Top Banner
11 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Pustaka 1. Penelitian Terdahulu Kajian pustaka dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menelusuri penelitian-penelitian terdahulu. Penelitian-penelitan itu bisa dimanfaatkan sebagai acuan dalam penelitian ini. Adapun penelitian tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, Perkembangan Kelompok Peron Surakarta dan Sumbangannya Terhadap Pendidikan Di Sekolah. Skripsi itu ditulis oleh Agus Suyamto, mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2009. Skripsi tersebut menggunakan studi kasus tunggal. Analisis penelitian tersebut menyangkut perkembangan Kelompok Peron Surakarta. Analisis tersebut dibatasi pada perkembangan Kelompok Peron Surakarta sejak berdiri sampai dengan kondisinya yang sekarang, pengelolaan organisasi di Kelompok Peron Surakarta, teknik penggarapan (pementasan) di Kelompok Peron Surakarta, produktivitas berteater di Kelompok Peron Surakarta dan sumbangan Kelompok Peron Surakarta terhadap pendidikan di sekolah. Simpulan dari penelitian tersebut adalah: Kelompok Peron Surakarta mengalami perkembangan dari masa ke masa. Seiring perkembangan tersebut, Kelompok Peron Surakarta senantiasa eksis sebagai ruang aktualisasi berteater di
30

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

Dec 26, 2019

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Pustaka

1. Penelitian Terdahulu

Kajian pustaka dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menelusuri

penelitian-penelitian terdahulu. Penelitian-penelitan itu bisa dimanfaatkan sebagai

acuan dalam penelitian ini. Adapun penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, Perkembangan Kelompok Peron Surakarta dan Sumbangannya

Terhadap Pendidikan Di Sekolah. Skripsi itu ditulis oleh Agus Suyamto, mahasiswa

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2009. Skripsi tersebut

menggunakan studi kasus tunggal. Analisis penelitian tersebut menyangkut

perkembangan Kelompok Peron Surakarta. Analisis tersebut dibatasi pada

perkembangan Kelompok Peron Surakarta sejak berdiri sampai dengan kondisinya

yang sekarang, pengelolaan organisasi di Kelompok Peron Surakarta, teknik

penggarapan (pementasan) di Kelompok Peron Surakarta, produktivitas berteater di

Kelompok Peron Surakarta dan sumbangan Kelompok Peron Surakarta terhadap

pendidikan di sekolah.

Simpulan dari penelitian tersebut adalah: Kelompok Peron Surakarta

mengalami perkembangan dari masa ke masa. Seiring perkembangan tersebut,

Kelompok Peron Surakarta senantiasa eksis sebagai ruang aktualisasi berteater di

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

12

kalangan mahasiswa, turut mengharumkan almamater Universitas Sebelas Maret

Surakarta lewat karya-karyanya, mampu mewarnai dunia seni peran, serta ikut

mengayakan wawasan kesusastraan di dunia pendidikan.

Kedua, Perkembangan Kelompok Teater Gidag Gidig di Surakarta pada tahun

1976-2000. Skripsi itu ditulis oleh Fitri Hadi Wiyanti, mahasiswa Program Studi Ilmu

Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2008.

Analisis ini mendeskripsikan latar belakang kemunculan Teater Gidag Gidig dalam

seni pertunjukan, aktivitas Teater Gidag Gidig di Surakarta, dan bagaimana kontribusi

Teater Gidag Gidig bagi masyarakat Surakarta.

Simpulan dari penelitian ini adalah: Teater Gidag Gidig memiliki kepedulian

terhadap keadaan negeri. Persoalan-persoalan seperti ketidakadilan sosial, kemiskinan,

kerusakan moral, hancurnya lingkungan hidup, serta kebohongan para politisi. Segala

aktivitas Teater Gidag Gidig bertujuan agar masyarakat juga mampu membaca semua

persoalan di sekitarnya. Teater Gidag Gidig menggunakan konsep teater modern yang

dikemas dalam teater tradisi menjadikan mereka lebih dekat dengan masyarakat.

Kontribusi Teater Gidag Gidig besar nilainya dalam kancah seni pertunjukan, menjadi

wahana kritis, aspiratif dan menambah variasi potensi dan kreativitas seni budaya

Indonesia.

Ketiga, Perkembangan Teater Kontemporer Indonesia 1968-2008. Disertasi itu

ditulis oleh Achmad Syaeful Anwar, mahasiswa Pascasarjana Program Studi Sejarah

Universitas Indonesia tahun 2012. Analisis ini mendeskripsikan perkembangan Teater

Kontemporer Indonesia dalam rentang waktu 1968-2008.

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

13

Simpulan dari disertasi ini adalah: diungkapnya suatu kesimpulan peran-peran

dari setiap kelompok teater kontemporer terutama dari Bengkel Teater pimpinan

Rendra, Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya, dan Teater Koma pimpian N.

Riantiarno.

Uraian di atas menggambarkan bahwa di dalam penelitian berjudul

Perkembangan dan Aliran Teater Kelompok Kerja Teater TESA 1987-2014, memiliki

perbedaan dengan penelitian-penelitian tersebut karena penelitian ini menitikberatkan

pada permasalahan perkembangan dan aliran teater sedangkan penelitian-penelitian

tersebut meneliti aspek nilai pendidikan, kontribusi bagi masyarakat dan peran-peran

dari setiap kelompok teater.

2. Landasan Teori

a. Teater

Teater didefinisikan serupa oleh banyak pakar. Soemanto (2001: 8)

mengatakan, “Teater berasal dari kata theatron, sebuah kata Yunani yang mengacu

kepada sebuah tempat di mana aktor mementaskan lakon dan orang-orang

menontonnya”. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa teater sebagai sebuah

pertunjukkan yang melibatkan unsur pelaku dan penonton.

Pendapat tersebut juga sejalan dengan yang dikemukakan oleh Riantiarno

(2003:7). Teater berasal dari kata theatron (bahasa Yunani/Greek). Untuk memperjelas

pengertian teater di atas, Riantiarno menambahkan beberapa pengertian teater sebagai

berikut: (1) teater adalah sebuah tempat pertunjukan yang kadang bisa memuat sekitar

100.000 penonton; (2) teater bisa diartikan mencakup gedung, pekerja (pemain dan kru

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

14

panggung), sekaligus kegiatannya (isi pentas/peristiwanya); dan (3) teater adalah

semua jenis dan bentuk tontonan, baik di panggung maupun di arena terbuka.

Teater memang tidak bisa dilepaskan dari drama. Bahkan kedua istilah tersebut

dipandang membingungkan karena kemiripan di antara keduanya yang sulit dipilah.

