12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Novel Wujud refleksi dari kehidupan masyarakat dapat berbentuk sastra meskipun dalam penyajiannya tidak bisa jauh dari unsur imajinatif. Selain refleksi kehidupan masyarakat, melalui sastra seseorang akan mendapatkan nilai-nilai moral yang dapat dijadikan tuntunan dan pengalaman. Sejalan dengan pendapat Bronowski (dalam Emzir, 2015: 9) yang menyebutkan bahwa sastra dijadikan sebagai media untuk membuka wawasan dan pengetahuan masyarakat dan menyadarkan masyarakat yang selama ini masih merasa ada di dalam kenyataan yang sesungguhnya padahal sebenarnya hanya berada pada entitas yang mirip dengan kenyataan. Realitas dalam karya sastra adalah wujud dari pengalaman dan pengamatan dari kehidupan yang sebenarnya yang dibawa oleh pengarang berdasarkan apa yang ingin diungkapkan dan apa yang sedang terjadi dalam lingkungan masyarakat. Searah dengan hal tersebut Priyatni (2010: 12) mengemukakan bahwa sastra adalah ungkapan realitas kehidupan masyarakat yang mendapat sentuhan imajinasi atau fiksi kebenaran fiksi yang ditampilkan dalam karya sastra oleh pengarang sesuai dengan keyakinan pengarang. Selain itu latar belakang dan lingkungan hidup pengarang juga mempengaruhi terbentuknya karya sastra. Pada pembahasan masalah karya sastra, secara disadari maupun tidak juga membahas masalah kajian teks. Perbedaan antara teks sastra dan teks yang bukan sastra memang tidak terlihat secara jelas. Hal itu didasari dengan adanya asumsi bahwa media teks adalah bahasa. Persamaan teks sastra dengan bukan teks sastra
29
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA Noveleprints.umm.ac.id/38823/3/BAB II.pdf · Pada esksistensi budaya Jawa atau kejawen, selain mengarah pada religi atau ketuhanan, juga berkaitan dengan dunia
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Novel
Wujud refleksi dari kehidupan masyarakat dapat berbentuk sastra meskipun
dalam penyajiannya tidak bisa jauh dari unsur imajinatif. Selain refleksi
kehidupan masyarakat, melalui sastra seseorang akan mendapatkan nilai-nilai
moral yang dapat dijadikan tuntunan dan pengalaman. Sejalan dengan pendapat
Bronowski (dalam Emzir, 2015: 9) yang menyebutkan bahwa sastra dijadikan
sebagai media untuk membuka wawasan dan pengetahuan masyarakat dan
menyadarkan masyarakat yang selama ini masih merasa ada di dalam kenyataan
yang sesungguhnya padahal sebenarnya hanya berada pada entitas yang mirip
dengan kenyataan.
Realitas dalam karya sastra adalah wujud dari pengalaman dan pengamatan
dari kehidupan yang sebenarnya yang dibawa oleh pengarang berdasarkan apa
yang ingin diungkapkan dan apa yang sedang terjadi dalam lingkungan
masyarakat. Searah dengan hal tersebut Priyatni (2010: 12) mengemukakan
bahwa sastra adalah ungkapan realitas kehidupan masyarakat yang mendapat
sentuhan imajinasi atau fiksi kebenaran fiksi yang ditampilkan dalam karya sastra
oleh pengarang sesuai dengan keyakinan pengarang. Selain itu latar belakang dan
lingkungan hidup pengarang juga mempengaruhi terbentuknya karya sastra.
Pada pembahasan masalah karya sastra, secara disadari maupun tidak juga
membahas masalah kajian teks. Perbedaan antara teks sastra dan teks yang bukan
sastra memang tidak terlihat secara jelas. Hal itu didasari dengan adanya asumsi
bahwa media teks adalah bahasa. Persamaan teks sastra dengan bukan teks sastra
13
terletak dalam unsur bahasa, yaitu kata, kalimat, dan makna. Hal itu sejalan
dengan pendapat Fananie (2002: 2) bahwa bahasa dalam teks sastra tidaklah
sebagai sarana komunikasi, karena potensi bahasa dapat digunakan tanpa batasan.
Hanya saja, terdapat tiga aspek utama dalam teks sastra yaitu, decore, delectare
dan movere.
