8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Koroner Akut (SKA) SKA merupakan suatu terminologi yang digunakan untuk menggambarkan suatu fase akut dari penyakit iskemik arteri koroner dengan atau tanpa nekrosis miokard. SKA didefinisikan sebagai suatu spektrum manifestasi klinis sebagai akibat dari terganggunya plak aterosklerosis pada arteri koroner, yang disertai berbagai komplikasi, mulai dari trombosis, embolisasi, hingga obstruksi perfusi miokard. Gambar 2.1 Definisi dan spektrum sindroma koroner akut Elevasi segmen ST Tanpa elevasi segmen ST Nyeri dada Sindroma Koroner Akut Keluhan Diagnosis Kerja EKG Pemeriksaan Laboratorium Penanda Biokimia Diagnosis Akhir STEMI NSTEMI APTS
21
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Koroner Akut (SKA) Wisman... · Gambar 2.1 Definisi dan spektrum sindroma koroner akut ... (Angina Pektoris Tak Stabil). Pada situasi klinik istilah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sindroma Koroner Akut (SKA)
SKA merupakan suatu terminologi yang digunakan untuk menggambarkan
suatu fase akut dari penyakit iskemik arteri koroner dengan atau tanpa nekrosis
miokard. SKA didefinisikan sebagai suatu spektrum manifestasi klinis sebagai
akibat dari terganggunya plak aterosklerosis pada arteri koroner, yang disertai
berbagai komplikasi, mulai dari trombosis, embolisasi, hingga obstruksi perfusi
miokard.
Gambar 2.1 Definisi dan spektrum sindroma koroner akut
Elevasi segmen ST Tanpa elevasi segmen ST
Nyeri dada
Sindroma Koroner Akut
Keluhan
Diagnosis Kerja
EKG
Pemeriksaan Laboratorium Penanda Biokimia
Diagnosis Akhir
STEMI NSTEMI APTS
9
Manifestasi klinis SKA bergantung pada berat dan luasnya iskemia
miokard. Oklusi total atau sub total dari arteri koroner yang tidak memiliki
pembuluh darah kolateral dapat menimbulkan STEMI (ST-segment Elevation
Myocardial Infarction) atau NSTEMI (Non ST-segment Elevation Myocardial
Infarction). Oklusi sebagian atau sementara dari arteri koroner dapat
menimbulkan embolisasi trombus dan fragmen plak ke sirkulasi koroner bagian
distal. Apabila proses embolisasi tersebut menimbulkan nekrosis miokard, yang
dapat diketahui dari peningkatan penanda biokimia yang sensitif terhadap
nekrosis miokard (misal, troponin) maka dikategorikan sebagai NSTEMI. Apabila
tidak dijumpai peningkatan penanda biokimia nekrosis miokard maka
dikelompokkan ke dalam kategori APTS (Angina Pektoris Tak Stabil).
Pada situasi klinik istilah SKA umumnya digunakan sebagai diagnosis
kerja awal pada kondisi pasien dengan nyeri dada angina akut. Berdasarkan hasil
rekaman elektrokardiografi (EKG) dan penanda biokimia selanjutnya diagnosis
akhir ditegakkan (Gambar 1.).
2.2 Faktor Risiko SKA
2.2.1 Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
Faktor risiko SKA dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu:
faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor
risiko yang tidak dapat dimodifikasi meliputi umur, jenis kelamin, dan riwayat
keluarga menderita PJK. Umur merupakan prediktor independen untuk terjadinya
SKA yang paling kuat. Pada laki-laki, risiko meningkat setiap 10 tahun
10
peningkatan umur. Pada wanita pre-menopause risiko SKA sebanding dengan
risiko laki-laki yang umurnya 10 tahun lebih muda. Akan tetapi risiko pada wanita
akan meningkat hingga menyamai risiko pada laki-laki setelah menopause (Panel,
2002).
Berbagai studi menunjukkan bahwa riwayat keluarga mengalami PJK pada
usia lebih muda (prematur) merupakan faktor risiko independen terjadinya PJK.
