32 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Ketersediaan Infrastruktur Pembangunan Ekonomi Menurut Todaro (1977) pembangunan bukan hanya bersifat fenomena semata, namun pembangunan tersebut harus juga meliputi sisi materi dan sisi non- materi dari kehidupan manusia. Dengan demikian pembangunan secara ideal merupakan suatu proses multidimensi, yang menyertakan dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, dan dimensi lainnya. Secara ringkas, multi dimensi pada proses pembangunan memiliki arti bahwa pembangunan dengan segenap aktivitasnya harus melibatkan dimensi ekonomi dan dimensi non-ekonomi. Terdapat tiga atribut penting pada proses dan aktivitas pembangunan (Sukirno, 2001), yaitu: (1) terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik secara kontinyu, (2) adanya peningkatan pendapatan masyarakat, dan (3) peningkatan pendapatan masyarakat berlangsung secara berkelanjutan. Secara umum, pembangunan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peran pemerintah sebagai mobilisator pembangunan sangat strategis dalam mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat serta pertumbuhan ekonomi negaranya. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk melihat hasil pembangunan yang telah dilakukan dan juga berguna untuk menentukan arah pembangunan dimasa yang akan datang. Pertumbuhan ekonomi yang positif menunjukan adanya peningkatan perekonomian, sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang negatif menunjukkan adanya penurunan. Simon Kuznets menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara dipengaruhi oleh
70
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Ketersediaan Infrastruktur Pembangunan Ekonomi Menurut Todaro (1977) pembangunan bukan hanya bersifat fenomena semata, namun pembangunan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
32
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Ketersediaan Infrastruktur Pembangunan Ekonomi
Menurut Todaro (1977) pembangunan bukan hanya bersifat fenomena
semata, namun pembangunan tersebut harus juga meliputi sisi materi dan sisi non-
materi dari kehidupan manusia. Dengan demikian pembangunan secara ideal
merupakan suatu proses multidimensi, yang menyertakan dimensi ekonomi,
sosial, lingkungan, dan dimensi lainnya. Secara ringkas, multi dimensi pada
proses pembangunan memiliki arti bahwa pembangunan dengan segenap
aktivitasnya harus melibatkan dimensi ekonomi dan dimensi non-ekonomi.
Terdapat tiga atribut penting pada proses dan aktivitas pembangunan
(Sukirno, 2001), yaitu: (1) terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik secara
kontinyu, (2) adanya peningkatan pendapatan masyarakat, dan (3) peningkatan
pendapatan masyarakat berlangsung secara berkelanjutan. Secara umum,
pembangunan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peran
pemerintah sebagai mobilisator pembangunan sangat strategis dalam mendukung
peningkatan kesejahteraan masyarakat serta pertumbuhan ekonomi negaranya.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk melihat hasil
pembangunan yang telah dilakukan dan juga berguna untuk menentukan arah
pembangunan dimasa yang akan datang. Pertumbuhan ekonomi yang positif
menunjukan adanya peningkatan perekonomian, sebaliknya pertumbuhan
ekonomi yang negatif menunjukkan adanya penurunan. Simon Kuznets
menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara dipengaruhi oleh
33
akumulasi modal (investasi pada tanah, peralatan, prasarana dan sarana dan
sumber daya manusia), sumber daya alam, sumber daya munusia (human
resources) baik jumlah maupun kualitas penduduknya, kemajuan teknologi, akses
terhadap informasi, keinginan untuk melakukan inovasi dan mengembangkan diri
serta budaya kerja. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai proses
perubahan kondisi perekonomian suatu negara secara berkesinambungan menuju
keadaan yang lebih baik selama periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat
diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian
yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Adanya
pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu
negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode
tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan
kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan
pendapatan nasional. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi
keberhasilan pembangunan ekonomi. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi adalah sebagai berikut :
1. Faktor sumber daya manusia. Sama halnya dengan proses pembangunan,
pertumbuhan ekonomi juga dipengaruhi oleh sumber daya manusia
(SDM). SDM merupakan faktor terpenting dalam proses pembangunan, di
mana cepat lambatnya proses pembangunan akan sangat ditentukan oleh
kualitas dan kuantitas SDM yang dimilikinya yang berperan sebagai
subjek pembangunan;
34
2. Faktor Sumber daya Alam. Sebagian besar negara berkembang bertumpu
kepada sumber daya alam (SDA) dalam melaksanakan proses
pembangunannya. Meskipun demikian, SDA secara terisolasi tidak
menjamin keberhasilan proses pembanguan ekonomi, apabila tidak
didukung oleh kemampaun SDM dalam mengelola SDA yang tersedia.
SDA yang dimaksudkan diantaranya adalah kesuburan tanah, kekayaan
mineral, tambang, kekayaan hasil hutan dan kekayaan laut;
3. Faktor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi (IPTEK) yang semakin pesat mendorong adanya percepatan
proses pembangunan, pergantian pola kerja yang semula menggunakan
tangan manusia digantikan oleh mesin-mesin canggih berdampak kepada
aspek efisiensi, kualitas dan kuantitas serangkaian aktivitas pembangunan
ekonomi yang dilakukan dan pada akhirnya berakibat pada percepatan laju
pertumbuhan perekonomian;
4. Faktor Budaya. Budaya memberikan dampak tersendiri terhadap
pembangunan ekonomi yang dilakukan. Budaya ini dapat berfungsi
sebagai pembangkit atau pendorong proses pembangunan tetapi dapat juga
menjadi penghambat pembangunan. Budaya yang dapat mendorong
pembangunan diantaranya sikap kerja keras dan kerja cerdas, jujur, ulet
dan sebagainya. Adapun budaya yang dapat menghambat proses
pembangunan diantaranya sikap anarkis, egois, boros, KKN, dan
sebagainya;
35
5. Sumber daya kapital. Sumber daya kapital (SDK) dibutuhkan manusia
untuk mengolah SDA dan meningkatkan kualitas IPTEK. SDK yang
berupa barang-barang modal sangat penting bagi perkembangan dan
kelancaran pembangunan ekonomi mengingat sifatnya yang dapat
meningkatkan produktivitas.
Pembangunan, dari sudut pandang tujuannya, diartikan sebagai kondisi
suatu negara yang ditandai dengan adanya: a) kemampuan konsumsi yang besar
pada sebagian besar masyarakat, b) sebagian besar kegiatan perekonomian adalah
kegiatan non-pertanian, dan c) sangat berbasis perkotaan. Teori pembangunan
ekonomi dari Rostow ini sangat populer dan paling banyak mendapatkan
komentar dari para ahli. Teori ini pada mulanya merupakan artikel (Rostow, 1960)
yang dimuat dalam Economics Journal (Maret) dan kemudian dikembangkannya
lebih lanjut dalam bukunya yang berjudul The Stages of Economic Growth (1960).
Menurut pengklasifikasian Todaro, teori Rostow ini dikelompokkan ke dalam
model jenjang linear (linear stages model).
