur intrinsik
lainnya. Cerita atau plot merupakan dua unsur fiksi yang amat erat kaitanya
sehingga keduanya tidak mungkin dipisahkan. Objek pembicaraan cerita dan plot
boleh dikatakan sama. Selanjutnya, Semi (1988, 43) juga menambahkan bahwa
alur berusaha memecahkan konflik yang terdapat didalam peristiwa. Inilah yang
tidak dijumpai pada jalinan cerita yang hanya menjabarkan kelanjutan cerita. Dari
penjelasan tersebut, terdapat pergantian penyebutan antara alur dan plot. Sudjiman
menyebutkannya sebagai alur, sedangkan Nurgiyantoro menyebutnya sebagai
plot. Nurgiyantoro (2000: 111) menyatakan bahwa alur dan plot pada dasarnya
bermakna sama. Menurut Nurgiyantoro, untuk menyebut plot, secara tradisional,
orang juga sering mempergunakan istilah alur.
Secara umum cerita rekaan terdiri atas peristiwa yang terjadi di bagian
awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Sudjiman (1988: 30) membagi struktur
12
umum alur masing-masing, bagian awal terdiri atas paparan (exposition),
rangsangan (inciting moment), dan tegangan (rising action). Bagian tengah terdiri
atas tikaian (conflict), rumitan (complication), dan klimaks. Adapun bagian akhir
terdiri atas leraian (falling action) dan selesaian (denouement).
Alur dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis yang berbeda
berdasarkan sudut-sudut tinjauan atau kriteria yang berbeda pula. Perbedaan alur
menurut Nurgiyantoro (2000: 153) didasarkan pada tinjauan dan kriteria urutan
waktu, jumlah, dan kepadatan. Dalam kriteria urutan waktu ini terdapat kategori,
yaitu kronologis dan tak kronologis. Kategori kronologis adalah plot lurus, maju,
atau dinamakan progresif. Kategori yang kedua adalah tak kronologis yang
meliputi plot sorot balik, mundur, flash back, atau disebut dengan regresif.
Adapun penggabungan kedua alur tersebut yang dinamakan plot campuran.
2.1.1.3 Tokoh
Istilah tokoh menunjuk pada pelaku cerita. Dengan demikian yang
dimaksud dengan tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau
berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1988: 16). Tokoh
dapat juga disebut dengan orang yang memainkan peran dalam karya sastra.
Dalam kaitan dengan tokoh penokohan adalah proses penampilan tokoh dengan
berbagai watak, sifat, atau kebiasaan tokoh pemeran suatu cerita (Zaidan, 1994:
206). Watak menurut Sudjiman (1986: 80) ialah kualitas tokoh, yaitu kualitas
nalar dan jiwa tokoh sehingga tokoh satu dengan yang lain berbeda. Penyajian
watak tokoh dan penciptaan citra tokoh ini yang disebut penokohan (Sudjiman,
1986: 58). Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para
13
tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi
seseorang tokoh. Penokohan menunjuk pada penetapan tokoh-tokoh tertentu
dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2000: 165).
Dari definisi-definisi tersebut, secara umum dapat dikatakan bahwa dalam
sebuah cerita terdapat tokoh yang berlakuan dan memainkan peran dalam karya
sastra. Tokoh tersebut digambarkan memiliki watak tertentu sehingga masing-
masing tokoh dapat dibedakan kualitasnya. Untuk menyampaikan tokoh beserta
wataknya kepada pembaca, diperlukan adanya penyajian watak yang digambarkan
oleh pengarang. Hal inilah yang dimaksud penokohan.
Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya fiksi dapat dibedakan ke dalam
beberapa jenis penamaan. Nurgiyantoro (2000: 176) membedakan tokoh
berdasarkan tokoh utama dan tokoh tambahan, tokoh protagonis dan tokoh
antagonis, tokoh sederhana dan tokoh bulat, tokoh statis dan tokoh berkembang,
serta tokoh tipikal dan tokoh netral. Pembedaan yang dilakukan oleh Sudjiman
berbeda dengan yang dilakukan oleh Nurgiyantoro. Jika Nurgiyantoro cenderung
sejajar dalam hal pembedaannya, Sudjiman membedakannya dengan tingkatan.
