10 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Beberapa penelitian terdahulu yang dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini, adalah : Penelitian yang dilakukan oleh Siswanto (2011), dalam Jurnal Ilmiah Pariwisata yang berjudul “Strategi Pengembangan Ecotourism Taman Nasional Baluran di Kabupaten Situbondo”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Taman Nasional Baluran di Kabupaten Situbondo memiliki potensi wisata yang unik dan menarik, berupa: potensi sumber daya alam hayati (SDAH), keindahan alam sekitar, jenis-jenis hutan, keanekaragaman flora, satwa khas Baluran serta tipe ekosistemnya. Dilihat dari potensi yang dimiliki Taman Nasional Baluran, maka sangat layak untuk dikembangkan sebagai daya tarik ecotourism yang merupakan jenis pariwisata ramah lingkungan dan memberikan dampak positif terhadap pemberdayaan masyarakat lokal. Sejauh ini, peran serta masyarakat lokal dalam pengembangan ecotourism Taman Nasional Baluran masih belum optimal, karena selama ini masyarakat tidak dilibatkan dalam pengembangan kepariwisataan tersebut. Untuk mensukseskan program pengembangan ecotourism, maka sangat perlu adanya pelibatan dan peran serta masyarakat lokal dalam pengembangannya.
47
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … II.pdf · pengembangan ekowisata yang berbasis masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Adikampana (2012), dalam Jurnal Analisis
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL
PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Beberapa penelitian terdahulu yang dijadikan sebagai acuan dalam
penelitian ini, adalah :
Penelitian yang dilakukan oleh Siswanto (2011), dalam Jurnal Ilmiah
Pariwisata yang berjudul “Strategi Pengembangan Ecotourism Taman Nasional
Baluran di Kabupaten Situbondo”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Taman
Nasional Baluran di Kabupaten Situbondo memiliki potensi wisata yang unik dan
menarik, berupa: potensi sumber daya alam hayati (SDAH), keindahan alam
sekitar, jenis-jenis hutan, keanekaragaman flora, satwa khas Baluran serta tipe
ekosistemnya. Dilihat dari potensi yang dimiliki Taman Nasional Baluran, maka
sangat layak untuk dikembangkan sebagai daya tarik ecotourism yang merupakan
jenis pariwisata ramah lingkungan dan memberikan dampak positif terhadap
pemberdayaan masyarakat lokal. Sejauh ini, peran serta masyarakat lokal dalam
pengembangan ecotourism Taman Nasional Baluran masih belum optimal, karena
selama ini masyarakat tidak dilibatkan dalam pengembangan kepariwisataan
tersebut. Untuk mensukseskan program pengembangan ecotourism, maka sangat
perlu adanya pelibatan dan peran serta masyarakat lokal dalam
pengembangannya.
11
Strategi umum yang diimplementasikan dalam pengembangan ecotourism
Taman Nasional Baluran adalah strategi konservasi via integratif vertikal, yaitu
mengintegrasikan aktivitas hulu dan aktivitas hilir. Aktivitas hulu terkait dengan
segala sesuatu yang diperlukan untuk memudahkan wisatawan dalam
mengunjungi ecotourism Taman Nasional Baluran yaitu, penyediaan prasarana
dan sarana pariwisata. Adapula strategi alternatif pengembangan ecotourism
Taman Nasional Baluran, meliputi: pengembangan produk ecotourism,
peningkatan keamanan pengembangan ecotourism, pengembangan prasarana dan
sarana pokok maupun sarana penunjang pariwisata, serta pengembangan
kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM) pariwisata terhadap
pengembangan ecotourism Taman Nasional Baluran di Kabupaten Situbondo.