Sebagai bagian dari teori modernisasi, teori ini mengkonsepsikan
pembangunan sebagai modernisasi yang dicapai dengan mengikuti model
kesuksesan Barat. Para pakar ekonomi menganggap bahwa teori pertumbuhan
ekonomi Rostow merupakan contoh terbaik dari apa yang diistilahkan sebagai
teori modernisasi. Menurut Rostow (1960: 4-16), proses pertumbuhan
ekonomi bisa dibedakan ke dalam 5 tahap, yaitu : masyarakat tradisional (the
traditional society), prasyarat untuk tinggal landas (the preconditions for take-off),
tinggal landas (the take-off), menuju kedewasaan (the drive to maturity), dan masa
36
konsumsi tinggi (the age of high mass-consumption). Dasar pembedaan tahap
pembangunan ekonomi menjadi 5 tahap tersebut adalah: karakteristik perubahan
keadaan ekonomi, sosial, dan politik yang terjadi.
Rostow berpendapat, pembangunan ekonomi atau proses transformasi
suatu masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern merupakan suatu proses
yang multidimensional. Pembangunan ekonomi bukan hanya berarti perubahan
struktur ekonomi suatu negara yang ditunjukkan oleh menurunnya peranan sektor
pertanian dan peningkatan peranan sektor industri saja. Disamping perubahan
seperti itu, pembangunan ekonomi berarti pula sebagai suatu proses yang
menyebabkan antara lain : perubahan orientasi organisasi ekonomi, politik, dan
sosial yang pada mulanya berorientasi kepada suatu daerah menjadi berorientasi
ke luar. Perubahan pandangan masyarakat mengenai jumlah anak dalam keluarga,
yaitu dari menginginkan banyak anak menjadi keluarga kecil. Perubahan dalam
kegiatan investasi masyarakat, dari melakukan investasi yang tidak produktif
(menumpuk emas, membeli rumah, dan sebagainya) menjadi investasi yang
produktif. Perubahan sikap hidup dan adat istiadat yang terjadi kurang
merangsang pembangunan ekonomi (misalnya penghargaan terhadap waktu,
penghargaan terhadap prestasi perorangan dan sebagainya).
Terdapat beragam pengertian tentang infrastruktur publik. World Bank
(1994) mendefinisikan infrastruktur dalam konteks ekonomi sebagai terminologi
yang memayungi berbagai aktivitas yang terkait biaya-biaya overhead yang
dikeluarkan pemerintah untuk kepentingan-kepentingan sosial (sosial overhead
capital). Pembangunan infrastruktur publik di Indonesia sangat mendapat
37
perhatian sehingga dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
tahun 2015-2019, pemerintah Indonesia bertekad melakukan percepatan dalam
penyediaan, kuantitas dan kualitas infrastruktur publik.
Tekad pemerintah ini didasari bukan hanya dari sisi pandang ekonomi semata,
tetapi juga dari berbagai perspektif kepentingan nasional yang strategis dan bersifat
prioritas, yang ditujukan untuk menunjang program revitalisasi pertanian, pengentasan
kemiskinan dan keterisolasian, maupun tujuan untuk mengatasi berbagai masalah
lingkungan seperti polusi air, udara dan tanah, atau banjir.
Mengacu kepada daftar skala prioritas nasional, pembangunan infrastruktur di
Indonesia menduduki peringkat ke enam dari sebelas program. Pada pembangunan
infrastruktur di Indonesia, terdapat tujuh substansi inti dari program aksi di bidang
infrastruktur yaitu pembangunan infrastruktur yang berkaitan dengan : (1) tanah dan
berkaitan dengan aspek psikometrik yang dilihat dari inovasinya, sifat proaktifnya
dan keberanian mengambil risiko. Dari ketiga dimensi ini bisa dilihat orientasi
kewirausahaan seseorang (Covin dan Slevin,1989). Miller dan Friesen (1982)
75
berpendapat bahwa kewirausahaan menjadi berbeda karena memiliki titik berat
pada inovasi produk baru. Hal ini ditandai oleh beberapa organisasi yang
mempunyai kemauan berinovasi secara berani dan regular pada pengambilan
risiko yang cukup besar dalam strategi pemasaran produknya.
Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan
dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju kesuksesan. Beberapa
literatur manajemen memberikan tiga landasan dimensi-dimensi dari
kecenderungan organisasional untuk proses manajemen kewirausahaan, yakni
kemampuan inovasi, kemampuan mengambil risiko, dan sifat proaktif
(Weerawardeena, 2003; Matsuno, Mentzer dan Ozsomer, 2002). Kewirausahaan
dikenal sebagai pendekatan baru dalam pembaruan kinerja perusahaan. Hal ini,
tentu harus direspon secara positif oleh perusahaan yang mulai mencoba bangkit
dari keterpurukan ekonomi akibat krisis berkepanjangan. Kewirausahaan disebut-
sebut sebagai spearhead (pelopor) untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi
perusahaan berkelanjutan dan berdaya saing tinggi.
Orientasi kewirausahaan memiliki tiga karakteristik utama, yaitu inovasi,
pengambilan risiko, dan proaktif (Covin dan Slevin, 1991; Milleret al., 1982;
Miller dan Friesen, 1982). Sementara menurut G. T. Lumpkin and Gregory G.
Dess (2008) bahwa orientasi kewirausahaan menyebutkan lima karakteristik yaitu
kemandirian, inovasi, pengambilan risiko, proaktif dan keagresifan dalam
bersaing.
Menurut Covin dan Slevin (1991), orientasi kewirausahaan ditunjukkan oleh
sejauh mana manajer puncak cenderung untuk mengambil risiko yang terkait dengan
76
bisnis (dimensi risiko), mendukung perubahan dan inovasi dalam rangka untuk
mendapatkan keuntungan kompetitif bagi perusahaan mereka (dimensi inovasi), dan
bersaing secara agresif dengan perusahaan lain (dimensi proaktif). Selanjutnya Covin
dan Slevin (1991) dalam Kreiser et al. (2002) mengungkapkan bahwa orientasi
kewirausahaan (entrepreneurial orientation) berkaitan dengan aspek psikometrik yang
dilihat dari motivasinya, sifat proaktifnya dan keberanian mengambil risiko. Dari tiga
dimensi ini bisa dilihat orientasi kewirausahaan seseorang.
Lumpkin dan Dess (1996) memberi pengertian bahwa orientasi
kewirausahaan mengacu pada suatu strategi orientasi perusahaan untuk
memperoleh gaya, praktek, dan metoda pengambilan keputusan. Selanjutnya
diungkapkan juga bahwa orientasi kewirausahaan mencerminkan bagaimana suatu
perusahaan beroperasi dibandingkan dengan apa yang direncanakan.
