10 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hakikat Hasil Belajar 2.1.1.1 Pengertian Hasil Belajar Hasil Belajar Siswa - Belajar dan mengajar merupakan konsep yang tidak bisa dipisahkan. Belajar merujuk pada apa yang harus dilakukan seseorang sebagai subyek dalam belajar. Sedangkan mengajar merujuk pada apa yang seharusnya dilakukan seseorang guru sebagai pengajar. Dua konsep belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru terpadu dalam satu kegiatan. Diantara keduanya itu terjadi interaksi dengan guru. Kemampuan yang dimiliki siswa dari proses belajar mengajar saja harus bisa mendapatkan hasil bisa juga melalui kreatifitas seseorang itu tanpa adanya intervensi orang lain sebagai pengajar. Oleh karena itu, hasil belajar yang dimaksud disini adalah kemampuan- kemampuan yang dimiliki seorang siswa setelah ia menerima perlakukan dari pengajar (guru), seperti yang dikemukakan oleh Sudjana. Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2004 : 22). Sedangkan menurut Horwart Kingsley dalam bukunya Sudjana membagi tiga macam hasil belajar mengajar : (1). Keterampilan dan kebiasaan, (2). Pengetahuan dan pengarahan, (3). Sikap dan cita-cita (Sudjana, 2004 : 22). Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan keterampilan, sikap dan keterampilan yang diperoleh siswa setelah ia menerima perlakuan yang diberikan oleh guru sehingga dapat mengkonstruksikan pengetahuan itu dalam kehidupan sehari-hari. 10
25
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Hasil Belajar
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Hakikat Hasil Belajar
2.1.1.1 Pengertian Hasil Belajar
Hasil Belajar Siswa - Belajar dan mengajar merupakan konsep
yang tidak bisa dipisahkan. Belajar merujuk pada apa yang harus
dilakukan seseorang sebagai subyek dalam belajar. Sedangkan mengajar
merujuk pada apa yang seharusnya dilakukan seseorang guru sebagai
pengajar. Dua konsep belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa dan
guru terpadu dalam satu kegiatan. Diantara keduanya itu terjadi interaksi
dengan guru. Kemampuan yang dimiliki siswa dari proses belajar
mengajar saja harus bisa mendapatkan hasil bisa juga melalui kreatifitas
seseorang itu tanpa adanya intervensi orang lain sebagai pengajar. Oleh
karena itu, hasil belajar yang dimaksud disini adalah kemampuan-
kemampuan yang dimiliki seorang siswa setelah ia menerima perlakukan
dari pengajar (guru), seperti yang dikemukakan oleh Sudjana. Hasil belajar
adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima
pengalaman belajarnya (Sudjana, 2004 : 22). Sedangkan menurut Horwart
Kingsley dalam bukunya Sudjana membagi tiga macam hasil belajar
mengajar : (1). Keterampilan dan kebiasaan, (2). Pengetahuan dan
pengarahan, (3). Sikap dan cita-cita (Sudjana, 2004 : 22). Dari pendapat di
atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan
keterampilan, sikap dan keterampilan yang diperoleh siswa setelah ia
menerima perlakuan yang diberikan oleh guru sehingga dapat
mengkonstruksikan pengetahuan itu dalam kehidupan sehari-hari.
10
11
2.1.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor
yakni faktor dari dalam diri siswa dan faktor dari luar diri siswa (Sudjana,
1989 : 39). Dari pendapat ini faktor yang dimaksud adalah faktor dalam
diri siswa perubahan kemampuan yang dimilikinya seperti yang
dikemukakan oleh Clark (1981 : 21) menyatakan bahwa hasil belajar siswa
di sekolah 70 % dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan 30 % dipengaruhi
oleh lingkungan. Demikian juga faktor dari luar diri siswa yakni
lingkungan yang paling dominan berupa kualitas pembelajaran (Sudjana,
2002 : 39). "Belajar adalah suatu perubahan perilaku, akibat interaksi
dengan lingkungannya" (Ali Muhammad, 204 : 14). Perubahan perilaku
dalam proses belajar terjadi akibat dari interaksi dengan lingkungan.
