11 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Pustaka 1. Penelitian Terdahulu Kajian pustaka dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menelusuri penelitian-penelitian terdahulu. Penelitian-penelitan itu bisa dimanfaatkan sebagai acuan dalam penelitian ini. Adapun penelitian tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, Perkembangan Kelompok Peron Surakarta dan Sumbangannya Terhadap Pendidikan Di Sekolah. Skripsi itu ditulis oleh Agus Suyamto, mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2009. Skripsi tersebut menggunakan studi kasus tunggal. Analisis penelitian tersebut menyangkut perkembangan Kelompok Peron Surakarta. Analisis tersebut dibatasi pada perkembangan Kelompok Peron Surakarta sejak berdiri sampai dengan kondisinya yang sekarang, pengelolaan organisasi di Kelompok Peron Surakarta, teknik penggarapan (pementasan) di Kelompok Peron Surakarta, produktivitas berteater di Kelompok Peron Surakarta dan sumbangan Kelompok Peron Surakarta terhadap pendidikan di sekolah. Simpulan dari penelitian tersebut adalah: Kelompok Peron Surakarta mengalami perkembangan dari masa ke masa. Seiring perkembangan tersebut, Kelompok Peron Surakarta senantiasa eksis sebagai ruang aktualisasi berteater di
30
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIRdengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Penelitian Terdahulu
Kajian pustaka dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menelusuri
penelitian-penelitian terdahulu. Penelitian-penelitan itu bisa dimanfaatkan sebagai
acuan dalam penelitian ini. Adapun penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, Perkembangan Kelompok Peron Surakarta dan Sumbangannya
Terhadap Pendidikan Di Sekolah. Skripsi itu ditulis oleh Agus Suyamto, mahasiswa
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2009. Skripsi tersebut
menggunakan studi kasus tunggal. Analisis penelitian tersebut menyangkut
perkembangan Kelompok Peron Surakarta. Analisis tersebut dibatasi pada
perkembangan Kelompok Peron Surakarta sejak berdiri sampai dengan kondisinya
yang sekarang, pengelolaan organisasi di Kelompok Peron Surakarta, teknik
penggarapan (pementasan) di Kelompok Peron Surakarta, produktivitas berteater di
Kelompok Peron Surakarta dan sumbangan Kelompok Peron Surakarta terhadap
pendidikan di sekolah.
Simpulan dari penelitian tersebut adalah: Kelompok Peron Surakarta
mengalami perkembangan dari masa ke masa. Seiring perkembangan tersebut,
Kelompok Peron Surakarta senantiasa eksis sebagai ruang aktualisasi berteater di
12
kalangan mahasiswa, turut mengharumkan almamater Universitas Sebelas Maret
Surakarta lewat karya-karyanya, mampu mewarnai dunia seni peran, serta ikut
mengayakan wawasan kesusastraan di dunia pendidikan.
Kedua, Perkembangan Kelompok Teater Gidag Gidig di Surakarta pada tahun
1976-2000. Skripsi itu ditulis oleh Fitri Hadi Wiyanti, mahasiswa Program Studi Ilmu
Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2008.
Analisis ini mendeskripsikan latar belakang kemunculan Teater Gidag Gidig dalam
seni pertunjukan, aktivitas Teater Gidag Gidig di Surakarta, dan bagaimana kontribusi
Teater Gidag Gidig bagi masyarakat Surakarta.
Simpulan dari penelitian ini adalah: Teater Gidag Gidig memiliki kepedulian
terhadap keadaan negeri. Persoalan-persoalan seperti ketidakadilan sosial, kemiskinan,
kerusakan moral, hancurnya lingkungan hidup, serta kebohongan para politisi. Segala
aktivitas Teater Gidag Gidig bertujuan agar masyarakat juga mampu membaca semua
persoalan di sekitarnya. Teater Gidag Gidig menggunakan konsep teater modern yang
dikemas dalam teater tradisi menjadikan mereka lebih dekat dengan masyarakat.
Kontribusi Teater Gidag Gidig besar nilainya dalam kancah seni pertunjukan, menjadi
wahana kritis, aspiratif dan menambah variasi potensi dan kreativitas seni budaya
Indonesia.
Ketiga, Perkembangan Teater Kontemporer Indonesia 1968-2008. Disertasi itu
ditulis oleh Achmad Syaeful Anwar, mahasiswa Pascasarjana Program Studi Sejarah
Universitas Indonesia tahun 2012. Analisis ini mendeskripsikan perkembangan Teater
Kontemporer Indonesia dalam rentang waktu 1968-2008.
