10 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar Matematika merupakan mata pelajaran yang sangat bermanfaat dalam kehidupan manusia sehingga matematika mulai diberikan di tingkat pendidikan dasar. Menurut Aisyah (dalam Kriswandani, 2008), matematika dipilih menjadi salah satu mata pelajaran yang diberikan di SD karena matematika digunakan untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Tujuan matematika sekolah di SD dan Madrasah Ibtida’iyah (MI) oleh pemerintah yang dikutip Aisyah (dalam Kriswandani, 2008), yaitu : 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efesien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
22
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar · 2012. 11. 27. · Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar . ... Aisyah (dalam Kriswandani, 2008), matematika dipilih
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar
Matematika merupakan mata pelajaran yang sangat bermanfaat
dalam kehidupan manusia sehingga matematika mulai diberikan di
tingkat pendidikan dasar. Menurut Aisyah (dalam Kriswandani, 2008),
matematika dipilih menjadi salah satu mata pelajaran yang diberikan di
SD karena matematika digunakan untuk membekali peserta didik dengan
kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta
kemampuan bekerjasama.
Tujuan matematika sekolah di SD dan Madrasah Ibtida’iyah (MI)
oleh pemerintah yang dikutip Aisyah (dalam Kriswandani, 2008), yaitu :
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar
konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes,
akurat, efesien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami
masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan
menafsirkan solusi yang diperoleh.
11
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau
media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam
mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah.
Tujuan umum dan khusus yang ada di kurikulum SD/MI, merupakan
pelajaran matematika di sekolah, jelas memberikan gambaran belajar
tidak hanya di bidang kognitif saja, tetapi meluas dalam bidang
psikomotor dan afektif Aisyah (dalam Kriswandani, 2008).
Pembelajaran matematika diarahkan untuk pembentukan kepribadian
dan pembentukan kemampuan berpikir yang bersandar pada hakikat
dan arti dari matematika. Oleh karenanya, hasil-hasil pembelajaran
matematika menampakkan kemampuan berpikir yang matematis
dalam diri siswa, yang bermuara pada kemampuan menggunakan
matematika sebagai bahasa dan alat dalam menyelesaikan masalah-
masalah yang dihadapi dalam kehidupannya. Hasil lain yang tidak
dapat diabaikan adalah terbentuknya kepribadian yang baik dan
kokoh Aisyah (dalam Kriswandani, 2008). Selain itu, pembelajaran
matematika juga mempunyai misi yakni siswa terampil dalam
menggunakan berbagai konsep matematika dalam kehidupan sehari-
hari dan mereka menjadi manusia yang mempunyai kreativitas yang
tinggi.
12
Merujuk pada berbagai pendapat para ahli matematika SD
dalam mengembangkan kreativitas dan kompetensi siswa, maka guru
hendaknya dapat menyajikan pembelajaran yang efektif dan efesien,
sesuai dengan kurikulum dan pola pikir siswa. Dalam menyusun dan
merancang pembelajaran matematika yang efektif dan efesien, guru
harus mempertimbangkan keberadaan/variasi kemampuan
intelegensi, gaya belajar, dan minat siswa terhadap matematika
karena dengan menguasai dan memahami individu, maka
pembelajaran akan mencapai tujuan yang diharapkan.
Menurut Heruman (dalam Kriswandani, 2008), konsep-konsep pada
kurikulum matematika SD dapat dibagi menjadi 3 kelompok besar,
yaitu :
1. Penanaman Konsep Dasar (Penanaman Konsep), yaitu
pembelajaran suatu konsep baru matematika, ketika siswa belum
pernah mempelajari konsep tersebut. Kita dapat mengetahui
konsep ini dari isi kurikulum, yang dicirikan dengan kata
“mengenal”. Pembelajaran penanaman konsep dasar merupakan
jembatan yang harus dapat menghubungkan kemampuan kognitif
siswa yang konkret dengan konsep baru matematika yang
abstrak. Dalam kegiatan pembelajaran konsep dasar ini, media
atau alat peraga diharapkan dapat digunakan untuk membantu
kemampuan pola pikir siswa.
13
2. Pemahaman Konsep, yaitu pembelajaran lanjutan dari
penanaman konsep, yang bertujuan agar siswa lebih memahami
suatu konsep matematika. Pemahaman konsep terdiri dari
pembelajaran penanaman konsep dalam satu pertemuan.
Sedangkan kedua, pembelajaran pemahaman konsep dilakukan
pada pertemuan yang berbeda, tetapi masih merupakan lanjutan
dari penanaman konsep. Pada pertemuan tersebut, penanaman
konsep dianggap sudah disampaikan pada pertemuan
sebelumnya, di semester atau kelas sebelumnya.
