26 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Modal Sosial 2.1.1 Konsep Modal Sosial Berkembangnya ilmu ekonomi kelembagaan dalam pembangunan ekonomi yang dikenal dengan New Institutional Economics (NIE), muncul sebagai akibat adanya aksi kolektif (collective action), biaya transaksi (transaction cost), dan rasionalitas terbatas (bounded rationality) dalam perilaku manusia, masalah koordinasi, dan perkembangan teknologi. Dalam NIE, informasi pasar yang sempurna dan simetris, ketiadaan biaya transaksi, dan rasioanlitas yang tidak terbatas sebagai asumsi neo-klasik sudah dianggap tidak relastik lagi dan justru menjadi lebih longgar. Teori modal sosial pertama kali diperkenalkan secara sistematis oleh Bourdieu pada tahun 1972 dan Coleman tahun 1988 (Hauberer, 2011). Definisi mendasar yang diperkenalkan adalah modal sosial merupakan sumber daya yang melekat dalam hubungan sosial. Individu yang terlibat dalam hubungan sosial dapat mempergunakan sumber daya sosial ini untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Sejumlah intelektual menggunakan teori modal sosial sebagai salah satu bahan diskusi penting yang mempertemukan berbagai disiplin ilmu. Berbeda dengan dua modal lainnya yang lebih dulu popoler dalam bidang ilmu sosial, yakni modal ekonomi (economic/financial capital) dan modal manusia (human capital), modal sosial akan berfungsi jika sudah berinteraksi dengan struktur sosial. Modal ekonomi yang dimiliki
59
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Modal Sosial 2.1.1 Konsep ......26 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Modal Sosial 2.1.1 Konsep Modal Sosial Berkembangnya ilmu ekonomi kelembagaan dalam pembangunan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
26
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Modal Sosial
2.1.1 Konsep Modal Sosial
Berkembangnya ilmu ekonomi kelembagaan dalam pembangunan ekonomi
yang dikenal dengan New Institutional Economics (NIE), muncul sebagai akibat
adanya aksi kolektif (collective action), biaya transaksi (transaction cost), dan
rasionalitas terbatas (bounded rationality) dalam perilaku manusia, masalah
koordinasi, dan perkembangan teknologi. Dalam NIE, informasi pasar yang sempurna
dan simetris, ketiadaan biaya transaksi, dan rasioanlitas yang tidak terbatas sebagai
asumsi neo-klasik sudah dianggap tidak relastik lagi dan justru menjadi lebih longgar.
Teori modal sosial pertama kali diperkenalkan secara sistematis oleh Bourdieu
pada tahun 1972 dan Coleman tahun 1988 (Hauberer, 2011). Definisi mendasar yang
diperkenalkan adalah modal sosial merupakan sumber daya yang melekat dalam
hubungan sosial. Individu yang terlibat dalam hubungan sosial dapat mempergunakan
sumber daya sosial ini untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Sejumlah
intelektual menggunakan teori modal sosial sebagai salah satu bahan diskusi penting
yang mempertemukan berbagai disiplin ilmu. Berbeda dengan dua modal lainnya yang
lebih dulu popoler dalam bidang ilmu sosial, yakni modal ekonomi
(economic/financial capital) dan modal manusia (human capital), modal sosial akan
berfungsi jika sudah berinteraksi dengan struktur sosial. Modal ekonomi yang dimiliki
27
seseorang/perusahaan mampu melakukan kegiatan (ekonomi) tanpa harus terpengaruh
dengan struktur sosial, demikian pula halnya dengan modal manusia.
Sama halnya dengan modal lainnya, modal sosial juga bersifat produktif, yakni
bila keberadaannya tidak muncul akan membuat pencapaian tujuan tertentu yang tidak
mungkin diraih. Sejumlah definisi tentang modal sosial dipaparkan oleh para ahli,
misalnya :
1. Uphoff dalam Hobbs (2000) yang menyatakan bahwa modal sosial dapat
ditentukan sebagai akumulasi dari beragam tipe dari aspek sosial, psikologi,
budaya, kelembagaan, dan aset yang tidak terlihat (intangible) yang
mempengaruhi perilaku kerjasama.
2. Putnam (2000) mendefinisikan modal sosial sebagai gambaran kelembagaan
sosial, seperti jaringan, norma, dan kepercayaan sosial, yang memfasilitasi
koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan.
3. Hobbs (2000), menyatakan modal sosial sebagai fitur organisasi sosial, seperti
kepercayaan, norma (etika timbal balik), dan jaringan (keterlibatan sipil), yang
dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan
terkoordinasi. Secara luas disepakati bahwa fasilitas modal sosial yang saling
menguntungkan adalah aksi kolektif.
4. Bank Dunia (2000) dalam www.worldbank.org, menyatakan modal sosial
sebagai aturan, norma, kewajiban, dan kepercayaan yang tertanam dalam
hubungan sosial, struktur sosial, serta pengaturan kelembagaan masyarakat
yang memungkinkan anggota untuk mencapai tujuan individu dan komunitas.
28
Pandangan terbaru The Worl Bank Group (2011), menyatakan bahwa cakupan
lingkungan sosial dan politik yang membentuk struktur sosial dan norma-norma lebih
memungkinkan untuk berkembang. Analisis ini memperluas pentingnya modal sosial
untuk hubungan kelembagaan yang paling formal dan terstruktur, seperti: pemerintah,
rezim politik, aturan hukum, sistem pengadilan, serta kebebasan sipil dan politik.