Decore berkaitan dengan fungsi teks sastra haruslah memberikan sesuatu
terhadap pembaca. Pemberian itu dapat berupa kesan baik, manfaat, pengalaman,
informasi maupun nilai moral yang dapat diambil oleh pembaca sehingga dapat
menambah wawasannya. Delectare, berkaitan dengan teks sastra yang di
dalamnya terkandung unsur estetik. Movere menuntun untuk pembaca mampu
menggerakkan kreativitas yang dimiliki setelah membaca teks sastra.
Novel adalah sebuah karya sastra tulis di mana terdapat unsur intrinsik dan
ekstrinsik yang mendominasi. Unsur intrinsik yang meliputi, tema, alur, tokoh,
amanat, setting dan sudut pandang. Unsur ekstrinsik atau unsur pembangun
sebuah karya sastra yang di dalamnya terdapat keterkaitan cerita dengan ilmu
psikologi, sosiologi, dan antropologi. Dalam penelitian ini lebih mengarah kepada
adanya unsur pembangun sebuah karya sastra, khususnya pada novel Simple
Miracles Doa dan Arwah Karya Ayu Utami yang didominasi oleh unsur
kebudayaan Jawa.
Menurut Nurgiantoro (1995: 19) novel dibagi menjadi dua jenis yaitu, novel
serius dan novel populer. Novel serius yaitu novel yang ketika membacanya
memerlukan daya konsentrasi yang tinggi dan harus memahaminya dengan baik
untuk mengetahui maksud serta pesan yang disampaikan. Novel serius
memberikan pengalaman berharga dan hiburan pada pembaca. Novel populer
14
adalah novel lebih banyak memberikan hiburan dan memiliki masa banyak
penggemar serta memiliki masa untuk tidak digemari lagi. Novel populer
memberikan cerita dan permasalahan yang sedang booming, terlebih mengenai
cinta dan dunia remaja. Novel populer lebih mengikuti zaman daripada novel
serius, karena novel populer hanya menekankan pada mencari kesukaan pembaca
melalui zaman.
2.2 Struktur Novel
Karya sastra memiliki struktur sendiri yang diartikan sebagai susunan,
penegasan, dan gambaran yang membentuk satu kesatuan yang indah.
Selanjutnya, menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995: 36) sebuah karya
sastra, fiksi atau puisi mempunyai unsur pembangun yang koherensif sehingga
merupakan sebuah totalitas. Struktur karya sastra juga mengacu pada hubungan
antar unsur instrinsik yang bersifat timbal balik, saling menentukan dan
mempengaruhi, sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh jika bersama-sama.
Lain halnya jika unsur tersebut hanya berdiri sendiri maka bagian-bagian tersebut
tidak penting, namun jika berhubungan dengan unsur-unsur yang lain, maka akan
lebih mempunyai makna dan membentuk suatu wacana (Nurgiyantoro, 1995: 36).
Berdasarkan pernyataan tersebut, agar lebih mudah dalam mengkaji novel
Simple Miracles doa dan arwah karya Ayu Utami maka, penelitian dilakukan
dengan menganalisis pada tokoh dan penokohan yang dapat mengungkap sebuah
mitos Jawa, namun dihubungkan dengan unsur instrinsik lain pembangun novel
yaitu tema, alur, latar (setting), dan amanat.
15
a. Tema
Tema merupakan ide pokok yang terdapat dalam cerita yang dijadikan
sebagai landasan bagi pengarang untuk mengembangkan cerita. Cerita tidak akan
memiliki arah yang jelas tanpa adanya tema. Tema bersifat subjektif dan
mengandung realita. Hal itu sejalan dengan Stanton (2012: 7) yang berpendapat
bahwa terdapat kekuatan dalam tema yang dapat menegaskan kejadian dalam
sebuah cerita. Tema yang memiliki kebebasan penafsiran dan adanya unsur
subjektif dalam penilaian dan penentuan tema dalam karya sastra yang dilakukan
pembaca membuat Nurgiyantoro (1995: 82-83) membagi tema menjadi dua, yaitu
tema mayor dan tema minor. Tema mayor adalah makna pokok cerita yang
menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu. Sedangkan tema minor adalah
makna-makna tambahan.
b. Alur
Cerita tidak dapat dipisahkan dari unsur yang disebut plot atau alur. Kenny
(dalam Nurgiyantoro, 1995: 113) mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa
yang ditampilkan dalam cerita yang tidak sederhana, karena peristiwa itu telah
disusun berdasarkan kaitan sebab akibat oleh pengarang. Menambahkan
pengertian di atas, Stanton (2012:26) mengemukakan alur merupakan rangkaian
peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Peristiwa tersebut terhubung secara
kasual, dan peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang dapat menyebabkan atau
menjadi dampak dari peristiwa yang lain. Hal tersebut tidak dapat diabaikan
karena akan berpengaruh pada keseluruhan cerita.
