Page 1
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Luka Bakar
Luka bakar adalah kerusakan jaringan yang disebabkan oleh kontak dengan
suhu tinggi seperti api, air panas, listrik, bahan kimia, dan radiasi. Cedera lain yang
termasuk luka bakar adalah sambaran petir, sengatan listrik, sinar X, dan bahan
korosif. Kerusakan yang terjadi tergantung pada tinggi suhu dan lama kontak. Suhu
minimal untuk dapat menghasilkan luka bakar adalah sekitar 44° C dengan kontak
sekurang-kurangnya 5 – 6 jam, dan dengan suhu 65 °C cukup kontak selama 2 detik
mampu menghasilkan luka bakar seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.1.
Gambar 2.1
Luka Bakar (Nader, dkk., 2014).
Kontak kulit dengan uap air panas selama 2 detik mengakibatkan suhu kulit
pada kedalaman 1 mm mencapai suhu 47° C, air panas yang mempunyai suhu 60°
C yang kontak dengan kulit dalam waktu 10 detik akan menyebabkan partial
thickness skin loss, dan di atas 70°C akan menyebabkan full thickness skin loss.
Temperatur air yang digunakan untuk mandi adalah berkisar 36° C – 42° C.
Pelebaran kapiler di bawah kulit mulai terjadi pada saat suhu mencapai 35° C
Page 2
7
dengan kontak selama 120 detik, vesikel terjadi pada suhu 53 °C – 57 °C selama
kontak 30 – 120 detik (Suzanne dan Brenda, 2002).
2.1.1 Klasifikasi luka bakar
1. Klasifikasi Luka Bakar Menurut Dupuytren
Klasifikasi derajat luka bakar berbeda untuk masing-masing negara, karena
sangat bergantung terhadap pedoman penatalaksanaan yang digunakan oleh negara
tersebut. Klasifikasi lama yang diperkenalkan oleh Dupuytren adalah pembagian
derajat luka bakar dalam 6 derajat (Suzanne dan Brenda, 2002).
A. Luka bakar derajat 1: Luka akibat terkena panas dari api, benda panas, dan
cairan panas yang suhunya tidak mencapai titik didih, atau akibat cairan
kimia. Biasanya bentuk luka berupa kemerahan dan proses penyembuhan
tidak meninggalkan jaringan parut. Waktu penyembuhan antara beberapa
jam sampai beberapa hari.
B. Luka bakar derajat 2: Luka diakibatkan kontak dengan benda panas atau
cairan panas yang suhunya mencapai titik didih atau lebih tinggi. Lapisan
kulit superficial hanya sedikit yang rusak dan penyembuhannya tidak
meninggalkan jaringan parut. Pada awalnya terdapat vesikel yang kemudian
terasa sakit dan warnanya menjadi hitam.
C. Luka bakar derajat 3: Luka bakar ini adalah akibat kontak dengan cairan
yang suhunya di atas titik didih. Pada keadaan ini lapisan superficial kulit
seluruhnya rusak sehingga pada penyembuhan akan meninggalkan jaringan
Page 3
8
parut. Ujung persyarafan juga terbakar dan hal ini mengakibatkan rasa nyeri
yang hebat.
D. Luka bakar derajat 4: Seluruh jaringan kulit mengalami kerusakan. Ujung
syaraf juga ikut rusak, sehingga pada luka bakar ini tidak terasa nyeri.
Jaringan parut yang terbentuk akan mengalami kontraksi dan deformitas.
Luka terkelupas pada hari ke 5 atau ke 6 dan penyembuhan akan berjalan
lambat.
E. Luka bakar derajat 5: Pada keadaan ini kerusakan meliputi fasia otot dan
mengakibatkan deformitas.
F. Luka bakar derajat 6: Keadaan ini biasanya fatal, jika tidak meninggal maka
biasanya mengakibatkan kerusakan anggota badan.
2. Klasifikasi Luka Bakar Menurut Wilson
Negara Indonesia menganut klasifikasi Wilson, di mana luka bakar dibagi
ke dalam 3 klasifikasi, yaitu:
A. Luka bakar derajat satu (derajat satu dan dua, Dupuytren): Terjadi eritema
dan blister tanpa kehilangan epidermis. Disini kapiler mengalami dilatasi
dan terjadi transudasi cairan ke dalam jaringan ikat, yang menyebabkan
edema. Secara umum blister diliputi oleh kulit yang berwarna keputihan di
atasnya, epidermis yang avaskuler dan dibatasi oleh zona yang berwarna
hiperemi. Bila besar blister kurang dari 1 cm maka blister ini akan
diresorpsi, sebaliknya bila blister ini pecah maka akan meninggalkan daerah
Page 4
9
dengan dasar yang berwarna kemerahan. Luka bakar derajat satu ini akan
sembuh tanpa meninggalkan jaringan parut.
B. Luka bakar derajat dua (derajat tiga dan empat, Dupuytren): Terjadi
kerusakan dari seluruh lapisan kulit. Epidermis dapat mengalami koagulasi,
pengerutan yang dibatasi oleh zona yang berwarna kemerahan, dan blister
kulit. Dalam beberapa minggu, jaringan yang nekrosis akan mengelupas dan
meninggalkan ulkus yang sembuh secara lambat. Luka bakar derajat dua
sering memerlukan koreksi bedah plastik untuk mengatasi jaringan parut
yang terbetuk.
C. Luka bakar derajat tiga (derajat lima dan enam, Dupuytren): Luka bakar
dengan kerusakan yang luas tidak hanya pada kulit dan subkutis, tetapi juga
pada otot dan tulang. Kerusakan pada ujung-ujung syaraf mengakibatkan
kehilangan rasa nyeri. Devitalisasi jaringan pada area luka bakar
menyebabkan rentan terhadap infeksi dan penyembuhan berjalan lambat.
Bila eksposurenya berkepanjangan, maka kulit dan jaringan ikat di bawah
kulit akan terbakar dan menjadi arang.
2.2 Bakteri
Bakteri adalah suatu organisme prokariot yang pada umumnya memiliki
ukuran sel 0,5-1,0 μm kali 2,0-5,0 μm dan terdiri dari tiga bentuk dasar yaitu bulat
(coccus), batang (basilus), dan spiral (spirilum). Berdasarkan komposisi dinding sel
serta sifat pewarnaannya bakteri dibedakan menjadi dua kelompok yaitu bakteri
Gram positif dan bakteri Gram negatif (Gambar 2.2).
Page 5
10
Gambar 2.2
Bakteri Gram Positif dan Bakteri Gram Negatif (AACC, 2015).
