12 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Odha dan layanan ART Human Immnunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit infeksi yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan pada stadium akhir menyebabkan kondisi klinis yang dikenal sebagai Acquared Immunodeficiency Sindrom (AIDS). Orang dengan HIV/AIDS (odha) adalah sebutan untuk orang yang di dalam tubuhnya telah terinfeksi virus HIV/AIDS yang diketahui melalui pemeriksaan laboratorium (Depkes RI, 2006). Penularan penyakit HIV ini melalui hubungan seksual yang berisiko tanpa menggunakan kondom, melalui pajanan darah terinfeksi, produk darah atau transplantasi organ dan jaringan yang terkontaminasi virus HIV, dan penularan melalui ibu yang positif HIV ke anaknya (Depkes RI, 2006; KPA, 2013). Kejadian penularan melalui hubungan heteroseksual di Indonesia cenderung meningkat setiap tahun (Kemenkes, 2014a). Oleh karena itu, penyakit HIV masih sebagai salah satu masalah kesehatan masyarakat utama di Indonesia. Seseorang yang terinfeksi HIV, akan mengalami infeksi seumur hidup dan berisiko untuk menularkan virus tersebut kepada orang lain. Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi untuk mencegah penularannya. Sejak ditemukannya obat ARV dan kombinasi ART, telah terjadi perubahan terhadap penurunan morbilitas dan mortalitas HIV/AIDS dari 60% menjadi 90% dan perbaikan kualitas hidup dan usia harapan hidup odha(WHO, 2003, Depkes RI, 2006). Meskipun terapi ARV tidak mampu meyembuhkan penyakit, namun terapi ARV ternyata mampu menurunkan kasus-kasus infeksi baru HIV, seperti pengalaman pada negara-negara berkembang di Afrika
24
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … BAB II.pdf · ... koordinasi perencanaan dan komunikasi ... (SOP) tentang integrasi IMS dan HIV ... Untuk menggerakkan fungsi-fungsi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP,
LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Odha dan layanan ART
Human Immnunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit infeksi yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan pada stadium akhir menyebabkan
kondisi klinis yang dikenal sebagai Acquared Immunodeficiency Sindrom (AIDS).
Orang dengan HIV/AIDS (odha) adalah sebutan untuk orang yang di dalam tubuhnya
telah terinfeksi virus HIV/AIDS yang diketahui melalui pemeriksaan laboratorium
(Depkes RI, 2006). Penularan penyakit HIV ini melalui hubungan seksual yang berisiko
tanpa menggunakan kondom, melalui pajanan darah terinfeksi, produk darah atau
transplantasi organ dan jaringan yang terkontaminasi virus HIV, dan penularan melalui
ibu yang positif HIV ke anaknya (Depkes RI, 2006; KPA, 2013). Kejadian penularan
melalui hubungan heteroseksual di Indonesia cenderung meningkat setiap tahun
(Kemenkes, 2014a). Oleh karena itu, penyakit HIV masih sebagai salah satu masalah
kesehatan masyarakat utama di Indonesia.
Seseorang yang terinfeksi HIV, akan mengalami infeksi seumur hidup dan
berisiko untuk menularkan virus tersebut kepada orang lain. Oleh karena itu, diperlukan
suatu strategi untuk mencegah penularannya. Sejak ditemukannya obat ARV dan
kombinasi ART, telah terjadi perubahan terhadap penurunan morbilitas dan mortalitas
HIV/AIDS dari 60% menjadi 90% dan perbaikan kualitas hidup dan usia harapan hidup
odha(WHO, 2003, Depkes RI, 2006). Meskipun terapi ARV tidak mampu
meyembuhkan penyakit, namun terapi ARV ternyata mampu menurunkan kasus-kasus
infeksi baru HIV, seperti pengalaman pada negara-negara berkembang di Afrika
13
Selatan, Nepal, Kamboja, dan lainnya (UNAIDS, 2012). Oleh karena itu, pemerintah
telah mengupayakan untuk meningkatkan perawatan, dukungan dan pengobatan pada
odha, melalui penyelenggaraan layanan HIV secara komprehensif dan
berkesinambungan (LKB). Dengan LKB diharapkan layanan odha dalam pengobatan
lebih optimal, disertai perbaikan kualitas hidup dan penurunan penularan pada
komunitas yang lebih luas.