13
Simpulan dari disertasi ini adalah: diungkapnya suatu kesimpulan peran-peran
dari setiap kelompok teater kontemporer terutama dari Bengkel Teater pimpinan
Rendra, Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya, dan Teater Koma pimpian N.
Riantiarno.
Uraian di atas menggambarkan bahwa di dalam penelitian berjudul
Perkembangan dan Aliran Teater Kelompok Kerja Teater TESA 1987-2014, memiliki
perbedaan dengan penelitian-penelitian tersebut karena penelitian ini menitikberatkan
pada permasalahan perkembangan dan aliran teater sedangkan penelitian-penelitian
tersebut meneliti aspek nilai pendidikan, kontribusi bagi masyarakat dan peran-peran
dari setiap kelompok teater.
2. Landasan Teori
a. Teater
Teater didefinisikan serupa oleh banyak pakar. Soemanto (2001: 8)
mengatakan, “Teater berasal dari kata theatron, sebuah kata Yunani yang mengacu
kepada sebuah tempat di mana aktor mementaskan lakon dan orang-orang
menontonnya”. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa teater sebagai sebuah
pertunjukkan yang melibatkan unsur pelaku dan penonton.
Pendapat tersebut juga sejalan dengan yang dikemukakan oleh Riantiarno
(2003:7). Teater berasal dari kata theatron (bahasa Yunani/Greek). Untuk memperjelas
pengertian teater di atas, Riantiarno menambahkan beberapa pengertian teater sebagai
berikut: (1) teater adalah sebuah tempat pertunjukan yang kadang bisa memuat sekitar
100.000 penonton; (2) teater bisa diartikan mencakup gedung, pekerja (pemain dan kru
14
panggung), sekaligus kegiatannya (isi pentas/peristiwanya); dan (3) teater adalah
semua jenis dan bentuk tontonan, baik di panggung maupun di arena terbuka.
Teater memang tidak bisa dilepaskan dari drama. Bahkan kedua istilah tersebut
dipandang membingungkan karena kemiripan di antara keduanya yang sulit dipilah.
Menurut Satoto (2000: 6) jika seni drama itu sedang diproses untuk dipentaskan, proses
demikian adalah proses teater. Teater adalah istilah lain dari drama, tetapi dalam arti
yang lebih luas yakni meliputi: proses pemilihan naskah, penafsiran, penggarapan,
penyajian atau pementasan, dan proses pemahaman atau penikmatan dari publik.
Perbedaan drama dan teater dapat dilihat pada pasangan ciri-ciri sebagai
berikut: (a) Play (lakon), performance (pertunjukan); (b) Script (naskah), production
(produksi); (c) Text (teks), staging (pemanggungan); (d) Author (pengarang), direction
(sutradara); (4) Creation (kreasi), interpretation (interpretasi); (f) Theory (teori),
practice (praktek). Berdasarkan perbandingan tersebut, Satoto (2000: 6-7)
menjelaskan beberapa kesimpulan sebagai berikut: (a) Seni drama lebih merupakan
lakon yang belum dipentaskan, (b) Skrips atau naskah lakon yang belum
diproduksikan, (c) Teks yang belum dipanggungkan, (d) hasil kreasi pengarang yang
masih harus ditafsirkan untuk merebut makna, (e) teori yang harus dipraktekkan atau
diaplikasikan
Lebih jelasnya Tarigan (1993: 73) menjelaskan deskripsi tentang teater dan
drama dengan mengungkapkan perbedaan-perbedaan diantara keduanya, sebagai
berikut:
15
a. Drama sebagai repertoir atau text play adalah hasil sastra milik pribadi,
yaitu penulis drama tersebut, sedangkan drama sebagai teater adalah seni
kolektif.
b. Text play masih memerlukan pembaca soliter, sedangkan teater
memerlukan penonton kolektif, dan faktor penonton ini sangat penting.
c. Text play masih memerlukan penggarapan yang baik dan teliti baru dapat
dipanggungkan sebagai teater, menjadi seni kolektif.
d. Text play adalah bacaan sedangkan teater adalah pertunjukan atau tontonan.
Senada dengan penjelasan di atas, Harymawan (1986: 2) juga memisahkan
definisi antara teater dan darama sebagai berikut:
a. Dalam arti luas: Teater ialah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan
orang banyak. Misalnya wayang orang, ketoprak, ludrug, srandul, membai,
randai, mayong, arja, rangda, reog, lenong, topeng, sulapan, akrobatik, dan
sebagainya.
b. Dalam arti sempit: Drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang
diceritakan di atas pentas, disaksikan oleh orang banyak dengan media:
percakapan, gerak dan laku, dengan atau tanpa dekor (layar dan
sebagainya), didasarkan pada naskah yang tertulis (hasil seni sastra) dengan
atau tanpa musik, nyanyian, tarian.