Pembedaan yang dilakukan Sudjiman (1988: 17) berdasarkan tokoh sentral dan
tokoh bawaan serta tokoh datar dan tokoh bulat. Tokoh sentral terdiri dari tokoh
protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh bawaan pun terbagi menjadi dua yaitu
tokoh andalan dan tokoh tambahan.
Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita dapat dibedakan tokoh sentral
(tokoh utama) dan tokoh bawaan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan
penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Tokoh utama merupakan tokoh
yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang
14
dikenai kejadian (Nurgiyantoro, 2000: 176). Tokoh ini merupakan tokoh sentral
dalam cerita. Sudjiman (1988: 61) membagi tokoh sentral menjadi dua, yaitu
protagonis dan antagonis. Pada sebuah cerita, tokoh penentang utama protagonis
disebut antagonis atau tokoh lawan. Protagonis mewakili yang baik dan yang
terpuji karena itu biasanya menarik simpati pembaca, sedang antagonis mewakili
pihak yang jahat atau yang salah (Sudjiman, 1988 19).
Adapun yang dimaksud tokoh bawaan adalah tokoh cerita yang hanya
memegang peran kecil, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang
atau mendukung tokoh utama. Sudjiman membagi tokoh bawahan menjadi dua,
yaitu tokoh andalan dan tokoh bawahan. Tokoh andalan digambarkan sebagai
tokoh yang memberi gambaran lebih terperinci tentang tokoh utama, sedangkan
tokoh bawahan dapat dikatakan tokoh yang tidak memegang peranan di dalam
cerita (Sudjiman, 1988: 20).
Berdasarkan cara menampilkan tokoh di dalam cerita dapat dibedakan
tokoh datar dan tokoh bulat. Tokoh datar bersifat statis, di dalam perkembangan
lakuan, watak tokoh itu sedikit sekali berubah, bahkan ada kalanya tidak berubah
sama sekali (Sudjiman, 1986: 75). Kebalikan dari tokoh datar adalah tokoh bulat.
Jika lebih dari satu ciri segi wataknya yang ditampilkan atau digarap di dalam
cerita sehingga tokoh itu dapat dibedakan dari tokoh-tokoh lain, maka tokoh itu
disebut tokoh bulat, tokoh kompleks (Sudjiman, 1988: 21). Berbagai segi
wakatnya itu tidak ditampilkan sekaligus melainkan berangsur-angsur atau
berganti-ganti. Dengan demikian, tokoh bulat mampu memberikan kejutan karena
tiba-tiba dimunculkan segi wataknya yang tak terduga-duga (Sudjiman, 1988: 75).
15
2.1.2 Pengertian Spiritualisme Kritis
Istilah spiritualisme kritis, sebagai nama, mendapatkan inspirasinya dan
strukturnya dari romantisme kritis dalam jurnal Melintas karya Heatubun
Fabianus. Posmodernisme sering disebut juga sebagai kebangkitan romantisisme
baru. Posmodernisme itu neo-romantisisme, romantisisme yang bermetamorfosa.
Atau lebih baik lagi untuk menamai posmodernisme itu dengan nama
romantisisme kritis (Heatubun, 2007: 82). Mulai tahun 2014 Ayu Utami membuat
serial khusus spiritualisme kritis. Novel ini sifatnya cerita dan bahkan hiburan,
meskipun bukan selalu fiksi, tetapi lebih membicarakan konsep ini dalam tataran
praktis.
