8 BAB II KAJIAN PUSTAKA & KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka 1. Tekstil Tradisional Indonesia a. Sejarah Tekstil Tradisional Indonesia Kata tekstil berasal dari bahasa latin, yaitu textere yang berarti menenun atau dalam arti umum adalah bahan pakaian atau kain tenunan. Sejak zaman prasejarah nenek moyang kita telah pandai menenun untuk pakaian maupun untuk membuat layar perahu bercadik, sedangkan cara pemberian rupa di atas permukaan tekstil dilakukan melalui teknik ikat lungsi. Teknik ini merupakan yang tertua, dan telah dikenal sejak masa neolitikum dengan menggunakan alat tenun gedog (gendong) yang kemudian menyebar ke luar Nusantara (Kartiwa, 1986: 6). Berbagai corak tekstil tradisional Nusantara merefleksikan keanekaragaman tekstil Nusantara yang menyangkut unsur anyaman, aneka tekstil serta ragam hias dan warna yang berkembang. Struktur anyaman adalah prinsip penjalinan benang lungsi dan pakan yang menghasilkan sehelai kain melalui teknik tenun. Dengan cara mengikat salah satu benang atau keduanya kemudian mencelupnya akan menghasilkan kain tenun ikat yang beraneka ragam (Rizali, 2013:116). Keragaman kain-kain tradisional dihasilkan oleh perbedaan geografis yang mempengaruhi corak hidup setiap suku bangsa di Nusantara. Perbedaan iklim
44
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA & KERANGKA PIKIR · Setelah memindahkan pusat kerajaan dari Pajang ke Mataram, dia sering bertapa di sepanjang pesisir pulau Jawa, antara lain Parang Kusuma
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA & KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Tekstil Tradisional Indonesia
a. Sejarah Tekstil Tradisional Indonesia
Kata tekstil berasal dari bahasa latin, yaitu textere yang berarti menenun atau
dalam arti umum adalah bahan pakaian atau kain tenunan. Sejak zaman prasejarah
nenek moyang kita telah pandai menenun untuk pakaian maupun untuk membuat
layar perahu bercadik, sedangkan cara pemberian rupa di atas permukaan tekstil
dilakukan melalui teknik ikat lungsi. Teknik ini merupakan yang tertua, dan telah
dikenal sejak masa neolitikum dengan menggunakan alat tenun gedog (gendong)
yang kemudian menyebar ke luar Nusantara (Kartiwa, 1986: 6).
Berbagai corak tekstil tradisional Nusantara merefleksikan keanekaragaman
tekstil Nusantara yang menyangkut unsur anyaman, aneka tekstil serta ragam hias
dan warna yang berkembang. Struktur anyaman adalah prinsip penjalinan benang
lungsi dan pakan yang menghasilkan sehelai kain melalui teknik tenun. Dengan
cara mengikat salah satu benang atau keduanya kemudian mencelupnya akan
menghasilkan kain tenun ikat yang beraneka ragam (Rizali, 2013:116).
Keragaman kain-kain tradisional dihasilkan oleh perbedaan geografis yang
mempengaruhi corak hidup setiap suku bangsa di Nusantara. Perbedaan iklim
9
mempengaruhi flora dan fauna yang ada di lingkungannya juga mempunyai andil
besar terhadap perbedaan gaya hidup dan mata pencaharian sebuah kelompok
masyarakat, sehingga yang satu berbeda dengan yang lainnya (Kartiwa, 2007: 9).
Perbedaan sumber kehidupan masyarakat inilah yang turut memengaruhi
keragaman jenis kain dan ragam hiasnya.