Selain perbedaan dalam sifat pewarnaan, bakteri Gram positif dan negatif
juga berbeda dalam sensitivitas terhadap kerusakan mekanis terhadap enzim,
desinfektan, dan antibiotik (Jawetz, dkk., 2004). Beberapa perbedaan sifat-sifat
bakteri gram positif dan negatif dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Perbedaan sifat-sifat bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif
Sifat Perbedaan Relatif
Bakteri gram positif Bakteri gram negatif
Komposisi dinding sel
Ketahanan terhadap penisilin
Kebutuhan Nutrien
Ketahanan terhadap perlakuan
fisik
Kandungan lipid rendah
Lebih sensitif
Relatif komplek
Lebih tahan
Kandungan lipid tinggi
Lebih tahan
Relatif Sederhana
Kurang Tahan
2.2.1 Pseudomonas aeruginosa
Bakteri yang memiliki tingkat ketahanan terhadap lingkungan yang ekstrim
adalah Pseudomonas aeruginosa, bakteri tersebut mampu hidup di lapisan atmosfir
yang memiliki tingkat oksigen yang rendah, serta dapat hidup dalam bahan bakar
pesawat, sehingga sering menimbulkan korosi dan merugikan maskapai
penerbangan di seluruh dunia. Bakteri ini merupakan jenis spesies dari genus
Pseudomonas, gram-negatif, aerobik, bakteri berbentuk batang dengan unipolar
motility (Gambar 2.3). Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri yang dapat
Page 6
11
menyebabkan penyakit pada hewan dan manusia. Pseudomonas aeruginosa
ditemukan dalam tanah, air, flora di kulit dan di sebagian besar lingkungan manusia
di seluruh dunia. Ia tidak hanya berkembang di atmosfir biasa, tetapi juga dengan
sedikit oksigen.
Gambar 2.3
Pseudomonas aeruginosa (Ryan, 2004).
Selain itu, Pseudomonas aeruginosa dapat menggunakan berbagai bahan
organik pada makanan kita sehari-hari sebagai tempat hidupnya. Pseudomonas
aeruginosa juga dapat hidup pada hewan dan merupakan patogen oportunistik pada
tanaman. Fleksibilitas organisme ini untuk menginfeksi sel-sel rusak atau orang
dengan kekebalan tubuh yang rendah. Gejala-gejala infeksinya berupa peradangan
dan keracunan darah. Jika kolonisasi terjadi di organ tubuh penting seperti paru-
paru, saluran kencing, dan ginjal, akibatnya bisa fatal. Bakteri ini berkembang di
permukaan yang lembab, termasuk di dalam dan pada permukaan peralatan medis
seperti kateter. Hal ini menyebabkan sering terjadinya infeksi di rumah sakit dan
klinik (Jawetz, dkk., 2004).
2.2.2 Pseudomonas aeruginosa dalam luka bakar
Pseudomonas aeruginosa juga memiliki resistensi terhadap banyak obat
anti mikroba, dan berkembang biak dengan cepat bila flora normal ditekan. Oleh
Page 7
12
karena sifatnya yang tahan terhadap panas, Pseudomonas aeruginosa menjadi
bakteri yang paling sering menginfeksi luka bakar seperti yang ditunjukkan dalam
Gambar 2.4 (Jawetz, dkk., 2004; Deirdre, dkk., 2006).
Gambar 2.4
Luka Bakar terinfeksi Pseudomonas aeruginosa (Nader, dkk., 2014).
Pseudomonas aeruginosa akan berkembang biak bila flora normal yang
peka ditekan, seringkali pada kasus luka bakar, di mana bakteri flora normal kulit
akan mati karena trauma panas, infeksi Pseudomonas aeruginosa akan lebih mudah
terjadi (Erin, 2010).
2.2.3 Mekanisme kerja anti bakteri pada umumnya
Pada umumnya anti bakteri berperan sebagai penghambat sintesis asam
folat (Gambar 2.5). Seperti telah diketahui asam folat sangat penting bagi
organisme baik bakteri maupun mamalia yang berfungsi sebagai prekursor
pembentukkan DNA ataupun RNA. Pada mamalia kebutuhan asam folatnya
dipenuhi melalui suplai makanan, sedangkan pada bakteri, mereka harus
mensintesis kebutuhan asam folat tersebut.
Page 8
13
N
NNH2
N
N
CH
2
NH
O
CHNH
CH2
CH2
COOH
COOH
C
Gambar 2.5
Rumus Kimia Asam Folat (Rang, dkk., 2003).
Peran anti bakteri sebagai penghambat sintesis asam folat adalah erat
kaitannya dengan bagaimana sel bakteri tersebut membentuk makromolekulnya
seperti yang ditunjukkan dengan Gambar 2.6.
Gambar 2.6
Diagram Struktur dan Metabolisme Bakteri (Rang, dkk., 2003).
A. Skematik sebuah sel bakteri.
B. Diagram alir sintesis makromolekul pada bakteri.
Memperhatikan Gambar 2.6 B terlihat ada 3 jenis kelas reaksi yang berperan
dalam pembentukan makromolekul sel bakteri seperti yang sudah dijelaskan di atas.
Anti bakteri yang mempengaruhi sintesis folat adalah bekerja pada reaksi kelas 2,
Page 9
14
contoh-contoh obat anti bakteri golongan ini adalah: sulfonamida, trimetoprim,
penisilin, sepalosporin, sepamisin, karbapenem, dan monobaktam.
Seperti telah diuraikan di atas peran anti bakteri yang dapat mempengaruhi
sintesis protein adalah terjadi pada reaksi kelas 3. Sebenarnya anti bakteri tipe ini
sangat efektif karena setiap sel harus membentuk makromolekulnya tidak dapat
diambil dari lingkungannya, di samping juga reaksi kelas 3 ini sangat berbeda
antara sel mamalia maupun sel parasit (bakteri) sehingga agak mudah dalam
menentukan selektivitas toksisitas anti bakteri tersebut (Rang, dkk., 2003). Contoh-
contoh obat anti bakteri tipe ini adalah: tetrasiklin, klorampenikol, aminoglikosida,
makrolida, linkosamida, dan asam fusidat.
2.3 Tanaman Binahong (Anredera cordifolia)
Tanaman binahong (Anredera cordifolia) merupakan tanaman tradisional
yang hidup merambat baik pada daerah tropis maupun sub-tropis, taksonomi
lengkap tanaman ini dapat dilihat pada Gambar 2.7 (Amertha, 2007).
Kingdom : Plantae
Order : Caryophyllales
Family : Basellaceae
Genus : Anredera
Species : Anredera cordifolia
Gambar 2.7
Tanaman Binahong (Anredera Cordifolia) dan taksonominya (Amertha, 2007).
Page 10
15
2.3.1 Penggunaan binahong (Anredera cordifolia) sebagai obat
Penggunaan binahong sebagai obat awalnya berkembang di negara Cina.