Simple Miracles Doa dan Arwah merupakan buku pertama dari seri
spiritualisme kritis. Kendati dalam novel pertamanya “Saman” terdapat kesan
menentang agama, Ayu menyadari bahwa agama lah yang memberi alat untuk
berpikir, termasuk untuk mengkritisi agama itu sendiri. Agama yang dimaksud
ialah agama sebagai intuisi atau organisasi. Lebih lanjut tentang spiritualisme
kritis, Ayu Utami menjelaskan bahwa spirit ialah roh, arwah, suatu yang bukan
material. Dalam menghadari yang immaterial, orang terbagi menjadi dua jenis.
Ada orang yang menggunakan cara-cara immaterial untuk tujuan duniawi. Ada
juga yang memperlakukannya untuk tujuan immaterial hingga akhirnya mencapai
hakikat ketuhanan, buddhisme, dan seterusnya.
Spiritualisme kritis hampir sama dengan rasionalisme kritis. Max Weber
dikenal sebagai tokoh yang merintis istilah rasionalisme kritis. Rasionalitas dalam
rasinalisme kritis sebagai konsep yang diduga secara positivistik terbatas dan
mempertentangkannya dengan klaim-klaim nalar dialektis (Albert, 2014: 10).
16
Problem rasionalisme kritis adalah persoalan umum dalam praktis manusia dan
oleh karena itu tidak terbatas kepada wilayah pengetahuan atau praktek kognitif.
Nalar manusia memiliki kemampuan dalam seluruh wilayah tindakan
memecahkan masalah (Albert, 2014: 15). Dogmatisasi merupakan kekebalan dari
kritik, satu kemungkinan dalam keyakinan keagamaan atau bahkan praktek
kognitif, penting di manapun tempatnya jika orang memecahkan masalah
persoalan dengan cara paling baik yang dimungkinkan. Tetapi pada saat yang
sama, tidak ada alasan untuk meninggalkan rasionalisme kritis, yang sangat terkait
dengan filsafat klasik dan dengan praktek ilmu.
Hans George Gadamer, pelopor pemikiran hermeneutik di Jerman
mengklaim bahwa orang-orang yang menyatakan rasionalisme kritis sebagai suatu
batang tubuh absolute bagi kebenaran, akan dipaksa melihat sudut pandang
hermeneutik sebagai obscurantisme teologis (praktek yang melarang untuk
melakukan pemahaman dan penelitian untuk menentukan kebenaran). Secara
umum keseluruhan orang bisa mengatakan bahwa rasionalisme kritis, di negara-
negara yang berbahasa Jerman tidak dianggap sebagai suatu kontribusi terhadap
filsafat ilmu tetapi juga sebagai pandangan filsafat general yang melanjutkan
enlightenment berlawanan dengan arus filsafat yang dominan dan berbagai jenis
pemikiran teologis (Albert, 2014: 28).
2.1.3 Spiritualisme Kritis dan Sastra
Orang jawa (Javanese) merupakan orang-orang yang mendukung dan
menghayati budaya Jawa yang tersebar di daerah asal kebudayaan Jawa, Jawa
Tengah dan Jawa Timur, di Cirebon Jawa Barat. Semua orang Jawa itu berbudaya
17
satu. Orang Jawa berpikir dan berperasaan seperti moyang mereka di Jawa
Tengah, dengan kota Solo dan Yogya sebagai pusat-pusat kebudayaan, dari
Yogya dan Solo itulah aliran kejawen muncul dan berkembang di seluruh tanah
Jawa. Sosok orang Jawa dengan berbagai karakteristik kehidupan tersebut tak
jarang diangkat dalam karya sastra.
Seperti telah diketahui bahwa sastra merupakan penggambaran kehidupan
yang dituangkan melalui media tulisan. Terdapat hubungan yang erat antara sastra
dan kehidupan karena fungsi sosial sastra adalah bagaimana sastra melibatkan
dirinya ditengah-tengah kehidupan masyarakat (Mulia, 2016: 2). Karya sastra
yang mengangkat kehidupan orang Jawa diperlihatkan dalam novel Simple
Miracles Doa dan Arwah karya Ayu Utami. Novel ini bercerita tentang kehidupan
satu keluarga Jawa yang tinggal di Bogor, namun masih mengamalkan
kepercayaan atau tradisi yang berkaitan dengan mitos di Jawa. Salah satunya
masing memiliki kepercayaan pada hal-hal mistik sesuai karakteritik kehidupan
orang Jawa, yakni percaya terhadap makhluk halus serta hal-hal yang bersifat
takhayul.