Aktivitas masyarakat yang berbeda-beda di setiap wilayah memengaruhi nilai
budaya dan adat istiadat yang diciptakan oleh leluhur atau pendahulunya. Filosofi
kehidupan tertuang dan tercermin dalam adat, serta terjalin dengan kepercayaan
dan agama yang dianutnya. Dalam kaitan dengan nilai-nilai kepercayaan, unsur-
unsur ragam hias pada kain merupakan salah satu bentuk ekspresi pengakuan
terhadap keberadaan, keagungan dan kebesaran Tuhan, Sang Maha Pencipta
kehidupan semua makhluk hidup di dunia. Dengan demikian pada sehelai kain
tersirat makna yang dalam tentang arti kehidupan.
b. Jenis Tekstil Tradisional Indonesia
Berdasarkan teknis pembuatan tekstil terdapat cara-cara pemberian rupa dan
warna, yaitu saat proses menenun, dan proses setelah menjadi kain. Pengertian
tersebut dikenal pula dengan istilah desain struktur dan desain permukaan pada
tekstil. Dengan demikian secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu:
Desain Struktur dalam tekstil dilakukan pada waktu proses menenun,
sehingga teknik ini sangat tergantung pada bahan serat dan benang yang
digunakan agar menghasilkan berbagai variasi tenunan. Desain struktur ini
dapat dilakukan melalui teknik tenun, jeratan, jalinan dan kepangan yang
10
menghasilkan kain polos maupun kain bercorak seperti aneka kain tenunan,
seperti tenun ikat lungsi, ikat pakan dan dobel ikat.
Desain permukaan pada tekstil dilakukan sebagai upaya member
hiasan di atas permukaan kain polos, sehingga menghasilkan nilai-nilai
keindahan di atas permukaan tekstil. Hal ini berkaitan erat dengan
kemampuan mengolah rupa dan warna yang dapat mewujudkan beberapa
jenis kain seperti di antaranya batik, celup ikat atau sulaman (Rizali, 2013:
126).
2. Batik
a. Pengertian Batik
Penulisan kata “batik” dalam bahasa Jawa mestinya “bathik” dan dalam
pengucapan dengan bahasa Indonesia juga seperti dalam bahasa Jawa. Namun
oleh para penulis terdahulu banyak yang mengacu pada “batik” sehingga dalam
penelusuran arti kata “batik” banyak yang memakai model “ kerata basa” yaitu
berasal dari kata “ngembat titik” atau “rambating titik-titik” dalam pengertian
bahwa batik merupakan proses rangkaian titik-titik. Menurut Kalingga (2002: 1-2)
pemaknaan kata “batik” seperti tersebut tidak tepat karena penulisannya dengan
aksara Jawa menggunakan “tha” bukan “ta”.
Dalam arti sederhana, bathik adalah suatu gambar yang berpola, motif dan
coraknya dibuat secara khusus dengan menggunakan teknik tutup celup. Shadily
(1990: 417) menyatakan bahwa : “batik adalah suatu cara untuk melukis di atas
kain (mori, katun, dan ada kalanya kain sutera) dengan cara melapisi bagian-
bagian yang tidak berwarna dengan lilin yang juga disebut malam”. Sementara itu,
pengertian batik telah dibakukan secara nasional yaitu: seni kain yang
11
menggunakan proses perintang lilin atau malam sebagai bahan media untuk
menutup permukaan kain dalam proses pencelupan warna (Syafrina, 1996:1).
Pembahasan tentang asal mula batik di Indonesia masih simpang siur. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa ada sementara para seniman yang menyebutkan
bahwa batik berasal dari Turki, melewati Mesir, terus ke Parsi/ Pasai, dan akhirnya
masuk ke Nusantara. Di Indonesia tampaknya kerajinan batik tertua terdapat di
periyangan, yang disebut dengan istilah “simbut”. Kain simbut dibuat dengan mori
hasil pintalan dan tenunan sendiri, tidak menggunakan malam sebagai perintang
warna tetapi menggunakan kanji (jenang) beras ketan; hiasannya sederhana dan
lebih banyak menggunakan warna merah tua. Kemudian, sekitar abad ke-12 orang
Indonesia telah membuat campuran pewarna untuk menghasilkan batik bangun
tulak (hitam putih) (Haryono, 2008: 3-4).
Akhirnya pada abad ke-15 kerajinan batik menuju kearah keindahan setelah
mendapat pengaruh dari India, Cina, dan Arab seiring dengan berkembangnya
kebudayaan Islam yang masuk ke nusantara. Pada masa pemerintahan Sultan
Agung, kerajinan batik banyak dilakukan di lingkungan keraton oleh para wanita.