Menurut Satoto (2000: 6) jika seni drama itu sedang diproses untuk dipentaskan, proses

demikian adalah proses teater. Teater adalah istilah lain dari drama, tetapi dalam arti

yang lebih luas yakni meliputi: proses pemilihan naskah, penafsiran, penggarapan,

penyajian atau pementasan, dan proses pemahaman atau penikmatan dari publik.

Perbedaan drama dan teater dapat dilihat pada pasangan ciri-ciri sebagai

berikut: (a) Play (lakon), performance (pertunjukan); (b) Script (naskah), production

(produksi); (c) Text (teks), staging (pemanggungan); (d) Author (pengarang), direction

(sutradara); (4) Creation (kreasi), interpretation (interpretasi); (f) Theory (teori),

practice (praktek). Berdasarkan perbandingan tersebut, Satoto (2000: 6-7)

menjelaskan beberapa kesimpulan sebagai berikut: (a) Seni drama lebih merupakan

lakon yang belum dipentaskan, (b) Skrips atau naskah lakon yang belum

diproduksikan, (c) Teks yang belum dipanggungkan, (d) hasil kreasi pengarang yang

masih harus ditafsirkan untuk merebut makna, (e) teori yang harus dipraktekkan atau

diaplikasikan

Lebih jelasnya Tarigan (1993: 73) menjelaskan deskripsi tentang teater dan

drama dengan mengungkapkan perbedaan-perbedaan diantara keduanya, sebagai

berikut:

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

15

a. Drama sebagai repertoir atau text play adalah hasil sastra milik pribadi,

yaitu penulis drama tersebut, sedangkan drama sebagai teater adalah seni

kolektif.

b. Text play masih memerlukan pembaca soliter, sedangkan teater

memerlukan penonton kolektif, dan faktor penonton ini sangat penting.

c. Text play masih memerlukan penggarapan yang baik dan teliti baru dapat

dipanggungkan sebagai teater, menjadi seni kolektif.

d. Text play adalah bacaan sedangkan teater adalah pertunjukan atau tontonan.

Senada dengan penjelasan di atas, Harymawan (1986: 2) juga memisahkan

definisi antara teater dan darama sebagai berikut:

a. Dalam arti luas: Teater ialah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan

orang banyak. Misalnya wayang orang, ketoprak, ludrug, srandul, membai,

randai, mayong, arja, rangda, reog, lenong, topeng, sulapan, akrobatik, dan

sebagainya.

b. Dalam arti sempit: Drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang

diceritakan di atas pentas, disaksikan oleh orang banyak dengan media:

percakapan, gerak dan laku, dengan atau tanpa dekor (layar dan

sebagainya), didasarkan pada naskah yang tertulis (hasil seni sastra) dengan

atau tanpa musik, nyanyian, tarian.

Menurut Rahmanto dan Endah Peni Adji (2007:1.3-1.5) drama muncul terlebih

dahulu dibandingan teater. Drama digambarkan sebagai peristiwa pertunjukan dalam

upacara-upacara pemujaan terhadap dewa. Dalam upacara pemujaan tersebut, terjadi

peningkatan secara kuantitas. Semakin hari pengikutnya semakin banyak sehingga

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

16

membentuk lingkaran yang mengelilingi tempat pemujaan tersebut. Lingkaran tersebut

lalu disebut sebagai teater atau theatron. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa

drama merupakan perbuatan yang dapat ditonton, sedangkan teater adalah tempat

untuk menonton perbuatan yang dapat ditonton.

Drama dan teater merupakan dua hal yang serupa dengan sedikit perbedaan.

Persamaannya terletak pada makna sebuah pertunjukan di atas panggung yang

merepresentasikan suatu kejadian dalam kehidupan nyata. Sementara perbedaannya

hanyalah sudut pandang dari masing-masing orang dalam memaknai kedua istilah

tersebut yang berbeda-beda. Di dalam drama ada teater dan di dalam teater ada drama.

Dengan demikian, suatu pertunjukan akan disebut pertunjukan teater apabila ada drama

di dalamnya (Dewojati, 2012:16).

b. Aliran-aliran Teater

Teater memiliki aliran yang sudah berkembang sejak lama. Aliran dalam teater

biasanya mengacu pada bentuk dan gagasan yang diusung dalam teater itu sendiri.

Aliran memberi pengaruh terhadap hasil karya sebuah kelompok teater. Achmad

Syaeful Anwar berpendapat sebagai berikut:

Lahirnya aliran-aliran atau gaya (syle/idiom) dalam teater pada dasarnya sejajar

dengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis

di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’ (Realisme

Baru) tahun 1960-an maka hal ini terjadi pula pada teater, sehingga dengan

demikian ideologi aliran dalam seni lukis memberi pengaruh pula pada teater.

Melihat permasalahan mengenai hadirnya aliran atau gaya yang pengertiannya

mencakup: mengacu kepada pengertian karya seni individual atau kelompok,

yang dihasilkan oleh periode tertentu, kebudayaan tertentu, atau kawasan

regional tertentu (Anwar, 2012:59-60)

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

17

Aliran-aliran tersebut diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yang dijelaskan

sebagai berikut:

1) Aliran Klasik

Ciri-ciri aliran klasik adalah: (1) tunduk pada hukum trilogi Aristoteles dalam hal

kesatuan tempat, waktu, dan gerak, (2) acting-nya bergaya deklamasi, (3) drama

lirik lebih banyak ditulis, (4) irama permainan lamban, banyak diselingi dengan

monolog, dan bersifat statis, dan (5) materi cerita bergaya Romawi dan Yunani

(Waluyo, 2006:58).

2) Aliran Romantik

Dalam drama romantik, trilogi Aristoteles tidak dipatuhi. Adapun ciri-ciri aliran ini

adalah: (1) isinya bersifat fantastis dan tidak logis, (2) menggunakan bahasa yang

mengikuti kaidah tata bahasa, (3) aspek visual ditonjolkan dengan segala

perlengkapan baik busana, rias, maupun panggung yang gemerlapan, (4) acting-

nya sangat bersifat bombastis, dengan mimik yang berlebihan, (5) lakonnya

biasanya tentang pembunuhan dengan tokoh-tokohnya sentimental, dan (6) bentuk

drama bersifat bebas, artinya bukannya drama lirik seperti pada aliran klasik

(Waluyo, 2006:59).