Seperti kebanyakan obat tradisional Cina lainnya, binahong (Anredera cordifolia)
memiliki sejarah panjang. Ramuan ini mulai populer sejak abad ke-16 pada masa
Kaisar Shi Zong dari dinasti Ming. Di kalangan pemakai obat tradisional Cina,
merek Pien Tze Huang (Anredera cordifolia) menjadi maskot, dan paling laris di
kalangan pasien bedah, termasuk para ibu yang baru menjalani operasi cesar
kehamilan. Kemampuannya bertahan dari generasi ke generasi setidaknya
menunjukkan bukti empiris keampuhannya. Memperhatikan keampuhannya, obat
ini menjadi semacam nama generik seperti minyak telon atau galian singset. Tak
mengherankan, di toko-toko obat Cina, Pien Tze Huang (Anredera cordifolia) bisa
didapati dalam aneka ragam produk (Sholekhudin, 2006). Bahkan keampuhan daun
binahong sudah dikenal saat perang Vietnam. Menurut beberapa sumber, tentara
Amerika pada saat itu keheranan sewaktu berperang dengan tentara Vietnam karena
saat bertempur keesokan harinya luka para tentara Vietnam sudah sembuh, ternyata
setelah diselidiki, luka tentara Vietnam tersebut diobati dengan daun binahong
(Anredera cordifolia) (Kobayasi, dkk., 1996 ; Lee, dkk., 2002).
Para dokter di Chinese University of Hongkong melaporkan Pien Tze Huang
(Anredera Cordifolia) terbukti memiliki aktivitas hepatoprotektor. Penelitian
serupa juga dilakukan oleh Himpunan Farmakologi Kesehatan Tradisional Cina.
Atas dasar penelitian itu, Zhang Zhou Pharmaceutical mengklaim obat ini bisa
mengatasi problem hepatitis, perlemakan hati, juga kerusakan liver akibat obat atau
alkohol. Kobayashi, dkk. juga melaporkan khasiat dari binahong (Anredera
Page 11
16
cordifolia) sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit hepatitis kronik (Kobayasi,
dkk., 1996 ; Lee, dkk., 2002). Binahong (Anredera cordifolia) dapat berperan untuk
memproteksi pengaruh karbon tetraklorida pada hati mencit coba (Kobayasi, dkk.,
1996). Bahkan tanaman obat ini juga dipercaya bisa menghambat perkembangan
kanker hati dan diyakini bisa memperpanjang harapan hidup penderita. Khasiat
lainnya, mempercepat penyembuhan luka akibat benda tajam dan benda tumpul.
Khasiat inilah yang paling sering dicari para ibu yang tak ingin berlama-lama tidur
di ranjang rumah sakit sesudah operasi cesar.
Di Bali, masyarakat telah banyak memanfaatkan daun binahong (Anredera
cordifolia) untuk pengobatan berbagai jenis penyakit seperti bisulan, batuk, pilek,
panas, dan luka. Sebagai contoh penggunaan daun binahong sebagai obat luka
terkena knalpot sepeda motor, dalam 2 hari luka tersebut sudah menampakkan
kesembuhan seperti ditunjukkan Gambar 2.8.
Gambar 2.8
Hasil Pengobatan Binahong pada Luka
Akibat Terkena Knalpot (Amertha, 2007)
Dilaporkan bahwa ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia) efektif
untuk menyembuhkan luka bakar pada anak ayam (Gambar 2.9). Bahkan dengan
efektivitas yang lebih baik dibandingkan dengan salah satu obat luka bakar yang
Page 12
17
sudah digunakan secara klinis (Amertha, 2007). Memperhatikan kandungan bahan
aktif dalam obat luka bakar klinis, umumnya memiliki peran ganda sebagai
stimulan dalam regenerasi sel dan sekaligus juga sebagai anti bakteri.
Gambar 2.9
Pengobatan Luka Bakar pada Anak Ayam (Amertha, 2007).
a. Dengan Ekstrak Daun Binahong
b. Dengan Obat Luka Bakar Klinis
(Setelah 48 jam Pasca Pengobatan)
Gambar 2.10
Hasil uji zona hambat ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia) terhadap
bakteri Staphylococcus aureus (A), Enteroccocus faecalis (B), Escherichia coli
(C), dan Pseudomonas aeruginosa (D) (Amertha, dkk., 2012).
A
C D
B
Page 13
18
Pada penelitian Amertha, dkk. 2012. ekstrak daun binahong (Anredera
cordifolia) ternyata tidak memiliki zona hambat terhadap bakteri, hal ini dapat
dilihat dari ukuran diameter zona bening di sekitar paper disc setelah 24 jam
diinkubasi, seperti pada Gambar 2.10. Hasil uji zona hambat ekstrak daun binahong
(Anredera cordifolia) terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Enteroccocus
faecalis, Escherichia coli, dan Pseudomonas aeruginosa dipaparkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil Uji Zona Hambat Ekstrak Daun Binahong (Anredera cordifolia)
Perlakuan
Diameter Zona Hambatan (mm)
Staphylococcus
aureus
Escherichia
coli
Enteroccocus
faecalis
Pseudomonas
aeruginosa
P.1 Amoxicillin 28 28 21 negatif
P.0 Aquades negatif negatif negatif negatif
P.2 (50 ppm) negatif negatif negatif negatif
P.3 (100 ppm) negatif negatif negatif negatif
P.4 (1000 ppm) negatif negatif negatif negatif
Zona hambat ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia) seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 2 dan Gambar 2.10 adalah negatif. Sehingga penelitian
diarahkan guna membuktikan manfaat daun binahong sebagai pemercepat
regenerasi sel pada proses penyembuhan luka.
2.3.2 Nilai farmakologis ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia)
Bioaktivitas tanaman sangat dipengaruhi oleh kandungan senyawa kimia
yang terdapat di dalamnya. Perbedaan kandungan senyawa kimia yang ada
menunjukkan perbedaan aktivitas farmakologisnya. Telah diketahui bahwa
kandungan fitokimia dan bioaktivitas daun binahong sebagai antihyperlipidemic,
analgesic, anticonvulsant, dan cytotoxic activities. Kandungan kimia daun
Page 14
19
binahong yang didapatkan adalah phytol, alpha-pinene dan 6,10,14-trimethyl
pentadecanone. Senyawa lain yang didapatkan adalah neophytadiene, methyl
hexadecanoate, methyl-9,12,15-octadecatrienoate, dan methyl-9,12-octadeca
dienoate, dan C-flavone-glycosides (Abou-Zeid, dkk., 2007).
1. Phytol merupakan prekursor vitamin E dan vitamin K yang penting bagi proses
hemostasis tubuh sehingga berperan penting di awal fase hemostatis
penyembuhan luka (Netscher, 2007; Daines, dkk., 2003).