Pandangan ini tidak hanya memaparkan kebajikan dan keburukan modal sosial, serta
pentingnya menempa hubungan antar personal dan di masyarakat, tetapi mengakui
bahwa kapasitas berbagai kelompok sosial untuk bertindak sesuai dengan kepentingan
mereka sangat bergantung pada dukungan atau ketiadaan yang yang mereka terima
dari negara serta sektor swasta. Pembangunan ekonomi dan sosial tumbuh subur ketika
perwakilan dari negara, sektor korporasi, dan masyarakat sipil membuat forum, dan
melalui forum diupayakan menjadi sarana untuk mengidentifikasi dan mengejar tujuan
bersama.
Berdasarkan konsep dan pandangan tentang modal sosial seperti diungkapkan
sejumlah pakar, maka dalam penelitian ini digunakan konsep modal sosial sebagai
jaringan bersama dengan norma, rasa percaya dan pemahaman yang memfasilitasi
kerja sama diantara atau antar kelompok. Modal sosial mengacu pada lembaga,
hubungan, dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas interaksi sosial
suatu masyarakat.
Modal sosial baru dapat diimplementasikan bila telah terjadi interaksi dengan
orang lain yang dipandu oleh struktur sosial. Modal sosial berhubungan dengan norma
atau jaringan yang memungkinkan orang untuk melakukan tindakan kolektif. Hal ini
29
berimplikasi, bahwa modal sosial lebih memfokuskan kepada sumber (sources)
daripada konsekuensi atas modal sosial itu sendiri. Deskripsi tentang modal sosial,
seperti kepercayaan, norma dan hubungan timbal-balik, dikembangkan sebagai sebuah
proses yang terus-menerus.
Tiga bentuk dari modal sosial menurut Coleman (1998), yaitu : (1) Struktur
kewajiban (obligations), ekspektasi, dan kepercayaan. Dalam konteks ini, bentuk
modal sosial tergantung dari dua elemen kunci: kepercayaan dari lingkungan sosial
dan perluasan aktual dari kewajiban yang sudah dipenuhi (obligation held). Perspektif
ini memperlihatkan bahwa, individu yang bermukim dalam struktur sosial dengan rasa
saling percaya yang tinggi memiliki modal sosial yang lebih baik daripada situasi
sebaliknya, (2) Jaringan informasi (information channels). Informasi sangatlah penting
sebagai basis tindakan, tetapi harus disadari bahwa informasi itu mahal dan tidak
gratis. Tentu saja, individu yang memiliki jaringan lebih luas akan lebih mudah (dan
murah) untuk memperoleh informasi, sehingga bisa dikatakan modal sosialnya tinggi,
demikian pula sebaliknya, dan (3) Norma serta sanksi yang efektif (norms and
effective sanctions). Norma dalam sebuah komunitas yang mendukung individu untuk
memperoleh prestasi (achievement) tentu saja bisa digolongkan sebagai bentuk modal
sosial yang sangat penting. Contoh lainnya, norma yang berlaku secara kuat dan
efektif dalam sebuah komunitas yang bisa memengaruhi orang-orang muda dan
berpotensi untuk mendidik generasi muda tersebut memanfaatkan waktu seoptimal
mungkin.
30
Analisis modal sosial dapat dilihat dari dua sisi yaitu: 1) tingkatan analisis yang
digunakan dan 2) manifestasi modal sosial yang diteliti. Point pertama, memandang
modal sosial dari level mikro samapai dengan makro. Point kedua, memperluas
jangkauan modal sosial dari menifestasi struktural ke kognitif (BPS Pusat, 2013a).
Pada point pertama, modal sosial level mikro meliputi individu, rumah tangga,
atau masyarakat dalam kominutas tertentu. Pada level ini modal sosial tercermin dari
hubungan horizontal. Interaksi yang terjadi dalam jaringan sosial pada komunitas
tertentu akan menjamin kepatuhan terhadap norma, nilai, dan resiprositas antar
manusia. Jejaring sosial yang terbentuk akan menciptakan eksternalitas yang bisa
positif atau negatif bagi komunitas secara keseluruhan.
Modal sosial pada level meso memandang modal sosial secara lebih luas baik
pada hubungan horizontal maupun vertikal di dalam kelompok ataupun antar
kelompok. Hubungan vertikal dilakukan terhadap pemilik otoritas/kekuasaan yang
lebih tinggi sebagai akibat dari struktur sosial dalam kelompok. Pandangan ini sesuai
dengan konsep modal sosial dari Coleman (1998).
Pada level makro, modal sosial merujuk pada hubungan sosial yang sangat luas
meliputi lingkungan sosial dan politik yang membentuk struktur sosial dan
memungkinkan norma untuk berkembang. Modal sosial dipandang sebagai pembentuk
utama hubungan antar institusi formal (pemerintah maupun non pemerintah) dan tata
kelola yang dianut (politik, hukum, peradilan, kebebasan politik dan sipil).
Pada point kedua, manifestasi modal sosial dapat dilihat dari variabel yang
digunakan untuk membangun indikator modal sosial. Modal sosial struktural mengacu
31
pada wujud yang lebih mudah dan nyata terlihat, seperti: institusi lokal, organisasi, dan
jaringan antar orang, berdasarkan kondisi budaya, sosial, ekonomi, politik, atau tujuan
lain. Sedangkan modal sosial kognitif mengacu pada wujud yang lebih abstrak seperti
rasa percaya, norma, dan nilai-nilai yang mengatur interaksi antar orang-orang dalam
mencapai tujuan bersama. Pengukuran kelompok/organisasi dapat diamati secara
langsung berdasarkan ukuran keanggotaannya, intensitas pertemuan dan kegiatan.
Dalam hal ini, norma dan rasa percaya harus diperhatikan secara tidak langsung
melalui persepsi masyarakat yang bertindak menurut kepatuhannya terhadap norma
yang berlaku.