Relevansi penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Siswanto,
adalah mengkaji tentang strategi pengembangan ekowisata, dan alat yang
digunakan untuk menyusun faktor-faktor strategis adalah menggunakan matrik
SWOT, yakni bersifat mengeksplorasi atau menggali dan merumuskan kebijakan
dan program-program berdasarkan kondisi internal berupa kekuatan (strengths)
dan kelemahan (weaknesses) yang dimiliki serta kondisi eksternal, berupa peluang
(opportunities) dan ancaman (threats). Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan
penelitian terdahulu, adalah pada penguraian tahapan analisis internal dan
eksternal lebih menggunakan value atau nilai pembobotan dan pemeringkatan
terhadap faktor-faktor tersebut oleh para responden, sementara penelitian ini
penguraian strategi SWOT menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Dalam hal
ini, jenis data yang digunakan oleh Siswanto merupakan gabungan antara
12
kualitatif dan kuantitatif, yakni lebih banyak menggunakan tabel dalam
penjelasannya. Perbedaan lainnya terdapat pada kajian penelitian, dalam
penelitian terdahulu mengkaji pengembangan ekowisata secara keseluruhan
terkait dengan prinsip-prinsip ekowisata yang mampu memberikan manfaat
ekonomi menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat, memajukan kebudayaan
masyarakat, pelestarian alam, lingkungan sumber daya lainnya, serta mengacu
pada keberlanjutan ekologis, sedangkan dalam penelitian ini menspesifikasikan
pengembangan ekowisata yang berbasis masyarakat.
Penelitian yang dilakukan oleh Adikampana (2012), dalam Jurnal Analisis
Pariwisata yang berjudul “Desa Wisata Berbasis Masyarakat Sebagai Model
Pemberdayaan Masyarakat di Desa Pinge”. Dalam penelitian ini, mengemukakan
tentang produk Desa Wisata Pinge yang dilihat dari atraksi wisata dan amenitas
atau fasilitas wisata yang terdapat di Desa Pinge. Desa Wisata Pinge memiliki
potensi alam dengan hawa yang sejuk dan memiliki letak yang strategi dekat
dengan berbagai destinasi wisata lainnya di Bali. Desa Pinge juga memiliki
potensi alam pedesaan dengan bangunan tradisional Bali dan merupakan salah
satu daya tarik wisata yang memiliki panorama yang indah. Dilihat dari tata letak
desa yang teratur memanjang dan dibelah oleh satu jalan besar dengan arsitektur
yang rapih dan sejajar, Desa Wisata Pinge menyimpan pula potensi budaya
terutama potensi arkeologi di sebuah pura yaitu Pura Natar Jemeng. Beberapa
kegiatan wisata yang bisa dilakukan oleh wisatawan di Desa Wisata Pinge, adalah
hiking, tacking, cycling dan car touring. Terdapat beberapa amenitas atau fasilitas
wisata di Desa Wisata Pinge, berupa akomodasi (home stay), coffee break, toilet,
13
arena pementasan kesenian, dan souvenir shop. Ketersediaan fasilitas tersebut
cukup mendukung kepariwisataan Desa Pinge.
Dalam penelitian ini, menjelaskan permasalahan yang diteliti tentang
model pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan produk Desa Wisata
Pinge yang dianggap sangat penting dalam kerangka pengembangan
kepariwisataan. Untuk memfasilitasi keterlibatan dan optimalisasi manfaat Desa
Wisata Pinge bagi masyarakat lokal, maka model yang dirumuskan dalam
pengembangan Desa Wisata Pinge diarahkan pada: (1) penguatan kapasitas dan
peran masyarakat Desa Pinge untuk turut serta aktif dalam kegiatan dan proses
pembangunan desa wisata, berupa kapasitas institusi masyarakat dan pelibatan
masyarakat dalam proses pengembangan yang dimulai dari perencanaan,
implementasi dan monitoring atau evaluasi. (2) penguatan akses dan kesempatan
berusaha bagi masyarakat Desa Pinge untuk meningkatkan manfaat ekonomi desa
wisata, berupa peningkatan suplai terhadap fasilitas penunjang pariwisata,
menyediakan pemasukan tambahan bagi penyedia barang dan jasa layanan
pariwisata, meningkatkan permintaan pasar terhadap produk lokal, menggunakan
tenaga kerja asli dan tenaga ahli lokal, membuka sumber dana bagi usaha
perlindungan atau konservasi sumber daya alam dan budaya, serta menumbuhkan
kesadaran masyarakat lokal terhadap nilai-nilai lokalitas budaya dan keunikan
alam.
Relevansi penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh
Adikampana, adalah adanya harapan dalam pengembangan berbagai produk
wisata yang tentu melibatkan masyarakat lokal untuk berpastisipasi penuh dalam
14
proses perencanaan, pengembangan dan pengelolaan suatu kegiatan pariwisata.
Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan manfaat positif terhadap
perekonomian masyarakat lokal menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat
dan memajukan kebudayaan masyarakat. Terdapat persamaan lainnya, yakni
awalnya menjelaskan tentang komponen produk wisata yang tersedia di lokasi
penelitian. Adapula perbedaan ini dengan penelitian terdahulu, adalah dalam
penelitian terdahulu tidak menggunakan konsep ekowisata sebagai patokan dalam
pembahasannya, namun lebih spontanitas menjelaskan tentang pemberdayaan
masyarakat lokal, yakni meneliti tentang desa wisata berbasis ekowisata,
sedangkan penelitian ini meneliti tentang ekowisata berbasis masyarakat.
Penelitian dilakukan oleh Soedigdo dan Priono (2013), dalam Jurnal
Perspektif Arsitektur yang berjudul “Peran Ekowisata dalam Konsep
Pengembangan Pariwisata Berbasis Masyarakat Pada Taman Wisata Alam (TWA)
Bukit Tangkiling Kalimantan Tengah”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi produk ekowisata yang terdapat di TWA Bukit Tangkiling dan
mempelajari karakter produk dan pasar ekowisata yang berbasis masyarakat yang
dapat digunakan untuk mengembangkan community based ecotourism di
Kecamatan Bukit Batu dan mengetahui sejauh mana ekowisata berpengaruh
dalam pemberdayaan masyarakat Kecamatan Bukit Batu.
Adapun fenomena yang terjadi dalam Pengembangan Pariwisata Berbasis
Mayarakat di TWA Bukit Tangkiling diantaranya, adalah: (1) masyarakat belum
terlibat secara maksimal dalam penyediaan jasa layanan bagi wisatawan, seperti
pengelolaan jasa akomodasi, transportasi dan penjualan produk lokal. (2) tingkat
15
komitmen dan kepedulian wisatawan domestik yang mengunjungi TWA Bukit
Tangkiling tidak kuat, apresiatif dan terbuka terhadap isu-isu yang terkait dengan
alam, lingkungan dan kesehatan. (3) masyarakat masih terbatas dalam
mengembangkan potensi yang dimiliki terkait dengan keterbatasan akses
masyarakat dalam mengembangkan sumber daya yang dimiliki.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk ekowisata Bukit Tangkiling
secara keseluruhan termasuk dalam spektrum Intermediate Ecotourism. Spektrum
ini merupakan dimensi yang ramah terhadap pemberdayaan masyarakat, banyak
masyarakat yang terlibat dalam penyediaan jasa layanan bagi wisatawan, seperti
pengelolaan jasa transportasi (perahu, sampan dan kapal). Pasar (wisatawan)
ekowisata Bukit Tangkiling, khususnya wisatawan domestik, merupakan kalangan
Eco–Generalist dengan karakteristik segmen pasar Modern Idealist. Segmen pasar
modern idealist merupakan segmen pasar yang relatif peduli terhadap
perlindungan alam dalam skala yang terbatas dan memiliki toleransi terhadap
keterlibatan masyarakat lokal. Dari hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa
ekowisata dalam pemberdayaan masyarakat Desa Bukit Tangkiling berperan
hanya secara pasif.
Relevansi penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Soedigdo
dan Priono adalah mengkaji tentang ekowisata dengan menggunakan analisis
deskriptif kualitatif. Selanjutnya pada kajian penelitian, yakni secara bersamaan
mengkaji tentang ekowisata berbasis masyarakat, karena dilihat dari fenomena
yang terjadi bahwa dalam pengembangan pariwisata dalam penelitian ini dan
penelitian terdahulu belum melibatkan masyarakat dalam pengembangan dan
16
pengelolaannya. Adapun perbedaan penelitian ini terdapat pada sistematika
pembahasan, dimana pembahasan yang dipaparkan secara keseluruhan
menggunakan tabel, sedangkan dalam penelitian ini mendeskripsikan dan
menguraikan secara rinci terkait dengan permasalahan yang diteliti.