Interaksi biasanya berlangsung secara sengaja. Dengan demikian belajar
dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan dalam diri individu.
Sebaliknya apabila terjadi perubahan dalam diri individu maka belajar
tidak dikatakan berhasil. Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh kemampuan
siswa dan kualitas pengajaran. Kualitas pengajaran yang dimaksud adalah
profesional yang dimiliki oleh guru. Artinya kemampuan dasar guru baik
di bidang kognitif (intelektual), bidang sikap (afektif) dan bidang perilaku
(psikomotorik). Dari beberapa pendapat di atas, maka hasil belajar siswa
dipengaruhi oleh dua faktor dari dalam individu siswa berupa kemampuan
personal (internal) dan faktor dari luar diri siswa yakni lingkungan.
Dengan demikian hasil belajar adalah sesuatu yang dicapai atau diperoleh
siswa berkat adanya usaha atau fikiran yang mana hal tersebut dinyatakan
dalam bentuk penguasaan, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat
dalam berbagai aspek kehidupan sehingga nampak pada diri indivdu
penggunaan penilaian terhadap sikap, pengetahuan dan kecakapan dasar
yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan sehingga nampak pada diri
individu perubahan tingkah laku secara kuantitatif.
12
2.1.2 Konsep pengajaran Bahasa Indonesia dalam KTSP
Bahasa berperan sangat penting dalam berkomunikasi dalam
kehidupan yakni sebagai sarana menyampaikan dan memperoleh
informasi, penyesuaian terhadap lingkungan, saling berinteraksi serta
sebagai sarana hubungan sosial. Bahkan siswa komunikasi sangat penting
dalam kegiatan pembelajaran di sekolah maupun kegiatan di rumah.
Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia berbasis kompetensi tentulah harus
memberikan berbagai kecakapan bahasa, baik dalam mendengar,
berbicara, membaca, dan menulis. Unsur pertama yang perlu diperhatikan
dalam penyusunan pembelajaran adalah kompetensi dasar yang diuraikan.
Adapun standar kompetensi dalam pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas
V semester II yang disebutkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) antara lain sebagai berikut:
Mendengarkan : Memahami tentang suatu peritiwa dan cerita pendek
anak yang disampaikan secara lisan.
Berbicara : Mengungkapkan pikiran dan perasaan secara lisan
dalam diskusi dan bermain drama.
Membaca : memahami teks dengan membaca sekilas, membaca
memindai, dan membaca cerita anak.
Menulis : mengungkapkan pikiran, perasaan, informasi, dan fakta
secara tertulis dalam bentuk ringkasan, laporan, dan puisi
bebas.
Berdasarkan aspek keterampilan yang telah disebutkan dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) bahwa pembelajaran
Bahasa Indonesia kelas V meliputi empat keterampilan berbahasa dengan
kemampuan siswa dapat memahami sesuatu yang disampaikan secara
lisan, mengungkapkan pikiran dan perasaan secara lisan dalam diskusi,
memahami teks dalam keterampilan membaca serta dapat mengungkapkan
pikiran, perasaan, dan informasi secara tertulis.
13
2.1.3 Metode Bermain Peran
2.1.3.1 Pengertian Metode
Dalam suatu proses pembelajaran, agar guru dapat membantu siswa
memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berfikir, dan
mengekspresikan dirinya, guru perlu menyusun suatu rencana mengajar
yang memfasilitasi terjadinya konsep perubahan pada siswa. Perwujudan
rencana pengajaran dapat diungkapkan dalam bentuk metode
pembelajaran.
Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia, model dapat diartikan
sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman melakukan
kegiatan. Sedangkan menurut Sagala (2003: 175), metode pembelajaran
dapat dipahami sebagai kerangka konseptual yang mendeskripsikan dan
melukiskan prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar dan pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu, dan
berfungsi, sebagai pedoman bagi perencanaan pengajaran bagi para guru
dalam melaksanakan aktivitas pembelajaran.
Metode pembelajaran perlu dipahami guru agar dapat
melaksanakan pembelajaran secara efektif dalam meningkatkan hasil
pembelajaran. Dalam penerapannya, metode pembelajaran harus dilakukan
sesuai dengan kebutuhan siswa karena masing-masing metode
pembelajaran memiliki tujuan, prinsip, dan tekanan utama yang berbeda-
beda (Aunnurahman,2010).