Layanan HIV/AIDS pada LKB adalah suatu layanan dengan melibatkan petugas
kesehatan dan para pemangku kepentingan secara luas, yang dilandasi prinsip dasar
antara lain: hak azasi manusia; kesetaraan akses layanan; penyelenggaraan layanan HIV
dan IMS yang berkualitas; mengutamakan kebutuhan odha dan keluarganya;
memperhatikan kebutuhan kelompok populasi kunci dan populasi rentan lainnya;
keterlibatan keluarga dan odha; penerapan perawatan kronik; layanan terapi ARV
dengan pendekatan kesehatan masyarakat; mengurangi hambatan dalam mengakses
layanan; menciptakan lingkungan yang mendukung untuk mengurangi stigma dan
diskriminasi, serta mengarus utamakan gender (Kemenkes RI, 2012).
Perluasan layanan skrining pemeriksaan HIV di layanan kesehatan primer,
cukup baik untuk lebih banyak mengungkapkan kasus-kasus baru HIV di masyarakat,
namun apabila tidak disertai perluasan layanan pengobatan ARV, hal tersebut akan
menimbulkan masalah baru seperti meningkatkannya jumlah odha yang tidak
mendapatkan terapi, lost to follow up, adherence ARV yang berdampak terhadap
munculnya resistensi terhadap ARV. Oleh karena itu, penanggulangan HIV pada
layanan primer perlu dilaksanakan secara komprehensif, meliputi upaya promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif dalam semua bentuk layanan.
14
2.1.2 Situasi masalah HIV dan AIDS di Indonesia
Analisis laporan perkembangan HIV/AIDS Triwulan III Tahun 2014 dari
Kemenkes RI (2014a), diketahui bahwa jumlah kasus infeksi baru HIV yang dilaporkan
sejumlah 8.908 orang, kasus tersebut meningkat sebanyak dua kali lipat menjadi
84,01% (4.067 orang) dibandingkan dengan tahun 2013 sebesar 4.841 orang infeksi
baru HIV pada periode yang sama. Prosentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada
kelompok umur 25-49 tahun (73,6%), diikuti umur 20-24 tahun (14,9 %). Komposisi
umur tersebut tidak berbeda dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Prosentase faktor
risiko HIV tertinggi adalah hubungan seks berisiko pada heteroseksual (55%), laki seks
laki (17%) dan penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun (6%). Apabila
dibandingkan dengan periode yang sama dengan tahun sebelumnya (2013), prosentase
risiko pada heteroseksual cenderung meningkat, sedangkan penularan melalui jarum
suntik tidak steril cenderung menurun (Kemenkes RI, 2013a, 2014a).
Jumlah kasus AIDS yang dilaporkan baru pada Triwulan III Tahun 2014,
ternyata menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun
sebelumnya (2013), yaitu dari 320 orang menjadi 1.492 orang. Prosentase AIDS pada
Triwulan III (2014) tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun (37,7%), diikuti
kelompok umur 20-29 tahun (26,0%). Komposisi umur tersebut dan faktor risiko
penularan tidak berbeda dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Kemenkes RI, 2013a,
2014a).
Gambaran situasi penyakit HIV di Propinsi Bali per-Juni 2014 dilaporkan
sebesar 9.051 orang, meningkat sebanyak 27,96% dibandingkan dengan tahun 2013
(7.073 orang). Sedangkan jumlah kasus AIDS sebanyak 4.261 orang, meningkat sebesar
27,42 % dibandingkan tahun sebelumnya sejumlah 3.344 orang (Kemenkes RI, 2013a,
2014a).
15
Peningkatan jumlah kasus HIV di Propinsi Bali perlu dipikirkan untuk
pengembangan layanan obat ARV. Saat ini layanan ART yang tersedia di Bali baru
sebanyak 12 layanan yang tersebar di rumah sakit rujukan daerah. Perluasan layanan
tersebut perlu dipikirkan pada periode mendatang. Berikut adalah grafik perkembangan
kasus HIV/AIDS di Indonesia dan Propinsi Bali seperti yang terlihat di bawah ini.
Gambar 2.1 Perbandingan temuan kasus HIV dan AIDS di Indonesia,
periode tahun 1987-2014 (Sumber : Laporan Kemenkes, 2014)
Sedangkan situasi perkembangan kasus HIV di Propinsi Bali, dapat dilihat pada grafik
dibawah ini.