3) Aliran Realisme

Realisme pada umumnya adalah aliran seni yang berusaha mencapai ilusi atas

penggambaran kenyataan (Harymawan, 1986:84). Yang digambarkan bukannya

hal-hal yang berlebihan dan sentimental seperti aliran romantik. Ada dua macam

aliran realisme, yaitu: Pertama, realisme sosial (realisme murni), dalam drama

dilukiskan kepincangan sosial, penderitaan, dan ketidakadilan untuk maksud

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

18

mengadakan protes sosal. Aliran realisme sosial berbeda dengan aliran naturalisme

karena sifatnya optimis, aliran naturalisme bersifat pesimis. Ciri-ciri aliran realisme

sosial adalah: (1) pemeran utama biasanya rakyat jelata, misalnya buruh, tani, orang

gelandangan, dan sebagainya, (2) acting-nya bersifat wajar seperti dalam

kehidupan sehari-hari, (3) aspek visual dalam pertunjukan tidak berlebih-lebihan,

hiasan panggung, pakaian, rias, dan sebagainya tidak berlebihan dan disesuaikan

dengan realitas kehidupan sehari-hari, (4) cerita diambil dari kenyataan sosial yang

ada dalam masyarakat dengan lebih mengutamakan konflik sosial karena

perbedaan sosial. Kedua, realisme psikologis, dalam realisme psikologis yang

ditekankan bukan dalam hal kenyataan sosial, tetapi dalam hal kenyataan

psikologis para pelakunya. Adapun ciri-ciri realisme psikologis adalah: (1) lebih

menekankan diri kepada penonjolan aspek kejiwaan atau aspek dalam diri tokoh

atau lakon, (2) setting-nya bersifat wajar dengan intonasi yang tepat, (3) suasana

digambarkan dengan pelambangan (simbolis), dan (4) sutradara mementingkan

pembinaan konflik psikologis, disebutkan juga sutradara psikolog, artinya

menitikberatkan aspek psikologis daripada dandanan yang bersifat fisik (Waluyo,

2006: 59-60). Ciri lain yang menonjol dari teater realisme ialah sifatnya yang

sangat sastrawi (literer) (Anwar, 2012: 61).

4) Aliran Surealisme

Surealisme merupakan kebalikan dari realisme. Realisme mengganggap teater

sebagai kenyataan sedangkan surealisme mengganggap teater sebagai

ketidaknyataan (mimpi). Seperti pendapat Achmad Syaeful Anwar sebagai berikut:

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

19

“Dadaisme melahirkan gerakan Surealisme yang berkembang dalam dekade

20-an. Bagi kaum surealis kebenaran sejati hanya didapat dalam alam

ketidaksadaran manusia. Sumber kebenaran itu baru muncul secara bebas

dalam mimpi. Situasi mimpi ini merupakan saat-saat pengungkapan kebenaran

manusia, karena pada waktu itulah bawah sadar membuat struktur terhadap

kenyataan sehari-hari, dengan demikian kebenaran hanya dapat diperoleh kalau

manusia melepaskan diri dari belenggu rasio dan menghanyutkan diri bersama

bawah sadar dalam kondisi mimpi. Baik Dada maupun Surealis berpandangan

bahwa dunia ini irrasional dan mereka mengekspresikan irrasionalitas itu dalam

karya-karya seni mereka.”

Surealisme ditujukan untuk mengekspresikan emosi, perasaan, mitologi, alegori

melalui fisik bukan verbal yang berhubungan dengan alam bawah sadar atau mimpi

sehingga surealisme akan menjadikan mimpi menjadi nyata.

5) Aliran Ekspresionisme

Aliran ekspresionisme menonjolkan curahan pikiran atau perasaan pengarang. Ciri-

cirinya adalah: (1) adanya gerak kolektif, (2) banyak dipengaruhi psikoanalisis

Freud, dan banyak pengaruh film karena keinginan menggambar ekspresi jiwa

pengarang atau sutradara, (3) pergantian adegan bersifat cepat, (4) penggunaan

pentas bersifat ekstrim, dan (5) fragmen-fragmen ditampilkan seperti dalam film.

(Waluyo, 2006: 60).

6) Aliran Naturalisme

Naturalisme merupakan perkembangan lebih lanjut dari realisme. Perbedaannya

dengan realisme adalah bahwa dalam naturalisme kenyataan yang digambarkan

diusahakan mungkin mendekati kenyataan alam (natural). Tidak mengherankan

jika dalam menggambarkan pohon-pohon, di panggung benar-benar ditampilkan

pohon yang hidup. Penampilan panggung sejauh mungkin harus mendekati alam,

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

20

dan bukan tiruan alam. Dalam realisme, penggunaan lukisan untuk mewakili

pemandangan alam dapat dibenarkan.

Dalam unsur artistik dan teknis juga diusahakan agar mendekati kenyataan secara

ilmiah. Dalam hal tata rias, misalnya sutradara akan merias pemain sedapat

mungkin mendekati alam. Kumis, jambang, dan bulu-bulu dada, misalnya tidak

cukup dihitamkan dengan alat penghitam, tetapi benar-benar merekatkan rambut

ke kumis, jambang, dan dada. Demikian pula halnya dengan tata busana (Waluyo,

2006: 60-61).

7) Aliran Eksistensialisme

Dalam aliran eksistensialisme ingin ditampilkan tokoh-tokoh yang sadar akan

eksistensinya, akan keberadaannya di dunia ini. Dialog-dialog yang dikemukakan

oleh aktor atau aktrisnya menunjukkan sifat kemandirian yang kuat, karena ingin

melukiskan manusia yang benar-benar mandiri secara psikis. Karya-karya

demikian seringkali dinyatakan sebagai karya platonis, karya yang bersifat sukma,

atau murni psikologis.

Dalam kesadaran akan keberadaanya, seseorang kemudian menghendaki

kebebasan yang mutlak, yaitu kebebasan yang tidak ada taranya yang dalam

kehidupan bermasyarakat secara normal sulit kita jumpai. Kita dapat menghayati

kebebasan rohaniah dan jasmaniah lebih longgar, bahkan mungkin dapat dikatakan

mutlak. Lukisan tentang tokoh-tokoh gelandangan bukan sekedar

kegelandangannya itu yang penting, akan tetapi kemandirian sukmanya itulah yang

penting. Kemandirian itu menjadi ciri eksistensi diri yang menghendaki bentuk

kebebasan yang setinggi-tingginya. Oleh karena sang tokoh bicara seenaknya

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

21

sendiri, meloncat dari satu masalah ke masalah lain yang seolah tanpa logika yang

runtut, berceloteh secara santai tentang hal-hal yang secara pribadi dipandangnya

penting sekaligus kehilangan konteks dengan konteks pembicaraan dengan lawan

bicaranya (Waluyo, 2006: 61-62).