Modal sosial struktural dan kognitif saling melengkapi, dimana struktur
organisasi membantu menerjemahkan norma dan keyakinan ke dalam daerah perilaku
tujuan sehingga berorientasi adanya koordinasi. Partisipasi masyarakat jarang terjadi
secara spontan, melainkan melibatkan persiapan sosial yang memerlukan proses : (1)
mengumpulkan informasi tentang keadaan dan sumber daya yang ada; (2) analisis
situasi; (3) pemilihan prioritas tindakan; (4) bergabung bersama-sama ke dalam
kelompok atau organisasi yang mereka pilih sendiri; dan (5) bekerja dengan sarana
untuk menerapkan persiapan. Persiapan sosial membutuhkan pola yang sistematis
dalam konteks aksi-refleksi-reaksi, yang merupakan praktek inti dalam dasar
pembangunan partisipatif.
Akhirnya, pengelompokan sumber dan dimensi modal sosial sangat
dipengaruhi oleh metoda pendekatan yang digunakan dalam pengukuran modal sosial.
Mengacu dari pembahasan konsep modal sosial, dalam penelitian ini digunakan tiga
32
kelompok utama sebagai refleksi modal sosial, yaitu : (1) Rasa percaya, (2)
Norma/etika, dan (3) Jaringan Kerja.
Rasa Percaya
Dasar perilaku manusia dalam membangun modal sosial adalah rasa percaya,
melalui moralitas yang tinggi. Manusia dapat hidup damai bersama dan berinteraksi
satu sama lain, memerlukan aktivitas kerjasama dan koordinasi sosial yang diarahkan
oleh tingkatan moralitas. Kasih sayang dalam keluarga dilandasi oleh rasa saling
percaya antar individu, sedangkan rasa percaya menjadi alat untuk membangun
hubungan. Adanya hubungan lebih luas yang harmonis akan mampu menekan biaya
transaksi dalam hal komunikasi, kontrak dan kontrol. Rasa percaya merupakan sikap
yang siap menerima resiko dan ketidakpastian dalam berinteraksi.
Kerjasama yang baik dimulai dari rasa percaya yang tinggi terhadap seseorang,
semakin tebal rasa percaya terhadap orang lain akan semakin kuat jalinan kerjasama
yang terbentuk. Kepercayaan sosial akan muncul dari interaksi yang didasari oleh
adanya norma dan jaringan kerja pada pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi
tersebut. Aktivitas memonitor perilaku orang lain agar sesuai norma yang dianut dan
disepakati tidak akan diperlukan lagi bila sudah terbentuk rasa saling percaya.
Tingkat homogenitas (homogenity), komposisi populasi, dan tingkat
ketidaksamaan (inequality) akan menentukan tingkatan rasa percaya. Pada daerah
dengan ras dan komposisi populasi yang homogen serta tingkat ketidaksamaan yang
rendah akan memberikan tingkat rasa percaya yang tinggi. Ketuhanan, etika, dan
hukum merupakan sumber utama dari rasa percaya, sedangkan penyusunan
33
kelembagaan dan kekeluargaan menjadi bentuk struktural dari rasa percaya. Rasa
saling percaya dapat tumbuh berdasarkan interaksi intensif antar teman dan keluarga.
Rao (2001) menyatakan bahwa rasa saling percaya (mutual trust) berperan
penting dalam membangun ekonomi pasar yang sehat. Rasa percaya akan mengurangi
gejolak dalam penegakan kontrak dan biaya monitoring sehingga mampu
mengefisiensikan biaya transaksi. Kebenaran dan norma akan membangun rasa
percaya yang berkelanjutan, tetapi keterbatasan manusia akan sifat rasionalitas cukup
berpengaruh pada usaha membangun rasa saling percaya tersebut. Oleh karena itu,
perlu memperluas dan mengintensifkan komunikasi agar selalu tersedia informasi yang
benar. Sejumlah penelitian memperlihatkan hasil bahwa rasa percaya berpengaruh
positif dan nyata terhadap pertumbuhan ekonomi, demikian pula sebaliknya,
keberhasilan peme-rintah dalam pembanguan ekonomi dapat memperkuat rasa percaya
sosial masyarakat terhadap pemerintah.
Norma/Etika
Norma sangat berperan mengatur individu dalam suatu kelompok sehingga
keuntungan yang dihasilkan setiap individu proporsional dengan usaha yang dilakukan
dalam kelompok tersebut. Dalam hal ini, individu dalam kelompok harus berjuang
dalam mencapai tujuan bersama dengan sukarela. Individu dalam kelompok
diharapkan lebih mementingkan kepentingan bersama dibandingkan kepentingan
individu.
Norma merupakan nilai universal yang mengatur perilaku individu dalam suatu
masyarakat atau kelompok. Fukuyama (1999) menyatakan modal sosial sebagai norma
34
informal yang bersifat instan dan dapat membangun kerjasama antar dua atau lebih
individu. Norma sebagai bagian dari modal sosial dapat dibangun dari norma/etika
yang disepakati antar teman. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa, rasa percaya, norma
dan komunitas sosial yang terbentuk sangat berkaitan dengan modal sosial yang
muncul sebagai hasil dari modal sosial tetapi bukan modal sosial secara fisik.
Menurut Plateau (2000), pembangunan ekonomi yang berkembang telah terjadi
manakala tujuan dan nilai-nilai sosial memperoleh ruang yang lebih luas. Prinsip
keadilan yang mengarahkan seseorang dalam berperilaku tidak mementingkan diri
sendiri, dipandang sebagai norma sosial yang merupakan aturan bagi setiap individu
berperilaku bersama dalam suatu kelompok.