Ketika itu telah ditemukan bahan pewarna merah dan kuning serta perpaduan
warna gula kelapa (Bratasiswara, 2000: 85-91). Kemajuan dalam pewarnaan
dalam dunia perbatikan berkembang pada abad ke-17 setelah ditemukannya
warna-warna baru seperti: soga (coklat), kuning (kunyit). Di sekitar tahun 1918
banyak jenis mori dan pewarna kimia dari Jerman, Inggris, Prancis, Swis, Belanda,
dan Jepang masuk ke Indonesia.
12
Persebaran batik di Nusantara cukup luas dan peran keraton juga sangat
menentukan. Batik Banyumasan perkembangan batik tidak bisa dilepaskan dari
adanya kademangan dan kadipaten di daerah Banyumas dari orang-orang yang
berasal dari kerajaan Mataram. Sebagai kademangan atau kadipaten, para
bangsawan di wilayah Banyumas ada keinginan menciptakan batik tulis untuk
memenuhi kebutuhan di lingkungannya. Hal ini membawa perkembangan
perbatikan di Banyumas semakin maju dan dikenal dunia luar khususnya Belanda.
Untuk memenuhi keperluan batik bagi bangsa Belanda, maka motif-motif batik
dimodifikasi sedemikian rupa sesuai keinginan mereka. Gaya batik Banyumasan
masih menyerupai gaya Yogyakarta dan Surakarta, namun diberi warna tambahan
terutama warna merah dan biru (Wahono, dkk. 2004: 54).
Di Surakarta perkembangan batik tidak dapat dilepaskan pula dari peran
keraton sebagai pusat tradisi dan adat-istiadat. Tradisi membatik diperkenalkan
sejak kecil bagi kaum wanita keraton, selain juga para abdi dalem. Peran keraton
terlihat adanya peraturan dalam hal pemakain batik untuk motif tertentu dan dalam
acara-acara tertentu. Perkembangan corak batik di Surakarta yang pesat justru
telah menurunkan kandungan nilai maknanya. Tatanan pemakaian batik menjadi
kabur karena antara yang digunakan untuk para bangsawan dan para warga
masyarakat biasa menjadi tidak jelas. Oleh karena itu, Paku Buwono III membuat
suatu tatanan pemakain kain batik seperti berikut:
“Ana dene kang arupa jarit kang kalebu laranganingsun, batik sawat lan batik
parang, batik cemukiran kang celacap modang, bangun tulak, lenga teleng lan
tumpal, apa dene batik cemungkiran kan calacap lung-lungan, kang sun
13
wenangake anganggota pepatihingsun lan sentananingsun, dene
kawulaningsun padha wedia”
“ Ada beberapa jenis kain batik yang menjadi larangan saya, batik lar, batik
parang, batik cemukiran yang berujung seperti paruh podang, bangun tulak
lenga teleng serta berwujud tumpal dan juga batik cemukiran yang berbentuk
ujung lung (daun tumbuhan uang menjalar di tanah), yang saya ijinkan
memakai adalah patih dan para kerabat saya. Sedangkan para kawula tidak
diperkenankan” (Kalingga, 2002: 9).
Di daerah Lasem keberadaan batik Lasem sangat erat kaitannya dengan
datangnya bangsa asing terutama bangsa Cina. Hal ini menimbulkan corak
tersendiri yaitu corak khas Cina. Daerah Lasem dan daerah yang terletak di
kawasan pesisir utara memang wilayah yang pertama kali bersentuhan dengan
budaya asing. Adapun di daerah Pekalongan perkembangan dan keberadaan batik
juga tidak terlepas dari pengaruh Cina, Arab, Belanda, Jepang, dan kraton
Surakarta. Bagi kaum Arab, seperti halnya terdapat pada seni Islam, motif yang
bercorak makhluk hidup tidak dikembangkan. Oleh karena itu yang berkembang
adalah motif dengan corak geometrik atau jlamprang. Pekalongan pernah
dijadikan pusat untuk produksi batik Belanda atau Indo-Eropa. Pengusaha batik
bangsa Belanda seperti Ajf Jeans, Lian Metzelaar, Tina van Zuylen, dan Eliza van
Zuylen merupakan penyumbang besar bagi perkembangan batik Pekalongan.