2. C-flavone-glycosides merupakan golongan flavonoid yang memiliki manfaat
sebagai stimulan metabolisme melalui peningkatan cell signalling pathways,
yang berguna untuk menstimulasi sel sel dalam fase inflamasi dan fase
proliferasi penyembuhan luka. C-flavone-glycosides juga memiliki kandungan
anti oksidan, anti virus, anti kanker, dan anti alergi (Sally, 2014).
3. Saponin, atau yang sering disebut deterjen alam, yang merupakan larutan
berbuih dan diklasifikasikan oleh struktur aglykon kompleks ke dalam
triterpenoid dan steroid saponin. Saponin juga meningkatkan sistem kekebalan
tubuh, meningkatkan daya tahan, mengurangi kadar gula darah, dan mengurangi
penggumpalan darah. Saponin dapat menghambat kerja enzim proteolitik pada
sistem pencernaan manusia, serta memiliki molekul ampifatik (mengandung
bagian hidrofilik dan hidrofobik) yang dapat melarutkan protein membran.
Ujung hidrofobik saponin berikatan pada regio hidrofobik protein membran sel
dengan menggeser sebagian besar unsur lipid yang terikat, ujung hidrofilik
saponin merupakan ujung yang bebas dan akan membawa protein ke dalam
larutan sebagai kompleks saponin-protein, sehingga mengganggu
Page 15
20
perkembangan protozoa karena menyebabkan permukaan membran pecah, sel
lisis, dan mati (Sholekhudin, 2006).
4. Polifenol di dalam daun binahong juga menghasilkan komponen fenolik lainnya:
seperti tanin dan quinines. Kandungan tanin akan semakin tinggi pada daun
yang masih hijau dan semakin turun pada daun yang tua. Tanin sebagai polifenol
dan bagian dari senyawa fenolik kompleks tanaman berfungsi mengikat dan
mengendapkan protein sehingga memiliki fungsi antiseptik, dapat menciutkan
(astrigensia) dan mengeraskan dinding usus, sehingga dapat mengurangi keluar
masuknya cairan dalam usus, membantu proses metabolisme tubuh, sebagai
antidotum (keracunan alkaloid), sebagai reagen pendeteksi gelatin, alkaloid, dan
protein (Tshikalange, 2005).
Seluruh kandungan tersebut, memiliki peranan penting dalam fase
penyembuhan luka, dengan mekanisme kerja yang saling berkaitan satu sama lain.
2.4 Proses Penyembuhan Luka
Secara alami setiap mahluk hidup mempunyai kekuatan untuk
mempertahankan hidup mereka baik secara regenerasi ataupun menambah jaringan
penyusunnya.
Kulit merupakan organ terbesar pada tubuh manusia yang berperan sebagai
organ proteksi, reseptor sentuhan, fungsi regulasi untuk mengatur keseimbangan
cairan dan suhu tubuh, serta dapat memproduksi vitamin (vitamin D), dan
komponen sistem imun, seperti yang ditunjukan Gambar 2.11 (Harvey, 2005;
Schultz, dkk., 2005). Lapisan epidermis merupakan lapisan terluar kulit. Sel
Page 16
21
epidermis ini secara kontinu membelah. Pada permukaan kulit terluar ini terdapat
sel-sel epitel yang sudah mati yang mulanya terdapat pada dermis dan keluar akibat
tekanan sel yang tumbuh. Lapisan ini diperbaharui setiap 3-4 minggu.
Gambar 2.11
Anatomi Kulit (Schultz, dkk., 2005).
Sel-sel epitel ini mengandung keratin berupa protein fiber yang insolubel.
Keratin inilah yang mencegah kehilangan cairan tubuh dan juga mencegah invasi
patogen. Disamping keratin juga terdapat melanin yaitu pigmen warna kulit,
semakin banyak melanin maka warna kulitnya menjadi lebih gelap (Harvey, 2005;
Schultz, dkk., 2005). Dermis (corium) merupakan bagian terbesar kulit sebagai
penguat dan struktur. Lapisan atasnya terdiri dari sel-sel fibroblas yang mampu
memproduksi kolagen.
Kolagen ini merupakan jaringan konektif sebagai penguat dan pemberi
struktur kulit (Gambar 2.12). Pada dermis juga terdapat lapisan retikular yang
menciptakan terjadinya elastisitas dan fleksibilitas kulit. Disamping itu pada dermis
Page 17
22
ini juga terdapat; vena darah, lymph ducts, nerves, sebaceous kelenjar keringat, dan
akar bulu (Harvey, 2005; Schultz, dkk., 2005).
Subkutan adalah lapisan terdalam dari kulit atau sering juga disebut lapisan
hipodermis. Jaringan utama dari lapisan subkutan ini adalah jaringan adiposa, yang
berperan sebagai alas antara lapisan-lapisan kulit, otot, dan tulang. Jaringan adiposa
juga memberikan bentuk, dan insulator dalam mengatur suhu tubuh (Harvey, 2005;
Schultz, dkk., 2005).
Gambar 2.12
Struktur Molekul Kolagen (Schultz, dkk., 2005).
Proses kesembuhan luka dari saat perdarahan sampai sembuh dapat
dibagi menjadi 4 fase, yaitu fase hemostasis, fase inflamasi, fase proliferasi, dan
fase pematangan. Kesembuhan luka sangat bergantung pada kesehatan penderita.
Demikian juga mekanisme penyembuhan sangat bergantung pada penyebab dan
kondisi lukanya.
2.4.1 Fase hemostasis
Sesaat setelah terjadinya luka terjadi pelepasan mediator faktor pembekuan
PDGF (Platelet-derived growth factor) yang dapat membekukan darah
dan berperan dalam mengawali fase inflamasi.
Page 18
23
2.4.2 Fase inflamasi
Pada fase inflamasi terjadi peningkatan aliran darah ke daerah luka dengan
membawa fibrin untuk menutup pembuluh darah yang luka dan melindungi dari
infeksi oleh bakteri.
Terjadi pengerahan sel darah putih, monosit, dan makrofag yang berfungsi
untuk memfagosit mikroorganisme dan sisa sel yang mati. Proses yang berlangsung
pada fase ini mengakibatkan luka sedikit bengkak dan kemerahan yang berlangsung
kira-kira selama 4 hari, salah satu marker inflamasi yang terpenting adalah
interleukin 6 (IL-6) yang disekresikan oleh sel-T dan makrofag (Harvey, 2005;
Schultz, dkk., 2005).