Risiko relatif seseorang dengan riwayat keluarga positif untuk mengalami PJK
adalah berkisar antara 2x hingga 12x lipat dibandingkan dengan populasi umum
(Panel, 2002).
2.2.2 Diabetes melitus
Diabetes melitus (DM) merupakan faktor risiko utama penyakit
kardiovaskular. Hal ini didukung oleh banyak data epidemiologi yang
menunjukkan DM, baik tipe I maupun tipe II, sebagai faktor risiko independen
terjadinya PJK. Pasien dengan DM memiliki risiko 4x lipat lebih tinggi untuk
menderita PJK dibandingkan dengan populasi umum (Greenland dkk., 2010).
DM sering juga dikenal sebagai ekuivalen PJK oleh karena risiko
terjadinya infark miokard pada pasien DM sama dengan risiko terjadinya infark
berulang pada penderita PJK non DM (Greenland dkk., 2010). Peningkatan risiko
PJK disebabkan terutama oleh kondisi hiperglikemia pada pasien DM. Faktor lain
yang turut berperan adalah adanya dislipidemia, kondisi protrombotik, serta
hipertensi yang sering menyertai penderita DM (Grundy dkk., 1999).
11
2.2.3 Hipertensi
Berbagai studi observasional telah menunjukkan bahwa tekanan darah
yang tinggi memiliki hubungan yang kuat terhadap risiko PJK. Hubungan ini
dijumpai baik pada usia tua maupun usia yang lebih muda serta jenis kelamin
laki-laki maupun wanita. Bahkan individu yang memiliki sedikit peningkatan
tekanan darah di bawah kriteria hipertensi (tekanan darah sistolik 130-139 mmHg
dan/atau diastolik 85-89 mmHg) diketahui memiliki peningkatan risiko untuk
terjadinya PJK (Panel, 2002).
Pada penderita hipertensi terjadi peningkatan kadar angiotensin II yang
merupakan vasokonstriktor kuat yang berpengaruh terhadap proses aterogenesis
dengan menstimulasi pertumbuhan dari otot polos. Hipertensi juga mempunyai
aktivitas pro inflamasi, meningkatkan pembentukan hidrogen peroksida, radikal
bebas anion superoxide dan radikal hidroksil pada plasma. Substansi tersebut
akan menekan pembentukan nitric oxide pada endotel sehingga terjadi
peningkatan adesi leukosit, serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer
(Ceriello, 2005).
2.2.4 Hiperlipidemia
Studi pada binatang maupun manusia menunjukkan bahwa kondisi
hiperlipidemia/ hiperkolesterolemia dibutuhkan untuk terjadinya proses
aterogenesis. Studi epidemiologi mendapatkan kadar kolesterol LDL (low density
lipoprotein) yang tinggi memegang peranan penting sebagai komponen
12
aterogenik yang utama. Infiltrasi dan retensi kolesterol LDL memicu respon
inflamasi pada dinding vaskular (Hansson, 2005).
Proses oksidasi dan enzimatik memodifikasi kolesterol LDL menjadi LDL
yang teroksidasi (ox-LDL) di tunika intima dan menyebabkan pelepasan
fosfolipid. Fosfolipid mengaktivasi sel endotel terutama di tempat terjadinya
shear stress. Kondisi ini akan menginduksi sel endotel untuk mengekspresikan
molekul adesi leukosit dan gen inflamasi. Molekul adesi leukosit mempengaruhi
monosit dalam sirkulasi terutama di bagian endotel teraktivasi untuk menempel
dan selanjutnya bermigrasi melewati inter-endothelial junctions menuju
subendotelial. Monosit/makrofag menangkap ox-LDL melalui reseptor scavenger
dan membentuk foam cell. Akumulasi lipid dan shear stress inilah yang memicu
proses inflamasi pada dinding arteri (Hansson, 2005).
2.2.5 Merokok
Merokok telah sejak lama diketahui sebagai salah satu kontributor terkuat
terhadap risiko penyakit kardiovaskular khususnya PJK. Hubungan antara
merokok dengan risiko PJK adalah berbanding lurus dengan banyaknya paparan
(dose dependent). Merokok memicu terbentuknya radikal bebas dan menimbulkan
stres oksidatif yang menyebabkan terjadinya disfungsi endotel (Panel, 2002).