Menurut Rahmanto dan Endah Peni Adji (2007:1.3-1.5) drama muncul terlebih
dahulu dibandingan teater. Drama digambarkan sebagai peristiwa pertunjukan dalam
upacara-upacara pemujaan terhadap dewa. Dalam upacara pemujaan tersebut, terjadi
peningkatan secara kuantitas. Semakin hari pengikutnya semakin banyak sehingga
16
membentuk lingkaran yang mengelilingi tempat pemujaan tersebut. Lingkaran tersebut
lalu disebut sebagai teater atau theatron. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
drama merupakan perbuatan yang dapat ditonton, sedangkan teater adalah tempat
untuk menonton perbuatan yang dapat ditonton.
Drama dan teater merupakan dua hal yang serupa dengan sedikit perbedaan.
Persamaannya terletak pada makna sebuah pertunjukan di atas panggung yang
merepresentasikan suatu kejadian dalam kehidupan nyata. Sementara perbedaannya
hanyalah sudut pandang dari masing-masing orang dalam memaknai kedua istilah
tersebut yang berbeda-beda. Di dalam drama ada teater dan di dalam teater ada drama.
Dengan demikian, suatu pertunjukan akan disebut pertunjukan teater apabila ada drama
di dalamnya (Dewojati, 2012:16).
b. Aliran-aliran Teater
Teater memiliki aliran yang sudah berkembang sejak lama. Aliran dalam teater
biasanya mengacu pada bentuk dan gagasan yang diusung dalam teater itu sendiri.
Aliran memberi pengaruh terhadap hasil karya sebuah kelompok teater. Achmad
Syaeful Anwar berpendapat sebagai berikut:
Lahirnya aliran-aliran atau gaya (syle/idiom) dalam teater pada dasarnya sejajar
dengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis
di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’ (Realisme
Baru) tahun 1960-an maka hal ini terjadi pula pada teater, sehingga dengan
demikian ideologi aliran dalam seni lukis memberi pengaruh pula pada teater.
Melihat permasalahan mengenai hadirnya aliran atau gaya yang pengertiannya
mencakup: mengacu kepada pengertian karya seni individual atau kelompok,
yang dihasilkan oleh periode tertentu, kebudayaan tertentu, atau kawasan
regional tertentu (Anwar, 2012:59-60)
17
Aliran-aliran tersebut diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yang dijelaskan
sebagai berikut:
1) Aliran Klasik
Ciri-ciri aliran klasik adalah: (1) tunduk pada hukum trilogi Aristoteles dalam hal
kesatuan tempat, waktu, dan gerak, (2) acting-nya bergaya deklamasi, (3) drama
lirik lebih banyak ditulis, (4) irama permainan lamban, banyak diselingi dengan
monolog, dan bersifat statis, dan (5) materi cerita bergaya Romawi dan Yunani
(Waluyo, 2006:58).
2) Aliran Romantik
Dalam drama romantik, trilogi Aristoteles tidak dipatuhi. Adapun ciri-ciri aliran ini
adalah: (1) isinya bersifat fantastis dan tidak logis, (2) menggunakan bahasa yang
mengikuti kaidah tata bahasa, (3) aspek visual ditonjolkan dengan segala
perlengkapan baik busana, rias, maupun panggung yang gemerlapan, (4) acting-
nya sangat bersifat bombastis, dengan mimik yang berlebihan, (5) lakonnya
biasanya tentang pembunuhan dengan tokoh-tokohnya sentimental, dan (6) bentuk
drama bersifat bebas, artinya bukannya drama lirik seperti pada aliran klasik
(Waluyo, 2006:59).