Penelitian yang dilakukan oleh Suryawan (2013), dalam Jurnal Analisis
Pariwisata yang berjudul “Pengelolaan Potensi Ekowisata di Desa Cau Belayu
Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan”. Dalam penelitian ini, mengemukakan
tentang potensi dan kendala yang dihadapi masyarakat dalam pengelolaan potensi
ekowisata di Desa Adat Cau Belayu, diantaranya: potensi fisik (adanya tebing,
aliran sungai dan pola perkampungan), potensi budaya (lokasi kegiatan upacara
keagamaan, keberadaan Pura Titi Gantung dan Pura Duku Sulandri, serta potensi
ekologis (tumbuhan liar dan jalur pelintasan monyet dari Hutan Sangeh). Kendala
pengembangan potensi ekowisata yang dihadapi, yaitu kendala fisik, berupa
kemungkinan longsor, kondisi jalan yang buruk, kondisi topografi pada daerah
pinggir sungai dan kekeringan. Kendala SDM yang ada, berupa kurangya
kompetensi dari masyarakat, tidak ada struktur organisasi dan waktu pelayanan
wisata yang kurang dimiliki masyarakat. Kendala kebijakan yang terdiri atas
kebijakan kawasan konservasi, kebijakan fungsi kawasan, kebijakan regulasi
kelembagaan. Kendala motivasi berupa keinginan masyarakat untuk
mengoptimalkan lahan pertanian untuk kegiatan wisata. Kendala adat istiadat
berupa pengambilan keputusan melalui paruman seluruh krama dan tidak adanya
reward terhadap pengelolaan aset desa.
17
Dilihat dari kondisi Desa Adat Cau Belayu pada kondisi eksisting, belum
ada mekanisme pengelolaan potensi ekowisata yang dilakukan baik oleh desa
dinas maupun oleh desa adat. Hingga kini, aparat Desa Adat Cau Belayu dan Desa
Dinas Cau Belayu belum mengupayakan penyusunan rencana pengelolaan potensi
ekowisata. Realisasi kegiatan hanya pada penyusunan program penanganan tebing
pada daerah pinggiran Sungai Penet. Sedangkan pada tingkat masyarakat, isu dan
aspirasi terkait dengan pemanfaatan daerah tebing untuk pembangunan akomodasi
wisata, mengintegrasikan kegiatan wisata dan penegasan pemanfaatan daerah
untuk kegiatan wisata.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Strategi SO: Merumuskan biaya
dasar kegiatan wisata termasuk penuangan nilai partisipasi pemilik lahan,
pemanfaatan SDM lokal sebagai tour guide dan posisi lain dalam rencana
kegiatan wisata yang akan dilakukan, pengikutsertaan masyarakat dalam
pelayanan wisata sebagai bentuk partisipasi dan pemberdayaan masyarakat,
penyusunan rencana promosi dan pemberitaan mengenai produk ekowisata yang
ada di Desa Adat Cau Belayu kepada semua pihak/ target market yang akan
disasar di Desa Adat Cau Belayu. Strategi WO: Pembentukan lembaga pengelola
potensi ekowisata yang sah, penyusunan sistem perekrutan pekerja wisata pada
periode tertentu sehingga dapat ditentukan pekerja yang bertugas/ siaga untuk
melayani wisatawan yang datang, peningkatan penggunaan media promosi yang
bersifat global, berupa internet dan telepon oleh pelaku pemasaran terhadap
produk ekowisata di Desa Adat Cau Belayu, penyediaan papan informasi sebagai
18
papan penunjuk arah sekaligus sebagai media promosi kegiatan wisata yang
ditawarkan.
Strategi ST: Pemanfaatan fasilitas yang ada di permukiman penduduk
untuk melayani kebutuhan wisatawan baik untuk tempat makan siang, beristirahat
sejenak, lokasi daya tarik wisata atau kegiatan lain, penyusunan program
pengurangan pemanfaatan tenaga kerja luar secara bertahap sejalan dengan
jalannya kegiatan wisata yang ada, pelatihan dan pengembangan kesepahaman
terhadap potensi dan materi guiding yang akan diberikan kepada wisatawan agar
tidak menyimpang, optimalisasi pelibatan masyarakat dalam pelayanan wisata
utamanya pada tempat dan waktu tertentu yang berpotensi kerawanan bahaya/
bencana. Strategi WT: dibutuhkan pembangunan jaringan kerjasama dengan
pelaku usaha wisata, perbaikan sejumlah fasilitas utamanya jalur wisata yang
rusak atau kurang layak agar dapat dimanfaatkan dengan baik, memberikan
kesempatan tenaga kerja dibidang wisata dari luar (yang dibawa oleh tour
operator) pada tahap awal sekaligus memberikan kesempatan praktek kerja
lapangan bagi tenaga kerja wisata lokal yang sedang berlatih.