2.2.6 Faktor risiko lain
Faktor risio lain yang diperkirakan meningkatkan risiko terjadinya PJK
meliputi obesitas, kurang olah raga, serta diet yang aterogenik. Obesitas
13
abdominal adalah akumulasi lemak abdominal, diidentifikasi dengan lingkar
perut, yang merupakan parameter body fat/ visceral fat. Obesitas abdominal dan
innate immunity memegang peranan penting pada proses inflamasi, resistensi
insulin dan sindroma metabolik (Jiamsripong dkk., 2008).
2.3 Patofisiologi SKA
2.3.1 Proses aterosklerosis
Aterosklerosis merupakan penyebab terbanyak dari PJK, penyakit arteri
karotis, dan penyakit arteri perifer (Libby dkk., 2011). Keberadaan suatu plak
aterosklerosis sendiri jarang menimbulkan sesuatu yang fatal. Kondisi ini menjadi
sesuatu yang berpotensi mengancam jiwa, seperti pada SKA, bila terjadi proses
trombosis akut akibat plak yang pecah atau mengalami erosi (Thim dkk., 2008).
Aterosklerosis merupakan penyakit imunoinflamasi kronik pada pembuluh
arteri sedang dan besar akibat akumulasi lipid yang mengakibatkan terjadinya
fibroproliferasi pada dinding arteri (Falk, 2006). Proses aterosklerosis dimulai
sejak awal kehidupan dan terus berlanjut dengan berjalannya waktu (Tuzcu dkk.,
2001). Pada individu yang rentan atau terpapar faktor risiko proses perkembangan
plak aterosklerosis hingga menimbulkan obstruksi atau plak yang rentan
mengalami trombosis (vulnerable plaque) membutuhkan waktu puluhan tahun.
Proses aterosklerosis diawali dengan disfungsi endotel pada arteri koroner.
Faktor-faktor risiko seperti diabetes, hipertensi, hiperkolesterolemia, dan merokok
dapat merusak endotel pembuluh darah dan menimbulkan disfungsi endotel
(Kumar dan Cannon, 2009).
14
Perkembangan proses aterosklerosis selanjutnya sebagian besar
dipengaruhi oleh proses inflamasi. Endotel yang mengalami disfungsi menarik
sel-sel inflamasi, terutama monosit, untuk bermigrasi menuju endotel yang rusak
(Libby dkk., 2009). Di dalam subendotelium monosit berubah menjadi makrofag
dan kemudian memfagosit LDL teroksidasi (ox-LDL) yang juga telah memasuki
dinding arteri. Makrofag kemudian berubah menjadi sel-sel busa (foam cell) yang
membentuk cikal bakal plak ateroma yang disebut fatty streak. Makrofag yang
teraktivasi melepaskan sitokin dan mediator inflamasi lainnya yang berfungsi
menarik lebih banyak makrofag dan sel otot polos menuju lokasi terbentuknya
plak (Libby dkk., 2010).
Dengan berjalannya waktu semakin banyak sel-sel otot polos yang
terkumpul dalam plak ateroma. Sel-sel otot polos tersebut memproduksi
komponen matriks ekstraseluler yang terakumulasi pada plak ateroma. Kondisi ini
menandai transisi dari fatty streak menjadi fibrofatty plaque (fibroateroma), yaitu
suatu kondisi plak yang tersusun dari komponen jaringan ikat yang membungkus
komponen lipid pada bagian inti (Faxon dkk., 2004).
Pada tahap ini selain terjadi penumpukan sel-sel otot polos juga terjadi
penumpukan makrofag. Makrofag ini memproduksi enzim matrix
metalloproteinase yang dapat mencerna matriks ekstraseluler yang sebelumnya
dihasilkan oleh sel otot polos. Akibatnya komposisi plak menjadi tidak stabil dan
apabila ada kondisi yang mengganggu plak tersebut mudah untuk terjadi ruptur
plak. Rasio antara jumlah sel otot polos dengan jumlah makrofag dalam suatu
15
plak ateroma menentukan kerentanan untuk rupturnya plak tersebut (Benjamin,
2001).