8) Aliran Absurdisme

Menurut Cahyaningrum (2012: 72) seperti aliran-aliran dalam kesenian yang lain,

drama dan teater absurd muncul karena ketidakpuasan terhadap aliran-aliran yang

sudah ada sebelumnya. Absurd berarti ‘tidak rasional’, tidak dapat diterima akal,

menyimpang dari kebenaran atau logika umum. Soemanto (dalam Cahyaningrum

Dewojati, 2012:73) menyebutkan bahwa, secara leksikal, absurd berarti ketiadaan

keselarasan, yang menunjuk ketiadaan tidak harmonis. Ciri-ciri lakon dan teater

absurd biasanya menampakkan gejala dialog antar tokoh yang melompat-lompat,

tidak ada alur atau ada alur tetapi melingkar-lingkar, tidak ada pemecahan masalah

secara tuntas, penyajian tokoh yang dalam keadaan tertindih oleh kondisi yang

tidak dapat dijelaskan, dan pemanfaatan nebentext lakon secara maksimal untuk

menampilkan medium non-verbal (Cahyaningrum, 2012:74). Teater absurd

terkandung di dalamnya unsur tragedi dan komedi sekaligus. Lakon dan teater

absurd menekankan penyajian peristiwa lucu dan menyedihkan seperti tampak

pada perilaku badut-badut dalam pertunjukan sirkus. Lebih lanjut, Soemanto

(dalam Cahyaningrum Dewojati, 2012:74) juga berpendapat bahwa walaupun

lakon absurd tetap ditulis dalam bentuk kata-kata, tetapi lakon absurd merupakan

manifestasi sikap anti kata dan anti sastra, yang sudah dapat dibayangkan dari

sketsa dramatiknya.

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

22

9) Aliran Simbolisme

Menurut Cahyaningrum (2012: 71) aliran simbolisme adalah kesenian yang lahir

sebagai reaksi terhadap realisme. Aliran kesenian ini dapat mengungkapkan

sesuatu tidak secara terang-terangan. Lebih lanjut, Kazanuddin (dalam

Cahyaningrum Dewojati, 2012:71) bahwa ekspresinya diungkapkan dengan

simbol-simbol tertentu. Simbolisme sebagai sebuah aliran mempercayai sebuah

intuisi sebagai perangkat untuk dapat memahami kenyataan yang tidak dipahami

secara logika. Menurut kaum simbolisme, kenyataan tidak dapat dipahami secara

logis, maka kebenaran tidak mungkin pula diungkapkan secara logis. Hasanuddin

(dalam Cahyaningrum Dewojati, 2012:71) menambahkan bahwa kenyataan yang

hanya dapat dipahami melalui intuisi harus diungkapkan lewat simbol-simbol.

c. Unsur-unsur Teater

Teater merupakan seni pertunjukan sangat kompleks yang di dalamnya

terjadi penggabungan antara beberapa unsur. Menurut Soediro Satoto (2012:2)

unsur-unsur bersifat organik., Artinya, sesuatu yang harus ada atau dilaksanakan.

Unsur-unsur saling berhubungan membentuk satu rangkaian yang tidak dapat

dipisahkan. Sapardi Djoko Damono (dalam Cahyaningrum Dewojati, 2012:2)

mengemukakan bahwa drama mempunyai 3 unsur yang sangat penting yakni unsur

teks drama, unsur pementasan, dan unsur penonton. Unsur pelaku sebagai unsur

utama ditopang dengan unsur benda, suara, dan ruang sebagai penopangnya dan

dijalin oleh sebuah cerita sehingga terwujudlah sajian dalam bentuk seni pertunjukan.

Semua unsur ini tidak dapat dilepaskan salah satu karena akan menciderai nilai

pertunjukan dalam teater sendiri.

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

23

Unsur pelaku di dalam pertunjukan drama ada beberapa macam. Di sana ada

pemain, sutradara, kru panggung, bahkan penonton. Ada pula unsur penopang yang

berupa panggung, tata busana, musik, tata cahaya, dan tata rias. Kedua unsur tersebut

dirangkai oleh cerita dan bersama-sama membangun cerita sehingga terjadilah

sebuah pertunjukan teater secara lengkap, yaitu sebuah pertunjukan yang

menceritakan kehidupan manusia di atas panggung yang diperankan oleh pelaku

dengan berbagai unsur penunjangnya dan disaksikan oleh penonton.

Untuk memperjelas dan mempertegas pendapat tersebut, ada baiknya

diuraikan satu per satu unsur secara terpisah. Namun, perlu kiranya diuraikan definisi

teater yang berkaitan dengan hal tersebut. Teater adalah salah satu bentuk kegiatan

manusia yang secara sadar menggunakan tubuhnya sebagai unsur utama untuk

menyatakan dirinya yang diwujudkan dalam suatu karya seni suara, bunyi, dan rupa

yang dijalin dalam cerita pergulatan kehidupan manusia. Dari pengertian tersebut,

dapat ditarik simpulan bahwa unsur-unsur teater yaitu (1) tubuh atau manusia sebagai

unsur utama (pemeran/pelaku/pemain); (2) gerak sebagai unsur penunjang; (3) suara

sebagai unsur penunjang (kata); (4) bunyi sebagai unsur penunjang (bunyi benda,

efek, dan musik); (5) rupa sebagai unsur penunjang (cahaya, rias, kostum, dan

properti); dan (6) lakon sebagai unsur penjalin (cerita, noncerita, fiksi, dan narasi).

Menurut Hasanuddin W.S. (2009: 171) unsur-unsur drama dalam kaitannya

dengan seni pertunjukan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu (1) unsur utama,

terdiri dari sutradara, pemain, teknisi (pekerja panggung), dan penonton, serta (2)

sarana pendukung, yang terdiri dari pentas dan komposisinya, kostum (busana), tata

rias, pencahayaan, serta tata suara dan ilustrasi musik.

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

24

Melalui pernyataan diatas dapat dipahami bahwa ada tiga unsur penting

dalam proses berteater, yaitu manusia sebagai unsur utama, benda sebagai unsur

penunjang, dan lakon sebagai unsur penjalin. Berikut unsur-unsur teater tersebut:

1) Pemain

Istilah pemain dalam teater dan film biasa disebut aktor (actor) jika laki-laki

dan aktris (actris) jika perempuan. Istilah lain ialah pelaku (karena melakukan peran

tokoh lakon), dan pemeran (karena memerankan watak peran) (Satoto, 2000: 79-80).

Pemain mempunyai kedudukan untuk mentransformasikan cerita di atas panggung,

pemain harus mampu menghidupkan tokoh dalam cerita lakon menjadi sosok yang

nyata. Di dalam teater, perwujudan tokoh tersebut biasa disebut dengan karakter.