3) Aliran Realisme
Realisme pada umumnya adalah aliran seni yang berusaha mencapai ilusi atas
penggambaran kenyataan (Harymawan, 1986:84). Yang digambarkan bukannya
hal-hal yang berlebihan dan sentimental seperti aliran romantik. Ada dua macam
aliran realisme, yaitu: Pertama, realisme sosial (realisme murni), dalam drama
dilukiskan kepincangan sosial, penderitaan, dan ketidakadilan untuk maksud
18
mengadakan protes sosal. Aliran realisme sosial berbeda dengan aliran naturalisme
karena sifatnya optimis, aliran naturalisme bersifat pesimis. Ciri-ciri aliran realisme
sosial adalah: (1) pemeran utama biasanya rakyat jelata, misalnya buruh, tani, orang
gelandangan, dan sebagainya, (2) acting-nya bersifat wajar seperti dalam
kehidupan sehari-hari, (3) aspek visual dalam pertunjukan tidak berlebih-lebihan,
hiasan panggung, pakaian, rias, dan sebagainya tidak berlebihan dan disesuaikan
dengan realitas kehidupan sehari-hari, (4) cerita diambil dari kenyataan sosial yang
ada dalam masyarakat dengan lebih mengutamakan konflik sosial karena
perbedaan sosial. Kedua, realisme psikologis, dalam realisme psikologis yang
ditekankan bukan dalam hal kenyataan sosial, tetapi dalam hal kenyataan
psikologis para pelakunya. Adapun ciri-ciri realisme psikologis adalah: (1) lebih
menekankan diri kepada penonjolan aspek kejiwaan atau aspek dalam diri tokoh
atau lakon, (2) setting-nya bersifat wajar dengan intonasi yang tepat, (3) suasana
digambarkan dengan pelambangan (simbolis), dan (4) sutradara mementingkan
pembinaan konflik psikologis, disebutkan juga sutradara psikolog, artinya
menitikberatkan aspek psikologis daripada dandanan yang bersifat fisik (Waluyo,
2006: 59-60). Ciri lain yang menonjol dari teater realisme ialah sifatnya yang
sangat sastrawi (literer) (Anwar, 2012: 61).
4) Aliran Surealisme
Surealisme merupakan kebalikan dari realisme. Realisme mengganggap teater
sebagai kenyataan sedangkan surealisme mengganggap teater sebagai
ketidaknyataan (mimpi). Seperti pendapat Achmad Syaeful Anwar sebagai berikut:
19
“Dadaisme melahirkan gerakan Surealisme yang berkembang dalam dekade
20-an. Bagi kaum surealis kebenaran sejati hanya didapat dalam alam
ketidaksadaran manusia. Sumber kebenaran itu baru muncul secara bebas
dalam mimpi. Situasi mimpi ini merupakan saat-saat pengungkapan kebenaran
manusia, karena pada waktu itulah bawah sadar membuat struktur terhadap
kenyataan sehari-hari, dengan demikian kebenaran hanya dapat diperoleh kalau
manusia melepaskan diri dari belenggu rasio dan menghanyutkan diri bersama
bawah sadar dalam kondisi mimpi. Baik Dada maupun Surealis berpandangan
bahwa dunia ini irrasional dan mereka mengekspresikan irrasionalitas itu dalam
karya-karya seni mereka.”
Surealisme ditujukan untuk mengekspresikan emosi, perasaan, mitologi, alegori
melalui fisik bukan verbal yang berhubungan dengan alam bawah sadar atau mimpi
sehingga surealisme akan menjadikan mimpi menjadi nyata.
5) Aliran Ekspresionisme
Aliran ekspresionisme menonjolkan curahan pikiran atau perasaan pengarang. Ciri-
cirinya adalah: (1) adanya gerak kolektif, (2) banyak dipengaruhi psikoanalisis
Freud, dan banyak pengaruh film karena keinginan menggambar ekspresi jiwa
pengarang atau sutradara, (3) pergantian adegan bersifat cepat, (4) penggunaan
pentas bersifat ekstrim, dan (5) fragmen-fragmen ditampilkan seperti dalam film.
(Waluyo, 2006: 60).
6) Aliran Naturalisme
Naturalisme merupakan perkembangan lebih lanjut dari realisme. Perbedaannya
dengan realisme adalah bahwa dalam naturalisme kenyataan yang digambarkan
diusahakan mungkin mendekati kenyataan alam (natural). Tidak mengherankan
jika dalam menggambarkan pohon-pohon, di panggung benar-benar ditampilkan
pohon yang hidup. Penampilan panggung sejauh mungkin harus mendekati alam,
20
dan bukan tiruan alam. Dalam realisme, penggunaan lukisan untuk mewakili
pemandangan alam dapat dibenarkan.
Dalam unsur artistik dan teknis juga diusahakan agar mendekati kenyataan secara
ilmiah. Dalam hal tata rias, misalnya sutradara akan merias pemain sedapat
mungkin mendekati alam. Kumis, jambang, dan bulu-bulu dada, misalnya tidak
cukup dihitamkan dengan alat penghitam, tetapi benar-benar merekatkan rambut
ke kumis, jambang, dan dada. Demikian pula halnya dengan tata busana (Waluyo,
2006: 60-61).