Jadi, berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan
bahwa metode pembelajaran adalah suatu pola yang mendeskripsikan
urutan prosedur dalam mengorganisasikan pembelajaran yang digunakan
sebagai pedoman atau petunjuk oleh guru dalam melaksanakan aktivitas
pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Salah satu yang membedakan metode pembelajaran yang satu
dengan yang lain adalah tingkah laku mengajar (sintaks) yang digunakan
14
masing-masing metode pembelajaran. Sintaks inilah yang menjadi ciri
khas dari suatu metode pembelajaran. Masing-masing metode
pembelajaran memiliki sintaks yang berbeda-beda meskipun memiliki
tujuan pembelajaran yang sama.
2.1.3.2 Metode Bermain Peran
Menurut Andang (2006: 50) bermain khayal atau bermain peran
termasuk salah satu jenis bermain aktif. Permainan ini juga disebut
permainan drama, sebab merupakan kegiatan yang dilakukan dengan
berpura-pura. Menurut Hamalik (2003: 214) bermain peran merupakan
penerapan pengajaran berdasarkan pengalaman karena siswa dapat
bertindak dan mengekspresikan perasaan dan pendapat tanpa kekhawatiran
mendapat sanksi.
Kenneth (1986) dalam artikel yang ditulis Ratri sumber peran
(role) bisa diartikan sebagai cara seseorang berperilaku dalam posisi dan
situasi tertentu. Bermain peran sebagai suatu metode mengajar merupakan
tindakan yang dilakukan secara sadar dan diskusi tentang peran dalam
kelompok. Di dalam kelas, suatu masalah diperagakan secara singkat
sehingga murid-murid bisa mengenali tokohnya.
Metode pembelajaran bermain peran ini merupakan metode
pembelajaran yang menjadi wahana siswa untuk meningkatkan kecerdasan
linguistiknya . Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan
bahwa metode bermain peran adalah suatu metode mengajar berdasarkan
pengalaman karena siswa dapat bertindak dan mengekspresikan perasaan
dan pendapat dengan memperagakannya.
15
2.1.3.3 Tahapan Pelaksanaan Metode Bermain Peran
Menurut Sharfel dan Shaftel (1967) yang dibahas kembali oleh
Sumantri dan Permana mengemukakan sembilan tahap bermain peran
yang dapat dijadikan pedoman pembelajaran:
1. Menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik, dapat
dilakukan dengan mengidentifikasi masalah, menjelaskan masalah,
menafsirkan cerita dan mengeksplorasi isu-isu, serta menjelaskan
peran yang akan dimainkan. Masalah dapat diangkat dari kehidupan
perserta didik, agar dapat merasakan masalah itu hadir dihadapan
mereka, dan memiliki hasrat untuk mengetahui bagaimana masalah
yang hangat dan actual, langsung menyangkut kehidupan peserta
didik, menarik, dan merangsang rasa ingin tahu peserta didik, serta
memungkinkan berbagai alternatif pemecahan. Tahap ini lebih banyak
dimaksudkan untuk memotivasi peserta didik agar tertarik pada
masalah. Oleh karena itu, tahap ini sangat penting dalam bermaian
peran dan paling menentukan keberhasilan. Beramain peran akan
berhasil apabila peserta didik menaruh minat dan memperhatikan
masalah yang diajukan guru.
2. Memilih partisipan/peran, tahap ini peserta didik dan guru
mendeskripsikan berbagai watak atau karakter, apa yang mereka suka,
bagaimana mereka merasakan, dan apa yang harus mereka kerjakan,
kemudian para peserta didik diberi kesempatan secara sukarela untuk
menjadi pemeran. Jika para peserta didik tidak menyambut tawaran
tersebut, dan guru dapat menunjukkan salah seseorang peserta didik
yang pantas dan mampu memerankan posisi tertentu.