Jaringan Kerja
Setiap orang memiliki pola tertentu dalam berinteraksi, melakukan pilihan
dengan siapa berinteraksi, dan dengan alasan tertentu pula. Jaringan kerja merupakan
system pada saluran komunikasi untuk mengembangkan dan menjaga hubungan
interpersonal. Biaya transaksi akan muncul sebagai akibat adanya bangunan saluran
komunikasi. Nilai-nilai bersama (norma) juga berperan pada keinginan untuk
bergabung membentuk jaringan kerja dengan orang lain. Munculnya koalisi dan
koordinasi juga disebabkan adanya jaringan kerja. Keputusan melakukan investasi
dalam suatu jaringan kerja disebabkan oleh adanya kontribusi saluran komunikasi
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan ekonomi.
Interaksi sosial tergantung dari struktur jaringan kerja dan struktur masyarakat-
nya, sehingga posisi individu pada struktur tersebut menjadi dasar pada evaluasi modal
35
sosial. Coleman (1988), mengatakan densitas dan jaringan kerja sosial akan
meningkatkan efisiensi penguatan perilaku kerjasama pada suatu organisasi. Modal
sosial memberi manfaat pada individu dan jaringan kerja individu itu sendiri. Modal
sosial merupakan jumlah dari modal interaksi yang dimiliki sejumlah individu yang
terbentuk atas dasar norma yang dianut bersama. Modal sosial mempunyai ekternalitas
ekonomi yang positif pada tingkat lokal melalui proses aktivitas aksi bersama
(collective action), yang terbentuk berdasarkan hubungan sosial dan struktur sosial
dalam jaringan kerja tertutup. Hubungan sosial tergantung dari tingkat ketertutupan
struktur sosial yang sangat penting dalam membangun kepercayaan dan penegakan
norma yang efektif.
Woolcock (2000), memaparkan bahwa dalam modal sosial terdapat tiga hubu-
ngan, yaitu: (1) modal sosial mengikat (bonding sosial capital), (2) modal sosial
menyambung (bridging sosial capital), dan (3) modal sosial mengait (linking sosial
capital). Modal sosial yang bersifat mengikat (bonding), pada umumnya berasal dari
ikatan kekeluargaan, kehidupan bertetangga dan persahabatan. Hubungan antar
individu dalam kelompok seperti ini mempunyai interaksi yang intensif, antar muka
dan saling mendukung. Modal sosial yang bersifat menyambung (bridging), terbentuk
dari interaksi antar kelompok dalam suatu wilayah dengan frekuensi yang relatif lebih
rendah, seperti kelompok etnis tertentu, kelompok agama, paguyuban, sekaa, atau
kelompok sosial lainnya. Sedangkan modal sosial yang bersifat mengait (linking),
umumnya terbentuk dari interaksi individu atau kelompok dalam organisasi formal,
36
seperti lembaga politik, bank, klinik kesehatan, sekolah, kelompok tani (subak),
kelompok profesi, dsb.
Cullen and Kratzmann (2000) juga menyebutkan bahwa ikatan kuat yang
mengikat (bonding) banyak terjadi pada hubungan anggota keluarga, tetangga, dan
teman-teman dekat. Hubungan ini biasanya berfokus pada hati dan berfungsi sebagai
mekanisme perlindungan sosial selama dibutuhkan. Hubungan ini juga bertindak
sebagai kendaraan utama untuk transmisi norma-norma perilaku pada anak-anak
(sosialisasi) dan mempengaruhi pengembangan sumber daya manusia. Kemampuan
keluarga untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional anak-anak sangat
mempengaruhi persepsi mereka terhadap kepercayaan orang lain di luar keluarga.
Dinamika keluarga juga mendorong upaya timbal balik dan pertukaran, yang
merupakan dua faktor penting lainnya dalam lingkup modal sosial. Dukungan material
dan emosional dibagi secara bebas antara anggota keluarga untuk menghasilkan
kesediaan secara implisit pada dukungan tersebut (The World Bank, 2011). Modal
sosial bonding menjadi penting dalam difusi informasi, menetapkan norma-norma,
mengendalikan penyimpangan, mencipta-kan kondisi saling membantu, dan
melindungi kelompok yang rentan. Jenis modal sosial ini juga dapat berfungsi sebagai
sumber utama kesejahteraan ekonomi dan sosial bagi para anggotanya. Namun ikatan
yang kuat seperti ini dapat membatasi pertumbuhan ekonomi melalui pemberlakukan
hambatan dalam menjalin hubungan eksternal.
Hubungan dalam interaksi antar orang-orang dari latar belakang etnis dan
pekerjaan yang berbeda membentuk modal sosial menyambung (bridging). Jenis
37
modal sosial ini sangat penting bagi keberhasilan masyarakat sipil karena memberikan
kesempatan untuk berpartisipasi, meningkatkan jaringan untuk pertukaran, dan saluran
untuk menyuarakan keprihatinan kelompok yang mempengaruhi perubahan. Modal
sosial menyambung ini adalah yang paling bermanfaat dalam hal pembangunan sosial
dan ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Pembangunan ekonomi masyarakat dan
pemerintah yang efektif, secara positif akan meningkatkan peran warga dikaitkan
dengan solidaritas, integritas, dan partisipasi (jaringan keterlibatan masyarakat).
Jaringan kerja masyarakat yang terjadi melalui ikatan dan norma asih-asuh timbal
balik akan memperkuat sentimen kepercayaan dalam masyarakat dan juga berfungsi
untuk meningkatkan efektivitas komunikasi dan organisasi sosial.
Modal sosial mengait (linking) mengacu pada sifat dan tingkat hubungan
vertikal antara kelompok-kelompok orang yang memiliki saluran dan akses terbuka,
sumber daya, dan kekuasaan atau pemerintah. Hubungan antara pemerintah dan
masyarakat juga tercakup dalam hubungan modal sosial. Sektor publik (yaitu : negara
dan lembaga-lembaga) sangat berperan dalam mencapai kesejahteraan masyarakat.