Ragam hias dan komposisinya disesuaikan dengan motif-motif yang berkembang
di Eropa sehingga akhirnya menimbulkan gaya khas Pekalongan atau pesisiran.
b. Kelompok Batik di Indonesia
Menurut Kusrianto (2013: 34) menilik sejarahnya, sejak zaman penjajahan
Belanda batik telah digolongkan menjadi dua kelompok besar dengan mengacu
14
pada sudut daerah pembuatan batik tersebut, yaitu batik Vorstenlanden dan batik
pesisir.
1) Batik Vorstenlanden
Batik Vorstenlanden merupakan istilah bagi batik yang berasal dari
wilayah Solo dan Yogyakarta karena pada saat itu daerah ini merupakan
daerah Keraton atau Kerajaan yang disebut Vorstenlanden. Kegiatan
membatik bagi kalangan keraton adalah sebagai media untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Batik di kalangan keraton juga
berkaitan dengan tingkat keningratan dan kebangsawanan. Ada corak-corak
tertentu yang hanya boleh di pakai oleh raja dan keluarga dekatnya. Biasanya
corak corak seperti ini di sebut corak larangan, artinya masyarakat umum
yang bukan trah keraton atau golongan bangsawan tidak boleh
mengenakannya.
Keberadaan batik Yogya tentu tidak lepas dari seejarah berdirinya
Kerajaan Mataram Islam oleh Panembahan Senopati (Hamengkubuwono 1).
Setelah memindahkan pusat kerajaan dari Pajang ke Mataram, dia sering
bertapa di sepanjang pesisir pulau Jawa, antara lain Parang Kusuma menuju
Dlepih Parang Gupito, menelusuri tebing Pegunungan Seribu yang tampak
seperti “pereng” atau tebing berbaris. Sebagai Raja Jawa yang tentu
menguasai seni, keadaan tempat tersebut mengilhaminya menciptakan pola
15
batik lereng atau parang, yang merupakan cirri ageman (pakaian) Mataram
yang berbeda dengan pola sebelumnya.
Semenjak perjanjian Giyanti tahun 1755 yang melahirkan kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, segala macam tata adibusana, termasuk
di dalamnya adalah batik, diserahkan sepenuhnya oleh Keraton Surakarta
kepada Keraton Yogyakarta. Hal inilah yang kemudian menjadikan Keraton
Yogyakarta sebagai kiblat perkembangan budaya, termasuk pola khazanah
batik, kalaupun batik di Keraton Surakarta memiliki beragam inovasi,
sebenarnya motif pakemnya tetap bersumber pada motif batik keraton
Yogyakarta (Wulandari, 2011: 55).
2) Batik Pesisir
Batik pesisir adalah batik yang berkembang di kawasan Pantai Utara
Pulau Jawa. Kemunculannya dengan membawa ciri yang sangat kuat
membuat para pengamat batik di zaman pendudukan Belanda dengan tegas
mengelompokkan batik Jawa menjadi dua, yaitu batik Vorstenlanden dan
batik Pesisiran
Dari situlah muncul stigma bahwa jika bukan batik Vorstenlanden, berarti
batik pesisiran. Jika tidak termasuk keduanya, berarti bukan motif batik. tentu
kita tidak akan berpegang pada pemikiran pengamat Belanda yang analisanya
dibuat pada akhir abad ke-19 itu. Selain kenyataan batik sudah meluas di
16
banyak daerah dan memiliki corak yang beraneka ragam, masing-masing
daerah telah mengembangkan ciri di daerah masing-masing.
Fenomena kemunculan batik pesisiran suatu "pemberontakan" terhadap
bentuk batik klasik yang telah lama ada. Motif batik pesisiran dianggap
"nyeleneh", tidak mirip batik yang telah akrab dalam kehidupan orang Jawa,
terutama dalam tampilan warna dan motifnya (Kusrianto, 2013: 208). Pada
awal kemunculannya, orang Jawa sebagai pemakai aktif jarit batik memang
sulit untuk menerima kenyataan bahwa yang seperti ini juga batik. Hal ini
berkaitan dengan penggunaan batik sebagai sarana pelengkap dalam
menjalani suatu ritual, misalnya hajatan, pemberian pada saat akan menikah,
maupun upacara resmi yang lain.
