BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji sebagai bahan komparasi dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu (1) hasil penelitian yang memiliki relevansi karena teori yang digunakan sama, tetapi objek bahasan yang berbeda, dan (2) hasil penelitian yang memiliki relevansi karena objek bahasanya sama, tetapi teori yang digunakan berbeda. Hasil penelitian yang termasuk ke dalam kelompok pertama, yakni hasil penelitian yang memiliki relevansi karena teori yang digunakan sama, tetapi objek bahasan yang berbeda, antara lain sebagai berikut. Hasil penelitian Sedeng (2000) yang berjudul “Predikat Kompleks dan Relasi Gramatikal Bahasa Sikka”. Hasil penelitian ini mengungkapkan predikat kompleks dan relasi gramatikal bahasa Sikka dengan menggunakan Teori Lexical Functional Grammar (LFG) oleh Kaplan dan Bresnan (1982). Sedeng mengawali uraiannya mengenai relasi gramatikal bahasa Sikka yang mencakup kentransitifan, subjek, dan kaidah gramatikal sehingga tipologi bahasa ini dapat ditentukan. Penelitian Sedeng (2000) tersebut menemukan bahwa berdasarkan sudut pandang tipologi morfologi, bahasa Sikka tergolong ke dalam bahasa isolasi. Tipologi ini berpengaruh sangat besar pada terciptanya predikat kompleks yang mengambil bentuk verba serialisasi di dalam bahasa Sikka. Berdasarkan sudut pandang strukturnya, verba serialisasi bahasa Sikka, dapat dikelompokkan ke dalam struktur mono klausal, bi-klausal, struktur X-COMP, dan ADJUNCT-COMP. Bahasa Sikka tergolong ke dalam tipologi SVO bila dipandang dari tipologi tata 7
23
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II r.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Hasil penelitian yang dikaji
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Hasil penelitian yang dikaji sebagai bahan komparasi dalam penelitian ini
ada dua macam, yaitu (1) hasil penelitian yang memiliki relevansi karena teori
yang digunakan sama, tetapi objek bahasan yang berbeda, dan (2) hasil penelitian
yang memiliki relevansi karena objek bahasanya sama, tetapi teori yang
digunakan berbeda. Hasil penelitian yang termasuk ke dalam kelompok pertama,
yakni hasil penelitian yang memiliki relevansi karena teori yang digunakan sama,
tetapi objek bahasan yang berbeda, antara lain sebagai berikut.
Hasil penelitian Sedeng (2000) yang berjudul “Predikat Kompleks dan
Relasi Gramatikal Bahasa Sikka”. Hasil penelitian ini mengungkapkan predikat
kompleks dan relasi gramatikal bahasa Sikka dengan menggunakan Teori Lexical
Functional Grammar (LFG) oleh Kaplan dan Bresnan (1982). Sedeng mengawali
uraiannya mengenai relasi gramatikal bahasa Sikka yang mencakup kentransitifan,
subjek, dan kaidah gramatikal sehingga tipologi bahasa ini dapat ditentukan.
Penelitian Sedeng (2000) tersebut menemukan bahwa berdasarkan sudut pandang
tipologi morfologi, bahasa Sikka tergolong ke dalam bahasa isolasi. Tipologi ini
berpengaruh sangat besar pada terciptanya predikat kompleks yang mengambil
bentuk verba serialisasi di dalam bahasa Sikka. Berdasarkan sudut pandang
strukturnya, verba serialisasi bahasa Sikka, dapat dikelompokkan ke dalam
struktur mono klausal, bi-klausal, struktur X-COMP, dan ADJUNCT-COMP.
Bahasa Sikka tergolong ke dalam tipologi SVO bila dipandang dari tipologi tata
7
8
urutan dan terkait dengan tidak adanya afiks, maka pemarkahan dilakukan melalui
tata urutan yang ketat. Tipologi tata urutan berakibat pada pemetaan sejajar dan
pemetaan silang untuk klausa transitif. Berdasarkan tipologi pemarkahan sintaksis
bahasa Sikka berada di perbatasan antara bahasa akusatif dan bahasa S-terpisah
(split-S) karena ada bukti yang kuat untuk kedua tipologi itu.