Definisi orientasi wirausaha yang digunakan Miller dan Friesen (1982)
dicirikan oleh unsur innovationess, proactiveness dan risk taking. Kebanyakan
penelitian dilakukan berdasar pada kerja dari Miller et al. (1982) misalnya Covin
dan Slevin (1991) dan Miles, Arnold dan Thompson (1993). Kurang lebih terdapat
12 penelitian yang dilakukan berdasarkan instrumen yang dikembangkan Milleret
al. (1983), Covin dan Slevin (1991). Hal ini menunjukkan bahwa instrumen
tersebut dapat terus digunakan untuk mengukur tingkat wirausaha organisasi
(Wiklund, 1995 dalam Lumpkin dan Dess,1996).
Membangun kewirausahaan dinyatakan sebagai satu dari empat pilar
dalam memperkuat lapangan pekerjaan. Wirausaha sendiri berarti suatu kegiatan
manusia dengan mengerahkan tenaga pikiran atau badan untuk mencapai/
77
menciptakan suatu pekerjaan yang dapat mewujudkan insan mulia. Dengan kata
lain, wirausaha berarti manusia utama (unggul) dalam menghasilkan suatu
pekerjaan bagi dirinya sendiri atau orang lain. Orang yang melakukan wirausaha
dinamakan wirausahawan. Bentuk dari aplikasi atas sikap-sikap kewirausahaan
dapat diindikasikan dengan orientasi kewirausahaan dengan indikasi kemampuan
inovasi, proatifitas, dan kemampuan mengambil risiko (Looy et al. 2003).
Lumpkin dan Dess (1996) menyatakan bahwa penerapan konsep orientasi
wirausaha terdapat dalam literatur strategi. Selanjutnya dijelaskan bahwa orientasi
wirausaha mengacu pada proses, praktek dan aktivitas pembuatan keputusan.
Meskipun banyak penelitian empiris mengenai kewirausahan terfokus pada
analisis tingkat individual, namun para peneliti saat ini lebih berfokus pada
kewirausahaan sebagai perilaku tingkat organisasi. Wiklund (1995) dan Miller (1983)
dalam Lumpkin dan Dess (1996) mendefinisikan organisasi wirausaha sebagai
organisasi yang pertama dalam inovasi produk pasar, berani mengambil sejumlah risiko
dan pertama secara proaktif memperkenalkan inovasi produk yang memukul
kompetitor dengan telak. Dia menggunakan tiga dimensi wirausaha dari total tujuh
dimensi seperti yang diusulkan oleh Miller dan Friesen (1982). Lumpkin dan Dess
(1996) menambah dua dimensi orientasi wirausaha yakni kecenderungan untuk
bertindak otonomi (autonomy) dan kecenderungan untuk menjadi agresif ketika
berhadapan dengan pesaing (competitive aggressiveness). Jadi mereka mendefinisikan
orientasi wirausaha sebagai innovativeness, proactiveness, risk taking, autonomy dan
competitive aggressiveness dengan penjelasan sebagai berikut.
78
2.3.1 Kemandirian
Kewirausahaan telah berkembang karena orang yang berpikir mandiri
untuk meninggalkan posisi aman dalam rangka untuk mempromosikan ide-ide
baru atau usaha ke pasar baru, daripada membiarkan atasan organisasi dan proses
untuk menghambat mereka. Dalam organisasi juga, itu adalah kebebasan yang
diberikan kepada individu dan tim yang dapat melatih kreativitas mereka.
Dengan demikian, konsep kemandirian adalah dimensi utama dari
orientasi kewirausahaan. Kemandirian mengacu pada tindakan independen dari
individu atau tim dalam menghasilkan ide atau visi dan membawanya sampai
selesai. Secara umum, itu berarti kemampuan dan kemauan untuk menjadi
mandiri dalam mengejar peluang. Dalam konteks organisasi, mengacu pada
tindakan yang diambil bebas dari kendala organisasi. Jadi, meskipun faktor-faktor
seperti ketersediaan sumber daya, tindakan oleh pesaing yang kompetitif, atau
pertimbangan organisasi internal dapat mengubah jalannya inisiatif perusahaan
baru.
Mintzberg (1973) dan Mintzberg dan Waters (1985) menggambarkan
strategi seseorang melakukan wirausaha yaitu karena tindakan tegas dan berisiko
diambil oleh seorang pemimpin yang kuat. Hal tersebut ditambah dengan
kemampuan untuk memaksakan bahwa visi organisasi melalui kontrol tindakan
pribadi sang pemimpin (Mintzberg & Waters, 1985: 260, penekanan
ditambahkan).
Bourgeois dan Brodwin (1984) mengemukakan bahwa strategi dimulai
dalam organisasi melalui kewirausahaan individu. Model ini menunjukkan bahwa
79
dorongan untuk usaha baru sering terjadi pada tingkat yang lebih rendah dalam
suatu organisasi (Bower, 1970) dan mencerminkan pentingnya kemandirian
kepada anggota organisasi yang mungkin ditemukan dalam pengaturan usaha
internal perusahaan. Miller (1983) menemukan bahwa sebagian besar perusahaan
kewirausahaan memiliki pemimpin yang mandiri. Artinya, di perusahaan-
perusahaan kecil sederhana, tingginya tingkat aktivitas kewirausahaan dikaitkan
dengan kepala eksekutif yang mempertahankan otoritas pusat yang kuat dan juga
bertindak sebagai pemimpin pengetahuan perusahaan dengan menyadari teknologi
yang muncul dan pasar.
Dalam sebuah studi dari pengambilan keputusan oleh 32 perusahaan India,
Shrivastava dan Grant (1985) menemukan ketergantungan yang kuat serupa di otokrasi
manajerial antara 10 perusahaan di mana manajer kunci tunggal adalah pengambilan
keputusan utama agen. Dari 10 perusahaan tersebut, 8 diklasifikasikan sebagai
"kewirausahaan". Untuk mempromosikan intrapreneurship (Pinchot, 1985), banyak
perusahaan besar telah terlibat dalam perubahan struktur organisasi seperti perataan
hierarki dan mendelegasikan wewenang untuk unit operasi. Langkah ini dimaksudkan
untuk mendorong otonomi, tetapi proses otonomi organisasi membutuhkan lebih dari
perubahan desain. Perusahaan harus benar-benar memberikan otonomi dan mendorong
pemain organisasi untuk latihan itu (Quinn, 1979).
2.3.2 Kecenderungan untuk berinovasi (innovativeness)
Kemampuan inovasi berhubungan dengan persepsi dan aktivitas terhadap
aktivitas-aktivitas bisnis yang baru dan unik (Schumpeter dan Milton, 1989).
Kemampuan berinovasi adalah titik penting dari kewirausahaan dan esensi dari
80
karakteristik kewirausahaan (Koh, 1997). Para peneliti menganggap bahwa inovasi
merupakan jantung dari kewirausahaan (Covin dan Miles, 1999; Jennings dan Young,
1990; Schollhammer, 1982; Schumpeter; 1934, 1942) dalam Kreiseret al, 2010)).