Gambar 2.2 Jumlah Kasus HIV/AIDS Kumulatif berdasarkan Jenis Kelamin,
Dari tahun 1987-2013. (Sumber : Dinas Kesehatan Propinsi Bali, 2013)
dukungan, perawatan dan pengobatan HIV/AIDS ke dalam layanan primer, dapat
meningkatkan efisiensi dan keberlangsungan program. Strategi program treatment 2.0
yang dicanangkan oleh WHO tujuannya adalah untuk penyederhanan pemberian terapi
ARV, penggunaan teknik diagnosis dan pemantauan sederhana di tempat, mengurangi
biaya, mengadaptasi sistem layanan sesuai kondisi setempat dan melibatkan
masyarakat.
Ekman, et al. (2008), menjelaskan tiga cara integrasi dapat dicapai yaitu
integrasi pada tingkat layanan kesehatan (termasuk integrasi layanan dan perawatan
terpadu), integrasi manajemen (alokasi sumber daya, pelatihan dan pengawasan dan
informasi sistem) dan integrasi organisasi (koordinasi antara penyedia, lintas sektoral
dan masyarakat). Sejalan dengan strategi penanggulangan HIV di Indonesia, perlunya
meningkatkan cakupan dan kualitas layanan pencegahan dan perawatan HIV melalui
layanan komprehensif dan berkesinambungan di tingkat kabupaten/kota(Kemenkes RI,
2012, 2013e).
32
2.3.2 Teori Kurt Lewin
Anderson dalam Notoamodjo (2012: 233-235), menjelaskan prilaku individu
dalam penggunaan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh faktor-faktor karakterisitik
predisposisi, karakteristik pendukung dan karakteristik kebutuhan. Karakteristik
predisposisi digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa tiap individu cenderung
menggunakan layanan kesehatan yang berbeda-beda, tergantung dari ciri-ciri demografi,
struktur sosial dan manfaat kesehatan. Karakterisktik pendukung dalam pelayanan
kesehatan akan dipengaruhi oleh kemampuan konsumen untuk membayar. Sedangkan
Karakteristik kebutuhan, penggunaan pelayanan kesehatan semata-mata terwujud dalam
tindakan apabila itu dirasakan sebagai kebutuhan.
Kurt Lewin (1970), berpendapat perilaku manusia adalah suatu keadaan yang
seimbang antara kekuatan pendorong (driving force) dengan kekuatan penahan
(restining force). Perilaku ini dapat berubah apabila terjadi ketidak seimbangan antara
kedua kekuatan tersebut dalam diri seseorang, sehingga menimbulkan perubahan
prilaku. Perubahan prilaku pada diri seseorang bisa terjadi oleh karena kekuatan
pendorong meningkat, sedangkan kekuatan penahan bisa tetap atau menurun
(Notoatmodjo, 2012). Hal tersebut penting diketahui ketika mempelajari prilaku odha
dalam memilih layanan ARV di fasilitas kesehatan, oleh karena penyakit HIV masih
terjadi stigma dan diskriminasi di masyarakat.
2.3.2 Framework stigma dan diskriminasi
Stigma dan diskriminasi terhadap penyakit HIV/AIDS menimbulkan hambatan
utama untuk mengakses dukungan dan perawatan bagi odha (Sekoni and Owoaje,
2013). Stigma terhadap odha terjadi oleh karena penyakit HIV dianggap sebagai
penyakit menular dan mematikan, kurangnya pengetahuan terhadap penyakit tersebut,
takut membahas HIV dan AIDS, penolakan dari budaya perilaku yang terkait dengan
HIV (pekerja seks, pengguna narkoba), dan ketidaksetaraan gender, serta kebijakan
33
yang tidak tepat termasuk menghubungkan HIV dengan penyakit sosial (Parker and
Aggleton, 2003). Akibat stigma dan penolakan tersebut akan terjadi diskriminasi dalam
pemberian layanan.
Gambar 2.3 di bawah ini menjelaskan konsep terjadinya stigma dan diskriminasi
terhadap penyakit HIV serta dampaknya terhadap akses dan pemanfaatan program
layanan kesehatan dalam penanggulangan HIV di masyarakat.