Undang-undang dan peraturan pemerintah menentukan dimensi ruang yang tersedia
untuk masyarakat sipil, yang memungkinkan untuk berkembang atau mati/layu.
Kehadiran modal sosial tidak selalu berarti adanya hubungan inklusif dalam
masyarakat. Pendapatan dan kesenjangan kekayaan (linking yang lemah), ketegangan
rasial dan etnis (bridging yang rendah), dan perbedaan dalam partisipasi politik serta
keterlibatan masyarakat yang lemah (bonding yang lemah), semuanya berhubungan
dengan kurangnya kohesi sosial. Kohesi sosial yang tinggi/kuat dapat ditunjukkan
38
dengan tingkat kepercayaan yang kuat dan norma timbal balik bagi kelompok-
kelompok dengan ikatan (bonding) yang kuat, banyaknya bridging yang harmonis, dan
adanya mekanisme pengelolaan konflik (demokrasi responsif, peradilan yang
independen, dll ) melalui hubungan antar kelompok termasuk pemerintah dan
masyarakat. Dengan demikian, kohesi sosial mencerminkan adanya hubungan
terintegrasi, baik hubungan horizontal (bonding dan bridging ) maupun hubungan
secara vertikal dengan modal sosial linking (Gambar 2.1) .
Gambar 2.1
Kohesi (Kerapatan) Sosial dalam Modal Sosial
Sumber : Cullen and Kratzmann (2000)
Diagram menggunakan segitiga untuk menggambarkan hubungan antara kohesi
(kerapatan) sosial terhadap modal sosial, yang meliputi :
39
a. Tiga titik pada segitiga, yaitu : (1) Linking (hubungan vertikal); (2)
Bonding (keluarga, agama, dan etnis); dan (3) Bridging (hubungan lintas
sektoral)
b. Tiga posisi pada sisi segitiga, meliputi : (1) Kohesi sosial rendah (sisi
segitiga antara linking dan bonding), yang terdiri dari kondisi:
pengecualian, penindasan dan otoriter, ketimpangan/ketidakadilan,
korupsi dan birokrasi yang tidak efisien, dan masyarakat tertutup; (2)
Kohesi sosial yang tinggi (sisi segitiga antara linking dan bridging), yang
terdiri dari kondisi : Inklusif, supremasi hukum dan demokrasi, akses dan
kesetaraan kesempatan; serta efisiensi dengan birokrasi yang tidak korup;
dan (3) Hubungan modal sosial horisontal (sisi segitiga antara bonding dan
bridging).
2.1.2 Modal Sosial dalam Pembangunan dan Kesejahteraan
Pembangunan yang dialakukan seluruh negara di dunia bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan tidak hanya dipandang dari sisi
ekonomi tetapi juga mencakup kesejahteraan lainnya seperti kebebasan sipil,
kebebasan dari tindak kejahatan, lingkungan hidup yang bersih serta kondisi penduduk
yang sehat secara fidik dan mental (OECD, 2011). Lebih jauh dijelaskan bahwa
kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu: (1) modal alam, (2) modal
fisik, dan (3) modal manusia dan modal sosial. Modal alam, fisik dan manusia dikenal
dengan modal tradisional pembangunan, sedangkan modal sosial erat kaitannya modal
40
manusia. Jika modal manusia mewakili pengetahuan, keterampilan dan kesehatan,
maka modal sosial merujuk pada rasa percaya, norma dan jejaring yang memfasilitasi
kerjasama antar manusia di dalam maupun antar kelompok.
Modal sosial terbentuk dari hubungan sosial antar manusia, sehingga besaran
modal sosial tergantung dari kapabilitas sosial tiap individu. Kapabilitas sosial
mempunyai peran yang sama penting dengan modal pembangunan lainnya (OECD,
2011). Ini yang menyebabkan modal sosial sering dianggap sebagai perekat yang
memungkinkan modal pembangunan lainnya berkerja secara efektif dan efisien. Modal
sosial bersama modal manusia secara langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan
manusia, tetapi keduannya juga berperan melalui modal pembangunan lainnya dalam
bentuk kapabilitas manusia dan sosial.
Narayan and Pritchett ( 1999) menjelaskan lima mekanisme bagaimana modal
sosial mempengaruhi hasil pembangunan, yaitu.
1) Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memantau kinerja pemerintah,
baik karena pejabat pemerintah lebih tertanam dalam jaringan sosial atau
karena memantau penyediaan layanan publik seperti barang publik;
2) Meningkatkan kemungkinan tindakan kooperatif dalam memecahkan masalah
dengan elemen lokal yang dimiliki oleh umum;
3) Memfasilitasi difusi inovatif dengan meningkatkan keterkaitan individu;
4) Mengurangi ketidaksempurnaan informasi dan memperluas jangkauan penega-
kan mekanisme, sehingga meningkatkan transaksi dalam output, kredit, tanah
dan pasar tenaga kerja;
41
5) Meningkatkan asuransi formal ( atau jaring pengaman informal) antara rumah
tangga, sehingga memungkinkan rumah tangga untuk mengejar keuntungan
yang lebih tinggi, walaupun lebih berisiko, aktif dalam kegiatan dan teknik
produksi.
Sementara itu Cullen and Kratzmann (2000) menyatakan bahwa kehadiran
modal sosial dapat membantu meningkatkan penggunaan manusia, alam, modal fisik,
dan modal keuangan. Dalam hal ini, modal sosial dapat menyebabkan manajemen
pembangunan yang lebih efisien dalam pengelolaan sumber daya tersebut. Dengan
demikian, modal sosial dapat menjadi agen mediasi antara bentuk-bentuk modal,
memperkuat dan meningkatkan efek yang terjadi. Di sisi lain, rendahnya tingkat modal
sosial cenderung mengarah pada mengecilnya manfaat bentuk-bentuk modal yang lain
bagi masyarakat secara keseluruhan.