Temuan hasil penelitian Sedeng (2000) di atas secara konseptual memiliki
faedah yang relevan dengan penelitian ini. Sehubungan dengan itu, hasil
penelitian tersebut dijadikan sebagai rujukan untuk dijadikan referensi pada
kajian pustaka. Hasil-hasil penelitian Sedeng (2000) secara ilmiah dapat
memberikan kontribusi positif dalam menganalisis struktur dasar kalimat BB dan
BJ berdasarkan kategori predikat.
Hasil penelitian Ana (2000) berjudul “Tipologi Kausatif Bahasa Bali”.
Penelitian ini menggunakan Teori Kausatif yang dikemukakan oleh Comrie
(1989) dan teori-teori lain, seperti yang dikemukakan oleh Jackendoff (1991),
Davis (1981), Talmy (1976), dan Hopper dan Thompson (1980) sebagai teori
pendukung. Penelitian tersebut menghasilkan beberapa simpulan, antara lain
bahwa tipologi kausatif bahasa Bali dapat dibagi menjadi tiga, yaitu perifrastik,
morfologis, dan leksikal. Kausatif perifrastik bahasa Bali ditandai oleh
penggunaan konjungsi bermakna kausatif, seperti sawireh, mawinan, mawanan,
dening, makada, santukan, dadosne, raris, laut, dan pemarkah suprasegmental
dalam bahasa lisan. Kausatif morfologis bahasa Bali ditandai dengan akhiran {-
ang} dan {-in} yang sekaligus berfungsi untuk meningkatkan valensi verba
asalnya. Secara semantik, kausatif bahasa Bali dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
kausatif langsung dan kausatif taklangsung.
9
Penelitian yang dihasilkan oleh Ana (2000) di atas juga secara konseptual
dipandang memiliki faedah yang sangat relevan dengan penelitian ini. Oleh
karena itu, hasil penelitian tersebut dapat dijadikan rujukan untuk dijadikan
sebagai referensi pada kajian pustaka. Sementara itu, secara ilmiah hasil temuan
Ana (2000) dapat memberikan kontribusi positif dalam menganalisis konstruksi
kausatif BB dan BJ.
Hasil penelitian Mayani (2004) berjudul “Konstruksi Kausatif dan Aplikatif
Bahasa Madura”. Penelitian ini menggunakan dua teori utama, yaitu Teori
Tipologi Kausatif yang dikemukakan oleh Comrie (1989) dan Teori Tata Bahasa
Relasional yang dikembangkan oleh Perlmutter dan Postal (1984). Di samping
dua teori utama tersebut juga digunakan teori penunjang, yakni Teori Relasi
Gramatikal yang dikemukakan oleh Blake (1990). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa struktur dasar kalimat bahasa Madura terdiri atas enam tipe,
yaitu S-P, S-P-O, S-P-Pel, S-P-Ket, S-P-O-Pel, dan S-P-O-Ket. Berdasarkan tipe-
tipenya, konstruksi kausatif dalam bahasa Madura terdiri atas kausatif analitik,
kausatif morfologis, dan kausatif leksikal. Konstruksi aplikatif bahasa Madura
dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu konstruksi aplikatif instrumental, konstruksi
aplikatif benefaktif, dan konstruksi aplikatif resipien.
Secara konseptual temuan yang diperoleh Mayani (2004) di atas dipandang
memiliki faedah yang sangat relevan dengan penelitian ini. Oleh karena itu, hasil
penelitian tersebut dijadikan sebagai rujukan untuk dijadikan sebagai referensi
pada kajian pustaka. Hasil-hasil penelitian Mayani (2004) secara ilmiah dapat
10
memberikan kontribusi positif dalam menganalisis konstruksi kausatif dan
aplikatif BB dan BJ.