3. Pembinaan Keterampilan, yaitu pembelajaran lanjutan dari
penanaman konsep dan pemahaman konsep. Pembelajaran
pembinaan keterampilan bertujuan agar siswa lebih terampil
dalam menggunakan berbagai konsep matematika. Seperti halnya
pada pemahaman konsep, pembinaan keterampilan juga terdiri
atas dua pengertian, yaitu pertama, merupakan kelanjutan dari
pembelajaran penanaman konsep dalam satu pertemuan, dan
yang kedua, pembelajaran pembinaan keterampilan dilakukan
pada pertemuan yang berbeda, tetapi masih merupakan lanjutan
dari penanaman konsep dan pemahaman konsep. Pada pertemuan
tersebut, penanaman dan pemahaman konsep dianggap sudah
disampaikan pada pertemuan sebelumnya, di semester atau kelas
sebelumnya.
14
Materi matematika di SD terbagi atas 3 bagian topik besar, yaitu
aljabar yang meliputi operasi bilngan bulat dan bilangan pecahan
beserta perhitungan persyaratan yang mengikutinya misalnya KPK dan
FPB, geometri yang meliputi geometri ruang dan geometri datar
beserta dengan satuan ukurannya, dan pengenalan statistika yang
diberikan di kelas 6. Ketika topik besar tersebut dibagi menjadi banyak
sub topik yang kesemuanya diberikan selama 6 tahun yakni dimulai
dari kelas 1 sampai kelas 6.
Dengan demikian pembelajaran matematika di SD diharapkan
dapat menjadi bekal bagi siswa untuk melanjutkan ke jenjang yang
lebih tinggi. Tujuan Pendidikan Dasar adalah meletakan dasar
kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta
keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih
lanjut. Jadi, SD merupakan dasar dari keseluruhan jenjang pendidikan
selanjutnya yang sangat penting dalam menentukan masa depan dan
keberhasilan peserta didik pada jenjang pendidikan berikutnya.
Pentingnya Pendidikan di Sekolah Dasar juga diungkapkan oleh
Sayidiman Suryohadiprojo yang dikutip oleh H.A.R. Tilaar (2002)
yaitu bahwa Pendidikan Dasar yang menentukan hasil usaha
pendidikan secara keseluruhan. Apabila tidak ada pendidikan dasar
yang bermutu, sukar diharapkan penyelenggaraan pendidikan
menengah dan perguruan tinggi dengan peserta pendidikan yang
memadai kemampuannya. Akibatnya pendidikan menengah menjadi
15
kurang bermutu, dan sebagai mata rantai berikutnya, pendidikan tinggi
akan kurang dapat menghasilkan pakar dalam berbagai bidang yang
bermutu.
2.2. Problematika Pembelajaran Matematika SD
Selama ini matematika merupakan mata pelajaran yang
menjadi momok bagi setiap orang dan tak terkecuali dengan anak SD.
Matematika dianggap mata pelajaran yang sangat sulit untuk dipahami
dan matematika identik dengan banyaknya rumus yang harus
dihafalkan dan banyaknya soal yang harus dikerjakan sehingga image
matematika yang menyatakan bahwa matematika adalah pelajaran
yang sulit semakin melekat erat dalam benak dan diri siswa. Terdapat
beberapa fenomena tentang pembelajaran matematika di SD menurut
beberapa ahli :
Pendapat pertama, pembelajaran mata pelajaran matematika di sekolah
dasar masih lemah. Pengajaran matematika masih terfokus pada teori
sehingga murid menjadi kurang kreatif, terlalu formal, dan masih
terpaku pada rumusan baku. Kelemahan pembelajaran matematika di
sekolah ini terlihat pada lomba Mathematics Problem Solcing
Competition for Elementary School yang diselenggarakan di Purikids.
Mayoritas peserta lomba yang terdiri atas 61 tim dari 15 SD cenderung
kesulitan dalam mengerjakan soal terbuka yang berbentuk cerita dan
mereka juga tidak terbiasa mempresentasikan penyelesaian soal
16
matematika di depan kelas atau para juri. Menurut Yansen Marpaung
yang selaku juri dalam perlombaan tersebut, menyatakan bahwa
”perlombaan ini mencerminkan sistem pembelajaran matematika di
sekolah guru tidak pernah mendorong murid untuk menggali strategi
sendiri. Anak-anak hanya bisa mengungkapkan apa yang mereka
terima dari guru”. Selain itu, ia juga menyatakan bahwa ”sekolah
masih menerapkan metode dan strategi pengajaran matematika yang
tradisional. Murid lebih banyak pasif dan tidak pernah belajar
menyelesaikan soal terbuka. Tiap sekolah seharusnya mulai memberi
kesempatan kepada murid untuk membangun strategi sendiri. Selain
itu, pertanyaan yang diberikan kepada murid harus terkait dengan
realita hidup sehari-hari” (Kompas, 4 Desember 2006).