Dimensi innovatiness mencerminkan kecenderungan organisasi untuk menggunakan
dan mendukung ide-ide baru, eksperimen dan proses kreatif yang mungkin berhasil
dalam memperkenalkan produk atau jasa baru, hal-hal baru atau proses teknologi
(Lumpkin dan Dess, 1996). Dengan demikian, innovatiness merupakan kemauan dasar
untuk meninggalkan teknologi atau praktik-praktik yang lama dan sudah ada untuk
mencari hal-hal baru untuk menuju ke arah yang lebih baik.
Berdasarkan hasil penelitian Frese, Brantjes dan Hoorn (2002)
kecenderungan organisasi untuk inovasi (innovativeness) secara positif
berhubungan dengan sukses organisasi karena dengan ide baru, organisasi dapat
menangkap segmen penting dalam pasar. Tingkat inovasi yang tinggi akan
meningkatkan kinerja organisasi (Kreiser et al., 2010).
2.3.3 Kecenderungan bertindak proaktif (proactiveness)
Proaktifitas seseorang untuk berusaha berprestasi merupakan petunjuk lain
dari aplikasi atas orientasi kewirausahaan secara pribadi. Demikian pula bila suatu
perusahaan menekankan proaktifitas dalam kegiatan bisnisnya, maka perusahaan
tersebut telah melakukan aktifitas kewirausahaan yang akan secara otomatis
mendorong tinginya kinerja (Weerawardena, 2003,424). Perusahaan dengan
aktifitas kewirausahaan yang tinggi berarti tampak dari tingginya semangat yang
tidak pernah padam karena hambatan, rintangan, dan tantangan. Sikap aktif dan
dinamis adalah kata kuncinya. (Doukakis, 2002).
81
Dimensi kedua dari orientasi wirausaha, yaitu proactiveness. Sikap
proaktif mengacu pada perspektif forward looking (cara pandang ke depan) dalam
pengambilan inisiatif dengan mengantisipasi dan mengejar peluang baru dan
berpartisipasi dalam pasar yang muncul (Lumpkin dan Dess, 1996). Senada
dengan Yeoh dan Joeng (1995) dalam Kreiseret al. (2010) yang mendefinisikan
proaktif untuk bersaing dengan pesaingnya. Organisasi proaktif cenderung
menjadi pemimpin daripada pengikut, karena memiliki keinginan dan pandangan
ke depan untuk menangkap peluang baru sekalipun tidak selalu menjadi yang
pertama melakukan hal tersebut.
2.3.4 Kecenderungan berani mengambil risiko (risk taking)
Seseorang yang berani mengambil risiko dapat didefinisikan sebagai
seseorang yang berorientasi pada peluang dalam ketidakpastian konteks
pengambilan keputusan. Hambatan risiko merupakan faktor kunci yang
membedakan perusahaan dengan jiwa wirausaha dan tidak. Fungsi utama dari
tingginya orientasi kewirausahaan adalah bagaimana melibatkan pengukuran
risiko dan pengambilan risiko secara optimal (Looy et al. 2003).
Konsep risk taking telah lama dihubungkan dengan kewirausahaan.
Dimensi ini mencerminkan kemauan aktif organisasi untuk mengejar peluang
meskipun peluang tersebut mengandung risiko dan hasilnya tidak pasti (Caruana
et al., 2001). Dimensi ini menangkap tingkat pengambilan risiko dalam berbagai
keputusan alokasi sumber daya seperti halnya pilihan produk dan pasar
(Venkatraman, 1989). Meskipun pengambilan risiko biasanya dipandang sebagai
ciri atau sifat individu, namun Venkatraman memandangnya sebagai suatu
82
konstruk tingkat organisasi. Risiko diperhitungkan dalam arti bahwa pengusaha
secara objektif mengidentifikasi faktor-faktor kunci risiko dan sumber-sumber
risiko dan kemudian secara sistematis mencoba untuk mengelola atau mengurangi
faktor-faktor ini.
Perilaku pengambilan risiko oleh organisasi dapat berupa tindakan
pengambilan risiko yang berisiko kecil seperti mendepositokan uang di bank
hingga tindakan yang berisiko tinggi seperti meminjam uang di bank, investasi
dalam teknologi yang belum dieksplorasi ataupun membawa produk baru ke
dalam pasar yang baru (Lumpkin dan Dess, 1996). Senada dengan Frese, Brantjes
dan Hoorn (2002) yang menyatakan bahwa pengambilan risiko dapat dilihat
sebagai usaha organisasi terhadap hal yang tidak diketahui misalnya penyelidikan
dalam teknologi yang belum dieksplorasi.
Begley dan Boyd (1987) dalam Kreiseret al. (2010) menemukan bahwa
kecenderungan organisasi untuk berani mengambil risiko (risk taking) memiliki
pengaruh positif pada kinerja organisasi. Kecenderungan sikap risk taking
berhubungan secara positif dengan sukses organisasi karena manajer ataupun
pemilik organisasi dapat membuat perjanjian yang menguntungkan bagi
organisasinya (Frese, Brantjes dan Horn, 2002).
Menurut Gima dan Anthony (2001), organisasi dengan kemampuan
orientasi kewirausahaan yang tinggi cenderung mampu berkinerja lebih baik
dibandingkan dengan para pesaing dalam hal; pangsa pasar, kecepatan di dalam
memasuki pasar, dan tingkat kualitas produk. Dijelaskan pula bahwa orientasi
83
kewirausahaan akan mampu membawa organisasi menuju kinerja unggul
(Becherer dan Maurer, 1999; Vitale et. al., 2003; Todorovic dan Ma, 2008).
2.3.5 Keagresifan bersaing
Stinchcombe (1965) dalam Lumpkin and Dess (2008) menyatakan bahwa
perusahaan-perusahaan muda sangat rentan terhadap "kewajiban kebaruan" dan
karena itu harus mengambil langkah-langkah untuk membangun legitimasi dan
kekuasaan relatif terhadap pemasok, pelanggan, dan pesaing lainnya. Karena
usaha baru yang jauh lebih mungkin untuk gagal daripada bisnis yang didirikan.
Lumpkin and Dess (2008) mengutip MacMillan (1982) dan Porter (1985)
menyatakan bahwa banyak sarjana berpendapat bahwa sikap agresif dan
persaingan yang ketat sangat penting untuk kelangsungan hidup dan keberhasilan
pendatang baru. Dengan demikian, agresivitas bersaing adalah kelima dimensi
kewirausahaan yang sering disebutkan dalam literatur.
Agresivitas kompetitif mengacu pada kecenderungan perusahaan untuk
secara langsung dan intens menantang pesaingnya. Keagresifan bersaing ditandai
dengan respon, yang mungkin mengambil bentuk konfrontasi secara head-to-
head. Pentingnya variabel ini sebagai dimensi orientasi kewirausahaan disorot
dalam sebuah studi dari proses kewirausahaan dari perusahaan AS di pasar global,
di mana Dean (1993) menemukan bahwa keagresifan bersaing menjelaskan jauh
lebih varians (37 persen) dalam kewirausahaan perusahaan daripada strategi lain
atau variabel struktural dianalisis.