Penelitian Arafiq (2005) berjudul “Relasi Gramatikal Konstruksi Kausatif
dan Aplikatif Bahasa Bima”. Penelitian ini dilandasi dua teori, yakni Teori
Tipologi Kausatif oleh Comrie (1989) dan dilanjutkan dengan teori sintaksis
formal, yaitu Teori Tata Bahasa Relasional oleh Perlmutter dan Postal (1984).
Penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan parameter morfosintaksis, kausatif
dalam bahasa Bima terdiri atas kausatif morfologis yang dimarkahi oleh prefiks
{ka-} dengan variasi {ca-}, kausatif analitik yang dibentuk dengan menggunakan
verba nalawi, dan kausatif leksikal yang dibentuk dari verba dasar transitif.
Berdasarkan parameter semantis, kausatif dalam bahasa Bima terdiri atas kausatif
sejati, kausatif permisif, kausatif langsung, dan kausatif tak langsung. Aplikatif
dalam bahasa Bima terdiri atas aplikatif benefaktif yang dimarkahi oleh {wea-},
aplikatif instrumental, dan aplikatif pasien yang dimarkahi oleh {-kai}.
Hasil penelitian yang ditemukan oleh Arafiq di atas secara konseptual juga
memiliki faedah yang sangat relevan dengan penelitian ini sehingga hasil
penelitian tersebut juga dijadikan rujukan sebagai referensi pada kajian pustaka
penelitian ini. Secara ilmiah hasil penelitian Arafiq juga dapat memberikan
kontribusi positif penelitian ini dalam menganalisis konstruksi kausatif dan
aplikatif BB dan BJ.
Hasil penelitian yang termasuk ke dalam kelompok kedua, yaitu hasil
penelitian yang memiliki relevansi karena objek penelitian yang digunakan sama,
11
tetapi teori yang digunakan berbeda. Hasil-hasil penelitian yang dimaksud adalah
sebagai berikut.
Lien (2005) melakukan penelitian terhadap konstruksi pasif bahasa
Indonesia dan bahasa Jepang. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa terdapat
kesamaan dan perbedaan antara bahasa Indonesia dan bahasa Jepang, baik dalam
tipe-tipe pasif maupun relasi gramatikalnya. Kesamaan antara konstruksi pasifnya
adalah (1) keduanya memiliki pemarkahan morfologis pada pasif, yaitu prefiks di-
untuk bahasa Indonesia dan sufiks (r)areru untuk bahasa Jepang; (2) keduanya
memiliki pemarkah agen, yaitu oleh untuk bahasa Indonesia dan ni, ni yotte, kara,
dan de untuk bahasa Jepang; (3) kehadiran agen opsional pada tipe kanonis dan
chokusetsu ukemi; (4) perubahan relasi gramatikal memiliki revaluasi yang sama
pada tipe kanonis dan chokusetsu ukemi, yakni subjek langsung konstruksi aktif
menjadi subjek konstruksi pasif dan subjek konstruksi aktif menjadi chomeur.
Dalam hal ini chokusetsu ukemi dapat disejajarkan dengan pasif kanonis dalam
bahasa Indonesia. Perbedaan pasif bahasa Indonesia dan bahasa Jepang adalah (1)
bahasa Indonesia memiliki prefiks me- untuk konstruksi aktif, sedangkan bahasa
Jepang tidak; (2) bahasa Indonesia tidak memiliki pemarkah morfologis pada
pasif tak kanonis, dalam hal ini pasif yang mengalami pengedepanan agen,
sedangkan bahasa Jepang memiliki pemarkah morfologis pada semua tipe pasif,
chokusetsu ukemi, mochinushi no ukemi, dan daisansha no ukemi; (3) dalam
bahasa Indonesia, hanya verba transitif yang dapat dipasifkan, sedangkan dalam
bahasa Jepang, baik verba transitif maupun verba intransitif, dapat dipasifkan; (4)
dalam bahasa Indonesia, pemarkah agen opsional pada tipe kanonis, sedangkan
12
dalam bahasa Jepang pemarkah agen wajib hadir pada semua tipe pasif; (5) dalam
bahasa Indonesia, relasi gramatikal tipe tak kanonis tidak dapat ditangani oleh
teori tata bahasa relasional karena alasan pragmatis, sedangkan dalam bahasa
Jepang, bentuk pasif seperti mochinusi no ukemi dan daisansha no ukemi yang
tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia dapat ditangani oleh teori tata bahasa
relasional dengan kendala-kendala tersendiri.