16
c. Latar/ Setting
Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995: 216), latar atau setting disebut
juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu,
dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Pendapat lainnya menurut Stanton (2012:35) latar merupakan lingkungan yang
melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan
peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung di dalam sebuah karya sastra. Dalam
novel terdapat hubungan antara latar dengan unsur cerita yang lain, baik secara
langsung maupun tak langsung, khususnya dengan alur dan tokoh. Perbedaan
latar, baik yang menyangkut hubungan tempat, waktu, maupun sosial menuntut
adanya perbedaan pengaluran dan penokohan (Nurgiyantoro, 1995: 223- 225).
d. Sudut Pandang
Sudut pandang menceritakan tentang apa yang dikisahkan. Pada sudut
pandang pengarang menggunakannya sebagai sarana untuk menyajikan cerita
dalam suatu karya sastra, khususnya karya fiksi. Menurut Stanton (2012: 52)
sudut pandang terbagi menjadi empat tipe utama, yaitu orang pertama-utama,
orang pertama sampingan, orang ketiga terbatas, dan orang ketiga tidak terbatas.
Sudut pandang pertama utama memungkinkan pembaca merasakan tokoh aku
dalam karya sastra dan pembaca dapat menjalani seolah-olah itu nyata dan terjadi
pada dirinya. Sudut pandang orang pertama sampingan memudahkan narator
untuk mendeskripsikan secara lengkap tokoh utama sekaligus mengomentarinya.
Sudut pandang orang ketiga terbatas yang ditawarkan oleh pengarang adalah
sudut pandang yang memungkinkan pembaca untuk mengetahui jalan pikiran
pengarang. Akan tetapi pada sudut pandang ini lebih sering menghalangi pembaca
17
untuk memahami dan tidak sejalan antara apa yang dipikirkan karakter tokoh
dengan apa yang dipikirkan oleh pembaca. Pada sudut pandang orang ketiga tidak
terbatas, memberikan keluasan dan kebebasan pengarang untuk pembaca
menafsirkan apa yang dipikirkan melalui karya sastranya.
f. Tokoh dan Penokohan
Istilah “tokoh” menunjuk pada pelaku cerita. Abrams (dalam
Nurgiyantoro,1995: 165) menjelaskan bahwa tokoh (character) merupakan orang-
orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca
ditafsirkan mempunyai kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam dialog atau melalui tindakan. Dari segi peranan atau tingkat
pentingnya tokoh, maka oleh Nurgiyantoro (1995: 176) tokoh dibedakan menjadi
tokoh utama cerita dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang memiliki
kedudukan penting dalam sebuah cerita, mendominasi cerita, dan memliki peran
penting dalam cerita. Tokoh tambahan adalah tokoh sampingan yang mendukung
tokoh utama dan muncu sesekali dalam cerita.
Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, maka dikenal tokoh protagonis, yaitu
tokoh yang dikagumi, dikenal sebagai hero– tokoh yang sesuai dengan harapan-
harapan pembaca, segala hal yang dirasakan tokoh tersebut seperti yang dirasakan
pembaca. Berlawanan dengan tokoh protagonis, tokoh antagonis adalah tokoh
yang menciptakan konflik dan ketegangan, khususnya terhadap tokoh protagonis
(Nurgiyantoro, 1995: 178-179)
g. Amanat
Amanat atau moral cerita merupakan pesan pengarang yang disampaikan,
tentang kehidupan, nilai-nilai kebenaran, dan hal tersebut ingin disampaikan
18
kepada pembaca melalui cerita, pengertian tersebut diungkapkan oleh Kenny
(dalam Nurgiyantoro, 2010:321). Melalui amanat tersebut maka dengan melihat
sikap para tokoh, maksud dari kejadian dan peristiwa, serta melalui sikap, cerita
dan tingkah lakunya dapat mengambil hikmah atau pesan dari cerita yang
diamanatkan.