84
2.4 Kinerja Usaha
2.4.1 Pengertian kinerja usaha
Kinerja merupakan gambaran mengenai sejauh mana keberhasilan atau
kegagalan organisasi dalam menjalankan tugas dan fungsi pokoknya dalam rangka
mewujudkan sasaran, tujuan, visi, dan misinya. Dengan kata lain, kinerja
merupakan prestasi yang dapat dicapai oleh organisasi dalam periode tertentu.
Menurut Fauzi (1995: 207) “Kinerja merupakan suatu istilah umum yang
digunakan untuk sebagian atau seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu
organisasi pada suatu periode, seiring dengan referensi pada sejumlah standar
seperti biaya-biaya masa lalu atau yang diproyeksikan, suatu dasar efisiensi,
pertanggungjawaban atau akuntabilitas manajemen dan semacamnya”.
Menurut Mulyadi (2001: 337) Kinerja adalah keberhasilan personil, tim,
atau unit organisasi dalam mewujudkan sasaran strategik yang telah ditetapkan
sebelumnya dengan perilaku yang diharapkan. Kinerja perusahaan merupakan
sesuatu yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dalam periode tertentu dengan
mengacu pada standar yang ditetapkan. Kinerja perusahaan hendaknya merupakan
hasil yang dapat diukur dan menggambarkan kondisi empirik suatu perusahaan
dari berbagai ukuran yang disepakati.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah kemampuan, usaha, dan
kesempatan personel, tim, atau unit organisasi dalam melaksanakan tugasnya
untuk mewujudkan sasaran strategik yang telah ditetapkan. Keberhasilan
pencapaian strategik yang menjadi basis pengukuran kinerja perlu ditentukan
ukurannya, dan ditentukan inisiatif strategik untuk mewujudkan sasaran-sasaran
85
tersebut. Sasaran strategik beserta ukurannya kemudian digunakan untuk
menentukan target yang dijadikan basis penilaian kinerja. Oleh karena itu,
pengukuran kinerja adalah tindakan pengukuran yang dapat dilakukan terhadap
aktivitas dari berbagai rantai nilai yang ada pada perusahaan. Hasil pengukuran
tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik yang akan memberikan
informasi tentang pelaksanaan suatu rencana dimana perusahaan memerlukan
penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan pengendalian tersebut.
Demirbag et al. (2006) yang menyimpulkan bahwa keberhasilan usaha kecil
dan menengah (small-medium enterprises) memiliki dampak langsung terhadap
pembangunan ekonomi baik pada negara maju maupun negara berkembang. Usaha
kecil dan menengah memiliki kemampuan untuk menciptakan lapangan kerja dengan
biaya minimum, mereka adalah pelopor dalam dunia inovasi dan memiliki fleksibilitas
tinggi yang memungkinkan usaha tersbut untuk memenuhi kebutuhan pelanggan
(Brock dan Evans, 1986; ACS dan Audretsch, 1990).
2.4.2 Aspek-aspek kinerja usaha
2.4.2.1 Pertumbuhan penjualan
Menurut Warren et al. yang diterjemahkan oleh Farahmita dkk. (2006)
“penjualan adalah jumlah yang dibebankan kepada pelanggan untuk barang
dagang yang dijual, baik secara tunai maupun kredit”. Definisi penjualan
tersebut menekankan bahwa penjualan merupakan suatu proses pembebanan
sejumlah biaya baik secara tunai maupun kredit kepada pelanggan atas barang
atau jasa yang didapatkannya. Pertumbuhan atas penjualan merupakan indikator
dari penerimaan pasar atas produk atau jasa yang dihasilkan, dan pendapatan yang
86
dihasilkan dari penjualan tersebut dapat digunakan untuk mengukur tingkat
pertumbuhan penjualan.
Adapun rumus yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat
pertumbuhan piutang adalah sebagai berikut :
1) Perputaran Piutang Usaha
Menurut Stice et al. yang diterjemahkan oleh Akbar (2009)
“perputaran piutang menggambarkan rata-rata jumlah penjualan/siklus
penagihan yang dilaksanakan perusahaan selama tahun berjalan.
Semakin tinggi perputaran, semakin cepat periode penagihan
piutang”. Menurut Kasmir (2010) “perputaran piutang merupakan
rasio yang digunakan untuk mengukur berapa lama penagihan piutang
selama satuperiode atau berapa kali dana yang ditanam dalam piutang
ini berputar dalam satu periode”. Dengan demikian dapat diketahui
bahwa semakin tinggi rasio perputaran piutang menandakan bahwa
modal yang digunakan oleh perusahaan semakin efisien.
2) Likuiditas
Menurut Horne dan Wachowicz yang diterjemahkan oleh
Fitriasari dan Kwary (2005: 206) “likuiditas adalah kemampuan
aktiva untuk diubah ke dalam bentuk tunai tanpa adanya konsesi harga
yang signifikan”. Menurut Stice et al. yang diterjemahkan oleh Akbar
(2009: 805) “hal penting yang harus diperhatikan tentang perusahaan
adalah likuiditasnya atau kemampuan untuk memenuhi kewajiban
87
lancarnya”. Jadi, tingkat likuiditas menggambarkan seberapa besar
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek.
2.4.2.2 Pertumbuhan modal
Munawir (2001) menyebutkan modal adalah hak atau bagian yang
dimiliki oleh pemilik perusahaan yang ditunjukkan dalam pos modal (modal
saham), surplus dan laba yang ditahan, atau kelebihan nilai aktiva yang
dimiliki oleh perusahaan terhadap seluruh utang-utangnya. Dalam praktik
kadang-kadang nampak adanya suatu klasifikasi di dalam neraca yang pada
umumnya membingungkan pembaca (sulit untuk ditafsir-kan) dengan nama
reserve (cadangan). Seharusnya cadangan ini diklasifikasikan sesuai dengan
klasifikasi Neraca yaitu aktiva, utang dan milik sendiri (modal) sehingga
cadangan pada prinsipnya juga terdiri dari tiga golongan yaitu: (Munawir,
2001).
1) Cadangan sebagai pengurang aktiva (reserve that offseting assets). Misalnya
cadangan penyusutan (reserve for depreciation), cadangan ini merupakan
pengurangan terhadap aktiva yang disusut, sehingga dalam neraca nampak di
sebelah debet mengurangi aktiva yang bersangkutan. Cadangan penyusutan itu
akan lebih tepat bila diberi nama lain yaitu "akumulasi penyusutan", atau
"akumulasi depresiasi".
2) Cadangan sebagai utang (liability reserve), misalnya reserve for taxes
(cadangan untuk pajak) merupakan suatu utang yang dicatat sebagai cadangan,
ini tidak benar, seharusnya cadangan untuk pajak ini dimasukkan dalam utang
lancar (current liability), yaitu Utang Pajak atau Taksiran Utang Pajak.