Batik pesisiran tidak mengenal pengkhususan pengguna sebagaimana
batik Keraton. Batik pesisiran merupakan silang budaya berbagai bangsa yang
pernah berinteraksi dengan penduduk di daerah pantai utara pulau Jawa ini
mampu menembus batas-batas bangsa, mengabaikan batas-batas kasta
maupun strata sosial. Dengan demikian, batik pesisiran cenderung lebih
luwes, tidak kaku, dan bernuansa lebih ceria (Kusrianto, 2013: 209).
Warna dalam batik pesisiran juga sangat beragam, biasanya menggunakan
latar warna gading (jingga atau warna mangga yang hampir masak), biru tua,
hijau tua, cokelat tanah, hingga ungu. Sedangkan ragam hiasnya sangat
dipengaruhi oleh unsur-unsur yang menjadi cirri khas daerah yang
17
bersangkutan, seperti letak geografis, keadaan alam, falsafah penduduk, sifat
masyarakat, pola penghidupan dan kepercayaan masyarakat (Wulandari,
2011: 64).
3. Ragam Hias Batik
a. Pengertian Ragam Hias
Ragam hias merupakan hasil budaya sejak masa pra sejarah dan berlanjut
sampai masa kini. Ragam hias memiliki pengertian secara umum, yaitu keinginan
manusia untuk menghias benda – benda di sekelilingnya, kekayaan bentuk yang
menjadi sumber ornament dari masa lampau yang berkembang di Istana Raja –
Raja dan Bangsawan, baik yang ada di Bangsa Barat maupun Bangsa Timur.
Istilah yang lain berkaitan dengan ragam hias adalah ragam. Ragam menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti “pola” atau “corak”,sedangkan corak
berarti bunga atau gambar – gambar (Shadly,1980:593). Pengertian yang hampir
serupa dengan ragam hias adalah ragam hiasan dan ornamen. Ragam hiasan
adalah suatu pola atau corak hiasan yang terungkap sebagai ungkapan ekspresi
jiwa manusia terhadap keindahan atau pemenuhan kebutuhan lain yang bersifat
budaya.Ornamen pada hakekatnya sekedar gambaran dari “irama”dalam garis
atau bidang.
Ragam hias atau ornamen adalah wujud hasil karya manusia yang merupakan
produk kebudayaan. Seperti yang diungkapkan Koentjaraningrat (1974; 15-16)
bahwa kebudayaan paling tidak memiliki tiga wujud, yaitu: pertama, sebagai
suatu kompleks ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan lain-lain; kedua, sebagai
18
suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola manusia dalam masyarakat; dan ketiga
sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan pertama dikenal
sebagai wujud ideal kebudayaan; yang kedua dikenal sebagai sistem sosial; yang
ketiga dikenal sebagai kebudayaan fisik.
Batik Indonesia memiliki ragam hias yang beraneka macam. Berbagai bentuk
dan unsur keragaman budaya yang sangat kaya dapat dilihat dalam ragam hias
batik. Ragam hias batik adalah hasil lukisan pada kain dengan menggunakan alat
yang disebut dengan canting (Wulandari, 2011: 104). Jumlah ragam hias batik di
Indonesia saat ini sangat beragam, baik variasi bentuk maupun warnanya.
Ragam hias batik pada umumnya dipengaruhi oleh letak geografis daerah
pembuatan, sifat dan tata penghidupan daerah bersangkutan, kepercayaan dan
adat istiadat yang ada, keadaan sekitar, termasuk flora dan fauna, serta adanya
kontak atau hubungan antar daerah pembatikan.
b. Kelompok Ragam Hias Batik
1) Ragam Hias Geometris
Ragam hias geometris adalah ragam hias yang mengandung unsur-
unsur garis dan bangun, seperti garis miring, bujur sangkar, persegi
panjang, trapezium, belah ketupat jajaran genjang, lingkaran, dan bintang,
yang disusun secara berulang-ulang untuk membuat satu kesatuan corak.
Yang termasuk ragam hias geometris adalah ceplok, ganggong, parang
atau lerang, dan banji.
19
a) Ceplok atau ceplokan adalah ragam hias batik yang didalamnya
terdapat gambaran-gambaran bentuk lingkaran, roset, binatang,
dan variasinya. Beberapa nama ragam hias ceplok yaitu ceplokan