Penelitian tersebut dapat digunakan sebagai referensi karena sama-sama
menggunakan bahasa Jepang sebagai objek. Selain itu, penelitian tersebut juga
dalam bidang sintaksis sehingga beberapa konsep yang digunakan dapat dipakai
sebagai perbandingan dalam melakukan penelitian mengenai verba „menberi‟
bahasa Jepang dan bahasa Bali.
Aryani (2007) melakukan penelitian mengenai pelesapan fungsi gramatikal
dalam bahasa Jepang. Hasil penelitian tersebut menunjukkan pada struktur
koordinatif fungsi gramatikal subjek, predikat, dan objek mengalami
keterpulangan. Pelesapan fungsi gramatikal pada struktur ini dapat bersifat
anaforis atau kataforis. Pada struktur subordinatif, keterpulangan tersebut terjadi
pada subjek, predikat, dan keterangan. Pada struktur ini pun pelesapannya dapat
bersifat anaforis atau kataforis. Pada klausa dalam dialog, pelesapan tersebut
dapat terjadi pada fungsi gramatikal subjek, predikat, subjek- predikat, dan
keterangan. Selain itu, pada dialog bahasa Jepang, memungkinkan terjadinya
pelesapan sebuah klausa. Dengan demikian, penelitian tersebut dapat digunakan
sebagai acuan untuk meneliti struktur verba „berargumen tiga‟ bahasa Bali dan
bahasa Jepang.
13
Purnawati (2009) melakukan penelitian mengenai sistem pemarkahan fungsi
gramatikal dalam bahasa Jepang, interaksi fungsi gramatikal dan topik dalam
bahasa Jepang, dan interaksi fungsi gramatikal dan fokus dalam bahasa jepang.
Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa sistem pemarkahan fungsi gramatikal
dalam bahasa Jepang merupakan suatu sistem yang kompleks karena sebuah
pemarkah tidak selalu memarkahi fungsi gramatikal yang sama. Hal tersebut
bergantung pada predikat yang digunakan pada kalimat yang bersangkutan.
Fungsi gramatikal yang ditemukan dalam bahasa Jepang terdiri atas fungsi
argumen dan nonargumen. Fungsi argumen meliputi pemarkahan subjek, objek,
oblik, posesor, dan komplemen, sedangkan pemarkahan fungsi nonargumen
hanya ada satu, yaitu pemarkahan adjung.
Fungsi gramatikal dalam bahasa Jepang dimarkahi oleh partikel kasus atau
posposisi. Partikel kasus terdiri atas nominatif ga, datif ni, topik wa, akusatif o,
dan genetif no, sedangkan posposisi terdiri atas ni,de, to, e, kara, made. Fungsi-
fungsi gramatikal tersebut dapat berinteraksi dengan topik sehingga sebuah
konstituen dalam kalimat memiliki dua fungsi, yaitu sebagai salah satu fungsi
gramatikal dan sekaligus sebagai topik dalam kalimat yang bersangkutan. Fungsi
gramatikal yang berinteraksi dengan topik adalah subjek, objek, oblik, posesor,
dan adjung. Fungsi gramatikal yang juga berfungsi sebagai topik dapat dimarkahi
hanya dengan topik wa. Selain itu, juga dapat dimarkahi oleh partikel kasus atau
posposisi yang menunjukkan fungsi gramatikalnya ditambah topik wa. Meskipun
suatu konstituen terletak di bagian tengah atau belakang kalimat, selama
konstituen tersebut dimarkahi oleh topik wa, konstituen tersebut dapat disebut
14
topik. Fungsi gramatikal yang berinteraksi dengan topik adalah fungsi gramatikal
yang berbeda. Selain itu, ditemukan juga dua topik dalam satu kalimat yang terdiri
atas satu klausa. Kedua topik tersebut masing-masing berinteraksi dengan fungsi
gramatikal yang berbeda, sehingga memunculkan topik tematis dan topik
kontrastif. Selain dengan fungsi pragmatik topik, fungsi-fungsi gramatikal juga
dapat berinteraksi dengan fokus, yaitu subjek, objek, oblik, adjung. Fokus tidak
memiliki pemarkah khusus. Jika konstituen merupakan informasi baru yang dapat
dibuktikan dengan pertanyaan informatif, maka konstituen yang bersangkutan
merupakan fokus tanpa adanya penggantian atau penambahan fungsi gramatikal.