Simple Miracles Doa dan Arwah diperlihatkan bahwa makhluk halus yang
dihadirkan merupakan mahkluk halus yang melegenda di Jawa. Melalui novel
Ayu Utami dapat diketahui bahwa karya sastra tidak hanya berkisah tentang hal-
hal yang berkaitan dengan keseharian makhluk hidup yang sifatnya terlihat, tetapi
juga berkisah tentang hal-hal sifatnya tak terlihat yang berhubungan dengan
adanya kepercayaan mengenai hal-hal magis, takhyul, serta bersifat irrasional
yang berkaitan dengan makhluk halus.
18
Ada hal yang menarik dari novel karya Ayu Utami ini, yakni sesuatu yang
memiliki citra sakral, tradisional, serta segala sesuatu yang lebih mengarah
terhadap hal-hal yang berbeda di luar logika manusia (dalam budaya Jawa)
dihadirkan pada era modern seperti saat ini. Fenomena munculnya karya Simple
Miralces Doa dan Arwah ini identik dengan karya sastra realisme magis. Karya
sastra realisme magis adalah karya sastra yang menghadirkan kembali segala citra
dan pengertian yang bersifat magis, mistis, ataupun irrasional yang bersumber dari
cerita mitologi, dongeng, legenda yang hidup secara tradisional yang dihadirkan
dalam sebuah kesusastraan modern diindikasi sebagai karya sastra realisme magis
(Mulia dalam Faris, 2004).
Realisme magis muncul di kesusastraan Indonesia tahun 1990-an, arus
realisme magis sebagai paham kesusastraan global mulai masuk dan
memperlihatkan pengaruhnya pada sejumlah karya sastra Indonesia. Sebelum
karya Ayu Utami ini, sudah ada pengarang lain yang menulis cerita fiksi
bergendre realisme magis, misalnya Eka Kurniawan dan Seni Gumira Ajidarma.
Menurut Mulia (dalam Kompas, edisi 30 November 2003), dalam kesusastraan
Indonesia Seno Gumira Ajidarma dengan cerpenya Misteri Kota Ningi, Eka
Kurniawan dengan novelnya Cantik itu Luka menujukkan pengaruh tersebut
dalam prosa Indonesia. Meskipun tiga pengarang ini hidup di era yang sama,
namun karya Eka Kurniawan dan Seno Gumira Ajidarma berbeda dengan karya
Ayu Utami. Karya Eka dan Seno lebih menitiberatkan mitos-mitos yang berkaitan
dengan legenda pada masa lampau dengan setting pada zaman kolonial dan
sesudah masa kolonial. Sedangakan Ayu Utami menghadirkan cerita yang
19
didominasi mitos (kepercayaan) serta ritual yang semuanya itu berhubungan
dengan makhluk halus dengan setting zaman modern.
Mitos (kepercayaan) serta ritual yang hadir dalam cerita novel Simple
Miracles Doa dan Arwah pun sangat familiar di telinga orang Jawa. Secara tidak
langsung kehadiran novel Simple Miracles Doa dan Arwah selain sebagai bacaan
hiburan juga mempunyai fungsi mengkomunikasikan sesuatu. Misalnya
memperlihatkan eksistensi mitos/ kepercayaan serta tradisi (budaya Jawa) pada
era saat ini. Mulia (2016: 4) menyatakan kehadiran teks sastra atau novel yang
menyuarakan, menghadirkan, dan mempersoalkan kepercayaan hal-hal magis
seperti mitos, pasti memiliki maksud tertentu. Misalnya bertugas mengukuhkan
suatu kepercayaan mengenai mitos tertentu, atau mungkin bertugas merombak,
membebaskan, memodofikasi, bahkan untuk menentangnya. Spiritualisme kritis
mengajarkan bagaimana cara menafsirkan dan mengkritisi pengalaman yang
terkadang sulit dijelaskan dengan nalar dan dibuktikan secara logis.