Relevansi penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryawan,
adalah pada analisis data yang digunakan menggunakan analisis matrik SWOT.
Kedua penelitian ini mengidentifikasi terlebih dahulu potensi ekowisata yang ada,
selanjutnya menjabarkan kondisi lingkungan internal dan eksternal lokasi
penelitian serta merancang dan merumuskan suatu strategi yang tepat dalam
pengembangan dan pengelolaan daya tarik ekowisata.
19
Terdapat perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, adalah
pada sistematika penggunaan analisis data, dimana untuk menyusun strategi
pengelolaan ekowisata menetapkan formulasi strategi yang terdiri dari 4 (empat)
tahap pengerjaan, yaitu setelah mengidentifikasi faktor internal dan eksternal,
tahapan selanjutnya menganalisis EFAS dan IFAS untuk mengetahui posisi usaha
dan kesesuaian strategi fungsional, serta analisis SWOT dengan menggunakan
matrik SWOT yang akan menghasilkan alternatif strategi induk dan menggunakan
analisis QSPM untuk merumuskan stategi prioritas. Instrumen penelitian lainnya
yang digunakan penelitian terdahulu, yaitu tabel Attractive Score yang berfungsi
untuk memberikan tingkat ketertarikan strategi pengelolaan dalam proses analisis
QSPM. Dalam artian, penelitian terdahulu lebih menggunakan nilai atau hitungan
sebagai patokan perumusan strategi, sedangkan pada penelitian ini lebih
menganalisis dan menguraikan dengan kata-kata. Terdapat perbedaan lainnya
antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian terdahulu
membahas tentang strategi pengelolaan ekowisata sedangkan pada penelitian ini
baru dimulai dari tahapan strategi untuk mengembangkan suatu daya tarik wisata
berbasis ekowisata.
Penelitian yang dilakukan oleh Dos Santos Guterres (2014), dalam Jurnal
Master Pariwisata yang berjudul “Pengembangan Daya Tarik Wisata Berbasis
Masyarakat di Pantai Vatuvou, Distrik Liquisa, Timor Leste”. Dalam penelitian
ini menjelaskan bahwa Desa Vatuvou memiliki potensi alam yang beragam,
berupa pantai yang indah dengan hamparan pasir yang bersih dan halus, ombak
yang bagus untuk para peselancar dan dapat menyaksikan pesona tenggelamnya
20
matahari (sunset) pada sore hari serta keindahan dan kekayaan alam bawah laut
berupa terumbu karang yang masih lestari. Terdapat pula potensi sosial budaya
yang menarik minat wisatawan, diantaranya keramahtamahan masyarakat Desa
Vatuvou, industri kerajinan, kesenian rakyat, seperti tari-tarian (tebe-tebe, bidu,
dahur), serta upacara dan ritual adat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Desa Vatuvou turut
berpartisipasi dalam pengembangan Pantai Vatuvou yang dimulai dari tahap
perencanaan, pengembangan, dan tahap evaluasi kegiatan yang telah
dilaksanakan. Pada saat memulai perencanaan di daya tarik wisata Vatuvou,
masyarakat dilibatkan dalam penyusunan rencana tahap awal melalui musyawarah
pastisipatif untuk merencanakan dan mengatasi masalah-masalah yang akan
dirasakan oleh masyarakat dengan memanfaatkan potensi yang ada. Adapun
partisipasi masyarakat dalam pengembangan Pantai Vatuvou, dimana dalam
pengembangan ini masyarakat lokal sebagai pemilik dan pengelolanya.
Masyarakat bekerjasama dengan LSM Haburas Foundation dalam menyediakan
sarana akomodasi, toilet umum, parkir, membangun akses jalan menuju ke daya
tarik wisata Pantai Vatuvou, menjaga keamanan, kebersihan serta menunjukkan
sikap keramahtamahan terhadap wisatawan yang berkunjung ke daerah tujuan
wisata Pantai Vatuvou. Selanjutnya adalah partisipasi masyarakat dalam tahap
evaluasi kegiatan pariwisata yang diadakan setiap akhir tahun bersama pihak
Haburas Foundation yang bertujuan untuk membahas tentang hasil yang telah
dicapai, serta kendala yang dihadapi terhadap kegiatan yang telah dilaksanakan
21
oleh masyarakat pengelola wisata Pantai Vatuvou, serta merencanakan kegiatan
yang akan datang.