Harymawan (1986: 25) menyebut karakter sebagai tokoh yang hidup, bukan mati. Di

dalam menghidupkan karakter ini, tokoh dibekali dengan sifat-sifat karakteristik

yang tiga dimensional, yaitu (a) dimensi fisiologis, yang berkaitan dengan usia, jenis

kelamin, keadaan tubuh, ciri-ciri muka, dan sebagainya; (b) dimensi sosiologis,

berupa status sosial, pekerjaan atau jabatan, pendidikan, kehidupan pribadi,

pandangan hidup dan agama, aktivitas sosial, bangsa atau suku, dan sebagainya; dan

(c) dimensi psikologis, yaitu latar belakang kejiwaan yang meliputi mentalitas,

temperamen, serta IQ atau kecerdasan.

Dimensi-dimensi tersebut diperlukan juga dalam pemilihan pemain atau yang

dikenal dengan istilah casting. Dalam hal ini, seorang sutradara tentu sangat

mempertimbangkan ketiga dimensi tersebut. Tujuannya adalah mendapatkan pemain

yang sesuai dengan kebutuhan cerita atau naskah didasarkan pada penafsiran

sutradara.

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

25

Aktor dan aktris sangat berperan penting dalam pementasan teater. Waluyo

(2006: 36) menjelaskan pemilihan aktor dan aktris biasanya disebut casting, yaitu

sebagai berikut:

a) Casting by ability; pemilihan peran berdasar kecakapan atau kemahiran

yang sama atau mendekati peran yang dibawakan. Kecerdasan seseorang

memegang peranan penting dalam membawakan peran yang sulit dan

dialognya panjang. Tokoh utama suatu lakon di samping persyaratan fisik

dan psikologis, juga dituntut memiliki kecerdasan yang cukup tinggi,

sehingga daya hafal dan daya tanggap yang cukup cepat.

b) Casting to Type; pemilihan pemeran berdasarkan atas kecocokan fisik si

pemain. Tokoh tua dibawakan oleh orang tua, tokoh pedagang dibawakan

oleh orang yang berjiwa dagang, dan sebagainya.

c) Anti Type Casting; pemilihan pemeran bertentangan dengan watak dan

ciri fisik yang dibawakan. Sering pula disebut educational casting karena

bermaksud mendidik seseorang memerankan watak dan tokoh yang

berlawanan dengan wataknya sendiri dan ciri fisiknya sendiri.

d) Casting to Emotional Temperament; adalah pemilihan pemeran

berdasarkan observasi kehidupan pribadi calon pemeran. Mereka yang

mempunyai banyak kecocokan dengan peran yang dibawakan dalam hal

emosi dan temperamennya, akan terpilih membawakan tokoh itu.

Pengalaman masa lalu dalam hal emosi akan memudahkan pemeran

tersebut dalam menghayati dan menampilkan dirinya sesuai dengan

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

26

tuntutan. Temperamen yang cocok juga akan membantu proses

penghayatan diri peran yang dibawakan.

e) Therapeutic Casting; adalah pemilihan pemeran dengan maksud untuk

penyembuhan terhadap ketidakseimbangan psikologis dalam diri

seseorang. Biasanya watak dan temperamen pemeran bertentangan

dengan tokoh yang dibawakan. Misalnya, orang yang selalu ragu-ragu,

harus berperan sebagai orang yang tegas, cepat memutuskan sesuatu.

Seorang yang curang, memerankan tokoh yang jujur atau penjahat

berperan sebagai polisi. Jika kelainan jiwa cukup serius, maka bimbingan

khusus sutradara akan membantu proses therapeutic.

Untuk dapat memilih pemeran dengan tepat, maka hendaknya pelatih drama

membuat daftar yang berisi inventarisasi watak pelaku yang harus dibawakan, baik

secara psikologi, fisiologis maupun sosiologis. Watak pelaku harus dirumuskan

secara jelas. Sebab hanya dengan begitu, dapat dipilih pemeran lakon dengan lebih

cepat.

2) Sutradara

Sutradara adalah tokoh sentral dalam sebuah pertunjukan teater. Sutradara

merupakan orang yang bertugas mengkoordinasikan segala anasir pertunjukan dari

awal sampai akhir. Meskipun peranannya sangat vital, sutradara tergolong hal baru

dalam dunia seni pertunjukan. Sutradara baru dikenal bahkan pada sekitar 200 tahun

yang lalu. Seorang sutradara harus mengerti dengan baik hal-hal yang berhubungan

dengan pementasan. Menurut Harymawan dalam (Waluyo, 2006: 102) menyatakan

bahwa sutradara adalah karyawan teater yang bertugas mengkoordinasikan segala

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

27

anasir teater, dengan paham, kecakapan, serta daya imajinasi yang inteligen guna

menghasilkan pertunjukan yang berhasil. Sutradara berhubungan dengan produser

(yang membiayai pementasan), manajer (pemimpin tata laksana), dan stage manager

(yang mengatur panggung dan seluruh perlengkapannya).

Menurut Harymawan (1986: 64) kedudukan sutradara berdiri ditengah-

tengah segitiga, bertindak sebagai pusat kesatuan kekuatan, juga sebagai koordinator

bagi prestasi-prestasi kreatif aktor dan para teknisi. Akhirnya sutradara harus menjadi

seorang seniman yang berarti. Sutradara digambarkan seperti berikut:

PENGARANG

AKTOR PENONTON

PENDESAIN

Bagan 1

Segitiga penyutradaraan

Berdasarkan sejarah kemunculan dan perkembangannya, ada dua teori dalam

penyutradaraan, yaitu Teori Gordon Craig dan Teori Laissez Faire (Harymawan,

1986:64-65). Teori Gordon Craig melukiskan bahwa teater merupakan seni, maka ia

harus mengekspresikan kepribadian si seniman. Kalau pemahat mengekspresikan

diri lewat batu dan kayu, pelukis lewat kanvas dan cat maka sutradara

mengejawantahkan idenya lewat aktor dan aktris. Dengan demikian, sutradara

berlaku sebagai seorang diktator dalam pementasan.Teori Laissez Faire merupakan

kebalikannya. Teori ini menyebutkan bahwa tugas sutradara hanya membantu aktor

SUTRADARA

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

28

dan aktris mengekspresikan dirinya dalam lakon, seorang supervisor yang

membiarkan aktor dan aktris bebas mengembangkan konsepsi individualnya agar

melaksanakan peranan sebaik-baiknya.

Kedua teori tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan.

Maka, Harymawan pun menyebut bahwa sutradara yang baik atau ideal adalah

sutradara yang sekaligus menjadi interpretator dan kreator. Sementara itu, cara

penyutradaraan yang baik adalah perkawinan antara kedua teori di atas.

3) Tata panggung

Dalam teater, tata panggung sering disebut dengan istilah scenery. Dalam

istilah lain, sering dipakai pula istilah set panggung, setting panggung, atau dekorasi.