2.4.3 Fase proliferasi
Fase ini berlangsung pada hari ke-5 sampai ke-20. Pada fase ini fibroblas
membentuk kolagen dan jaringan ikat. Di sini juga terjadi pembentukan kapiler
baru yang dimulai saat terjadi inflamasi. Tanda-tanda yang dapat diamati dengan
jelas pada fase ini adalah adanya warna merah (velvety) dan adanya jaringan
granulasi (Harvey, 2005; Schultz, dkk., 2005). Proses ini menandakan terjadinya
kesembuhan yang dimulai dari adanya pertumbuhan kapiler dan pertumbuhan
jaringan granula yang dimulai dari dasar luka. Proses granulasi berjalan seiring
dengan proses reepitelisasi. Sampai pada tahap akhir proses ini akan terjadi proses
epitelisasi pada permukaan luka. Luka akan berkembang menjadi keropeng yang
terdiri dari plasma dan prodeni yang bercampur dengan sel-sel mati. Pada fase ini
luka kelihatan seperti garis kuning yang menandakan sedang terjadi proses
Page 19
24
epitelisasi. Bila terdapat tanda nekrosis jaringan, menunjukkan terjadi proses
penyembuhan yang kurang baik.
Akibat infiltrasi sel-sel radang, netrofil, dan makrofag pada fase inflamasi,
terjadi stimulasi sekresi vascular endothelial growth factor (VEGF) yang berperan
penting dalam fase proliferasi. VEGF berperan terhadap proliferasi sel-sel endotil
yang berperan penting dalam proses angiogenesis. Setelah netrofil mengalami
apoptosis akibat sekresi VEGF, terjadi infiltrasi makrofag pada daerah luka untuk
memfagositosis netrofil yang telah mengalami apoptosis. VEGF juga
meningkatkan granulasi jaringan. Pada daerah yang terjadi granulasi, fibroblas dan
endotil perlahan-lahan mengalami apoptosis dan jaringan tersebut akan diisi oleh
kolagen.
Pada akhir fase proliferasi terbentuk jaringan granulasi yang komponen
utamanya adalah fibroblas, kolagen, dan pembuluh-pembuluh darah kecil baru.
Jaringan granulasi diperlukan dalam proses penyembuhan luka. Kolagen
merupakan komponen utama yang memperkuat dan menyokong jaringan
ekstraseluler. Kolagen terusun oleh asam amino, hidroksiprolin yang merupakan
biomarkernya (Kumar, dkk., 2006).
2.4.4 Fase pematangan
Fase ini juga disebut fase remodeling yang dapat berlangsung di atas 21 hari
sampai lebih dari 2 bulan bahkan beberapa tahun setelah awal terjadinya luka. Pada
fase ini ikatan kolagen mengawetkan jaringan bekas luka dan terjadi proses
Page 20
25
epitelisasi yang melapisi kulit. Terkadang muncul bekas luka Jar Scar (keloid) yang
berupa jaringan ikat kuat dan tidak elastis.
Kesembuhan luka merupakan proses yang kompleks dan dinamis,
pemulihan struktur sel dan lapisan jaringan yang mengalami kerusakan untuk
kembali mencapai kondisi yang normal. Kesembuhan luka dapat diamati dengan
observasi langsung, dengan melihat perbedaan warna permukaan luka tersebut: 1)
warna merah pada permukaan luka merupakan tanda kesembuhan yang baik karena
proses angiogenesis berjalan sempurna dengan tidak adanya infeksi
mikroorganisme atau gangguan lainnya; 2) warna kuning pada permukaan luka
adalah tanda-tanda terjadi gangguan drainase atau banyaknya protein plasma yang
ada di tempat tersebut; 3) warna hitam pada permukaan luka adalah tanda
kesembuhan tidak berjalan dengan baik karena di sana terjadi banyak kumpulan sel
yang mati serta adanya protein plasma yang kemungkinan juga terjadi infeksi.
2.5 Sitokin: Interleukin-6 (IL-6)
Sitokin adalah protein yang dapat larut yang dihasilkan oleh sel-sel tipe
haemopoietic dan non-haemopoietic, dan berfungsi penting dalam respon imun
baik innate maupun adaptive. Sitokin biasanya muncul dari hari ke-1 sampai hari
ke-4 dalam fase penyembuhan luka, perannya dalam sistem imun sebagai penanda
beberapa penyakit (imunologi, inflamasi, dan infeksi), sitokin juga berperan dalam
proses embrionisasi manusia (Roitt, 2005). Sitokin dimediasi oleh pengikatannya
dengan reseptor permukaan sel dan inisiasi tertentu dari kaskade beragam signal
intrasel yang menghasilkan beragam efek fungsi sel. Ini dapat mencakup
Page 21
26
upregulation dan/atau downregulation beberapa gen dan faktor transkripsinya,
sehingga menghasilkan sitokin lain atau peningkatan reseptor permukaan untuk
molekul-molekul lainnya atau menekan perannya dengan feedback inhibition
(Janeway, 1999).
Sitokin dikarakterisasi dengan memandang kelebihannya di mana dalam hal
ini sitokin dapat memiliki fungsi yang sama. Demikian juga, sitokin juga dapat
dipandang sebagai pleotropic yang bermakna sitokin mampu berperan dalam
bermacam-macam tipe sel yang berbeda. Generalisasi fungsi sitokin tidaklah
mungkin, namun demikian peran mereka masih dapat diperbandingkan,
memperhatikan hal ini maka sitokin dapat dikelompokkan menjadi: autokrin jika
berfungsi pada sel yang mengsekresikannya, parakrin jika perannya dibatasi hanya
pada sekresinya dan endokrin jika berdifusi ke sekitar lingkungannya (melalui
darah atau plasma) dan memediasi perannya pada jaringan yang berbeda (Roitt,
2005).
Sitokin diberi nama beragam, seperti: limfokin, interleukin, dan kemokin
berdasarkan pada fungsinya, sel pengsekresinya, dan targetnya. Istilah interleukin
sebenarnya digunakan oleh para peneliti untuk menandai sitokin yang targetnya
adalah leukosit. Istilah kemokin merujuk pada kelompok sitokin yang spesifik yang
dapat memediasi aksi-reaksi kimia (chemotaxis) antara sel-sel.
Namun demikian kesemuanya itu sudah tidak mengikat lagi, seperti istilah
interleukin dewasa ini banyak digunakan hampir untuk semua leukin yang baru
ditemukan, dan sama sekali tidak ada hubungan dengan fungsinya. Sebagai contoh,
Page 22
27
IL-8 (interleukin-8) yang sebenarnya adalah merupakan kemokin namun diberikan
nama interleukin (Roitt, 2005).
Interleukin-6 (IL-6) adalah sitokin proinflamasi yang biasanya didapatkan
pada jumlah yang sangat kecil, terkecuali saat terjadi infeksi, trauma, dan stress. Di
antara beberapa faktor yang mengekspresikan down-regulate IL-6 adalah estrogen
dan testosteron. Setelah menopause atau andropause, IL-6 menurun, walaupun
tidak terjadi infeksi, trauma maupun stress. IL-6 merupakan mediator potensial
proses inflamasi (William dan Evan, 2000).