The World Bangk Group (2011), memaparkan bukti-bukti yang menunjukkan
modal sosial merupakan kontributor potensial untuk pengurangan kemiskinan dan
pembangunan berkelanjutan, meningkatkan upaya yang dilakukan untuk mengiden-
tifikasi metode dan alat pengukuran modal sosial yang relevan. Hal ini sangat menarik
karena modal sosial terdiri dari konsep-konsep seperti kepercayaan, norma-norma
dalam komunitas, dan jaringan yang sulit untuk diukur. Tantangannya meningkat
ketika muncul permasalahan pencarian alat ukur yang mampu untuk mengukur bukan
hanya kuantitas tetapi juga kualitas dari modal sosial pada berbagai skala. Sejumlah
peneliti modal sosial mengidentifikasi metode dan alat yang dapat mengukur dan
memenuhi syarat agar modal sosial dapat digunakan oleh pembuat kebijakan dan para
42
pemangku kepentingan, sehingga memungkinkan untuk menganalisis dampak yang
ada dan menciptakan modal sosial baru yang bisa menguntungkan bagi masyarakat
miskin dan bangsa.
2.1.3 Pengukuran Modal Sosial
Pengukuran modal sosial mungkin sulit, tetapi bukan tidak mungkin, dan
beberapa studi yang sangat baik telah mengidentifikasi pendekatan yang berguna
untuk modal sosial, dengan menggunakan jenis dan kombinasi dari metodologi
penelitian kualitatif, komparatif dan kuantitatif yang berbeda (Woolcock, 2000).
Pengukuran modal sosial sangat tergantung pada bagaimana modal sosial itu dimaknai.
Menurut The World Bank Group (2011), modal sosial diukur dengan sejumlah
cara yang inovatif, meskipun untuk mendapatkan satu ukuran yang valid mungkin
mustahil. Hal ini disebabkan oleh : (1) definisi yang paling komprehensif dari modal
sosial yang multidimensi, ternyata menggabungkan tingkat dan unit analisis yang
berbeda, (2) adanya upaya untuk mengukur konsep dari sifat-sifat ambigu seperti rasa
percaya, norma, masyarakat, jaringan dan organisasi selalu menimbulkan masalah, (3)
beberapa survei terdahulu sering dipakai acuan untuk mengukur modal sosial melalui
kompilasi indeks dari berbagai item perkiraan, seperti tingkat kepercayaan pada
pemerintah, tren perolehan suara dalam pemilu, keanggotaan dalam organisasi
kemasyarakatan, jam kerja yang dihabiskan secara sukarela. Survei terbaru saat ini
sedang diuji yang diharapkan akan menghasilkan lebih banyak indikator langsung dan
akurat untuk pengukuran modal sosial. Mengukur modal sosial mungkin sulit, tetapi
43
bukan tidak mungkin, dan beberapa studi yang sangat baik telah mengidentifikasi
pendekatan untuk mewakili pengukuran modal sosial, dengan menggunakan jenis dan
kombinasi dari metodologi penelitian kualitatif, komparatif dan kuantitatif yang
berbeda.
Pretty and Ward (2001) menyatakan terdapat empat aspek utama yang
membangun modal sosial, yaitu : (1) hubungan dari rasa percaya, (2) resiproksitas dan
pertukaran, (3) aturan umum, norma, dan sanksi, serta (4) koneksi, kerjasama, dan
kelompok. Rasa percaya mempermudah jalinan kerjasama dan mengurangi biaya
trasaksi. Rasa percaya dibedakan atas dua tipe, yaitu rasa percaya terhadap orang yang
dikenal (thick trust) dan rasa percaya terhadap orang yang belum dikenal (thin trust).
Resiproksitas dan pertukaran juga berperan meningkatkan rasa percaya. Resiproksitas
ada dua tipe, yaitu resiproksitas spesifik yang berkaitan dengan pertukaran simultan
dan resiproksitas difusif yang merujuk pada pertukaran yang berkelanjutan.
Determinan modal sosial seperti rasa percaya, norma, dan jaringan kerja dapat
berdampak positif atau negatif terhadap kinerja pembanguan ekonomi. Rasa saling
percaya yang tinggi akan mendorong peningkatan kinerja ekonomi yang lebih tinggi,
asalkan mampu membangun kondisi persaingan yang sehat. Norma akan mempunyai
dampak positif bila kemungkinan berkembangnya kreativitas lebih besar dibandingkan
kemungkinan melemahnya etika kerja. Jaringan kerja akan berdampak positif terjadi
bila dampak proteksi pada perilaku senang meminjam (rent-seeking) lebih besar
daripada pengurangan (crowding out) waktu kerja.
44
Fokus dari pengukuran modal sosial itu sebenarnya ingin melihat pada
kemampuan masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok untuk bekerjasama
membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut
diwarnai oleh suatu pola inter-relasi yang imbal balik dan saling menguntungkan, serta
dibangun di atas kepercayaan yang ditopang oleh norma dan nilai nilai sosial yang
positif dan kuat. Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh semangat
proaktif membuat jalinan hubungan diatas prinsip-prinsip tentang persamaan,
kebebasan, dan nilai-nilai kemajemukan serta humanitarian. Akhirnya dapat
dinyatakan bahwa unsur-unsur pokok pengukuran modal sosial adalah.