2.1.4 Bentuk-Bentuk Spiritualisme Kritis
Bahasa berkolerasi dengan spiritualitas dan religiusitas, dalam hal ini
bahasa sesunggunhnya tergantung pada “iman”, yaitu kepercayaan dan
penerimaan, atas konsep-konsep sendiri agar bahasa bisa berfungsi (Prasetya dan
Utami, 2015: 15). Bentuk-bentuk spiritualisme kritis sendiri adalah cara pandang
seseorang dalam melihat sesuatu atau memecahkan persoalan, membangun suatu
pendirian dan kepercayaan atas hal yang diyakini. Albert (2014: 16) membagi
bentuk-bentuk spiritualisme kritis menjadi empat, yaitu: skeptis, dogmatis,
pemikiran analisis, dan epistemologi wahyu. pembagian yang dilakukan oleh
20
Albert berbeda dengan yang dilakukan Utami. Prasetya dan Utami (2015: 15)
membagi bentuk-bentuk spiritualisme kritis mejadi dua, yaitu: skeptis dan
dogmatis. Berdasarkan pendapat Albert dan Utami peneliti memilih pendapat
Albert dalam membagi bentuk-bentuk spiritualisme kritis.
2.1.4.1 Skeptis
Skeptisme berasal dari kata Yunani yaitu skeptomai bermakna saya
pikirkan dengan seksama atau saya lihat dengan teliti (Sudarmita, 2002: 47). Kata
tersebut dimaknai bahwa skeptis merupakan sebuah teori yang didasarkan sikap
keragu-raguan dalam menerima kebenaran. Jadi setiap individu tidak mudah
terpengaruh atau cepat mengambil keputusan yakni menerima kebenaran yang
sudah ada. Kaum Skeptis selalu meragukan setiap klaim pengetahuan, karena
memiliki sikap tidak puas dan masih mencari kebenaran. Sikap tersebut didorong
oleh menyebarnya rasa ketidaksepakatan yang tiada akhir terhadap sebuah isu
fundamental. Jadi, skeptisme sangat erat kaitannya dengan sikap keragu-raguan
terhadap segala sesuatu (Saifulloh, 2013: 216).
Prasetya dan Utami (2015: 15) menjelaskan skeptis adalah sikap
membuang ide tentang kebenaran dan kemungkinan mendekati kebenaran.
Seorang skeptisme yang sejati adalah orang bisu, sebab ia tak mempercayai satu
kata pun. Hanya bisa bicara jika sama-sama percaya bahwa kata “ya” berarti ya
dan “tidak” berarti tidak. Tanpa iman dan kata-kata, tanpa kesetiaan akan
gramatika, tak bisa berbahasa.
Skeptisisme mengajarkan bahwa untuk mendapatkan suatu kebahagiaan
maka seseorang tersebut harus bijaksana. Orang yang bijaksana akan tenang
21
dalam hidupnya sehingga yang bersangkutan tidak mudah mengambil keputusan,
menjauhkan orang tersebut dari sikap kekeliruan dalam kehidupannya. Jadi
seseorang dianjurkan untuk selalu meragukan semua hal, agar terhindar dari
kesalahan sekecil apapun (Sudarmita, 2002: 47). Selain itu, skeptis juga bisa
dianggap sebagai sifat. Kadang, seseorang melakukan sesuatu di luar
kesadarannya. Biasanya, ini dilakukan ketika mendengar cerita-cerita khayal,
urban legend, atau horor. Orang skeptis bisa memberikan argumen-argumen
keberatan terhadap cerita tersebut. Orang skeptis meminta bukti serta
menyodorkan fakta kenapa cerita itu tak mungkin dan lain sebagainya.