88
3) Cadangan yang merupakan surplus, yang betul-betul merupakan hak para
pemilik perusahaan, misalnya "cadangan untuk ekspansi" adalah
merupakan pemisahan sebagian dari laba yang ditahan (retained earning),
dan dalam neraca masuk dalam klasifikasi modal (appropriated surplus).
Atmaja (1999) menyebutkan bahwa modal adalah dana yang
digunakan untuk membiayai pengadaan aktiva dan operasi perusahaan. Modal
terdiri dari item – item yang ada di sisi kanan suatu neraca, yaitu hutang,
saham biasa, saham preferen dan laba ditahan. Harnanto (2001) menyebutkan
bahwa modal sendiri adalah modal dalam suatu perusahaan yang
dipertaruhkan untuk segala risiko, baik risiko usaha maupun risiko kerugian –
kerugian lainnya. Tiap – tiap perusahaan harus memiliki sejumlah minimum
modal yang diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidupnya.
Struktur permodalan dan pengalokasian modal suatu perusahaan akan
sangat berperan penting di dalam menjaga stabilitas financial dan going
concern perusahaan. Peran penting permodal dan pengalokasian modal
terutama disebabkan oleh perbedaan karakteristik di antara tiap – tiap
sumber/jenis permodalan tersebut. Perbedaan karakteristik di antara tiap–tiap
jenis/sumber permodalan itu secara umum mempunyai akibat atau pengaruh
pada dua aspek penting didalam kehidupan setiap perusahaan, yaitu sebagai
berikut :
1) Terhadap kemampuannya untuk menghasilkan laba dan;
2) Terhadap kemampuan perusahaan untuk membayar kembali hutang/
kewajiban-kewajiban panjangnya (solvabilitas).
89
`Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa stabilitas financial
dan going concern suatu perusahaan dipengaruhi oleh pertumbuhan struktur
permodalannya, dimana salah satunya adalah modal sendiri. Bringham (1996:
184) menyebutkan berbagai faktor dapat mempengaruhi pertumbuhan modal
sendiri suatu perusahaan.
2.4.2.3 Pertumbuhan tenaga kerja
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tenaga kerja adalah setiap orang
yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa baik
untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Batas usia
kerja yang dianut oleh Indonesia adalah minimum 10 tahun, tanpa batas umur
maksimum. Jadi setiap orang atau penduduk yang sudah berusia 10 tahun ke
atas tergolong tenaga kerja.
Tenaga kerja terdiri atas 2 kelompok yaitu angkatan kerja dan bukan
angkatan kerja. Angkatan kerja adalah tenaga kerja atau penduduk dalam usia
kerja yang bekerja, atau mempunyai pekerjaan namun untuk sementara tidak
bekerja, dan yang sedang mencari pekerjaan. Bukan Angkatan Kerja adalah
tenaga kerja atau penduduk dalam usia kerja yang tidak bekerja, tidak
mempunyai pekerjaan dan sedang tidak mencari pekerjaan, yaitu orang-orang
yang kegiatannya menerima pendapatan tapi bukan merupakan imbalan
langsung atas jasa kerjaanya (Dumairy, 1996).
Jumlah angkatan kerja yang bekerja merupakan gambaran kondisi dari
lapangan kerja yang tersedia. Semakin bertambah besar lapangan kerja yang
tersedia maka akan menyebabkan semakin meningkatnya total produksi di
90
suatu negara, dimana salah satu indikator untuk melihat perkembangan
ketenagakerjaan di Indonesia adalah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
(TPAK). Tingkat partisipasi angkatan kerja adalah menggambarkan jumlah
angkatan kerja dalam suatu kelompok umur sebagai presentase penduduk
dalam kelompok umur tersebut, yaitu membandingkan jumlah angkatan kerja
dengan jumlah tenaga kerja.
Pertumbuhan tenaga kerja dianggap sebagai salah satu faktor positif
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya tenaga kerja akan
mendorong terjadinya peningkatan produktivitas dan dampaknya akan
mendorong pertumbuhan ekonomi.
2.4.2.4 Pertumbuhan laba
Pengertian laba secara operasional merupakan perbedaan antara
pendapatan yang direalisasi yang timbul dari transaksi selama satu periode
dengan biaya yang berkaitan dengan pendapatan tersebut. Pengertian laba
menurut Harahap (2008: 113) “kelebihan penghasilan diatas biaya selama
satu periode akuntansi”. Sementara pengertian laba yang dianut oleh struktur
akuntansi sekarang ini adalah selisih pengukuran pendapatan dan biaya. Besar
kecilnya laba sebagai pengukur kenaikan sangat bergantung pada ketepatan
pengukuran pendapatan dan biaya. Menurut Harahap (2005: 263) laba
merupakan angka yang penting dalam laporan keuangan karena berbagai
alasan antara lain: laba merupakan dasar dalam perhitungan pajak, pedoman
dalam menentukan kebijakan investasi dan pengambilan keputusan, dasar
dalam peramalan laba maupun kejadian ekonomi perusahaan lainnya di masa
91
yang akan datang, dasar dalam perhitungan dan penilaian efisiensi dalam
menjalankan perusahaan, serta sebagai dasar dalam penilaian prestasi atau
kinerja perusahaan.
Chariri dan Ghozali (2003: 214) menyebutkan bahwa laba memiliki
beberapa karakteristik antara lain sebagai berikut:
a. laba didasarkan pada transaksi yang benar-benar terjadi,
b. laba didasarkan pada postulat periodisasi, artinya merupakan prestasi
perusahaan pada periode tertentu,
c. laba didasarkan pada prinsip pendapatan yang memerlukan pemahaman
khusus tentang definisi, pengukuran dan pengakuan pendapatan,
d. laba memerlukan pengukuran tentang biaya dalam bentuk biaya historis
yang dikeluarkan perusahaan untuk mendapatkan pendapatan tertentu, dan
e. laba didasarkan pada prinsip penandingan (matching) antara pendapatan
dan biaya yang relevan dan berkaitan dengan pendapatan tersebut.
Perbandingan yang tepat atas pendapatan dan biaya tergambar dalam
laporan laba rugi. Penyajian laba melalui laporan tersebut merupakan fokus
kinerja perusahaan yang penting. Kinerja perusahaan merupakan hasil dari
serangkaian proses dengan mengorbankan berbagai sumber daya. Adapun
salah satu parameter penilaian kinerja perusahaan tersebut adalah
pertumbuhan laba. Pertumbuhan laba dihitung dengan cara mengurangkan
laba periode sekarang dengan laba periode sebelumnya kemudian dibagi
dengan laba pada periode sebelumnya (Warsidi dan Pramuka, 2000).
92
2.5 Kesejahteraan Rumah Tangga
Kesejahteraan didefinisikan sebagai perwujudan tingkat pemenuhan
utilitas seluruh masyarakat dalam suatu perekonomian, yang besarnya tergantung
dari kesejahteraan yang diterima oleh masing-masing individu (Sen, 1982).