Gambar 2.5
Konsep stigma dan diskrimiminasi, akses dan pemanfaatan layanan kesehatan. (Sumber : HIV/AIDS –related stigma and discrimination (modifikasi). Horizon Program. Parker, et al., 2003)
2.4 Model Penelitian
Berdasarkan kajian literatur penerapan layanan perawatan, dukungan dan
pengobatan HIV/AIDS di layanan primer, dapat disusun model penelitian seperti
terlihat pada gambar di bawah. Model penelitian ini mengkombinasi teori framework
sistem kesehatan WHO, Teori Kurt Lewin dan teori framework stigma dan diskrimansi
Penyebab Stigma: 1. HIV adalah penyakit
menular dan mematikan.
2. Kurangnya pengetahuan.
3. Takut membahas HIV dan AIDS.
4. Penolakan dari budaya perilaku yang terkait dengan HIV (pekerja seks, pengguna narkoba)
5. Ketidaksetaraan gender.
6. Kebijakan yang tidak tepat termasuk menghubungkan HIV dengan penyakit sosial.
Efek :
1. Dampak negatif pada pencegahan dan pengendalian HIV, sehingga mengakibatkan penyebaran HIV di masyarakat
2. Mengurangi akses dan pemanfaatan layanan terkait HIV.
Takut
Disk
rimin
asi
Rasa
bersalah
dan Malu
Stigma dan
Penolakan
34
pada penyakit HIV, yang berperan dalam kesiapan puskesmas untuk dikembangkan
sebagai layanan satelit ART.
Pada diagram tersebut dapat dijelaskan bahwa, beberapa faktor yang berperan
dalam pengembangan layanan satelit ART adalah faktor internal layanan puskesmas
sendiri sebagai provider dan faktor eksternal yang meliputi dukungan kebijakan,
masyarakat, prilaku odha sebagai pengguna layanan dan faktor-faktor lain. Faktor-
faktor tersebut bisa berfungsi sebagai pendorong maupun penghambat pelaksanaan
pengembangan layanan satelit ART di puskesmas, tergantung dari situasi dan kondisi
yang terjadi di lapangan.
Gambar 2.6 Model penelitian pengembangan layanan satelit ART
di Puskesmas se-Kabupaten Badung
Kesiapan Pengembangan
Layanan Satelit ART di
Puskesmas
INTERNAL PUSKESMAS
1. SDM Kesehatan.
2. Infrastruktur (fasilitas
dan sarana)
3. Sistem Manajemen
informasi HIV/AIDS
4. Pembiayaan /finansial
5. Ketersediaan Farmasi
dan Alat Kesehatan
6. Sikap dan Motivasi
Kebijakan
Pemerintah
Masyarakat
FAKTOR PENDORONG
FAKTOR PENGHAMBAT
Odha
Kebijakan
Pemerintah Masyarakat
Odha
EKTERNAL
1. Budaya
stempat.
2. Politik
3. Peran
Swasta.
4. LSM
5. Tenaga
penjangkau
6. Dukungan
rumah sakit.
EKSTERNAL PUSKESMAS
EKSTERNAL PUSKESMAS
35
Faktor-faktor dari internal puskesmas yang berperan meliputi ketersediaan
sumber daya tenaga kesehatan yang telah dilatih CST, fasilitas dan sarana sebagai
penunjang sebagai satelit ART, pembiayaan/finasial, sistim informasi HIV-AIDS di
puskesmas, ketersediaan obat ARV dan infeksi Oportunistik, sikap dan motivasi
petugas puskesmas dalam pelaksanaan program pengembangan HIV/AIDS, dieksplorasi
melalui wawancara mendalam kepada kepala puskesmas dan pemegang program
HIV/AIDS di puskesmas.
Faktor-faktor eksternal yang berperan terhadap kesiapan layanan puskesmas
adalah dukungan dari kebijakan dan pemegang kebijakan pemerintah daerah setempat,
dukungan rumah sakit, peran partisipasi masyarakat terhadap program penanggulangan
dan perawatan HIV, peran LSM, swasta dan tenaga penjangkau lapangan, serta persepsi
odha sebagai pengguna layanan puskesmas. Faktor eksternal tersebut diexplorasi
melalui wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah terhadap pihak-pihak