Sudarmita (2002: 48) menyatakan:
“Skeptisme adalah pandangan bahwa orang tidak mungkin bisa sampai pada pengetahuan. Di dalam pandangan para pemikir skeptis yang lebih moderat, manusia masih bisa sampai pada pengetahuan namun tidak akan pernah sampai pada kepastian. Dalam pandangan yang lebih radikal, pengetahuan manusia tidak pernah bisa pada argumen yang masuk akal. Dengan kata lain pengetahuan manusia itu irasional. Argumentasi adalah sekumpulan kata-kata kosong untuk membuktikan sesuatu yang memang tidak bisa dibuktikan.”
Sejak zaman klasik hingga sekarang, para skeptis telah mengembangkan
argumen untuk meruntuhkan pendapat para filosuf dogmatis, scientist, dan para
teolog. Pada zaman klasik misalnya, kaum skeptis menetang klaim pengetahuan
Platonisme, Aristotelisme, dan Stoikisme. Di era renaissance, mereka menentang
scholasticism dan calvinism. Setelah era Descrates, skeptisme menyerang
cartesianism. Pada era berikutnya, serangan skeptisme ditunjukkan pada
kantianisme dan hegelianisme. Pada abad pencerahan, skeptisme diartikan
menjadi sebuah sikap ketidakpercayaan khususnya dalam masalah agama, yang
pada gilirannya kaum skeptis disamakan dengan ateis (Saifulloh, 2013: 216).
22
Menurut Saifulloh (2013: 216) skeptisme memiliki beberapa ajaran yang
selalu mengalami perkembangan. Pertama, doktrin untuk meragukan kebenaran
dari setiap pengetahuan. Skeptis sama sekali tidak permanen, sehingga kebenaran
tetap tentang segala sesuatu yang ada di dalamnya tidak bisa ditemukan. Kedua,
tesis bahwa tidak ada sesuatu yang pasti. Tesis ini dikembangkan oleh kaum
skeptis akademik. Menurutnya, informasi terbaik yang bisa diambil hanyalah
sebuah kemungkinan, dan harus dihukumi berdasarkan kemungkinan juga.
Doktrin skeptisme seperti ini juga diperkuat oleh David Hume (1711-1776 M).
David melihat bahwa, asumsi yang pasti, seperti hubungan antara sebab dan
akibat, hukum-hukum alam, eksistensi Tuhan dan jiwa, semuanya berada jauh dari
kepastian. Hal ini disebabkan karena pengetahuan manusia tentang hal-hal di atas
yang kelihatannya mengandung unsur kepastian, ternyata berdasarkan pada
pengamatan dan kebiasaan belaka, yang pada hakekatnya berlawanan dengan
logika. Keterbatasan pengamatan dan kebiasaan manusia itulah yang menjadi
penghalang untuk mencapai sebuah kepastian.
Ajaran skeptis yang ketiga adalah keharusan untuk menjadikan manusia
sebagai ukuran segala sesuatu (man is the measure of all things). Dengan itu,
maka tidak ada lagi pengetahuan yang disepakati secara bersama. Semuanya
hanya pandangan seseorang/ individu saja. Karena yang menilai segala sesuatu
adalah manusia, maka sebenarnya pengetahuan itu tidak ada. Jikapun ada, maka ia
tidak bisa dipaksakan kepada orang lain (Saifulloh, 2013: 217).
Teori yang keempat adalah keharusan untuk selalu menghadirkan diri dari
kegiatan penilaian terhadap sesuatu yang terjadi. Ajaran ini bisa dilacak dari
sekolah Pyrrho (360-272 SM). Pyrrho dan muridnya Timon (315-225 SM)
23
dianggap sebagai bapak skeptisme Yunani. Menurut Pyrrho memberikan penilaian
terhadap sesuatu hanya akan menyebabkan kesedihan dan gangguan mental,
Kaum Pyrrhonis mengaggap bahwa filosuf dogmatis dan akademis tidak benar.
Kelompok yang mengatakan bahwa sesuatu (pengetahuan) itu bisa diketahui,
sedangkan kelompok yang lain berpendapat bahwa tidak ada yang bisa diketahui.