2.3.2 Plak yang tidak stabil
Komposisi plak aterosklerosis sangat heterogen bahkan pada individu
yang sama sekalipun. Demikian pula stabilitas dari suatu plak aterosklerosis
bervariasi antara satu plak dengan plak yang lainnya. Suatu plak dikatakan tidak
stabil (vulnerable plaque) dan berisiko tinggi untuk mengalami ruptur bila
memiliki karakteristik sebagai berikut: inti lipid yang besar, selaput fibrosa
(fibrous cap) yang tipis, jumlah makrofag dan limfosit T yang banyak, jumlah sel
otot polos yang sedikit, meningkatnya ekspresi matrix metalloproteinase,
remodeling eksentrik ke luar lumen pembuluh darah, dan peningkatan
neovaskularisasi dan perdarahan di dalam plak (Kumar dan Cannon, 2009).
2.3.3 Trombosis akut
Patogenesis SKA melibatkan hubungan kompleks antara endotelium, sel-
sel inflamasi, dan trombogenisitas darah. Lesi koroner yang non-kritikal pada
angiografi (stenosis <50% dari diameter pembuluh darah) bila mengalami
gangguan dapat berkembang dengan cepat menjadi stenosis berat atau total oklusi.
Proses ini bertanggung jawab terhadap 2/3 dari semua kasus SKA yang terjadi
(Kumar dan Cannon, 2009).
Studi otopsi mendapatkan ruptur plak sebagai dasar dari 75% infark
miokard akut yang fatal. Sedangkan 25% lainnya disebabkan oleh erosi pada
16
permukaan endotel plak. Setelah suatu plak mengalami ruptur atau erosi maka
matriks subendotel yang kaya akan tissue factor (suatu prokoagulan yang kuat)
akan terpapar aliran darah. Paparan ini akan merangsang adesi dan aktivasi
platelet yang selanjutnya akan menyebabkan agregasi platelet membentuk
trombus (Kumar dan Cannon, 2009).
Terdapat dua jenis trombus yang mungkin terbentuk, yaitu trombus yang
kaya platelet (white thrombus) dan trombus yang kaya fibrin (red thrombus).
White thrombus terbentuk pada area dengan shear stress yang tinggi dan
menyebabkan oklusi sebagian dari lumen arteri. Red thrombus terbentuk akibat
aktivasi kaskade koagulasi dan menyebabkan penurunan alirah darah di arteri.
Red thrombus sering kali ikut menggumpal di sekitar white thrombus sehingga
menyebabkan oklusi total pada lumen pembuluh darah (Kumar dan Cannon,
2009).
2.4 Peptida Natriuretik
2.4.1 B-type Natriuretic Peptide (BNP) dan N-Terminal pro B-type Natriuretic
Peptide (NT-proBNP)
Peptida natriuretik merupakan hormon yang dilepaskan oleh jantung sebagai
respon terhadap peningkatan beban volume dan tekanan yang berlebih. Terdapat 3
jenis peptida natriuretik yaitu Atrial Natriuretic Peptide (ANP), B-type
Natriuretic Peptide (BNP), dan C-type Natriuretic Peptide. Ketiga jenis peptida
natriuretik ini memiliki 17 gugus rantai asam amino yang serupa dan berfungsi
17
untuk melindungi sistem kardiovaskular dari efek buruk beban volume yang
berlebih (Daniels dan Maisel, 2007).
BNP pertama kali diisolasi dari otak babi sehingga pada awalnya diberi
nama brain natriuretic peptide. Namun kemudian diketahui BNP dihasilkan
paling banyak di miokardium ventrikel sehingga namanya diubah menjadi ”B-
type” natriuretic peptide (Maisel dkk., 2008). Pada kondisi beban volume dan
tekanan yang meningkat akan menyebabkan peregangan pada dinding ventrikel.