3. Menyusun tahap-tahap peran, pada tahap ini para pemeran menyusun
garis-garis besar adegan yang akan dimainkan. Dalam hal ini, tidak
perlu ada dialog khusus karena para peserta didik dituntut untuk
16
bertindak dan berbicara secara spontan. Guru membantu peserta didik
menyiapkan adegan-adegan dengan mengajukan pertanyaan, misalnya
di mana pemeranan dilakukan, apakah tempat sudah dipersiapkan, dan
sebagainya. Persiapan ini penting untuk mencipatakan suasana yang
menyenangkan bagi seluruh peserta didik, dan mereka siap untuk
memainkannya.
4. Menyiapkan pengamatan, sebaiknya pengamat dipersiapkan secara
matang dan terlibat dalam cerita yang akan dimainkan agar semua
peserta didik turut mengalami dan menghayati peran yang dimainkan
dan aktif mendiskusikannya. Menurut Sharfel dan Shafel (1967), agar
pengamat turut terlibat, mereka perlu diberi tugas. Misalnya menilai
apakah peran yang dimainkan sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya? Bagaimana keefektifan perilaku yang ditunjukkan
pemeran? Apakah dapat mengahayati peran yang dimainkan?
5. Pemeranan, pada tahap ini para peserta didik mulai beraksi secara
spontan, sesuai dengan peran masing-masing. Mereka berusaha
memainkan setiap peran seperti benar-benar dialaminya. Mungkin
proses bermain peran tidak berjalan mulus karena para peserta didik
ragu dengan apa yang harus dikatakan akan ditunjukkan. Sharfel dan
Shafel (1967) mengemukakan bahwa pemeranan cukup dilakukan
secara singkat, sesuai tingkat kesulitan dan kompleksitas masalah
yang diperankan serta jumlah peserta didik yang dilibatkan, tak perlu
memakan waktu yang terlalu lama. Pemeranan dapat berhenti apabila
para peserta didik telah merasa cukup, dan apa yang seharusnya
mereka perankan telah dicoba lakukan. Adakalanya para peserta didik
keasyikkan bermain peran sehingga tanpa disadarai telah memakan
waktu yang terlampau lama. Dalam hal ini guru perlu menilai kapan
bermain peran dihentikan. Sebaliknya pemeranan dihentikan pada saat
17
terjadinya pertentangan agar memancing permasalahan untuk
didikusikan.
6. Diskusi dan evaluasi, diskusi akan mudah jika pemeran dan pengamat
telah terlibat dalam bermain peran, baik secara emosional maupun
secara intelektual. Dengan melontarkan sebuah pertanyaan, para
peserta didik akan segera terpancing untuk diskusi. Diskusi mungkin
dimulai dengan tafsirkan mengenai baik tidaknya peran yang
dimainkan selanjutnya mengarah pada analisis terhadap peran yang
ditampilkan, apakah cukup tepat untuk memecahkan masalah yang
sedang dihadapi.
7. Pemeranan ulang, dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dan diskusi
mengenai alternative pemeranan. Mungkin ada perubahan peran watak
yang dituntut. Perubahan ini memungkinkan adanya perkembangan
baru dalam upaya pemecahan masalah. Setiap perubahan peran akan
mempengaruhi peran lainnya.
8. Diskusi dan evaluasi tahap dua, diskusi dan evaluasi pada tahap ini
sama seperti pada tahap enam, hanya dimaksudkan untuk
menganalisis hasil pemeranan ulang dan pemecahan masalah pada
tahap ini mungkin sudah lebih jelas. Para peserta didik menyetujui
cara tertentu untuk memecahkan masalah, meskipun dimungkinkan
adanya peserta didik yang belum menyetujuinya. Kesepakatan bulat
tidak perlu dicapai karena tidak ada cara yang pasti dalam menghadapi
masalah kehidupan.
9. Mengambil pengalaman dan mengambil kesimpulan, tahap ini tidak
harus menghasilkan generalisasi secara langsung karena tujuan utama
bermain peran ialah membantu para peserta didik untuk memperoleh
pengalaman berharga dalam hidupnya melalui kegiatan interaksional
dengan temannya. Mereka bercermin pada orang lain untuk lebih
memahami dirinya. Hal ini mengandung implikasi bahwa yang paling
18
penting dalam bermain peran ialah terjadinya saling tukar
pengalaman. Proses ini mewarnai seluruh kegiatan bermain peran,
yang ditegaskan lagi pada tahap akhir. Pada tahap ini para peserta
didik saling mengemukakan hidupnya dalam berhadapan dengan
orang tua, guru, teman, dan sebagainya. Semua pengalaman peserta
didik dapat diungkap atau muncul secara spontan.