Relevansi penelitian ini dengan penelitian terdahulu, adalah menganalisis
peran serta atau partisipasi masyarakat dalam pengembangan pariwisata. Pada
point pembahasan mengkaji dan menganalisis komponen produk wisata yang
tersedia di lokasi penelitian. Persamaan lainnya terdapat pada teknik analisis data,
yakni menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan analisis SWOT yang awalnya
mendeskripsikan dan menganalisis kondisi lingkungan internal dan eksternal
lokasi penelitian serta merumuskannya dalam bentuk SWOT. Adapun perbedaan
penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah dalam pengembangan Pantai
Vatuvou masyarakat telah turut berpastisipasi mulai dari tahap perencanaan,
pengembangan dan tahap evaluasi, sedangkan dalam penelitian ini baru
menganalisis bagaimana partisipasi masyarakal lokal dalam pengembangan DTW
Air Terjun Oehala yang dilihat dari fenomena yang terjadi bahwa saat ini
Pemerintah Kabupaten TTS yang berpartisipasi secara umum dalam
pengembangan pariwisata Air Terjun Oehala.
2.2 Konsep Penelitian
2.2.1 Konsep Strategi Pengembangan Pariwisata
Strategi merupakan suatu proses penentuan nilai pilihan dan pembuatan
keputusan dalam pemanfaatan sumber daya yang menimbulkan suatu komitmen
bagi organisasi yang bersangkutan kepada tindakan-tindakan yang mengarah pada
masa depan (Marpaung, 2000:52).
22
Menurut Hatten (1998) dalam Salusu (1998:7), menyatakan konsep
strategi selalu memberikan perhatian serius terhadap perumusan tujuan dan
sasaran organisasi. Sedangkan, Amirullah (2004:4) juga menyatakan bahwa
strategi sebagai suatu rencana dasar yang luas dari suatu tindakan organisasi untuk
mencapai suatu tujuan. Rencana dalam mencapai tujuan tersebut sesuai dengan
lingkungan internal dan eksternal perusahaan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2005:538),
mendefinisikan pengembangan sebagai suatu proses, cara, perbuatan
mengembangkan sesuatu menjadi lebih baik, maju sempurna dan berguna,
sehingga pengembangan merupakan suatu proses/ aktivitas memajukan sesuatu
yang dianggap perlu untuk ditata sedemikian rupa dengan meremajakan atau
memelihara yang sudah berkembang agar menjadi menarik dan lebih berkembang.
Menurut Suwantoro (2002:88-89), pengembangan adalah memajukan dan
memperbaiki atau meningkatkan sesuatu yang sudah ada. Lebih lanjut, Suwantoro
memaparkan mengenai prinsip-prinsip pengembangan pariwisata berkelanjutan,
yaitu :
1) Harus dibantu oleh proses perencanaan dan partisipasi masyarakat.
2) Harus ada kepastian, keseimbangan, adanya sasaran ekonomi, sosial
budaya dan masyarakat.
3) Hubungan antara pariwisata, lingkungan dan budaya harus dikelola
sedemikian rupa sehingga lingkungan lestari untuk jangka panjang.
23
4) Aktivitas pariwisata tidak boleh merusak dan menghasilkan dampak yang
tidak dapat diterima oleh masyarakat.
5) Pengembangan pariwisata tidak boleh tumbuh terlalu cepat dan berskala
kecil atau sedang.
6) Pada lokasi harus ada keharmonisan antara hubungan wisatawan, tempat
dan masyarakat setempat.
7) Keberhasilan pada setiap aktivitas tergantung pada keharmonisan antara
pemerintah, masyarakat setempat dan industri pariwisata.
8) Pendidikan yang mengarah pada sosio-cultural pada setiap tingkatan
masyarakat yang berkaitan dengan aktivitas pariwisata, termasuk juga
perilaku wisatawan harus serius diorganisasikan.
9) Peraturan perundang-undangan yang secara pasti melindungi budaya harus
dikeluarkan dan dilaksanakan sekaligus merevitalisasinya.
10) Investor dan wisatawan harus dididik untuk menghormati kebiasaan,
norma dan nilai tempat. Sedangkan hal-hal yang menimbulkan dampak
negatif dihindarkan dan dampak positifnya dimanfaatkan.