Stres pada dinding ventrikel akan merangsang sintesis pre-proBNP pada
miokardium ventrikel. Peptida ini kemudian akan dipecah menjadi proBNP dan
selanjutnya akan dipecah lagi menjadi dua bagian yaitu BNP (bentuk aktif) dan
NT-proBNP (fragmen terminal yang tidak aktif). Pelepasan BNP akan
memperbaiki relaksasi miokard serta menghambat efek vasokonstriksi, retensi
natrium dan efek anti-diuretik akibat aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron
(Daniels dan Maisel, 2007).
18
Gambar 2.2 Proses terbentuknya BNP dan NT-proBNP (Daniels
dan Maisel, 2007)
Karakteristik peningkatan BNP oleh karena beban volume dan tekanan di
ventrikel menyebabkan BNP banyak digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis gagal jantung. Aplikasi BNP dan NT-proBNP sebagai modalitas
diagnosis gagal jantung telah diakui oleh berbagai guideline (Jessup dkk., 2009).
Saat ini telah banyak pula diteliti penggunaan BNP dan NT-proBNP pada
penyakit kardiovaskular lain selain pada gagal jantung.
2.4.2 Aplikasi BNP dan NT-proBNP pada penyakit kardiovaskular
Aplikasi BNP dan NT-proBNP yang telah banyak diakui hingga saat ini
adalah untuk menegakkan diagnosis gagal jantung sebagai penyebab utama pada
kondisi dimana keluhan pasien tidak jelas. Penggunaan BNP lebih awal pada
kondisi seperti ini diketahui dapat meningkatkan akurasi dan mempercepat
Pre-‐proBNP
proBNP (108 gugus asam amino)
BNP (32 gugus asam amino)
Bentuk Aktif
NT-‐proBNP (76 gugus asam amino)
Bentuk Inaktif
19
diagnostik, mengurangi penundaan waktu untuk memulai pengobatan,
mengurangi lama rawat dan biaya perawatan (Jessup dkk., 2009).
Di samping penggunaan di atas, penggunaan BNP dan NT-proBNP juga
telah diteliti pada banyak kondisi lain. Ada pun aplikasi lain BNP dan NT-
proBNP, baik yang telah diakui maupun masih dalam investigasi, sebagai berikut:
1. Gagal jantung kongestif: peptida natriuretik mulai banyak diteliti untuk
memandu kecukupan terapi pada gagal jantung. Hasilnya masih
kontradiktif hingga saat ini. Namun dua meta-analisis besar menunjukkan
bahwa pengggunaan BNP sebagai panduan terapi dapat menurunkan
mortalitas secara signifikan (Yancy dkk., 2013).
2. Peptida natriuretik juga dapat dipakai untuk menentukan prognosis pada
pasien gagal jantung stabil maupun yang mengalami dekompensasi. Kadar
yang lebih tinggi merupakan prediktor dari peningkatan morbiditas dan
mortalitas (Yancy dkk., 2013).
3. Penyakit arteri koroner: Baik BNP dan NT-proBNP telah diteliti pada
pasien penyakit arteri koroner stabil maupun pada SKA. Peningkatan
kadar peptida natriuretik diketahui memiliki nilai prognostik yang kuat
pada kedua kondisi tersebut (de Lemos dkk., 2001, Richards dkk., 2006).
4. Prediktor sudden cardiac death dan respon cardiac resynchronization
therapy (CRT): Pasien dengan kadar BNP yang lebih tinggi sebelum
pemasangan diketahui memiliki respon terhadap CRT yang lebih baik
(Lellouche dkk., 2007). Studi juga menunjukkan NT-proBNP dapat
digunakan untuk memonitor respon terhadap CRT. Pada penggunaan CRT
20
diketahui akan menurunkan kadar NT-proBNP di awal pemakaian
(Fruhwald dkk., 2007). Studi lain juga menunjukkan peptida natriuretik
dapat digunakan untuk memprediksi pasien yang berisiko tinggi
mengalami sudden cardiac death (Berger dkk., 2002).