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009, Kesejahteraan Sosial adalah
kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual,dan sosial warga negara agar
dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat
melaksanakan fungsi sosialnya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 yang merupakan
amandemen Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992, menyatakan ketahanan dan
kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan
ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materil guna hidup mandiri dan
mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan
kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin. Maka kesejahteraan masyarakat adalah
suatu kondisi yang memperlihatkan tentang keadaan kehidupan masyarakat yang
dapat dilihat dari standar kehidupan masyarakat (Badrudin: 2012).
Kesejahteraan itu sendiri merupakan fungsi dari seluruh utilitas individu
sebagai anggota masyarakat dalam suatu perekonomian. Utilitas masing-masing
individu merupakan fungsi dari berbagai konsumsi atas barang. Kesejahteraan
sosial dianggap meningkat jika, paling tidak, ada satu individu yang mengalami
peningkatan kesejahteraan dimana individu lainnya tidak mengalami penurunan
tingkat kesejahteraan. Dari sini, langkah awal untuk melihat kesejahteraan
masyarakat adalah pengukuran terhadap kesejahteraan individu.
93
Arsyad dan Sukirno mengemukakan bahwa tingkat pendapatan perkapita
tidak sepenuhnya mencerminkan tingkat kesejahteraan karena kelemahan yang
bersumber dari ketidaksempurnaan dalam penghitungan pendapatan nasional dan
pendapatan perkapita dan kelemahan yang bersumber dari kenyataan bahwa
tingkat kesejahteraan masyarakat bukan hanya ditentukan oleh tingkat pendapatan
tetapi juga faktor-faktor lain (Badrudin: 2012).
Menurut Todaro (2006: 20) banyak negara Dunia Ketiga yang dapat
mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun gagal meningkatkan
taraf hidup penduduk di daerah tersebut. Untuk memantau tingkat kesejahteraan
masyarakat dalam satu periode tertentu, Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Susenas mengambil informasi
keadaan ekonomi masyarakat sebagai dasar untuk memperoleh indikator
kesejahteraan.
Delapan indikator kesejahteraan rumah tangga menurut Badan Pusat
Statistik tahun 2016 adalah kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan,
ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan,
kemiskinan, dan sosial lainnya yang menjadi acuan dalam upaya peningkatan
kualitas, yang selanjutnya diuraikan sebagai berikut :
2.5.1 Kesehatan dan gizi
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Upaya
kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan
yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat. Tujuan kesehatan secara
94
nasional adalah memajukan kesejahteraan bangsa, yang berarti memenuhi
kebutuhan dasar manusia.
Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama
dengan keterikatan aturan, emosional dan individu mempunyai peran masing-
masing yang merupakan bagian dari keluarga (Friedman, 1998). Keluarga adalah
unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami istri dan anaknya, atau ayah
dan anaknya, atau ibu dan anaknya (Suprajitno, 2004).
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari dua
orang atau lebih yang dihubungankan melalui ikatan perkawinan, hubungan darah,
adopsi dan saling berinteraksi satu dengan lainnya, mempunyai keunikan nilai dan
norma hidup yang didasari oleh sistem kebudayaan keluarga yang terorganisasi
dibawah asuhan kepala rumah tangga dalam menjalankan peran dan fungsi
anggota keluarga serta mempunyai hak otonomi dalam mengatur keluarganya,
misalnya dalam hal kesehatan keluarga (Zaidin Ali, 2009).
2.5.2 Pendidikan
Salah satu indikator yang dapat dijadikan ukuran kesejahteraan sosial yang
merata adalah dengan melihat tinggi rendahnya persentase penduduk yang melek
huruf. Tingkat melek huruf dapat dijadikan ukuran kemajuan suatu bangsa. Angka
Melek Huruf (AMH) adalah perbandingan antara jumlah penduduk usia 15 tahun
ke atas yang dapat membaca dan menulis dengan jumlah penduduk usia 15 tahun
ke atas. Batas maksimum untuk angka melek huruf, adalah 100 sedangkan batas
minimum 0 (standar UNDP). Hal ini menggambarkan kondisi 100 persen atau
95
semua masyarakat mampu membaca dan menulis, dan nilai nol mencerminkan
kondisi sebaliknya.
Rata-rata lama sekolah mengindikasikan makin tingginya pendidikan yang
dicapai oleh masyarakat di suatu daerah. Semakin tinggi rata-rata lama sekolah
berarti semakin tinggi jenjang pendidikan yang dijalani. Asumsi yang berlaku
secara umum bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin
tinggi pula kualitas seseorang, baik pola pikir maupun pola tindakannya. Tobing
dalam Hastarini (2005), mengemukakan bahwa orang yang memiliki tingkat
pendidikan lebih tinggi, diukur dengan lamanya waktu untuk sekolah akan
memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibanding dengan orang yang
pendidikannya lebih rendah. Rata-rata lama sekolah adalah rata-rata jumlah tahun
dihabiskan oleh penduduk yang berusia 15 tahun ke atas untuk menempuh semua
jenis pendidikan formal yang pernah dijalani. Batas maksimum untuk rata-rata
lama sekolah adalah 15 tahun dan batas minimum sebesar 0 tahun (standar
UNDP). Batas maksimum 15 tahun mengindikasikan tingkat pendidikan
maksimum yang ditargetkan adalah setara Sekolah Menengah Atas (SMA).
Pendidikan (formal dan non formal) bisa berperan penting dalam
mengurangi kemiskinan dalam jangka panjang, baik secara tidak langsung melalui
perbaikan produktivitas dan efesiensi secara umum, maupun secara langsung
melalui pelatihan golongan miskin dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk
meningkatkan produktivitas mereka dan pada gilirannya akan meningkatkan
pendapatan mereka (Lincolin, 1999). Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
dan semakin lama seseorang sekolah, maka pengetahuan dan keahlian juga akan
96
meningkat sehingga akan mendorong peningkatan produktivitas seseorang.
Perusahaan akan memperoleh hasil yang lebih banyak dengan mempekerjakan
tenaga kerja dengan produktivitas yang lebih tinggi, sehingga perusahaan akan
bersedia memberikan upah/gaji yang lebih tinggi kepada yang bersangkutan. Pada
akhirnya seseorang yang memiliki produktivitas yang tinggi akan memperoleh
kesejahteraan yang lebih baik, yang dapat diperlihatkan melalui peningkatan
pendapatan maupun konsumsinya.
2.5.3 Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan merupakan aspek yang penting dalam pembangunan
ekonomi karena tenaga kerja merupakan salah satu balas jasa faktor produksi.
Topik mengenai masalah kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi baik dalam
skala nasional maupun regional mendapat perhatian banyak orang. Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi membutuhkan penambahan investasi dan kebijakan ekonomi
yang kondusif merupakan hal penting. Dengan penambahan investasi baru
diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya juga
dapat menciptakan lapangan kerja baru.