Harymawan (1993: 108) mendefinisikan dekorasi (scenery) sebagai pemandangan

latar belakang (background) tempat memainkan lakon. Pengertian tersebut meliputi

pula peletakan perabot (properti) dan komposisi panggung.

Menurut Herman J. Waluyo (2006: 148) dalam pentas diperlukan latar

belakang suasana yang mendukung keadaan di pentas. Latar belakang itu harus

bermakna. Latar belakang itu lazim disebut scenery, yaitu latar belakang di mana

pentas diadakan untuk mempertunjukkan lakon. Scenery meliputi segala macam

hiasan dan lukisan yang melingkupi daerah permainan.

Menurut sifatnya scenery ada dua macam, yaitu sebagai berikut.

1. Draperies, berupa kain polos, border, teaser, dan grand drapery.

2. Scenery terlukis, dekor tradisional yang dilukisi. Menurut konstruksinya,

scenery dibagi tiga, yaitu sebagai berikut.

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

29

a) Flat, berupa dekorasi yang berbingkai-bingkai kayu, ditutup kain dan

dicat.

b) Drops, berupa dekorasi tidak berbingkai, digantung pada bagian belakang

panggung.

c) Plastic pieces, berupa lukisan objek yang tiga dimensional, misalnya pintu,

jendela, pohon, tungku api, dan sebagainya.

Menurut struktur settingnya, ada dua scenery, yaitu sebagai berikut.

1. Drop dan wing setting, berupa susunan vertikal (berdiri tegak).

2. Box setting, berupa struktur horisontal.

Dalam drop, wing setting, dan box setting, terdapat beberapa catatan.

a) Jika kedua sisi pentas terbuka, sehingga pemain keluar masuk melalui

wing, setting yang demikian disebut drop and wing setting, sedangkan

jika sisi lain tertutup, sehingga pemain masuk atau keluar melalui opening

khusus, disebut box setting.

b) Terminator, yaitu wing paling depan, yang bersifat statis, tak dapat

diputar dan biasanya diberi gambar isi cerita. Teaser dan terminator

merupakan bingkai kedua untuk memperkecil panggung yang asli.

c) Drapery, berguna untuk menghias pentas.

d) Drop, yaitu tirai paling belakang. Ada semacam drop yang disebut

cyclodrama.

e) Foot, berguna untuk penempatan footlight.

f) Curtain line, berada di belakang teaser.

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

30

Ada hubungan antara scenery dan dekorasi. Fungsi dekorasi adalah untuk

memberikan latar belakang. Dekorasi dapat berwujud scenery, tetapi sering hanya

melatarbelakangi. Berdasarkan tempat mewujudkannya, ada dua macam dekor,

yaitu seperti berikut.

1. Interior setting, jika lakon dipentaskan di dalam rumah.

2. Exterior setting, jika lakon dipentaskan terjadi pada alam terbuka.

Klasifikasi dekor didasarkan atas aliran-aliran kesenian yang dianut oleh

penulis drama, atau sutradara, atau dekorator (bila dia diberi wewenang).

a) Naturalisme, yaitu melukiskan dekor sebagai imitasi (tiruan) alam. Tata

pentas sebagian besar menggunakan alam, baik atau jelek dilukiskan

apa adanya (menggotong tumbuh-tumbuhan ke pentas).

b) Realisme, yaitu penggambaran dekor alam sesungguhnya atau bahkan

penggunaan alam. Alam hanya dipakai sebagai bahannya saja,

pementasannya di panggung (pohon mawar dipasang dipanggung).

c) Impresionisme, yaitu bentuk tolak pada pars pro toto, yaitu melukiskan

sebagian untuk menggambarkan keseluruhan. Alam dekor dilukiskan

hal yang paling karakteristik, untuk mewakili keseluruhan suasana

lakon, dan juru dekor bebas menggunakan gagasannya sendiri, karena

dalam aliran ini ia bebas dari konvensi teater.

d) Ekspresionisme, berusaha mengekspresikan ungkapan batin. Juru

dekorasi bebas menggungkapkan kehendaknya sesuai dengan tafsiran

terhadap lakon. Jiwa dan perasaan dekorator pegang peranan penting.

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

31

e) Simbolisme, berusaha mempetakan, melalui bentuk seni rupa sesuatu

pengertian baik yang terdapat dalam benda itu sendiri atau di luar benda

itu. Dekorasi penuh dengan simbol yang sesuai dengan haikat lakon

yang dipentaskan.

Riantiarno (2003: 68) memberikan pemilahan yang jelas antara set/dekor,

set property, hand property, dan properti. Menurutnya, set/dekor adalah bagian

benda/gambar di panggung yang sifatnya permanen, misalnya rumah. Set property

yaitu isi dari rumah itu, kursi, meja, lemari, dan sebagainya. Hand property adalah

properti yang dibawa oleh pemain. Sedangkan properti adalah pelengkap dari set

property.

Tata panggung adalah pengelolaan unsur kebendaan yang ada di panggung.

Penataan yang dilakukan harus mematuhi prosedur kerja yang telah digariskan.

Sebagaimana pemain, penata panggung pun harus mempelajari naskah terlebih

dahulu sebelum menata atau mendekor panggung. Dari naskah yang dibaca, penata

panggung menggambar, mengkomunikasikan dengan sutradara, pemain, dan kru

panggung lainnya, lalu merealisasikan ide dan gagasannya tersebut.

Fungsi utama set panggung adalah sebagai penunjang bagi terciptanya

tempat, waktu, dan keadaan/suasana (Riantiarno, 2003: 63). Tata panggung yang

baik adalah yang mampu merepresentasikan tempat, ruang, waktu, dan suasana

dalam adegan di panggung serta menjadi bagian yang menyatu dari sebuah

pementasan. Dengan demikian, pemahaman dan penafsiran terhadap naskah menjadi

hal yang sangat dibutuhkan oleh seorang penata panggung.

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

32

Secara khusus, unsur-unsur di atas panggung ditata sedemikian rupa sehingga

bisa memberikan gambaran lengkap yang berfungsi untuk menjelaskan suasana dan

semangat lakon, periode sejarah lakon, lokasi kejadian, status karakter peran, dan

musim ketika lakon dilangsungkan.

Perlu diketahui pula jenis-jenis panggung yang biasa digunakan dalam

pertunjukan teater karena hal ini berpengaruh terhadap kerja penata panggung. Ada

beberapa jenis panggung, tetapi oleh Riantiarno (2003: 64-65) hanya disebutkan dua

saja, yaitu panggung prosenium dan panggung arena. Panggung prosenium adalah

panggung yang hanya dapat dilihat penonton dari satu sisi saja, yaitu dari depan.