2.6 VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor)
Vascular endothelial growth factor merupakan senyawa glikoprotein
proangiogenik homodimer dengan berat molekul 34-42 KD yang berperan dalam
meningkatkan proliferasi, migrasi, survival sel endotel dan meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah kapiler. VEGF diproduksi pada hari ke-5 pada fase
proliferasi penyembuhan luka sampai memasuki fase pematangan di hari ke-21.
VEGF dihasilkan oleh bebagai jenis sel yang berperan dalam proses kesembuhan
luka seperti sel sel endotel (Uchida dkk., 1994; Namiki dkk., 1995; Byrne, dkk.,
2005) fibroblast (Nissen dkk., 1998), sel-sel otot halus (Brogi dkk., 1994; Stavri
dkk., 1995), platelet (Banks dkk., 1998), netrofil (Gaudry dkk., 1997) dan makrofag
(Berse dkk., 1992). Dalam proses-proses molekuler, sel sel tubuh memerlukan
oksigen yang diperoleh melalui aliran darah, sehingga suplai oksigen untuk
kepentingan proses molekuler sangat ditentukan oleh kapiler-kapiler pembuluh
darah. (Carter, 2003; Grazul-Bilska dkk., 2003). Vascular endothelial growth factor
Page 23
28
atau VEGF adalah sinyal kunci yang digunakan oleh sel yang kekurangan oksigen
(oxygen-hungry cells) untuk memicu pertumbuhan pembuluh darah (Senger dkk.,
1983; Senger dkk., 1990). VEGF diperlukan untuk pertumbuhan dan pembelahan
sel endotel. VEGF juga bersifat kemotaktik terhadap monosit, dan berperan dalam
inflamasi dan tumor (Byrne, dkk., 2005).
2.6.1 Kelompok dan isoform VEGF
Perkembangan pembuluh darah adalah kebutuhan utama dalam
perkembangan dan diferensiasi organ selama proses penyembuhan luka. VEGF
pertama kali dideskripsikan sebagai protein yang mampu merangsang permeabilitas
vaskuler dan proliferasi sel endotel yang diidentifikasi sebagai perangsang utama
angiogenesis dan vaskulogenesis (Senger dkk., 1983; Senger dkk., 1990;
Yamagishi dkk., 1999; Byrne, dkk., 2005; Brkovic and Sirois, 2006). VEGF adalah
sebuah basa, 34-46 kDa homodimeric, heparin-binding glycoprotein dan gen
VEGF berada di kromosom 6p12. VEGF, yang juga disebut VEGF-A atau vascular
permeability factor(VPF), termasuk ke dalam keluarga supergene VEGF-platelet-
derived growth factor (PDGF). Anggota keluarga yang lain adalah VEGF-B,
VEGF-C, VEGF-D dan VEGF-E. Semua menunjukkan derajat yang bervariasi
homolog dengan VEGF.
Splicing alternatif gen VEGF menghasilkan empat asam amino isoform 121,
165, 189 dan 206 serta varian-varian lain yang lebih jarang. VEGF-165, adalah
bentuk dominan dan sebagian terkait dan disekresi oleh matriks (Keck dkk., 1989).
VEGF-189 dan VEGF-206 merupakan dasar, dengan afinitas tinggi terhadap
Page 24
29
heparin dan tetap terkucil dalam matriks ekstra-selular, terikat pada proteoglikan-
proteoglikan heparan sulfat.
VEGF-121 bersifat asam, tidak mengikat heparin dan disekresikan. Bentuk
matriks sekuester mungkin dilepaskan oleh kerja enzimatik, baik melalui kerja
heparinase atau melalui celah plasmin untuk melepaskan suatu fragmen yang
bersifat difusif (VEGF-165).
Kerja VEGF-165 terkait dengan aktivasi kaskade proteinase, termasuk yang
mengarah kepada pembentukan plasmin, sehingga pelepasan isoform VEGF yang
terikat matriks menimbulkan mekanisme amplifikasi (Ferrara and Hanzel, 1989;
Gospodarowicz dkk., 1989; Thomas 1996). Ekson beragam isoform VEGF dapat
dilihat pada Gambar 2.13.
Gambar 2.13
Ekson Beberapa Isoform VEGF (Byrne, dkk., 2005).
2.6.2 Regulasi ekspresi VEGF
Berbagai hormon, faktor pertumbuhan dan sitokin mengatur ekspresi
VEGF. Hormon-hormon berikut seperti Interleukin-6 (IL-6), PDGF, EGF, TGF,
prostaglandin E2, thyroid stimulating hormone (TSH) dan luteotrophic hormon
pada biakan sel dapat meningkatkan ekspresi mRNA VEGF. Selain itu nitric oxide
Page 25
30
dan produk-produk onkogen v-Has-ras/v-raf juga dilaporkan dapat merangsang
ekspresi VEGF. Sedangkan hipoksia diketahui memiliki rangsangan terkuat
terhadap ekspresi VEGF baik pada penelitian secara in vitro maupun in
vivo. Ekspresi gen VEGF diregulasi oleh suatu stimulasi pejamu, termasuk
estrogen, nitric oxide (NO) dan berbagai jenis faktor-faktor pertumbuhan seperti
fibroblast growth factor-4, PDGF, tumor necrosis factor alpha (TNF-α), epidermal
growth factor (EGF), transforming growth factor beta (TGF-β), keratinocyte
growth factor, interleukin (IL)-6, IL-1β dan insulin-like growth factor-1 (IGF-1)
(Ladin , 1998; Brem dkk., 2001).
Peran VEGF banyak pada angiogenesis tumor dan ekspresi VEGF
diregulasi oleh kejadian-kejadian genetik yang biasa terjadi pada transformasi
maligna, seperti hilangnya gen-gen supresor tumor (misalnya p53) dan aktivasi
onkogen seperti ras, v-src dan HER-2. Selebihnya ekspresi VEGF secara khusus
lebih sensitif terhadap tekanan oksigen dan sangat terpengaruh oleh hipoksia yang
menjadi karakter hampir semua tumor. Dengan VEGF, hipoksia juga menimbulkan
regulasi VEGFR-1 dan VEGFR-2 pada sel-sel endotelial.
Peningkatan ekspresi gen-gen VEGFR juga diinduksi oleh pengikatan
kepada VEGF itu sendiri, sehingga menimbulkan amplifikasi sinyal VEGF. TGF-
β, yang juga menimbulkan peningkatan VEGF, telah ditemukan menurunkan
regulasi kadar VEGFR mRNA pada sel-sel endotelial, sedangkan TNF-α
dilaporkan mempunyai efek positif dan negatif terhadap ekspresi VEGFR-2.