Yoeti (1997:104), memaparkan pengembangan pariwisata pada suatu
daerah memiliki tiga tujuan utama, yaitu :
24
1) Pengembangan perekonomian daerah, yakni pengembangan
kepariwisataan pada suatu daerah tujuan wisata selalu akan diperhitungkan
dengan keuntungan dan manfaat bagi masyarakat banyak.
2) Pengembangan pariwisata juga bersifat non ekonomis, yakni dengan
majunya pembangunan dan pengembangan pariwisata di suatu daerah
tujuan wisata, hasrat dan keinginan masyarakat setempat untuk
memelihara semua aset wisata yang ada di daerah itu semakin meningkat,
sehingga suasana yang nyaman, bersih dan indah serta lingkungan yang
terpelihara akan memberikan kesenangan dan kepuasan bagi wisatawam
yang mengunjungi daerah itu.
3) Pengembangan pariwisata pada suatu daerah tujuan wisata juga untuk
meningkatkan penerimaan suatu negara, mendorong pembangunan daerah,
mengenal sikap dan budaya orang lain (wisatawan) sehingga terjalin
interaksi antara masyarakat dengan para wisatawan, juga terpadunya
antara pemerintah, badan usaha dan masyarakat dalam mengelola potensi
pariwisata.
Menilik beberapa konsep tersebut, yang dimaksud dengan strategi
pengembangan pariwisata dalam penelitian ini adalah suatu kesatuan rencana atau
upaya yang bersifat komprehensif dan terpadu untuk memajukan, memperbaiki
dan meningkatkan kondisi kepariwisataan pada suatu daya tarik wisata. Proses ini
diawali dengan perencanaan yang matang dan bersifat holistik dengan
memperhatikan berbagai potensi dan kondisi riil setempat sehingga dapat
25
memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah dalam mengembangkan
potensi wisata yang ada di Air Terjun Oehala sehingga menjadi suatu daya tarik
wisata yang berbasis ekowisata.
2.2.2 Konsep Potensi Wisata
Potensi adalah suatu aset yang dimiliki suatu daerah tujuan wisata atau
aspek wisata yang dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi dengan tidak
mengesampingkan aspek sosial budaya. Dengan demikian potensi wisata secara
umum dapat dibagi menjadi dua, yakni :
1) Site Attraction, adalah suatu tempat yang dijadikan objek wisata seperti
tempat-tempat tertentu yang menarik dan keadaan alam.
2) Event Attraction, adalah suatu kejadian yang menarik untuk dijadikan
moment kepariwisataan seperti pameran, pesta kesenian, upacara
keagamaan, konvensi dan lain-lain (Yoeti, 1998).
Menurut Pendit (1994:63), potensi wisata merupakan segala sesuatu yang
terdapat di Daerah Tujuan Wisata atau istilah dalam bahasa Inggrisnya disebut
“Tourism Resort”. Daerah tujuan wisata (Tourism Resort) adalah daerah atau
tempat yang karena atraksinya, situasinya dalam hubungan lalu lintas dan fasilitas
kepariwisataan menyebabkan tempat atau daerah tersebut menjadi objek
kunjungan wisatawan.
26
Secara umum potensi wisata yang ada dapat dijabarkan, sebagai berikut :
1) Potensi alamiah merupakan potensi yang ada di masyarakat, seperti
potensi fisik dan geografis, seperti potensi alam.
2) Potensi budaya merupakan potensi yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat, yakni kehidupan sosial budaya masyarakat, kesenian, adat
istiadat, mata pencaharian dan lainnya.
2.2.3 Konsep Daya Tarik Wisata
Kegiatan wisata di sebuah wilayah tidak lengkap tanpa adanya daya tarik
wisata atau tourist attraction. Daya tarik wisata merupakan fokus utama
pergerakan pariwisata di sebuah destinasi. Dalam artian, daya tarik wisata sebagai
penggerak utama yang memotivasi wisatawan untuk mengunjungi suatu tempat,
serta daya tarik wisata juga menjadi fokus orientasi bagi pembangunan wisata
terpadu (Ismayanti, 2010:147).
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009
tentang Kepariwisataan pada pasal 1 ayat 5 menyatakan bahwa :
Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan
nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan
manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Oleh karena itu,
daya tarik wisata harus dikelola sedemikian rupa agar keberlangsungan dan
kesinambungannya terjamin.