Panggung arena adalah panggung yang dikelilingi penonton sehingga setiap sudut

bisa dilihat oleh penonton.

Eko Santosa, dkk. (2009: 391) menambahkan jenis panggung trust selain dua

jenis panggung sebelumnya. Panggung trust hampir mirip dengan panggung

prosenium tetapi dua pertiga bagian panggung menjorok ke penonton sehingga sisi

kanan dan kiri panggung bisa ditempati penonton. Panggung jenis ini biasa dinamai

pula dengan panggung jenis tapal kuda.

Berdasarkan jenis-jenis panggung yang ada, penata panggung harus

memperhitungkan perspektif penonton. Set tidak boleh mengganggu pandangan

penonton dari sisi manapun. Penataan set harus memperhitungkan besar panggung,

arena bermain, dan sebagainya. Intinya, tugas tata panggung hanya mendukung

jalannya pementasan, memberikan ilustrasi, dan tidak berdiri sendiri sebagai cabang

kesenian lain.

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

33

4) Tata cahaya

Tata cahaya berfungsi menerangi panggung, memberi suasana, memberi

bentuk, dan memisahkan antara panggung dengan penonton. Atas fungsinya sebagai

penerang panggung, dapat dikatakan bahwa cahaya merupakan unsur terpenting

dalam pementasan teater. Tugas seorang penata cahaya sama dengan penata

panggung, yaitu mendukung permainan di panggung, memberikan ilustrasi dan

suasana panggung, serta menjadi bagian yang menyatu dengan permainan di

panggung.

Tata cahaya mempunyai fungsi atau tujuan dalam pementasan teater. Herman

J. Waluyo menerangkan tujuan tata cahaya dapat dinyatakan sebagai berikut.

a) Penerangan terhadap pentas dan aktor. Dengan fungsi ini, pentas dengan

segala isinya dapat terlihat jelas oleh penonton. Penerangan juga dapat

mengandung arti penyinar. Artinya menyoroti bagian-bagian yang

ditonjolkan, sehingga lebih tampak jelas, sesuai dengan tuntutan dramatik

lakon.

b) Memberikan efek alamiah dari waktu, seperti jam, musim, cuaca, dan

suasana.

c) Membantu melukis dekor (scenery) dalam menambah nilai warna hingga

terdapat efek sinar dan bayangan.

d) Melambangkan maksud dengan memperkuat kejiwaannya. Dalam hal ini,

efek tata warna sangat penting kedudukannya.

e) Tata lampu juga dapat mengekspresikan mood dan atmosphere dari

lakon, guna mengungkapkan gaya dan tema lakon.

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

34

f) Tata lampu juga mampu memberikan variasi-variasi, sehingga adegan-

adegan tidak statis. Misalnya, dengan lampu dapat dicapai efek tiga

dimensi, dan dapat diciptakan komposisi yang aneka ragam dalam pentas.

Dalam tata cahaya, lampu yang digunakan sebagai penerangan dapat

diklasifikasikan sesuai fungsinya. Menurut Herman J. Waluyo (2006:144) fungsi dari

tata cahaya, maka lampu dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu sebagai

berikut.

a) Lampu primer, yaitu sumber sinar yang langsung menerangi benda atau

objek lainnya, dan mengakibatkan timbulnya bayangan.

b) Lampu sekunder, yaitu lampu yang bertugas menetralisir bayangan yang

timbul oleh lampu primer. Penempatannya sedemikian rupa, sehingga

bayangan yang menggangu visualisasi terhadap lakon, dapat dinetralkan.

Jenis lampu sekunder ini juga dipertimbangkan fungsi lainnya, yaitu untuk

menghidupkan panggung beserta dekorasinya.

c) Lampu untuk latar belakang, yaitu lampu khusus untuk menerangi

cyclodrama. Untuk pentas, biasanya digunakan 3 ways lightning system,

sedangkan untuk akhir pentas, digunakan ways lightning system.

5) Tata suara

Tata suara dalam hal ini berupa instrumen yang mengiringi sebuah

pertunjukan teater. Wujudnya bisa berupa musik, efek suara, dan juga seperangkat

teknologi yang dikembangkan untuk menghasilkan bunyi. Fungsinya sama dengan

tata artistik yang lain yaitu memberi suasana dalam pertunjukan teater. Musik dapat

menjadi bagian lakon, tetapi yang terbanyak adalah sebagai ilustrasi, baik sebagai

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

35

pembuka seluruh lakon, pembuka adegan, memberi efek pada lakon, maupun sebagai

penutup lakon (Waluyo, 2006:153).

Herman J. Waluyo menjelaskan fungsi yang diharapkan dari tata musik

dirumuskan sebagai berikut: (1) memberikan ilustrasi yang memperindah; (2)

memberikan latar belakang; (3) memberikan warna psikologis; (4) memberi tekanan

kepada nada dasar drama; (5) membantu dalam penanjakan lakon, penonjolan, dan

progresi; (6) memberi tekanan pada keaduan yang mendesak; dan (7) memberikan

selingan.

6) Tata busana

Tata busana sendiri didefinisikan sebagai segala sandangan dan

perlengkapannya (accessories) yang dikenakan di dalam pentas (Harymawan, 1986:

127). Kostum pentas meliputi semua pakaian, sepatu, pakaian kepala, dan

perlengkapan-perlengkapannya. Oleh karenanya, dijelaskan bahwa busana dalam

pertunjukan teater digolongkan menjadi lima bagian, yaitu (a) pakaian dasar atau

foundation; (b) pakaian kaki/sepatu; (c) pakaian tubuh/body; (d) pakaian

kepala/headdress; dan (e) perlengkapan-perlengkapan/ accessories.

Menurut Harymawan (1986:131-132) agar kostum pentas mempunyai efek

yang diinginkan, kostum pentas harus menunaikan beberapa fungsi tertentu: (1)

membantu menghidupkan perwatakan pelaku, artinya sebelum dia berdialog, kostum

sudah menunjukkan siapa dia sesungguhnya, umurnya, kebangsaannya, status

sosialnya, kepribadiannya, suka dan tidak sukanya; (2) individualisasi peranan,

warna dan gaya kostum dapat membedakan seorang peranan dari peranan yang lain

dan dari setting serta latar belakang; (3) memberi fasilitas dan membantu gerak

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

36

pelaku, pelaku harus dapat melaksanakan laku atau stage business yang perlu bagi

peranannya tanpa terintang oleh kostumnya. Kostum tidak hanya harus menjadi

bantu bagi pelaku, tetapi juga harus menambah efek visual gerak, menambah indah

dan menyenangkan setiap posisi yang diambil pelaku setiap saat.