Dalam satu kalimat, selain fokus, muncul juga topik kalimat. Hal ini disebabkan
oleh fokus dapat dipilih dari konstituen yang bukan merupakan topik dalam suatu
kalimat. Selain itu, jika semua konstituen dalam satu kalimat merupakan jawaban
atas sebuah pertanyaan, maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai fokus seluruh
kalimat. Dengan demikian, penelitian ini juga dapat dijadikan acuan karena
banyak mengulas fungsi gramatikal bahasa Jepang.
2.2 Konsep
Konsep dasar yang dipakai dalam penelitian ini meliputi sejumlah konsep
yang relevan dengan penelitian ini. Konsep dasar yang digunakan sebagai piranti
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Struktur Verba Berargumen Tiga Bahasa Bali
Secara sintaksis sebuah satuan gramatikal dapat diketahui berkategori verba
dari perilakunya dalam satuan yang lebih besar. Jadi, sebuah kata dapat dikatakan
15
berkategori verba hanya dalam perilakunya dalam frasa, yakni dalam hal
kemungkinan satuan itu didampingi dengan partikel di, ke, dan dari. Verba (verbs)
atau kata kerja adalah kelas kata yang biasanya berfungsi sebagai predikat.
Argumen adalah unsur (sintaksis/semantik) yang diperlukan oleh sebuah verba,
yang umumnya berkorelasi dengan partisipasi pada suatu kejadian atau keadaan
yang dinyatakan oleh verba predikatnya. Berdasarkan pengertian tersebut,
diketahui bahwa jumlah argumen dalam suatu klausa/kalimat ditentukan oleh
verba sebagai inti klausa/kalimat tersebut (Williams, 1991:100; Culicover,
1997:1617).
Dalam klausa intransitif, satu-satunya argumen yang diperlukan verbanya
adalah subjek. Hal ini dilandasi oleh asumsi bahwa fungsi yang paling tinggi
dalam hierarki sintaksis dan pada umumnya bersifat wajib adalah subjek (Arka,
1998:15).
Klausa transitif adalah klausa yang predikatornya adalah verba transitif.
Verba transitif adalah verba yang mewajibkan hadirnya sekurang-kurangnya dua
argumen inti. Salah satu argumennya berfungsi sebagai subjek dan yang lainnya
berfungsi sebagai objek (Mtthews, 1997; Kridalaksana, 1993).
Klausa ditransitif adalah klausa yang predikatornya adalah verba ditransitif
atau verba berargumen tiga. Dalam tata bahasa relasional ada tiga relasi
gramatikal yang murni bersifat sintaksis, yaitu subjek, objek langsung, dan objek
tidak langsung. Struktur argumen dapat dipresentasikan dengan label angka,
misalnya Pred ˂1,2,3˃ yang secara semantis dipresentasikan menjadi Pred ˂agen,
pasien, resipien˃ dan secara gramatikal/fungsional menjadi Pred ˂S,OL,OTL˃. Di
16
samping itu, ada relasi yang bersifat semantis, seperti lokatif, benefaktif,
instrumental, dan sebagainya yang secara kolektif disebut relasi oblik (lihat Blake,