2.3 Teori Antropologi Sastra
Antropologi sastra merupakan ilmu mengenai karya sastra yang berkaitan
dengan manusia dan budayanya. Antropologi sastra mengarah pada pembahasan
lebih terkhusus mengenai kultural atau bisa disebut antropologi kultural. Ciri dari
antropologi kultural dalam sastra adalah dengan masukkan karya-karya yang
dihasilkan oleh manusia, seperti: bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, norma,
adat istiadat, karya seni dan khususnya sastra.
Peneliti antropologi sastra mengenal adanya ‘sastra lisan’. Menurut
Rokhman, dkk (2003: 80) mengemukakan bahwa sastra lisan dapat diperlakukan
sebagai sebuah “pintu masuk” untuk memahami budaya itu sendiri. Sebagaimana
halnya sastra lisan, sastra tulis juga diperlakukan sebagai objek material, baik
sebagai “pintu masuk” untuk memahami kebudayaan yang sedang dipelajari.
Namun sebagai sumber informasi tentang kebudayaan masyarakat penciptanya,
para ahli antropologi melakukan dengan hati-hati, hal ini disebabkan karena
sebuah karya sastra pada dasarnya adalah hasil dari imajinasi penulisnya,
sehingga informasi tentang kebudayaan yang ada di dalamnya tidak harus
dipercaya sepenuhnya sbagai informasi yang akurat.
19
Dalam penelitian antropologi ada peradigma yang dapat digunakan untuk
memahami karya sastra, salah satunya adalah paradigma fungsionalisme. Menurut
Rokhman, dkk (2003: 88) berpendapat bahwa melalui kacamata fungsional,
peneliti kebudayaan akan berupaya antara lain untuk: (1) memperlihatkan bahwa
unsur-unsur kebudyaan yang masih hidup dalam lingkungan masyarakat pada
dasarnya memenuhi fungsi tertentu, (2) memperlihatkan keterkaitan antara unsur
tertentu dalam masyarakat dengan unsur yang akan diteliti, (3) adanya suatu
perubahan yang terjadi pada satu unsur kebudayaan tertentu akan mengakibatkan
perubahan-perubahan pada pelbagi macam unsur lain.
Berdasarkan penjelasan di atas, keterkaitan antara antropologi sastra dengan
kehidupan manusia begitu jelas. Pengamatan dari kultur hingga karya yang
dihasilkan menjadi kajian yang terpenting. Meskipun pada antropologi sastra lebih
banyak membahas tentang kemampuan imajinasi dan kreativitas, namun bagi
peneliti itulah yang perlu dikaji. Hal itu sejalan dengan Ratna (2011: 190) yang
mengemukakan bahwa sebagai bagian dari kebudayaan, sastra pada dasarnya
mengolah, tetapi yang diolah adalah tulisan, cara-cara mengolah itu pun dilakukan
dengan menggunakan kemampuan imajinasi dan kreativitas. Selain itu, dalam
antropologi sastra, masa lampau dianggap sebagai energi, kualitas yng
membangkitkan bagi setiap individu untuk bangkit kembali, bahkan dari
kehidupan yang menyakitkan.
2.4 Budaya Jawa
Kata “Kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta, buddhayah, yaitu
bentuk jamak dari buddhi yang berarti ‘budi’ atau ‘akal’. Dengan demikian
20
kebudayaan dapat dikaitkan dan bersangkutan dengan akal (Sapardi, 2008: 119)
Kebudayaan dalam Jawa memiliki nilai kegunaan (utility) yang bermakna bahwa
kebudayaan mengandung unsur guna dan migunani. Kebudayaan Jawa mendapat
gelar adiluhung, sehingga sangat berpengaruh di seluruh nusantara. Tanah Jawa
yang terkenal dengan negeri gemah ripah loh jinawi, didukung oleh tanah yang
subur. Budaya Jawa juga terkenal dengan pengaruh tradisi, mistis, mitos dan
cerita takhayul yang diwariskan nenek moyang. Dengan demikian masyarakat
Jawa percaya dan meyakini bahwa mitos memiliki fungsi dan makna dalam
keberlangsungan hidup.