Herman J. Waluyo (2006:142-143) menjelaskan bahwa tata busana dapat

diklasifikasikan sebagai berikut.

a) Kostum historis, yaitu kostum yang disesuaikan dengan periode-periode

spesifik dalam sejarah.

b) Kostum modern, yaitu kostum yang dipakai oleh masyarakat masa kini.

c) Kostum nasional, yaitu kostum dari daerah-daerah atau tempat spesifik.

Dapat sekaligus kostum nasional dan historis.

d) Kostum tradisional, yaitu kostum yang disesuaikan dengan karakter

spesifik secara simbolis dan dengan distilir. Kostum wayang orang dapat

dipandang sebagai kostum tradisional.

Disamping kostum tersebut, masih ada kostum binatang, kostum tari, kostum

sirkus, kostum fantastis, dan sebagainya.

7) Tata rias

Tata rias adalah seni menggunakan bahan kosmetika untuk menciptakan

wajah peran sesuai dengan tuntutan lakon (Waluyo, 2006:137). Tata rias hampir

sama dengan tata busana karena memiliki fungsi yang sama. Dengan rias, pemain

dapat diubah menjadi karakter yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan

pertunjukan teater. Tata rias berkaitan erat dengan tata busana. Keduanya akan selalu

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

37

berunding untuk memperoleh karakter yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan

pertunjukan.

Harymawan (1986: 135) menjelaskan kegunaan rias dalam teater sebagai

berikut: (a) merias tubuh manusia, artinya mengubah yang alamiah (nature) menjadi

yang budaya (culture) dengan prinsip mendapatkan daya guna yang tepat; (b)

mengatasi efek tata lampu yang kuat; dan (c) membuat wajah dan kepala sesuai

dengan peranan yang dikehendaki. Sementara Riantiarno (2003: 72) memberikan

penjelasan yang lebih sederhana tentang manfaat tata rias yaitu untuk memperjelas

wajah dan ketokohan pemain. Dengan balutan busana dan riasan yang sesuai dengan

karakter tokoh, dipadukan dengan teknik bermain dan penjiwaan yang memadai,

jadilah sebuah akting di atas panggung.

Herman J. Waluyo (2006: 138) menerangkan bahwa berdasarkan jenis rias,

tata rias dapat diklasifikasikan menjadi delapan jenis rias, yaitu sebagai berikut.

a) Rias jenis, yaitu rias yang mengubah peran. Misalnya peran laki-laki diubah

menjadi peran wanita yang memerlukan rias di berbagai bagian tubuh.

b) Rias bangsa, yaitu rias yang mengubah kebangsaan seseorang, misalnya

orang Jawa harus berperan sebagai Belanda, yang ciri-ciri fisiknya berbeda.

c) Rias usia, yaitu rias yang mengubah usia seseorang. Misalnya, orang muda

yang berperan sebagai orangtua atau sebaliknya. Anatomi pelbagai umur

perlu dipelajari untuk merias wajah dan urat atau kulit secara cermat dan

tepat.

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

38

d) Rias tokoh, yaitu rias yang membentuk tokoh tertentu yang sudah memiliki

ciri fisik yang harus ditiru. Misalnya seorang pemuda biasa harus berperan

sebagai Superman, Gatotkaca, atau penjahat.

e) Rias watak, yaitu rias sesuai dengan watak peran. Tokoh sombong,

penjahat, pelacur, dan sebagainya membutuhkan rias watak yang cukup

jelas, untuk meyakinkan perananya secara fisik.

f) Rias temporal, yaitu rias yang dibedakan karena waktu atau saat tertentu.

Misalnya rias sehabis mandi, bangun tidur, pesta, piknik, sekolah, dan

sebagainya.

g) Rias aksen, yaitu rias yang hanya memberikan tekanan kepada pelaku yang

mempunyai anasir sama dengan tokoh yang dibawakan. Misalnya pemuda

tampan dengan ras, watak, dan usia yang sama. Fungsi rias hanya untuk

memberi tekanan saja.

h) Rias lokal, yaitu rias yang ditentukan oleh tempat atau hal yang menimpa

peran saat itu. Misalnya rias di penjara, petani, di pasar, dan sebagainya.

8) Cerita atau lakon

Unsur terpenting dari teater adalah cerita atau lakon. Unsur ini merupakan

jawaban dari semua pertanyaan tentang unsur-unsur yang lain. Melalui cerita inilah

sutradara memilih pemain, pemain memainkan perannya, kru artistik mendesain,

dikombinasikan, lalu disajikan di hadapan penonton. Semua komponen dalam teater

akan dipadukan dan disatukan melalui naskah atau cerita.

Kedelapan unsur yang telah disebutkan di atas sebenarnya dapat diringkas

menjadi tiga unsur saja, yaitu pelaku atau manusia sebagai unsur utama, artistik

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

39

sebagai unsur penunjang, dan cerita sebagai unsur penjalin. Unsur utama meliputi

sutradara dan pemain. Artistik meliputi tata panggung, tata cahaya, tata busana, tata

rias, dan tata suara. Sementara itu, cerita tetap berdiri sendiri sebagai unsur penjalin

di antara semua unsur yang ada.

B. Kerangka Berpikir

Teater TESA merupakan salah satu kelompok teater kampus yang berada di

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret Surakarta sejak tahun 1987. Peneliti

mengkaji dari sisi perkembangan historis Teater TESA untuk mengetahui dinamika

dan perubahan bentuk penggarapan di Teater TESA selama periode 1987-2014.

Tahap akhir dari penelitian ini adalah mengkaji aliran teater yang diterapkan

setiap sutradara pada pementasan teater di Teater TESA selama periode 1987-2014.

Dengan melibatkan unsur-unsur teater yang menjalin kesatuan dan keutuhan dramatik

yang meliputi pemain, sutradara, tata panggung, tata cahaya, tata suara, tata busana,

tata rias, dan cerita atau lakon akan ditemukan suatu bentuk aliran teater pada

penggarapan tertentu. Melalui pengkajian aliran teater tersebut dapat ditemukan pola

penggarapan Teater TESA secara jelas dari waktu ke waktu. Pada akhirnya, hasil kajian

aliran teater yang dilihat dari segi perkembangan historis dapat digunakan untuk

melakukan pemetaan terhadap perubahan-perubahan aliran teater dalam penggarapan

pentas di Teater TESA selama periode 1987-2014.

Untuk memudahkan penggambaran terkait kerangka berpikir dalam penelitian

ini, maka dapat disederhanakan melalui bagan berikut:

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’

40

Bagan 2

Kerangka Berpikir

Perkembangan Teater

TESA

1987-2014

Aliran teater Teater TESA

1987-2014

Teater TESA

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Analisis

Simpulan