2.5 Stratifikasi Risiko SKA
Pasien SKA yang datang ke rumah sakit pertama kalinya dapat memiliki
presentasi klinis yang berbeda-beda mulai dari manifestasi keluhan yang ringan
hingga komplikasi yang mengancam nyawa. Kondisi saat awal hospitalisasi dapat
berubah secara drastis baik selama periode perawatan maupun pasca keluar rumah
sakit. Hal ini disebabkan karena SKA merupakan kondisi koroner tidak stabil
yang dinamis yang rentan untuk terjadi iskemia berulang dan berbagai komplikasi
fatal jangka pendek maupun jangka panjang (Hamm dkk., 2011).
Penatalaksanaan pasien SKA harus melibatkan penilaian prognosis untuk
menentukan pasien mana yang memiliki risiko yang lebih tinggi sehingga dapat
diberikan intervensi yang tepat. Stratifikasi risiko dapat dilakukan dengan cara
penilaian risiko secara klinis, petanda biokimia, atau sistem skor. Stratifikasi
risiko ini tidak hanya untuk menilai risiko jangka pendek pada pasien SKA namun
juga risiko jangka panjang (Hamm dkk., 2011).
2.5.1 Stratifikasi risiko bedasarkan klinis dan elektrokardiogram
Presentasi klinis pada awal dapat digunakan untuk memprediksi prognosis
jangka pendek pada pasien SKA. Pasien dengan keluhan yang menetap saat
21
istirahat memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan pasien yang
keluhannya hanya timbul pada saat beraktivitas. Adanya takikardia, hipotensi atau
gagal jantung pada saat presentasi awal mengindikasikan prognosis yang buruk
yang memerlukan penatalaksanaan yang cepat (Hamm dkk., 2011).
Gambaran elektrokardiogram (EKG) awal juga dapat digunakan untuk
memprediksi risiko jangka pendek. Pasien dengan EKG normal memiliki
prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan pasien yang menunjukkan inversi
gelombang T atau depresi segmen ST pada rekaman EKG. Pasien dengan elevasi
segmen ST memiliki risiko yang paling tinggi pada kelompok ini (Hamm dkk.,
2011).
2.5.2 Stratifikasi risiko berdasarkan sistem skor
Penilaian risiko dapat dilakukan secara kuantitatif menggunakan sistem
skor. Beberapa sistem skor telah dikembangkan untuk memprediksi risiko baik
jangka pendek maupun jangka panjang. Sistem skor yang sering dipakai adalah
skor risiko TIMI (Trombolysis In Myocardial Infarction) dan GRACE (Global
Registry of Acute Coronary Events). Skor GRACE memberikan prediksi yang
paling baik tetapi penerapannya memerlukan perhitungan yang kompleks. Skor
TIMI memiliki kelebihan pada penggunaannya yang sederhana tetapi akurasinya
lebih rendah (Hamm dkk., 2011).
22
2.5.3 Stratifikasi risiko dengan petanda biokimia
Petanda biokimia merupakan bagian integral dalam pengelolaan pasien
kardiovaskular. Pada pasien dengan keluhan nyeri dada atau sesak napas akut,
petanda biokimia memegang peranan penting dalam proses penegakan diagnosis,
stratifikasi risiko, dan memandu pemberian terapi. Selain itu petanda biokimia
juga menggambarkan berbagai aspek dari patofisiologi SKA, mulai dari aspek
imuno-inflamasi, kerusakan miokardium, aktivasi platelet hingga aktivasi
neurohormonal (Hamm dkk., 2011).
Troponin T atau I merupakan petanda biokimia yang paling banyak
digunakan pada SKA. Troponin meningkat pada sirkulasi perifer dalam kondisi
infark miokard. Peningkatan kadar troponin dihubungkan dengan lesi koroner
yang lebih kompleks, trombus yang lebih banyak, gangguan aliran darah yang
lebih berat, dan perfusi mikrovaskular yang sangat berkurang. Pasien SKA
dengan peningkatan kadar troponin memiliki risiko 4x lebih tinggi untuk
mengalami kematian atau infark miokard (Morrow, 2010). Identifikasi pasien
berisiko tinggi yang ditandai dengan peningkatan kadar troponin berguna untuk
penentuan modalitas terapi yang akan diberikan. Namun troponin sendiri tidak
dapat digunakan sebagai petanda tunggal untuk stratifikasi risiko. Hal ini
disebabkan oleh karena pada sekelompok pasien dengan troponin negatif
didapatkan memiliki risiko yang lebih tinggi dengan laju mortalitas di rumah sakit
sebesar 12% (Hamm dkk., 2011).