Kebudayaan Jawa memiliki unsur-unsur yang mengarah pada kategori
yanag khas yang dipengaruhi oleh unsur pemikiran Hindu-Budha Sebagai suatu
sistem pemikiran yang mengarah pada kebudayaan Jawa berkaitan dengan
komologi, mitologi, yang pada dasarnya memiiki konsep dan hakikat mistik.
(Mulder, 1996: 16). Kebudayaan Jawa dikenal dengan kejawaan atau kejawen.
Kejawaan atau kejawen bukan hal yang hanya mengarah pada religi melainkan
menunjuk kepada suatu bagaimana tindakan manusia dan gaya hidupnya. Secara
kosmologi, kehidupan di dunia adalah bagian dari kesatuan eksistensi yang
meliputi segalanya. Kesatuan eskistensi pada pusatnya mengarah pada, “Yang
Maha Tunggal” yang mana semua esksitensi berasal dari yang memberikan hidup.
Dalam pandangan kejawaan praktek keagamaan formal harus dianggap sebagai
suatu persiapan untuk beretmu denagan ketuhanan dalam diri, untuk mneyadarkan
diri bahwa pandangan keagaaman/religi kejawaan tidak menekankan ilmu
akhirat, melainkan lebih mengerah pada suatu kultus kehidupan dalam dimensi
yang lebih dalam: pertumbuhan kehidupan. Religi kejawaan juga memberikan
21
konsep bahwa cara yang benar dalam menghadapi kehidupan adalah dengan
sungguh-sungguh dan menaruh perhatian kepada yang menciptakan.
Pada esksistensi budaya Jawa atau kejawen, selain mengarah pada religi
atau ketuhanan, juga berkaitan dengan dunia lair yang menggejala dalam inti
batin, pengakuan mengenai alam rasional yang penuh rahasia. Semua itu
tergabung dalam tingkat rasa, di mana secara mistik rasa dapat dilukiskan dengan
perasaan. Dalam pemikiran Jawa rasa sering kali dioertentangkan dengan rasio,
nalar atau akal, akan tetapi akal tidak selalu memahami maksud dari rasa batin
seseorang. Dalam pandangan kejawaan rasa bersifat gaib dan subjektif. Oleh
karena itu, ajaran Jawa penuh dengan simbolis dan ilmu rahasia (ngelmu)
(Mulder, 1996: 24).
Kesatuan eksistensi pada dasarnya mengarah pada rahasia, namun juga
merupakan tatanan yang teratur di mana kehidupan di dunia dipandang semata-
mata sebagai ekspone suatu bayangan dari kebenaran yang Maha Tinggi. Dengan
demikian manusia mempuyai kewajiban moral untuk menghormati tata
kehidupan. Menerima (nrima) yang berarti tahu diri, memahami di mana dirinya
berasa, percaya pada nasibnya sendiri dan bersyukur kepada Tuhan atas nikmat
dan segala takdir yang telah diberikan serta ditetapkan.
Budaya Jawa atau kejawaan yang merupakan jati diri Jawa hadir dalam
dunia mistik, di mana terdapat tradisi yang kompleks yang ada di dalamnya.
Ajaran-ajaran kejawaan menyebar luas diseluruh wilayah, yang biasanya
disebarkan melalui tulisan. Jawa yang memiliki jumlah penduduk terbesar dan
memiliki wilayah dengan pedoman mitos yang berbeda-beda pada setiap daerah.
22
Setiap daerah atau wilayah memiliki cerita mitos yang memiliki ciri khas
tersendiri yang dijadikan kepercayaan serta ditaati.
Orang Tengger di Jawa Timur memiliki falsasfah mistik tersendiri.
Masyarakat Tengger percaya bahwa nama Tengger berasal dari tokoh mistis Rara
Anteng dan Joko Seger. Kedua tokoh ini dipuja dengan melakukan slametan.