Sebagai alternatif, Pyrrhonis mengajukkan sebuah sikap lain yaitu menafikan
penilaian terhadap keduanya, terkait dengan pertanyaan apakah sesuatu
(pengetahuan) itu bisa diketahui atau tidak (Saifulloh, 2013: 217).
Ajaran skepetisme yang kelima adalah untuk membangun sebuah
pengetahuan, diperlukan sikap ragu yang kuat terhadap segala sesuatu. Teori ini
dikemukakan oleh filosuf Perancis, Rene Descrates (1595-1650 M). Rene
berpendapat bahwa jika manusia selalu meragukan (kebenaran) sesuatu, maka di
saat bersamaan, manusia tersebut akan menemukan sesuatu yang tidak diragukan.
Sikap seperti ini juga digunakan untuk meragukan kebenaran semua keyakinan
yang dengannya akan ditemukan sebuah kebenaran yang pasti (Saifulloh, 2013:
218).
Ajaran yang terakhir adalah pengetahuan obyektif itu tidak pernah ada.
Pandangan ini dikembangkan oleh filosuf Jerman, Friedrich Nietzsche (1844-1900
M). Friedrich melihat bahwa ilmu pengetahuan sebagai aktivitas manusia harus
dijustifikasi berdasarkan pada peranannya untuk kehidupan dan bukan pada
standar benar atau salah. Karena menurut Friedrich standar untuk menilai sebuah
ilmu pengetahuan itu tidak ada. Pandangan seperti ini juga diikuti oleh sebuah
filosuf Perancis, Jean Paul Sartre (1905-1980 M), dan filosuf Amerika, George
Santayana (1863-1952). Menurutnya, semua keyakinan sebagai manifestasi dari
24
pengetahuan obyektif bersifat irrasional. Dari sini terlihat bahwa obyektivitas
sebuah pengetahuan itu telah mati (Saifulloh, 2013: 218). Dengan kata lain,
skeptis bisa berarti meragukan sesuatu. Sifat ini membuat seseorang tidak mau
menerima dengan mudah dan apa adanya. Selalu meragukan sesuatu jika belum
ada bukti yang benar-benar jelas.
2.1.4.2 Dogmatis
Dogma berasal dari bahasa Yunani dogmata yang berarti kepercayaan atau
doktrin yang dipegang oleh sebuah agama atau organisasi untuk bisa lebih
otoritatif. Sedangkan dogmatis suatu yang bersifat otoritatif yang diharapkan
dapat mengikat kalangan tanpa adanya kritik dan penyelidikan atas dasar-dasarnya
(Konrad, 2011: 120). Bukti, analisis, atau fakta mungkin digunakan, mungkin
tidak, tergantung penggunaan. Paham dogmatisme berkembang pada zaman abad
pertengahan.
Dogmatis juga merupakan sikap cenderung membakukan pengetahuan
pada tingkat manapun saat ia diperoleh. Akibatnya secara mendasar menentang
pandangan-pandangan baru. Prasetya dan Utami (2015: 18) menganggap dogmatis
lebih suka pada hukum ketimbang inspirasi ataupun riset. Dogmatisme sudah ada
di dunia ide, tinggal diterapkan. Dalam dogmatisme maka bukan dipergulatkan
dalam kenyataan dan pengalaman manusia.
Semboyan yang dipakai pada masa ini adalah ‘ancilla theologia’ (abdi
agama), sehingga semua aktifitas ilmiah selalu berkaitan dengan aktifitas agama.
Paham ini menerima kebenaran-kebenaran asasi agama dan dasar ilmu
pengetahuan begitu saja, tanpa mempertanggung jawabkannya secara kritis. Sifat
25
dogmatis dalam agama menimbulkan jika, pernyataan dalam suatu agama selalu
dihampiri oleh keyakinan tertentu, sehingga menganggap bahwa pernyataan (ayat)
yang ada di dalam kitab suci mengandung nilai kebenaran yang sesuai dengan
keyakinan yang digunakan untuk memahaminya. Kandungan dari ayat kitab suci
ini tidak dapat di ubah dan sifatnya absolut. Namun implikasi dari makna kitab
suci tersebut dapat berkembang secara dinamis sesuai dengan perkembangan
waktu. Pada abad-abad ini Plato dan Aristoteles masih berpengaruh dan berperan
penting terutama melalui Augustinus dan Thomas Aquinas (Konrad, 2011: 120).