(Ladin, 1998; Brem, dkk., 2001; Brem, dkk., 2000).
Page 26
31
2.6.3 Reseptor VEGF
Reseptor transmembran merupakan sinyal kunci yang mengatur
pertumbuhan dan diferensiasi sel, juga regenerasi dan remodeling jaringan dewasa.
Sebagian besar dari reseptor tersebut adalah reseptor tyrosin kinase. VEGFFR-1
dan VEGFR-2 merupakan reseptor-reseptor yang mempunyai afinitas tinggi dari
VEGF. Reseptor tersebut merupakan suatu reseptor kelompok tirosin
kinase. Ligands VEGF mengantarkan efek angiogenik melalui ikatan yang
spesifik dengan VEGF reseptor (VEGFR). Ikatan tersebut mengakibatkan
perubahan konformasional pada reseptor berupa dimerisasi dan berlanjut dengan
sinyal transduksi melalui domain tirosin kinase. Ada 3 reseptor primer dan 2 buah
ko-reseptor yang akan mengikat VEGF dan keluarganya, yaitu VEGFR-1, VEGFR-
2, VEGFR-3 dan ko-reseptor Neuropilin-1 dan Neuropilin-2. Neuropilin tidak
mempunyai domain/area intraseluler dan diduga meningkatkan afinitas VEGF pada
reseptor primer (Soker, dkk., 1996; Byrne, dkk., 2005).
Reseptor transmembran VEGF dan ligannya meliputi : VEGFR-1 (Flt-1)
yang terdapat pada permukaan endotelial dari pembuluh darah yang sedang
berkembang (49-51), VEGFR-2 (KDR/Flk-1), and VEGFR-3 (Flt-4), neuropilin-1,
and neuropilin-2. Ekspresi reseptor VEGF pada sel endotel berbeda diantara 3 jenis
reseptor VEGFR-1, VEGFR-2 dan VEGF-3. VEGF-2 diekspresikan hampir pada
semua sel endotel, sedangkan VEGFR-1 dan VEGFR-3 hanya diekspresikan pada
pembuluh darah tertentu seperti disajikan pada Gambar 2.14 (Pajusola, dkk., 1992;
Galland, dkk., 1992; Byrne, dkk., 2005).
Page 27
32
Gambar 2.14
Reseptor dan Ligan VEGF (Byrne, dkk., 2005).
VEGFR-1 : adalah glikoprotein transmembran dengan Berat Molekul 180
kDa, dan dapat terdeteksi ekspresinya pada hampir semua sel endotel. VEGFR-1
berperan sebagi reseptor dari VEGF, PLGF dan VEGF-B.VEGFR-1 adalah sinyal
kunci untuk angiogenesis, terutama pada fase embriogenesis, tapi tidak banyak
berperan pada angiogenesis patologis, misalnya pada pertumbuhan tumor (Barleon,
dkk., 1994; Waltenberger, dkk., 1994; Malavaud, dkk., 1997). VEGFR-2
sebelumnya dinamakan KDR (kinase insert-domain containing receptor) flk-
1(fetal liver kinase-1), disandi oleh gen yang berlokasi pada region 4q11-q13,
sebuah protein berukuran 230 kDa.
Selama masa embrio, ekspresi mRNA VEGFR-2 terdistribusi pada kapiler,
pembuluh darah dan endokardium. VEGFR-2 meningkat ekspresinya dengan
rangsangan hipoksia, dan berperan utama pada regulasi permeabilitas vaskuler.
VEGFR-2 mengantarkan sinyal efek angiogenik (Malavaud, dkk., 1997; Barleon,
dkk., 1996; Wang dan Keiser, 1998; Katoh, dkk., 1995).
Page 28
33
VEGFR-3 : Protein VEGFR-3 (FLT4) mengikat VEGF-C dan VEGF-D.
VEGFR-3 merangsang limphangiogenesis dan hanya ditemukan pada sel endotel
saluran limfe dewasa. Didapatkan peran VEGFR-3 dalam menjaga integritas
vaskuler dengan memodulasi aktivitas VEGFR-2 (Pajusola, dkk., 1992; Galland,
dkk., 1992; Veikkola, dkk., 2001; Enholm, dkk., 2001).
2.6.4 Sintesis dan aktivitas biologis VEGF
Sintesis VEGF dipicu oleh berbagai faktor. Faktor perangsang utama adalah
hipoksia jaringan/sel, sedangkan faktor lainya adalah berbagai sitokin (PDGF,
EGF, IGF dan lain-lain), Cox-2 serta berbagai onkogen. Hipoksia akan
menyebabkan ekspresi HIF-1α, suatu faktor transkripsi, dan akan masuk dalam inti
sel. Selanjutkan terjadi ikatan dengan hipoksia respon element (HRE) dan terjadi
transkripsi gen VEGF. Kemudian terjadi sintesis m-RNA VEGF, terjadi translasi
dan diproduksi protein VEGF dan berakhir dengan disekresikannya VEGF. Di lain
pihak, dengan keadaan normal atau tidak adanya hipoksia maka akan terjadi supresi
transkripsi gen VEGF dan degradasi m-RNA serta protein yang diproduksinya.
2.6.5 VEGF dan angiogenesis
VEGF menstimulasi migrasi dan proliferasi sel endotel pada arteri, vena dan
kapiler serta merangsang angiogenesis baik in vitro ataupu in vivo. Demikian juga,
VEGF merangsang migrasi dari monosit dan makrofag yang mempunyai reseptor
VEGFR-1 di permukaannya. VEGF juga bersifat pro-survival factor yang
merangsang ekspresi protein antiapoptosis Bcl-2 dan A1 pada sel endotel manusia.
Page 29
34
VEGF juga menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler. Kerja VEGF
dimediasi melalui pengikatan kepada dua reseptor tirosin kinase yaitu VEGFR-1
(Flt-1) dan VEGFR-2 (KDR; bentuk murin-nya dikenal sebagai Flk-1). Reseptor-
reseptor tersebut diaktivasi oleh VEGF dengan mencetuskan fosforilasi berbagai
protein yang aktif dalam kaskade transduksi sinyal. Anggota lain dari keluarga
VEGF menunjukkan spesifisitas pengikatan reseptor yang berbeda, di mana VEGF-
B dan Placental Growth Factor (PlGF) hanya mengikat dan mengaktivasi VEGFR-
1, VEGF-C, dan VEGF-D mengikat reseptor ketiga, VEGFR-3 (Flt-4) dan
melakukan mediasi limfangiogenesis dan memperlihatkan beberapa aktivitas
terhadap VEGFR-2. VEGFR-1 dan 2 ditemukan pada permukaan sel-sel endotelial,
di mana mereka mengikat VEGF dengan afinitas tinggi.