Orang Jawa di Banyuwangi juga memiliki legenda tentang terjadinya kota
tersebut. Masyarakat Ponorogo juga memiliki semboyan mistis, yaitu “Jangan
mengaji di pondok, mengajilah di Ponorogo”. Ponorogo adalah kota yang terkenal
mistisnya di Jawa Timur (Endraswara, 2003: 7)
Menurut Hardjowirogo (1984: 7) menambahkan bahwa masyarakat Jawa
memiliki budaya satu satu, berperasaan dan berpikir sesuai dengan nenek moyang
di masa lampau yang pusatnya di Jawa Tengah, khususnya kota Solo dan
Yogyakarta. Dalam pengahayatan hidup orang Jawa, baik yang tinggal di Jawa
maupun diluar Jawa bahkan di luar negeri sekalipun, orientasi orang Jawa akan
berkiblat pada kota Solo dan Yogyakarta. Oleh sebab itu, Jawa yang memiliki
penduduk terbesar di Indonesia memiliki kendali dalam hal kebudayaan disadari
ataupun tidak, mau atau tidak mempunyai pengaruh besar terhdap kebudayaan
Indonesia.
Menurut Sugiarti dan Sri Handayani (1999: 26) sistem budaya merupakan
ide atau gagasan yang hidup bersama masyarakat dan tidak bisa dipisahkan antara
satu sama lain. Sistem budaya yang merupakan bagian dari kebudayaan dapat
diartikan sebagai adat istiadat yang mencangkup norma-norma yang ada di
masyarakat. Norma-norma yang itulah yang dapat menghidupkan etika, sopan
santun dan dapat membentuk moral suatu masyarakat.
23
Kusumohamidjojo (2010: 150) juga mempaparkan bahwa nilai akan
menjadi nilai hanya karena makna sebagai akibat dari keputusan yang dibuat oleh
manusia. Nilai budaya yang terlihat derdasarkan pendapat kedua para ahli tersebut
memiliki kesimpulan bahwa dalam nilai budaya dapat mengotrol sikap
masyarakat, menentukan dan sebagai pedoman ukuran baik dan buruknya
perbuatan dan sdapat menjadi hakim dalam kehidupan sosial untuk menghukum
masyarakat jika melanggar etika dan nilai yang dianggap sebagai norma.
Menurut Koentjaraningrat (1990: 190) sistem nilai budaya mengarah pada
suatu konsep abstrak yang hidup di alam pikiran sebagian besar dari warga suatu
masyarakat, mengenai apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup.
Seorang ahli antropologi terkenal, C. Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat: 1990:
190) berpendapat bahwa, nilai budaya masyarakat dipengaruhi oleh lima masalah
dasar yang menajdi pedoman hidup manusia, pertama, berkaitan dengan masalah
hakikat hidup manusia dengan manusia. Masalah yang berkaitan hakikat dari
hidup manusia. Pada tataran keterkaitan hidup manusia dengan manusia, yang
menjadi pertimbangan adalah manusia harus saling menghargai dan menjaga
hubungan baik dengan sesamanya. Kedua, berkaitan dengan kedudukan manusia
dalam ruang dan waktu. Pada hubungan manusia dalam ruang dan waktu
membahas tentang cara manusia memanfaatkan waktu hidupnya dan
menempatkan dirinya sesuai dengan dirinya berada. Ketiga, berkaitan dengan
karya manusia. Pada hubungan masalah dengan karya manusia, membahas
tentang bentuk karya manusia baik sebagai kesenangan maupun sebagai mata
pencaharian. Keempat, manusia dengan alam sekitarnya. Pada hubungan manusia
dengan alam sekitarnya, membahas tentang penjagaan dan penghargaan manusia
24
terhadap alam yang merupakan ciptaan Tuhan, jika manusia dapat menjaganya
dengan baik maka alam akan berbalik baik, akan tetapi ketika manusia melakukan
kerusakan pada alam, maka alampun akan melakukan suatu ynag dapat merugikan
manusia, salah satu contohnya adalah adanya banjir. Kelima, masalah berkaitan
hakikat dari manusia dengan sesamanya. Pada masalah yang kelima ini manusia
dihadapkan pada sesamanya, agar bisa saling menolong dan menegur ketika
melakukan kesalahan sesuai dengan norma dan aturan yang ada.
Dengan adanya nilai budaya juga memberikan kontrol terhadap norma, serta
sebagai penentu baik atau buruknya seseorang. Nilai budaya yang saling berkaitan
erat dengan etika, akan mendorong manusia kuat dan dapat mengatasi masalah
yang terjadi dalam lingkungan masyarakat. Berdasarkan paparan di atas dapat
disimpulkan bahwa budaya masyarakat Jawa tidak dapat dipisahkan dengan
tradisi, adat, dan folklor. Adanya budaya juga menyebabkan kepercayaan
masyarakat atau kepercayaan rakyat yang mensugesti pikiran, sehingga
masyarakat menganggap bahwa apa yang dipercaya benar terjadi.