Pendapat kedua tentang pembelajaran matematika di sekolah adalah
pendapat Suharno dkk (dalam Kriswandani, 2008), yang menyatakan
bahwa ”dalam pembelajaran matematika di sekolah, sebagian besar
siswa berpandangan bahwa mata pelajaran matematika sulit dan
menakutkan. Hai ini terlihat dari sikap siswa dalam mengikuti
pelajaran yakni pasif, tidak masuk kelas (membolos selama pelajaran
matematika berlangsung), merasa bosan, takut, tidak mengerjakan
tugas sehingga siswa tidak dapat mengikuti pelajaran / mengerjakan
tugas-tugas secara optimal. Akhirnya siswa hanya sekedar
mengerjakan tugas agar tidak dimarahi bapak/ibu guru”. Selain itu, ia
juga berpendapat bahwa ”keadaan tersebut diperburuk dengan
17
penerapan metode pembelajaran matematika yang tidak melibatkan
partisipasi siswa. Guru menerangkan dan siswa mendengarkan, guru
aktif dan siswa pasif, kemudian siswa disuruh latihan mengerjakan
soal. Tidak ada upaya untuk mendekatkan materi matematika pada
masalah kehidupan sehari-hari siswa sehingga siswa tertarik untuk
mempelajarinya”.
Pendapat ketiga merupakan pendapat Idris Harta, Ph.D dalam Kompas
tanggal 16 Oktober 2006, yang menyatakan bahwa ”saat ini masih
banyak sekolah yang menggunakan pendekatan latihan pada
pembelajaran matematika. Metode itu dirancang untuk
mengembangkan kemampuan pikiran melalui latihan berulang
keterampilan berhitungm meminta siswa menghafal langkah atau
rumus-rumus”. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa ”pendekatan ini
kurang bermakna dan tidak mengaplikasikan keterampilan berhitung
pada situasi pemecahan masalah. Melalui cara ini, siswa menjadi
bosan dan tidak menyenangi matematika”.
Pendapat keempat adalah pendapat Marpaung dan pakar yang
mengamati pembelajaran di kelas (Marpaung, 2003). Marpaung
berpendapat bahwa pembelajaran matematika yang dilakukan hingga
kini mayoritas masih menggunakan paradigma pengajaran. Terdapat
beberapa kesan mahasiswa terhadap proses pembelajaran matematika
yang masih menggunakan paradigma pengajaran ini, yaitu :
18
a. Pada umumnya siswa takut pada mata pelajaran matematika;
b. Matematika dianggap sulit, abstrak, dan tidak bermakna;
c. Pelajaran matematika mambuat siswa stress;
d. Bahan yang dipelajari terlalu banyak;
e. Matematika penuh dengan rumus-rumus;
f. Guru matematika pada umumnya galak-galak; dan
g. Pembelajaran berlangsung serius dan kurang manusiawi.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
matematika selama ini masih berorientasi pada transfer ilmu dari guru
ke siswa dan siswa dianggap sebagai kertas kosong yang siap ditulisi
dengan tinta sesuai dengan keinginan penulisnya (dalam hal ini guru).
Selain itu, terdapat kecenderungan rendahnya prestasi belajar siswa
dalam pelajaran matematika dan hal ini kemungkinan disebabkan oleh
rendahnya minat dan motivasi dalam mempelajari matematika, metode
atau cara guru menyampaikan materi matematika, atau adanya
anggapan yang salah tentang pelajaran matematika dan cara
penyampaiannya.
2.2.1. Pembelajaran Matematika dengan Model Pendidikan
Matematika Realistik
Realistic mathematics education, yang diterjemahkan sebagai
pendidikan matematika realistik (PMR), adalah sebuah pendekatan
belajar matematika yang dikembangkan sejak tahun 1971 oleh
19
sekelompok ahli matematika dari Freudenthal Institute, Utrecht
University di Negeri Belanda. Pendekatan ini didasarkan pada
anggapan Hans Freudenthal (dalam Kriswandani, 2008) bahwa
matematika adalah kegiatan manusia. Menurut pendekatan ini, kelas
matematika bukan tempat memindahkan matematika dari guru kepada
siswa, melainkan tempat siswa menemukan kembali ide dan konsep
matematika melalui eksplorasi masalah-masalah nyata. Landasan
filosofi PMR adalah RME. RME merupakan teori pembelajaran
matematika yang dikembangkan di Belanda. Teori ini berangkat dari
pendapat Fruedenthal bahwa matematika merupakan aktivitas insane
dan harus dikaitkan dengan realitas. Pembelajaran matematika tidak
dapat dipisahkan dari sifat matematika seseorang memecahkan
masalah, mencari masalah, dan mengorganisasi atau matematisasi