1). Rasa Percaya; kepercayaan adalah sesuatu yang mempunyai nilai yang sangat
tinggi di dalam melakukan apapun dengan orang lain. Rasa percaya
(mempercayai) adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam
hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang
lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa
bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak yang
lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putnam, 1993,
1995 dan 2002). Pandangan Fukuyama (2000), menyatakan bahwa rasa
percaya adalah sikap saling mempercayai di masyarakat tersebut, saling bersatu
dengan yang lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial.
Beberapa indikator yang sesuai dengan unsur rasa percaya pada pelaku usaha
industri tenun, misalnya: rasa peduli dan toleransi terhadap orang lain,
45
kepercayaan terhadap tokoh agama, rasa saling percaya terhadap orang lain,
kepercayaan terhadap pemerintah, dsb.
2). Norma Sosial; norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-
harapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh
sekelompok orang. Unsur modal sosial ini dapat berasal dari agama, panduan
moral, maupun standar-standar sekuler seperti hanya kode etik professional.
Menurut Fukuyama (2000) norma-norma dibangun dan berkembang
berdasarkan sejarah kerjasama dimasa lalu dan diterapkan untuk mendukung
iklim kerjasama. Hasbullah (2005) menyatakan norma-norma sosial akan
sangat berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk prilaku yang tumbuh dalam
masyarakat apalagi dalam kehidupan sekarang dan tidak lagi dipandang
sebagai modal yang penting di dalam tantanan kehidupan masyarakat setempat.
Beberapa indikator norma sehubungan dengan pelaku usaha industri tenun
dikaitkan dengan budaya setempat, seperti: norma keharmonisan sesuai Tri
Hita Karana (THK), kepatuhan terhadap aturan (awig-awig) yang ada,
kemudahan mencari bantuan modal, kemudahan memperoleh bantuan
pembinaan kewirausahaan (manajemen), dsb. Dalam hal ini, Konsep THK
merupakan konsep harmonisasi hubungan yang selalu dijaga masyarakat Hindu
Bali meliputi: parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), pawongan
(hubungan antar-manusia), dan palemahan (hubungan manusia dengan
lingkungan) yang bersumber dari kitab suci agama Hindu Baghawad Gita.
Oleh karena itu, konsep THK yang berkembang di Bali, merupakan konsep
46
nilai kultur (budaya) lokal yang telah tumbuh, berkembang dalam tradisi
masyarakat Bali, dan bahkan saat ini telah menjadi landasan falsafah bisnis,
filosofi pengembangan pariwisata, pengaturan tata ruang, dan rencana stratejik
pembangunan daerah. (Windia dan Ratna, 2011).
3). Jaringan Kerja; modal sosial tidak dibangun hanya oleh satu individu,
melainkan akan terletak pada kecendrungan yang tumbuh dalam suatu
kelompok untuk bersosialisasi sebagai bagian penting dari nilai-nilai yang
melekat. Modal sosial akan kuat tergantung pada kapasitas yang ada dalam
kelompok masyarakat untuk membangun sejumlah asosiasi serta membangun
jaringannya agar mampu membuat modal sosial berperan. Beberapa indikator
jaringan kerja yang berhubungan dengan pelaku usaha industri tenun, seperti:
kepadatan atau partisipasi dalam kegiatan bersama, kerjasama dengan teman/
karyawan dalam satu usaha (bonding), kerjasama pada sesama pelaku usaha
lain (bridging), kerjasama dan bantuan dari pemerintah (linking), dsb.
2.2 Orientasi Kewirausahaan
Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar,
kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju kesuksesan. Beberapa literatur
manajemen memberikan tiga landasan dimensi-dimensi dari kecenderungan
organisasional untuk proses manajemen kewirausahaan, yakni kemampuan inovatif,
kemampuan mengambil risiko, dan sifat proaktif (Kemendikbud, 2013).
47
Kewirausahaan dikenal sebagai pendekatan baru dalam pembaruan kinerja
perusahaan. Hal ini, tentu harus direspon secara positif oleh perusahaan yang mulai
mencoba bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat krisis berkepanjangan. Kewira-
usahaan disebut-sebut sebagai pelopor untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi
perusahaan berkelanjutan dan berdaya saing tinggi. Sedangkan wirausaha sendiri
berarti suatu kegiatan manusia dengan mengerahkan tenaga pikiran atau badan untuk
mencapai serta menciptakan suatu pekerjaan yang dapat mewujudkan insan mulia.
Dengan kata lain, wirausaha berarti manusia yang unggul dalam menghasilkan suatu
pekerjaan bagi dirinya sendiri atau orang lain. Orang yang melakukan wirausaha
dinamakan wirausahawan. Bentuk aplikasi atas sikap-sikap kewirausahaan dapat
diindikasikan dengan orientasi kewirausahaan yang direfleksikan dengan kemampuan
inovatif, proaktifi, dan kemampuan dalam pemecahan masalah (Prawirokusumo,
2010).
Orientasi kewirausahaan mengacu kepada proses, praktik, dan aktivitas pembu-
atan keputusan yang mengarah kepada usahaa baru (new entry), melalui penciptaan
produk atau jasa baru (Lumpkin and Dess, 1996). Orietansi kewirausahaan mencakup
tiga dimensi, meliputi: (1) kemauan untuk berinovatif (inovatif), (2) kecenderungan
untuk menjadi proakatif terhadap pasar (proaktif), dan (3) keberanian mengambil
keputusan atau risiko (pemecahan masalah).
Dimensi pertama dari orientasi kewirausahaan adalah inovatif (innovativeness).