2.5 Pengertian Mitos
Mitos mengandung nilai-nilai kebudayaan yang sifatnya turun-temurun dan
dipercaya memiliki makna dan fungsi. Sebelum membahas jauh tentang
pengertian mitos, perlu diketahui terlebih dahulu asal-usul penemu pertama yang
membahas tentang mitos. Mitos berasal dari bahasa Yunani mythos yang berarti
kata yang diucapkan. Pada awalnya, mitos selalu dilawankan dengan kata logos.
Menurut Noth (dalam Ratna, 2011: 110) secara etimologis mitos berasal dari kata,
ucapan, cerita tentang dewa-dewa. Tetapi alam perkembanagn berikut mitos
25
diartikan sebagai wacana fiksional dan logos diartikan sebagai wacana rasional.
Mitos juga diartikan sebagai cerita mengenai dewa-dewa, pahlawan-pahlawan dari
zaman lampau.
Pada kehidupan masyarakat modern pun mitos selalu ada. Barthes (dalam
Widada, 2009:62) menyatakan bahwa orang modern selalu dikelilingi oleh mitos-
mitos, orang modern juga produsen sekaligus konsumen mitos. Suatu mitos dari
masa lampau akan tetap berlaku pada masanya. Sekali ditinggalkan pada masa itu,
mitos tidak akan berfungsi lagi. Hal itu sejalan dengan pemikiran Barthes (2006:
178) yang mengemukakan bahwa mitos merupakan sebuah nilai, tidak ada
jaminan tentang kebenarannya, tidak ada yang bisa mencegah terjadi maupun
berubahnya mitos; cukuplah dikatakan bahwa penanda mitos memiliki dua sisi
karena mitos selalu menggunakan ‘sesuatu yang ada di tempat lain’ sesuai
kehendaknya
Berdasarkan pendapat Barthes tersebut, mitos bisa dikatakan lahir dari
historis atau sejarah masa lampau yang siapapun tidak dapat mengubah dan
membuat mitos dengan sendirinya, bahkan menjadikannya suatu ketetapan.
Antropolog budaya dan sastra. Menurut Ratna (2011: 67) mengemukakan bahwa
mitos dalam pengertian tradisional sejajar dengan legenda dan fabel. Masyarakat
primitif memiliki anggapan bahwa mitos adalah suatu sejarah menyingkap adanya
aktivitas supranatural yang memiliki nilai kebenaran dan bermakna hingga saat
ini.
Mitos adalah suatu sistem komunikasi yang mengandung pesan, kenangan
meskipun degan aturan masa lalu. Dengan demikian mitos bukanlah suatu benda,
konsep atau gagasan melainkan sebauh lambang dalam bentuk wacana (discourse)
26
(Barthes dalam Widada, 2008: 63). Lambang mitos memang tidak selalu tertulis,
tetapi dapat berupa film, benda atau peralatan-peralatan tertentu, gambar dan lain
sebagainya yang dapat menjadi bukti. Selain Barthes, Levi-Strauss (dalam
Eagleton, 2010: 161) mitos adalah resolusi imajiner dari kontradiksi sosial yang
sesungguhnya. Levi-Strauss memiliki banyak definisi tentang mitos.
Levi Strauss melakukan analisis mitos dengan definisi yang sederhana, yaitu
mitos merupakan sesuatu yang mengisahkan sebuah cerita. Mitos-mitos tersebut
menghubungkan urutan kejadian yang kepentingannya terletak pada kejadian itu
sendiri dan dalam detail yang menyertainya (Rafiek, 2013: 87). Levi-Strauss juga
berpendapat kisah-kisah mitos terlihat bersifat tidak masuk akal, absurb dan tidak
bermakna, akan tetapi mitos selalu muncu berulang kali di seluruh penjru dunia.