Salah satu peran VEGF dalam proses kesembuhan luka adalah merangsang
angiogenesis. Angiogenesis dalam proses kesembuhan luka melibatkan beberapa
tahapan antara lain vasodilatasi, degradasi membrane, migrasi sel-sel endotelial dan
ploriferasi sel-sel endotelial. Setelah itu terjadi pembentukan pembuluh-pembuluh
kapiler diikuti oleh anastomosis dari kecambah kapiler-kapiler paralel dan akhirnya
terbentuk basement membran yang baru. VEGF memerankan beberapa peran
penting dalam proses-proses sesuai (Gambar 2.15)
Karakteristik unik dari VEGF adalah kemampuannya dalam meningkatkan
permeabilitas vaskuler (Ku dkk., 1993). Sebelum diketahui asam-asam aminonya,
VEGF dikenal sebagai vascular permeability factor (VPF). VEGF lebih potensial
dari histamin dalam menginduksi kebocoran vaskuler (Senger dkk., 1983; Senger
Page 30
35
dkk., 1990). VEGF terikat oleh reseptor KDR, perangsang nitric oxide synthase
(NOS) dan aktivitas cyclooxygenase (Ku, dkk., 1993; Van der Zee, dkk., 1997).
Vasodilatasi yang disertai dengan peregangan dapat meningkatkan
sensitivitas endotelial terhadap growth factors (Folkman, dkk., 1992). VEGF dapat
memicu faktor-faktor prokuagulan dalam sel-sel endotelial seperti Von Willebrand
Factor yang memediasi adesi dan agregasi dari platelet.
Gambar 2.15
Peran Potensial VEGF dalam Kesembuhan Luka (Bao, dkk., 2009).
Platelet itu sendiri mensintesis dan mengeluarkan VEGF, dengan demikian
akan terjadi peningkatan konsentrasi protein, aktivasi koagulasi dan akhirnya
menghasilkan trombin dan fibrin. VEGF memacu migrasi sel-sel endothelial pada
proses penyembuhan luka melalui dua mekanisme yaitu kemotaksis dan
vasodilatasi.
Pada fase awal dari angiogenesis migrasi sel-sel endothelial terjadi sebelum
terjadi pembelahan secara mitosis (Yoshida, dkk., 1996). Gambaran esensial dari
Page 31
36
penyembuhan luka secara normal adalah pembentukan jaringan granulasi seperti
jaringan fibrovaskuler yang mengandung fibroblast, kolagen dan pembuluh-
pembulu darah, yang merupakan respon penyembuhan. Komponen pembuluh darah
tergantung dari angiogenesis di mana pembuluh-pembuluh kapiler baru muncul
pada awal-awal hari ketiga setelah luka (Brem dkk., 1997). Pembuluh-pembuluh
kapiler yang muncul pada daerah luka mempunyai peran penting sebagai penyuplai
nutrisi dan sebagai mediator dari respon kesembuhan seperti mengeluarkan hasil
hasil metabolisme. Hambatan terhadap angiogenesis akan mengganggu
kesembuhan luka (Brem, dkk., 1997; McGrath, dkk., 1985; Brem, dkk., 1991).
2.6.6 VEGF dan penyembuhan luka
Pada proses penyembuhan luka, platelet yang teraktivasi melepaskan sitokin
termasuk VEGF. VEGF selanjutnya menarik neutrofil dan monosit yang
tersirkulasi ke bagian luka sebagai respon inflamasi normal. Di samping itu monosit
juga mensekresikan keratonosit dan sel endotel pada daerah luka dan berperan
dalam pembentukan kapiler baru. VEGF juga meningkatkan permeabilitas dengan
mempengaruhi protein ikatan endotel yang dapat meningkatkan pembentukan
jaringan granulasi. Reseptor yang diaktivasi oleh VEGF menghasilkan proliferasi
dan migrasi sel endotel. Demikian juga, hal ini menstimulasi angiogenesis
(pembentukan pembuluh darah baru di luar pembuluh darah lama). VEGF juga
berperan dalam vasculogenesis dengan memanfaatkan progenitor sel endotel dari
sumsum tulang untuk pembentukan sel endotel dari pembuluh darah baru.
Page 32
37
Akhirnya, VEGF menstimuli perisit untuk menutupi dan menstabilkan
vaskularisasi (Byrne, dkk., 2005).
2.6.7 Metode pemeriksaan VEGF
Pemeriksaan VEGF dilakukan dengan berbagai metode, dan hal ini kadang
menimbulkan kesulitan untuk mengevaluasi/membandingkan hasil dari berbagai
pemeriksaan tersebut. Macam pemeriksaan yang dilakukan adalah:
A. RT-PCR dan in-situ hybridisationuntuk evalausi ekspresi m-RNA VEGF
B. Intra-tumoral protein
C. Imunohistokimia
D. Western Blotting dan
E. ELISA
Pemeriksaan kadar VEGF pada plasma dan serum penderita mempunyai
keuntungan karena lebih mudah dilakukan, namun harus diperhatikan bahwa kadar
VEGF dalam sirkulasi dipengaruhi oleh VEGF yang disekresikan oleh platelet dan
lekosit akibat proses normal pembekuan. Masalah ini diatasi dengan pengambilan
sampel darah dan segera dilakukan sentrifugasi untuk pemisahan serum
penderita. Bao, dkk. 2009. mendapatkan nilai tengah (median) protein VEGF intra-
tumoral pada pasien kanker serviks adalah 180 pg/mg, sedangkan pada jaringan
normal 0 pg/mg. Besar lesi > 4 cm dibanding < 4m (1030 dibanding 118). Invasi
limfo-vaskuler dibanding tidak (568 dibanding 118) dan pasien dengan metastase
KGB dibanding tanpa metastase KGB (795,5 dibanding 121 pg/mg).
Sedangkan ekspresi VEGF berlebih didapatkan dari pemeriksaan imunohistokimia
Page 33
38
sebesar 10/20 (50%) pada kasus dengan metastase KGB, sedangkan tanpa
metastase KGB sebesar 16/84 dengan p = 0,002). Pemeriksaan yang dilakukan
dengan RT-PCR untuk menilai m-RNA, menyimpulkan VEGF-C upregulated 130
kali pada pasien kanker serviks dibanding pada serviks normal. Sensitivitas
pemeriksaan VEGF-C yang diartikan sebagai perbedaan konsentrasi yang dapat
dideteksi pada pengenceran bertingkat adalah 12,8 pg/ml. Kadar VEGF-C adalah
antara 54 - 647 pg/ml dan kadar rata ratanya adalah 170 pg/ml. Tidak didapatkan
interferensi dengan protein lain dalam serum yang dapat mempengaruhi spesifisitas
pemeriksaan VEGF-C (Bao, dkk., 2009).