2.1.4 Hakikat Kecerdasan
2.1.4.1 Pengertian Kecerdasan
Kecerdasan (inteligensi) secara umum dipahami pada dua tingkat yakni :
1) Kecerdasan sebagai suatu kemampuan untuk memahami informasi
yang membentuk pengetahuan dan kesadaran.
2) Kecerdasan kemampuan untuk memproses informasi sehingga
masalah-masalah yang kita hadapi dapat di pecahkan (problem solved)
dan dengan demikian pengetahuanpun bertambah.
Gardner dalam Campell, dkk (2002: 2) mengemukakan bahwa
kecerdasan adalah “bahasa-bahasa yang dibicarakan oleh semua orang dan
sebagian dipengaruhi oleh kebudayaan dimana ia dilahirkan. Merupakan
alat untuk belajar, menyelesaikan masalah, dan menciptakan semua hal
yang bisa digunakan manusia”.
Sedangkan menurut Kartono (1995: 1) dalam Putranti (2007: 1)
kecerdasan merupakan “salah satu aspek yang penting, dan sangat
menentukan berhasil tidaknya studi seseorang. Kalau seorang murid
mempunyai tingkat kecerdasan normal atau di atas normal maka secara
potensi ia dapat mencapai prestasi yang tinggi.”
Kecerdasan mempunyai arti yang berbeda-beda, tapi pada umumya
kecerdasan mempunyai peran yang penting bagi seseorang. Terutama
dalam kehidupan sesorang, baik dalam memperoleh informasi, dalam
memecahkan masalah yang dihadapi, dan terkait dengan bahasa yang
19
sangat berpengaruh terhadap suatu kebudayaan. Selain itu merupakan
salah satu yang dapat menentukan berhasil tidaknya studi seseorang.
Bawasannya setiap orang mempunyai kecerdasan dan itu berbeda-beda
dan tergantung orang itu mengembangkan kecerdasannya. Oleh sebab itu,
melalui pembelajaran berbasis kecerdasan linguistik dalam penelitian
tindakan kelas ini diharapkan dapat mengembangkan kecerdasan linguistik
siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Dari beberapa pendapat yang diuraikan di atas dapat disimpulkan
bahwa kecerdasan adalah kemampuan berfikir dan bertindak secara terarah
untuk memproses informasi, memecahkan masalah, menciptakan sesuatu,
yang membentuk pengetahuan yang bernilai dan dapat digunakan oleh
manusia.
2.1.4.2 Jenis-jenis kecerdasan
Ada delapan jenis-jenis kecerdasan yang dikemukakan oleh
Gardner dalam Amstrong (2004: 2-4). Jenis-jenis kecerdasan majemuk
tersebut antara lain: Kecerdasan linguistik adalah kemampuan untuk
menggunakan kata secara efektif, baik secara lisan maupun tertulis,
kecerdasan logis-matematis adalah kemampuan menggunakan angka
dengan baik dan melakukan penalaran yang benar, kecerdasan spasial
adalah kemampuan mempersepsi dunia spasial-visual secara akurat dan
mentransformasikan persepsi dunia spasial-visual tersebut, kecerdasan
kinestetis-jasmani adalah keahlian menggunakan seluruh tubuh untuk
mengekspresikan ide dan perasaan dan keterampilan menggunakan tangan
untuk menciptakan atau mengubah sesuatu, kecerdasan musical adalah
kemampuan menangani bentuk-bentuk musikal, dengan cara mempersepsi,
mengubah, dan mengekpresikan, kecerdasan interpersonal adalah
kemampuan mempersepsi dan membedakan suasana hati, maksud,
motivasi, serta perasaan orang lain, kecerdasan intrapersonal adalah
20
kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman
tersebut, kecerdasan naturalis merupakan keahlian mengenali dan
mengategorikan spesies flora dan fauna di lingkungan sekitar.