Berbagai penelitian pun dilakukan untuk mencari petanda biokimia lain
yang dapat digunakan untuk melakukan stratifikasi risiko pasien SKA. Petanda
23
inflamasi merupakan petanda biokimia yang paling banyak diteliti mengingat
peran penting proses imuno-inflamasi pada patofisiologi SKA. Petanda inflamasi
yang banyak digunakan untuk memprediksi risiko SKA adalah high-sensitivity C-
reactive protein (hsCRP). Petanda inflamasi lain yang diketahui memiliki
kapasitas prediktor pada SKA adalah myeloperoxidase (Morrow, 2010).
Petanda biokimia lain yang diduga memiliki kaitan dengan prognosis SKA
adalah petanda yang berkaitan dengan stres hemodinamik, petanda yang berkaitan
dengan proses aterosklerosis, serta petanda yang berkaitan dengan kerusakan
vaskular. Hubungan antara petanda-petanda biokimia yang digunakan sebagai
stratifikasi risiko SKA dapat dilihat pada gambar 2.3. Peptida natriuretik seperti
BNP dan NT-proBNP merupakan petanda neurohormonal yang dilepaskan pada
kondisi stres hemodinamik pada jantung. Petanda yang berkaitan dengan proses
aterosklerosis antara lain yaitu glukosa darah dan HbA1c. Sedangkan petanda
yang berkaitan dengan kerusakan vaskular misalnya adalah mikroalbuminuria,
cystatin C, dan estimated glomerular filtration rate (eGFR) (Morrow, 2010,
deFilippi dan Seliger, 2009).
24
Gambar 2.3 Petanda-petanda biokimia yang dapat digunakan untuk
menilai prognosis pada SKA (deFilippi dan Seliger, 2009)
2.6 NT-proBNP pada SKA
Peptida natriuretik (BNP dan NT-proBNP) merupakan petanda biokimia
yang saat ini banyak digunakan pada pasien gagal jantung. Pada kondisi gagal
jantung terjadi peningkatan beban volume dan tekanan yang menyebabkan
peregangan dinding ventrikel. Stres pada dinding ventrikel akan mengakibatkan
dilepaskannya BNP dan NT-proBNP ke dalam darah. Hal ini melatarbelakangi
banyaknya penggunaan peptida natriuretik sebagai modalitas diagnostik gagal
jantung. Namun peptida natriuretik diketahui kurang akurat dalam
mengidentifikasi disfungsi ventrikel pada pasien dengan keluhan yang minimal,
terutama pada pasien PJK. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa peningkatan BNP
25
dan NT-proBNP mungkin disebabkan oleh proses kardiak lain selain disfungsi
ventrikel (Bibbins-Domingo dkk., 2003).
Satu kemungkinan penyebab peningkatan BNP dan NT-proBNP adalah
iskemia miokard. Beberapa studi menunjukkan adanya hubungan antara
peningkatan kadar BNP dengan iskemia miokard (Bibbins-Domingo dkk., 2003).
Peningkatan BNP pada kondisi iskemia bahkan didapatkan walaupun fungsi
ventrikel kiri masih normal (Goetze dkk., 2003). Bagaimana patomekanisme
peningkatan BNP dan NT-proBNP akibat iskemia miokard masih belum jelas.
Diduga bahwa kondisi iskemia menyebabkan sel kardiomiosit untuk melepaskan
BNP secara langsung. Pada kondisi hipoksia miokard didapatkan peningkatan dari
gen yang mengekspresi BNP. Selain itu peregangan dinding ventrikel akibat
iskemia mungkin juga berperan dalam meningkatnya kadar BNP (Salama dkk.,
2011, Goetze dkk., 2003).
Hubungan BNP dalam patogenesis aterosklerosis kemungkinan
berhubungan dengan petanda biokimia baru yaitu ST2 dan interleukin-33 (IL-33).