Menurut Budiman (dalam Rafiek, 2010: 88), Levi-Strauss terus
mengembangkan pengertian mitos, ada beberapa pengertian yang menyatakan jika
mitos adalah bahasa yang substansinya bukan terletak pada gaya, irama, atau
sintaksisnya melainkan pada cerita yang diungkapkan. Fungsi mitos terletak pada
makna-makna yang terdapat dalam cerita maupun kejadiannya bukan pada
kebahasaanya. Berbeda dengan Levi-Strauss yang hanya mengamati mitos dari
sudut pandang pengertian. Daniel (2011: 168) mengungkapkan dan
menggolongkan mitos menjadi 5 jenis/bentuk, yaitu mitos kosmogonis, mitos
eskatologis, mitos pahlawan budaya, mitos eksplanatoris, dan mitos neptunus.
Mitos kosmogonis berkaitan dan menjelaskan tentang bagaimana dunia ada.
Pada beberapa kisah kosmogonik, dunia diciptakan dari ketiadaan. Mitos
eskatologis menjelaskan tentang akhir dunia. Mitos eskatologis biasanya
meramalkan tentang kerusakan dunia yang disebabkan oleh manusia sendiri.
27
Mitos pahlawan budaya menjelaskan manusia yang menemukan artefak budaya
atau proses teknologi yang secara radikal mengubah jalannya sejarah. Mitos
eksplanatoris menjelaskan tentang proses atau peristiwa alami. Misalnya mitos
yang terjadi pada orang Yunani Kuno yang percaya bahwa petir adalah senjata
ynag digunakan oleh Dewa Zeus. Mitos neptunus adalah kisah yang diciptakan
untuk menjelaskan keterkaitan fenomena alam, yang memberikan suatu koherensi
metafisika pada dunia.
Mitos merupakan salah satu akar budaya Nusantara. Dengan kata lain, mitos
telah menjadi ideologi bagi orang yang hidup di wilayah kepulauan Indonesia.
Sebagai hasil penggalian budaya, mitos Nusantara dalam karya sastra, khususnya
novel. Secara garis besar mitos adalah sebuah sastra lisan yang memiliki makna
dan pesan dalam lingkungan masyarakat. Mitos dianggap memiliki peran penting
dalam sebuah masyarakat karena dianggap memiliki nilai budaya yang sangat
berharga untuk kehidupan masyarakat. Menurut Abdullah (dalam Endraswara,
2013: 257) mitos memiliki dua kepentingan yaitu kepentingan studi agama dan
kepentingan studi antropologi. Kepentingan studi antropologi berkaitan dengan
manusia dan kebudayaannya, sedangkan untuk kepentingan agama mengarah pada
spiritual yang identik dengan tradisi sepaket dengan makna serta nilai-nilai sakral
yang diarahkan pada Ilahi.
Pada sistem kebudayaan terdapat nilai-nilai kebudayaan yang berharga
untuk kehidupan masyarakat. Nilai budaya baik secara langsung maupun tidak,
dapat mempengaruhi dan mewarnai tindakan-tindakan masyarakat dan
menentukan karakteristik suatu lingkungan. Nilai budaya berkaitan tingkah laku
28
masyarakat yang menyangkut baik buruk kehidupan manusia. Bisa dikatakan
bahwa nilai budaya adalah pedoman dalam masyarakat.
Dengan demikian, realitas mitos Jawa diwujudkan melalui upacara ritual
dan berkaitan dengan kepercayaan. Masyarakat Jawa percaya bahwa mitos tidak
hanya cerita atau peristiwa yang tidak bermakana atau hanya memiliki nilai
negatif, akan tetapi mitos memiliki makna dan nilai positif yang sudah ada sejak
nenek moyang. Masyarakat Jawa percaya bahwa mitos bukan hanya tafsiran
belaka, melainkan harus mereka terapkan dan ulang kembali apa yang telah Tuhan
dan alam supranatural kerjakan.
2.6 Bentuk-bentuk Mitos
Mitos yang diperkuat dengan adanya masa lampau yang menyimpan banyak
kejadian menimbulkan adanya rasa penasaran dan menumbuhkan rasa ingin tahu
apa saja bentuk-bentuk yang ada dalam mitos. Menurut Nensilianti (2016: 504)
mengambil kutipan dari beberapa buku dan penelitian karya: Tromp (1966),
Dhavamony (1973), Mawene (2005), dan Rafiek (2008) yang sesuai dengan novel
Simple Miracle doa dan arwa karya Ayu Utami pengklasifikasian mitos lebih
dikategorikan sesuai dengan data dalam novel ke dalam lima golongan, yaitu 1)