Gardner dalam Armstrong (2004: 250) juga mengungkapkan
kemungkinan adanya kecerdasan yang kesembilan yaitu kecerdasan
eksistensial. Gardner mendefinisikan kecerdasan eksistensial sebagai
minat pada masalah-masalah pokok dalam kehidupan.
Ngermanto (2003) dalam Putranti (2007: 3) menjelaskan bahwa
kecerdasan dapat dikembangkan berdasarkan pengelompokkan IQ
(intelligence quentiont), EQ (emotional quetiont), dan SQ (spiritual
quetion) lainnya sebagai berikut: Untuk mengembangkan IQ perlu
percepatan pembelajaran accelerated learning) yaitu belajar bagaimana
belajar (learn how to learn) termasuk dalam kategori ini adalah belajar
cara menbaca cepat dan paham, penghafal cepat, mencatat efektif, serta
berhitung cepat. Untuk mengembangkan EQ ada dua langkah :
1.menyadari dan menyakini bahwa emosi itu benar-benar ada dan
riil.mengelola emosi menjadi kekuatan untuk mencapai prestasi terbaik.
Ada dua macam emosi 1. Emosi positif semangat, gembira dan bahagia.2.
Emosi negatif; mabuk karena frustasi. Untuk mengembangkan emosi SQ:
mengenalkan benda alam dihalaman rumah (serangga, burung, tanaman)
meminta anak untuk menceritakan apa yang diketahui tentang alam,
membuat catatan dari tanyangan di TV yang berkaitan dengan flora dan
fauna dan sebagainya. Pengembangan Q lainnya (Musik: menbaca atau
ucapan dalam musik dan kemudian dilanjutkan dengan pemanasan untuk
menyanyi bahkan membaca not musik dan bila dibutuhkan mengikuti
kursus dan Body: mengelola konflik, belajar melayani, menghargai
perbedaan, mengasihi diri sendiri yang didalamnya perlu menolong siswa
untuk membangun dan menetapkan tujuan melalui survei minat siswa, apa
yang menjadi cita-cita dan motivasi berprestasi).
21
Berdasarkan jenis-jenis kecerdasan yang di kemukakan oleh
Gardner dalam Armstrong (2004: 250) dan Ngermanto dalam Putranti
(2003: 3), dapat disimpulkan bahwa adanya kesamaan jenis-jenis
kecerdasan manusia yang telah dikemukakan keduanya. Ini dapat dilihat
bahwa kecerdasan linguistik dan kecerdasan logis-matematis masuk dalam
kelompok kecerdasan IQ, kecerdasan eksistensial masuk dalam kecerdasan
EQ, kecerdasan spasial, kinestetis-jasmani dan kecerdasan naturalis masuk
dalam kecerdasan SQ. Sedangkan kecerdasan musikal, kecerdasan
intrapersonal dan kecerdasan interpersonal masuk dalam kecerdasan Q
lainnya. Sehingga dapat ditarik kesimpulan lagi, teori kecerdasan yang
dikemukakan oleh Gardner lebih spesifik bila dibandingkan dengan
kecerdasan yang dikemukakan oleh Ngermanto. Ngermanto
mengelompokan beberapa kecerdasan dalam kelompok-kelompok tertentu.
Dalam Penelitian Tindakan Kelas ini peneliti akan mengembangkan
keterampilan kecerdasan lingusitik yang telah ada pada siswa melalui
kegiatan pembelajaran melalui strategi dalam mengembangkan
keterampilan dalam aspek berbahasa.
2.1.5 Hakikat Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Linguistik
2.1.5.1 Pengertian Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Linguistik
Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar komunikasi. Oleh
karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan
kemampuan pembelajaran dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis
Depdikbud (1995) dalam Utami (2009: 5). Hal ini bahwa kompetensi
pembelajaran bahasa diarahkan ke dalam empat aspek, yaitu membaca,
berbicara, menyimak, dan mendengarkan.
Degeng (1997: 47) dalam Utami (2009: 5) menyatakan pembelajaran
merupakan “upaya membelajarkan siswa”.