Dalam istilah Badan Pusat Statistik (2007), beberapa istilah ketenagakerjaan
yang mesti dipahami sebagai dasar dalam memahami masalah tersebut di Indonesia di
antaranya (1) tingkat partisipasi angkatan kerja yang merupakan indikator yang dapat
menggambarkan keadaan penduduk yang berumur 15 tahun ke atas yang berpartisipasi
dalam kegiatan ekonomi, (2) tingkat pengangguran terbuka, dan (3) penyerapan tenaga
kerja yaitu mereka yang terserap diberbagai lapangan pekerjaan pada suatu periode.
97
Dalam teori ketenagakerjaan menurut BPS (2007) digunakan Konsep
Dasar Angkatan Kerja (Standar Labour Force Concept) seperti yang digunakan
dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas). Konsep ini merupakan konsep
yang disarankan dan rekomendasikan International Labour Organization (ILO).
Lebih lanjut disebutkan bahwa penduduk dibedakan atas usia kerja dan penduduk
bukan usia kerja. Sedang penduduk usia kerja dibedakan atas dua kelompok, yaitu
angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja terdiri dari penduduk
yang bekerja dan pengangguran. Bukan angkatan kerja terdiri dari penduduk yang
tidak mempunyai/melakukan aktivitas ekonomi, baik karena sekolah, mengurus
rumah tangga atau lainnya (pensiun, penerima transfer/kiriman, penerima
deposito/bunga bank, jompo atau alasan yang lain).
Sementara itu, United Nation (1962) mendefinisikan angkatan kerja atau
penduduk yang aktif secara ekonomi sebagai penduduk yang memproduksi
barang dan jasa secara ekonomi yang juga mencakup mereka yang tidak bekerja
tapi bersedia bekerja. Sedang yang dimaksud dengan penduduk bekerja adalah
penduduk yang melakukan kegiatan melakukan pekerjaan penghasilan atau
keuntungan paling sedikit selama satu jam dalam seminggu yang lalu. Bekerja
dalam satu jam tersebut harus dilakukan secara berturut-turut dan tidak terputus.
2.5.4 Taraf dan pola konsumsi
Kesejahteraan masyarakat juga ditandai oleh hidup layak. Banyak
indikator alternatif yang dapat digunakan untuk menghitung unsur standar hidup
layak. Dengan mempertimbangkan ketersediaan data secara internasional, maka
98
United Nations Development Programs (UNDP) memilih GDP perkapita riil yang
telah disesuaikan sebagai indikator standar hidup layak.
Rumus Atkinson yang digunakan untuk penyesuaian rata-rata konsumsi
riil secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :
Keterangan:
D = Konsumsi perkapita riil yang telah disesuaikan dengan PPP/Unit (hasil tahapan 6)
Z = Threshold atau tingkat pendapatan tertentu yang digunakan sebagai batas kecukupan (Biasanya menggunakan garis kemiskinan yang dalam perhitungan ini nilai Z ditetapkan sebesar Rp.1.500,- perkapita sehari atau Rp.547.500,- perkapita setahun).
2.5.5 Perumahan dan lingkungan
Dalam Undang – Undang No. 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan
permukiman, perumahan diartikan sebagai kelompok rumah yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan sarana dan
prasarana. Secara fisik perumahan merupakan sebuah lingkungan yang terdiri dari
kumpulan unit-unit rumah tinggal dimana dimungkinkan terjadinya interaksi sosial
diantara penghuninya, serta dilengkapi dengan prasarana sosial, ekonomi, dan budaya.
Hal utama yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan perumahan
adalah manajemen lingkungan yang baik dan terarah. Karena lingkungan
perumahan merupakan aspek yang sangat menentukan dan keberadaannya tidak
dapat diabaikan. Hal tersebut dapat terjadi karena baik buruknya kondisi
99
lingkungan akan berdampak terhadap penghuni perumahan. Lingkungan
perumahan harus disehatkan dengan beberapa program yaitu pengelolaan air
limbah, pengelolaan air bersih, pengelolaan sampah dan penanganan drainase.
2.6 Faktor Kontekstual
Faktor konteksual adalah faktor-faktor yang penting yang sedang dimiliki
atau dilakukan oleh pengusaha industri kecil dan menengah yang dapat berkaitan
langsung terhadap kelangsungan hidup dari perusahaan. Faktor-faktor tersebut
dapat dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal perusahaan. Beberapa jenis
dimensi dari faktor konteksual adalah sistem pemasaran, teknologi, akses
permodalan, akses informasi, adanya perencanaan bisnis, sikap kewiraswastaan
yang dimiliki oleh pengelola, dan bantuan yang diberikan pemerintah, dan lain-
lain.
2.6.1 Pemasaran produk
Masalah umum yang dihadapi pengusaha industri kecil dan menengah
adalah masalah pemasaran (Saleh, 1985). Umumnya IKM di Indonesia melakukan
pemasaran produknya secara tradisional, yaitu menunggu pembeli. Dengan
adanya persaingan yang serba ketat, seharusnya pengusaha industri kecil dan
menengah mengantisipasinya dengan mengembangkan pasar secara proaktif.
Adanya pasar yang baru akan berpengaruh terhadap pertumbuhan penjualan pada
IKM.
2.6.2 Akses permodalan
Masalah penting lainnya yang sering dihadapi pengusaha industri kecil dan
menengah adalah akses terhadap permodalan. Kekurangan modal pada IKM akan
100
menyebabkan terhambatnya kegiatan produksi maupun berinovasi, yang pada
akhirnya berdampak terhadap terhambatnya kesuksesan usaha (Swuerczek dan
Ha, 2003). Sumber utama modal dari IKM umumnya dari tabungan pribadi,
pinjaman dari keluarga atau kelompok, koperasi, dan lembaga-lembaga keuangan
lainnya
2.6.3 Pemanfaatan teknologi informasi
Faktor penting lainnya dalam perusahaan adalah teknologi. Kurangnya
teknologi, termasuk teknologi informasi yang dimiliki atau diterapkan oleh IKM
akan menghambat perkembangannya. (Rizki Masyita Sari, 2012) dalam
penelitianya menyimpulkan bahwa penerapan teknologi, khususnya internet dapat
meningkatkan kinerja IKM.
2.6.4 Adanya perencanaan bisnis
Rencana usaha atau business plan dapat menunjukkan arah kegiatan dan
pengembangan usaha. Penelitian Trisninawati dan Irwan Septhayuda (2012)
menyebutkan bahwa IKM yang memiliki rencana usaha dalam pengembangan
usaha memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan usaha.
2.6.5 Bantuan pemerintah
Umumnya pengusaha industri kecil dan menengah adalah dalam segala hal
adalah lemah, sehingga perlu uluran tangan pemerintah untuk memberdayakannya
agar dapat berkembang. Beberapa bantuan pemerintah misalnya dalam hal
meningkatkan kapasitannya (capacity building) pelatihan meningkatkan
keterampilan manajemen, operasional, asistensi keuangan, dan lain sebagainya.
101
Semakin banyak bantuan atau dukungan dari pemerintah, maka UMKM semakin