Keinovatifan mengacu kepada kecenderungan perusahaan ikut serta dan mendukung
gagasan baru, kebaruan (novelty), eksperimentasi, dan proses kreatif yang berakibat
48
pada proses teknologi, jasa, dan produk baru. Oleh karenanya, keinovatifan mirip
dengan suatu iklim, budaya atau orientasi bukan hasil. Keinovatifan terjadi sepanjang
suatu kontinum, contoh dari mencoba lini produk baru atau mengadakan percobaan
produk baru, mencoba menguasuai suatu teknologi terbaru. Lebih lanjut dinyatakan
bahwa keinovatifan akan mengarah kepada perangkap, karena pengeluaran pada
pengembangan produk baru dapat menjadi pemborosan sumberdaya jika upaya ini
tidak memberi hasil.
Dimensi kedua orientasi kewirausahaan adalah proaktif (proactiveness)
terhadap pasar. Proaktif berkaitan dengan melihat kedepan (foward looking),
penggerak pertama upaya pencarian keunggulan untuk membentuk lingkungan dengan
memperkenalkan produk baru atau memproses persaingan ke depan. Keproaktifan
adalah penting karena menyiratkan pendirian untuk melihat kedepan (foward looking)
yang disertai dengan aktivitas yang inovatif atau spekulasi baru. Dengan demikian,
perusahaan yang proaktif adalah leader bukan follower, karena perusahaan memiliki
kemauan dan tinjauan ke masa depan untuk meraih kesempatan baru. Lebih lanjut,
perusahaan yang proaktif sering merupakan perusahaan yang mengajukan produk baru
dan seringkali memperkenalkan produk baru mendahului pesaingnya.
Dimensi ketiga dari orientasi kewirausahaan adalah pemecahan masalah
melalui keberanian mengambil keputusan/risiko (risk taking), yang didefinisikan
sebagai sejauhmana para pimpinan/manajer berkeinginan membuat komitmen terhadap
sumberdaya yang berisiko. Sama seperti keinovatifan, pengambilan risiko terjadi
secara kontinu yang berkisar dari risiko yang relatif aman sampai risiko yang sangat
49
tinggi (misalnya meluncurkan produk baru di pasar baru. Meskipun banyak risiko
dapat menurunkan kinerja pengembangan produk baru, risiko itu sendiri tak dapat
dihindari karena kinerja akhir dari pengembangan produk baru tidak dapat diketahui
sebelumnya. Perusahaan pasti seringkali memanfaatkan sumberdaya pada proyek
pengembangan ketika kesempatan ditangkap oleh pasardan sebagian tanpa
pengetahuan tentang bagaimana proyek pengembangan ini akan menghasilkan.
Pengambilan risiko meliputi perangkap dan bahaya, tetapi perusahaan sering bertindak
tanpa mengetahui apakah tindakan mereka akan menghasilkan.
Menurut Nadim and Seymour (2007), konsep orientasi kewiraushaan akan
melibatkan tiga unsur yaitu : (1) pengusaha (orang-orang atau pemilik usaha yang
berusaha untuk menghasilkan nilai, melalui penciptaan atau perluasan kegiatan
ekonomi, dengan mengidentifikasi dan mengeksploitasi produk baru, proses atau
pasar, (2) aktivitas kewirausahaan (tindakan giat manusia dalam mengejar nilai
tambah, melalui penciptaan atau perluasan kegiatan ekonomi, dengan mengidentifikasi
dan mengeksploitasi produk baru, proses atau pasar, dan (3) kewirausahaan (fenomena
yang terkait dengan aktivitas kewirausahaan). Aktivitas (kegiatan) kewirausahaan
melibatkan pemahaman empat pertimbangan utama, yaitu: (a) aktivitas kegiatan
manusia; (b) memanfaatkan kreativitas, inovatif dan/atau peluang, (c) menciptakan
bisnis dan lingkungan baru yang lebih luas, dan (d) penciptaan nilai.
Pemahaman orientasi kewirausahaan diukur dengan capaian kompetensi
kewirausahaaan yang oleh Entrepreneurial Development Institut (EDI) of India
(Jyotsna dan Saxena, 2012) diidentifikasi melalui: (1) inisiatif; bertidak sesuai pilihan
50
bukan karena paksaan, mengawali tindakan, (2) gigih mencari peluang; pola pikir yang
dilatih untk mencari peluang usaha dari pengalaman sehari-hari, (3) kegigihan dalam
berusaha (Persistensi); sikap pantang menyerah dan mencari informasi terus menerus
sampai berhasil, (4) rasa ingin tahu tinggi; sikap rajin mencari ide-ide dan informasi
baru, konsultasi dengan ahlinya., (5) proaktif mencari pasar dan pesanan kerja; sikap
kerja yang aktif untuk mencari konsumen dan menyelesaikan tugas sesuai jadwal, (6)
proaktif merancang produk baru; selalu mencari sumber rincian standar atas produk
baru yang dapat dikerjakan, (7) berorientasi pada perluasan pasar; sikap proaktif pada
perluasan pasar dan pemasaran, (8) proakif menggalang dukungan dan mempengaruhi
orang lain dalam suatu usaha, (9) ketegasan dalam bertindak (Assertiveness); mampu
menyampaikan visi secara tegas dan meyakinkan orang lain tentang visi tersebut, (10)
percaya diri; sikap tidak terlalu takut terhadap resiko yang terkait dengan usaha, (11)
perencanaan sistematik; mempunyai perencanaan yang matang dan mem-punyai
tujuan akhir, dan (12) berani mengambil keputusan dan risiko; mampu mengamati
gejala, mendiagnosa dan memutuskan, serta siap menanggung risikonya.
Kompetensi (1) s/d (4) diproksi sebagai indikator untuk inovatif, kompetensi
(5) s/d (8) diproksi sebagai indikator untuk proaktif, dan kompetensi (9) s/d (12)
diproksi sebagai indikator untuk kemampuan mengambil keputusan dan pemecahan