22
Carey (1986: 7) dalam Utami (2009: 5) menyatakan “pembelajaran adalah
suatu proses dimana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola
memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-
kondisi khusus/dihasilkan respon terhadap situasi tertentu”.
Hamalik (1995: 78) dalam Utami (2009: 5) menyatakan bahwa
pembelajaran merupakan “proses komunikatif-interaktif antara sumber
belajar, guru, dan siswa yaitu saling bertukar informasi dalam suatu
kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material,
fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai
tujuan pembelajaran”.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran merupakan suatu proses mengatur lingkungan agar terjadi
interaksi antara siswa dan media belajar. Dimana suatu lingkungan yang
dapat membentuk dan memancing respon siswa terhadap suatu kegiatan
pembelajaran, sehingga siswa dapat memperoleh informasi melalui
interaksinya.
Menurut Campbell, dkk (2002: 2) menyatakan bahwa kecerdasan
linguistik adalah kemampuan untuk berpikir dalam bentuk kata-kata dan
menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dan menghargai makna yang
kompleks.
Menurut English (2005: 24) menyatakan bahwa kecerdasan linguistik
adalah kemampuan untuk menggunakan inti operasional bahasa dengan
jelas.
Menurut Suparno (2004: 26) menyatakan bahwa kecerdasan linguistik
adalah kemampuan untuk menggunakan dan mengolah kata-kata secara
efektif baik secara oral maupun tertulis.
Menurut Julia (2007: 16) menyatakan bahwa kecerdasan linguistik
merupakan kecerdasan yang diwujudkan dalam kata-kata baik secara
tertulis maupun lisan.
23
Kecerdasan linguistik berkaitan dengan kemampuan penggunaan
bahasa secara umum. Jadi berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan
diatas maka kecerdasan linguisik merupakan kemampuan untuk
menggunakan kata secara efektif, baik secara lisan maupun tertulis dengan
menggunakan inti operasional bahasa dengan jelas untuk mengekspresikan
dan menghargai makna yang kompleks..
Menurut Gardner dalam Campbell, ddk (2002 : 12) mengemukakan
kecerdasan linguistik ini meliputi yaitu: Kemampuan mendengar dan
merespon setiap suara, ritme, dan berbagai ungkapan kata. Menirukan
suara, bahasa, membaca, menulis, dan diskusi. Belajar melalui menyimak,
membaca, menulis, dan diskusi. Menyimak secara efektif, memahami,
menguraikan, menafsirkan, dan mengingat apa yang telah dibaca.
Membaca secara efektif, memahami, menguraikan, meringkas,
menafsirkan atau menerangkan, dan mengingat apa yang telah dibaca.
Berbicara secara efektif kepada berbagai pendengar, berbagai tujuan, dan
mengetahui cara berbicara secara sederhana, fasih, persuasive, atau
bergairah pada waktu-waktu yang tepat. Menulis secara efektif, memahami
dan menerapkan aturan-aturan tata bahasa, ejaan, tanda baca, dan
menggunakan kosakata yang efektif. Memperlihatkan kemampuan untuk
mempelajari bahasa lainnya. Menggunakan keterampilan menyimak,
berbicara, menulis, dan membaca untuk mengingat, berkomunikasi,
berdiskusi, menjelaskan, mempengaruhi, menciptakan pengetahuan,
menyusun makna, dan menggambarkan bahasa itu sendiri. Berusaha untuk
mengingat pemakaian bahasanya sendiri. Menunjukan minat dalam
jurnalisme, puisi, bercerita, debat, berbicara, menulis atau menyunting.
Menciptakan bentuk-bentuk bahasa baru atau karya tulis orisinil atau
komunikasi oral.
Dari uraian di atas maka pembelajaran berbasis kecerdasan
linguistik adalah suatu proses mengatur lingkungan agar terjadi interaksi
24
antara guru, siswa dan media belajar dalam kemampuan menggunakan
kata secara efektif, baik secara lisan maupun tertulis. Artinya dalam proses
pembelajaran siswa ditekankan bagaimana siswa menggunakan kata secara
efektif baik secara lisan maupun tertulis dalam keterampilan berbahasa
Indonesia melalui interaksi siswa dengan materi pelajaran.