Keseimbangan antara ST2 dan IL-33 memberi efek protektif dengan cara
mengurangi perkembangan lesi aterosklerotik. Bila terjadi ketidakseimbangan
antara reseptor ST2 dan IL-33 akan menyebabkan perkembangan dari lesi
aterosklerotik (Miller dkk., 2008). Studi menunjukkan peningkatan kadar soluble
ST2 berkorelasi dengan peningkatan kadar BNP dan NT-proBNP (Sanada dkk.,
2007).
Pelepasan BNP pada kondisi iskemia diduga untuk memberikan efek
protektif terhadap miokardium. Peptida natriuretik berperan untuk membatasi luas
26
miokard yang mengalami infark selama kondisi iskemia dan reperfusi.
Mekanisme proteksi ini berhubungan dengan akumulasi cGMP dan pembukaan
saluran ion kalium yang sensitif ATP. Aktivasi awal reseptor peptida natriuretik
melalui sistem sinyal cGMP akan memberikan respon autokrin dan parakrin yang
penting dalam kondisi iskemia. Respon tersebut meliputi respon inotropik,
regulasi tonus vaskular koroner, serta supresi respon pertumbuhan dan proliferasi
pada berbagai lingkungan seluler (Salama dkk., 2011).
Gambar 2.4 Kaskade iskemia dengan petanda biokimia yang dilepaskan (Salama
dkk., 2011)
Pada SKA terjadi iskemia miokard yang lebih berat dibanding kondisi PJK
kronik. Selain iskemia sebagian kelompok pasien SKA juga mengalami kerusakan
27
pada miokardiumnya. Kerusakan miokard akan menimbulkan perubahan awal
dari struktur miokardium ventrikel (remodeling). Hal tersebut akan menimbulkan
berbagai respon pada tingkatan seluler dengan dilepaskannya berbagai petanda
biokimia, termasuk BNP dan NT-proBNP. Hubungan antara SKA dan pelepasan
petanda biokimia dapat dilihat pada gambar 2.4 (Salama dkk., 2011).
Setelah kejadian infark miokard akan terjadi peningkatan kadar BNP
plasma secara cepat dan mencapai puncak dalam waktu 24 jam (gambar 2.5). Bila
setelah infark terjadi gagal jantung yang berat maka akan didapatkan puncak
kenaikan kedua setelah hari ke-5. Kapan waktu yang optimal untuk memeriksa
kadar BNP atau NT-proBNP untuk kepentingan prognostik masih belum
diketahui dengan jelas (Morrow dkk., 2007).
Gambar 2.5 Perubahan kadar petanda biokimia mulai dari onset
nyeri dada (Sinning dkk., 2008)
28
Nilai cut off konsentrasi BNP atau NT-proBNP yang memberikan makna
prognostik pada pasien SKA juga masih belum diketahui. Beberapa studi
menunjukkan kadar BNP plasma > 80 pg/ml dapat dijadikan cut off untuk menilai
pasien SKA yang berisiko tinggi. Namun khusus untuk NT-proBNP belum ada
studi yang memvalidasi berapa batas konsentrasi yang memberikan nilai
prognostik pada pasien SKA (Morrow dkk., 2007).
Beberapa kondisi selain gagal jantung dan SKA diketahui juga dapat
meningkatkan kadar NT-proBNP. Kondisi tersebut adalah gagal ginjal akut atau
kronik, infeksi, sepsis, penyakit hati akut maupun kronis, emboli paru serta
kemoterapi (Daniels dan Maisel, 2007).
Pemeriksaan NT-proBNP sebagai salah satu upaya untuk melakukan
stratifikasi risiko memiliki nilai lebih dibandingkan pemeriksaan petanda
biokimia lainnya. Tidak seperti petanda inflamasi, BNP dan NT-proBNP
merupakan petanda spesifik yang menunjukkan keterlibatan miokardium bila
terjadi perubahan atau gangguan hemodinamik. Hal ini akan memberi informasi
prognostik dengan akurasi yang lebih baik dibandingkan penggunaan petanda