27
Suatu daya tarik wisata pada prinsipnya harus memenuhi tiga syarat,
adalah sebagai berikut :
1) Something to see (ada yang dilihat)
Di tempat tersebut harus ada objek dan daya tarik wisata yang berbeda
dengan yang dimiliki daerah lain. Dengan kata lain, daerah tersebut harus
memiliki daya tarik khusus dan atraksi budaya yang dapat dijadikan
“entertainment” bagi wisatawan. What to see meliputi pemandangan alam,
kegiatan, kesenian dan atraksi wisata.
2) Something to do (ada yang dikerjakan)
Di tempat selain banyak yang dapat dilihat dan disaksikan, harus
disediakan fasilitas rekreasi yang dapat membuat wisatawan betah tinggal
lama di tempat itu.
3) Something to buy (ada yang dibeli/ souvenir)
Tempat tujuan wisata harus tersedia fasilitas untuk berbelanja terutama
barang souvenir dan kerajinan rakyat sebagai oleh-oleh untuk dibawa
pulang ke tempat asal (Bagyono, 2014:23).
Adapun daya tarik wisata yang merupakan sasaran perjalanan wisata,
adalah sebagai berikut :
1) Daya tarik wisata alam atas ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang berwujud
keadaan alam serta flora dan fauna, seperti: pemandangan alam, iklim,
cuaca, gunung, pantai, bukit, hutan rimba dengan tumbuhan hutan tropis,
serta binatang-binatang langka.
28
2) Daya tarik wisata yang merupakan hasil karya manusia yang berwujud
museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya. Ada
juga daya tarik buatan manusia yang bisa juga berupa perpaduan buatan
manusia dan keadaan alami, seperti: agrowisata (pertanian), wisata tirta
(air), wisata petualangan, taman rekreasi dan tempat hiburan.
3) Sasaran minat khusus seperti: berburu, mendaki gunung, goa, industri dan
kerajinan, tempat perbelanjaan, sungai deras, tempat-tempat ibadah, dan
tempat-tempat ziarah (Ismayanti, 2010:148).
2.2.3 Konsep Ekowisata
Ekowisata merupakan salah satu produk pariwisata alternatif yang
mempunyai tujuan seiring dengan pembangunan berkelanjutan, yaitu
pembangunan pariwisata yang secara ekologis memberikan manfaat yang layak
secara ekonomi dan adil secara etika, memberikan manfaat sosial terhadap
masyarakat guna memenuhi kebutuhan wisatawan dengan tetap memperhatikan
kelestarian kehidupan sosial-budaya, dan memberi peluang bagi generasi muda
sekarang dan yang akan datang untuk memanfaatkan dan mengembangkannya.
Coy (1998:180), mengemukakan lima faktor pokok yang mendasar dalam
menentukan batasan prinsip utama ekowisata, yaitu :
1) Lingkungan; Ekowisata harus bertumpu pada lingkungan alam dan budaya
yang relatif belum tercemar dan terganggu.
2) Masyarakat; Ekowisata harus dapat memberikan manfaat ekologi, sosial
dan ekonomi langsung kepada masyarakat tuan rumah.
29
3) Pendidikan dan pengalaman; Ekowisata harus dapat meningkatkan
pembangunan akan lingkungan alam dan budaya terkait sambil
memperoleh pengalaman yang mengesankan.
4) Keberlanjutan; Ekowisata harus dapat memberikan sumbangan positif bagi
keberlanjutan ekologi dari lingkungan tempat kegiatan.
5) Manajemen; Ekowisata harus dapat dikelola dengan cara yang dapat
menjamin daya hidup jangka panjang bagi lingkungan alam dan budaya
yang terkait di daerah tempat kegiatan ekowisata.
The International Ecotourism Society (2002) dalam Sudiarta (2009:82),
mendefinisikan ekowisata sebagai: Ecotourism is “responsible travel to natural
areas that conserves the inveronment and sustains the well-being of local
people”. Dari definisi tersebut, ekowisata merupakan perjalanan wisata yang
berbasis alam yang mana dalam kegiatannya sangat tergantung kepada alam,
sehingga lingkungan, ekosistem dan kearifan lokal yang ada didalamnya harus