Selain itu, dogma dalam Ensiklopedi Encarta didefinisikan sebagai
rumusan pertanyataan doktrin agama yang memiliki otoritas untuk disebarkan,
bukan untuk didiskusikan dan untuk diyakini. Perumusan dogma harus memenuhi
dua syarat. Pertama, dogma harus bersumber pada wahyu. Kedua, dogma harus
disebarkan oleh otoritas keagamaan (Asrohah, 2014: 84). Nalar dogmatis bersifat
tertutup karena membatasi kemungkinan munculnya pendapat lain. Jika dogma
untuk disebarkan, dipropagandakan dan tidak untuk didiskusikan, paradigma
berpikir dogmatis tidak menghendaki adanya perbedaan. Karena menutup adanya
perbedaan, nalar dogmatis bercorak normatif. Dogmatis tidak berusaha
menetapkan kebenaran-kebenaran, tetapi mengajukan argumenn-argumen untuk
mematahkan pendapat lain dan mencegah kontroversi.
Nalar dogmatis merupakan pola berpikir sempit yang menghasilkan
pemahaman baku dan dianggap sakral. Hasil gagasannya seolah-olah tidak dapat
diganggu gugat kebenarannya. Akibatnya, individu merasa terpasung dan tidak
diberi kesempatan mengembangkan potensi dan kreativitas. Ketika kreativitas
dibunuh, yang menjelma adalah individu-individu yang dungu bagaikan robot
26
yang bergerak secara otomatis sesuai dengan kehendak kekuatan di luar dirinya.
Individu tidak memiliki kebebasan untuk menentukan kemauan dirinya dan
tumbuh menjadi individu yang deteministik. Dalam pandangan nalar dogmatis,
individu adalah bawaan sistem sosial yang besar (Asrohah, 2014: 84).
Tjahyadi (2013: 47) menyatakan:
“Dogmatisme memberikan pandangan kebenaran berdasarkan wahyu dan dogma. Sebagai makhluk pencari kebenaran, manusia mencari dan menemukan kebenaran berdasarkan teks suci. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar jika sesuai dan koheren dengan wahyu yang terdapat dalam teks-teks suci. Menurut faham ini kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu.” Tjahyadi (2013: 47) juga berpendapat:
“Pandangan dogmatisme, kebenaran diterima begitu saja sebagai kebenaran yang asasi dan dasar ilmu pengetahuan. Dogmatisme menganggap pengenalan obyektif sebagai hal yang sudah dengan sendirinya dan mendasarkan atas ketentuan-ketentuan apriori atau pengertian-pengertian yang telah ada tentang Tuhan, substansi tanpa bertanya apakah rasio memahami hakikatnya sendiri, yakni luas dan batas-batas kemampuannya.”
Jadi dapat disimpulkan dogmatis adalah sikap tertutup, konsisten dalam
mempercayai sesuatu. Ilmu pengetahuan selalu berkaitan dengan ilmu agama.
Sehingga sikap ini mengajarkan penganutnya untuk mudah percaya ilmu
pengetahuan dan agama begitu saja. Ajaran yang bersumber dari agama selalu
berkorelasi dengan keyakinan-keyakinan tertentu, sehingga selalu di anggap
sebagai kebenaran mutlak.
2.1.4.3 Pemikiran Analisis
Secara etimologis, kata analisis yang dalam Bahasa Inggris analysis
berasal dari leksem bahasa Yunani analyein (gabungan morfem ana- dan lyein)
yang berarti melonggarkan atau memisahkan (memisahkan keseluruhan menjadi