7) Aliran Eksistensialisme
Dalam aliran eksistensialisme ingin ditampilkan tokoh-tokoh yang sadar akan
eksistensinya, akan keberadaannya di dunia ini. Dialog-dialog yang dikemukakan
oleh aktor atau aktrisnya menunjukkan sifat kemandirian yang kuat, karena ingin
melukiskan manusia yang benar-benar mandiri secara psikis. Karya-karya
demikian seringkali dinyatakan sebagai karya platonis, karya yang bersifat sukma,
atau murni psikologis.
Dalam kesadaran akan keberadaanya, seseorang kemudian menghendaki
kebebasan yang mutlak, yaitu kebebasan yang tidak ada taranya yang dalam
kehidupan bermasyarakat secara normal sulit kita jumpai. Kita dapat menghayati
kebebasan rohaniah dan jasmaniah lebih longgar, bahkan mungkin dapat dikatakan
mutlak. Lukisan tentang tokoh-tokoh gelandangan bukan sekedar
kegelandangannya itu yang penting, akan tetapi kemandirian sukmanya itulah yang
penting. Kemandirian itu menjadi ciri eksistensi diri yang menghendaki bentuk
kebebasan yang setinggi-tingginya. Oleh karena sang tokoh bicara seenaknya
21
sendiri, meloncat dari satu masalah ke masalah lain yang seolah tanpa logika yang
runtut, berceloteh secara santai tentang hal-hal yang secara pribadi dipandangnya
penting sekaligus kehilangan konteks dengan konteks pembicaraan dengan lawan
bicaranya (Waluyo, 2006: 61-62).
8) Aliran Absurdisme
Menurut Cahyaningrum (2012: 72) seperti aliran-aliran dalam kesenian yang lain,
drama dan teater absurd muncul karena ketidakpuasan terhadap aliran-aliran yang
sudah ada sebelumnya. Absurd berarti ‘tidak rasional’, tidak dapat diterima akal,
menyimpang dari kebenaran atau logika umum. Soemanto (dalam Cahyaningrum
Dewojati, 2012:73) menyebutkan bahwa, secara leksikal, absurd berarti ketiadaan
keselarasan, yang menunjuk ketiadaan tidak harmonis. Ciri-ciri lakon dan teater
absurd biasanya menampakkan gejala dialog antar tokoh yang melompat-lompat,
tidak ada alur atau ada alur tetapi melingkar-lingkar, tidak ada pemecahan masalah
secara tuntas, penyajian tokoh yang dalam keadaan tertindih oleh kondisi yang
tidak dapat dijelaskan, dan pemanfaatan nebentext lakon secara maksimal untuk
menampilkan medium non-verbal (Cahyaningrum, 2012:74). Teater absurd
terkandung di dalamnya unsur tragedi dan komedi sekaligus. Lakon dan teater
absurd menekankan penyajian peristiwa lucu dan menyedihkan seperti tampak
pada perilaku badut-badut dalam pertunjukan sirkus. Lebih lanjut, Soemanto
(dalam Cahyaningrum Dewojati, 2012:74) juga berpendapat bahwa walaupun
lakon absurd tetap ditulis dalam bentuk kata-kata, tetapi lakon absurd merupakan
manifestasi sikap anti kata dan anti sastra, yang sudah dapat dibayangkan dari
sketsa dramatiknya.
22
9) Aliran Simbolisme
Menurut Cahyaningrum (2012: 71) aliran simbolisme adalah kesenian yang lahir
sebagai reaksi terhadap realisme. Aliran kesenian ini dapat mengungkapkan
sesuatu tidak secara terang-terangan. Lebih lanjut, Kazanuddin (dalam
Cahyaningrum Dewojati, 2012:71) bahwa ekspresinya diungkapkan dengan
simbol-simbol tertentu. Simbolisme sebagai sebuah aliran mempercayai sebuah
intuisi sebagai perangkat untuk dapat memahami kenyataan yang tidak dipahami
secara logika. Menurut kaum simbolisme, kenyataan tidak dapat dipahami secara
logis, maka kebenaran tidak mungkin pula diungkapkan secara logis. Hasanuddin
(dalam Cahyaningrum Dewojati, 2012:71) menambahkan bahwa kenyataan yang
hanya dapat dipahami melalui intuisi harus diungkapkan lewat simbol-simbol.
c. Unsur-unsur Teater
Teater merupakan seni pertunjukan sangat kompleks yang di dalamnya
terjadi penggabungan antara beberapa unsur. Menurut Soediro Satoto (2012:2)
unsur-unsur bersifat organik., Artinya, sesuatu yang harus ada atau dilaksanakan.
Unsur-unsur saling berhubungan membentuk satu rangkaian yang tidak dapat