Page 1
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
Kajian teori ini merupakan uraian dari pendapat beberapa ahli yang
mendukung penelitian. Dari beberapa teori para ahli tersebut mengkaji objek
yang sama yang mempunyai pandangan dan pendapat yang berbeda-beda.
Pembahasan kajian teori dalam penelitian ini berisi tentang model
pembelajaran SAVI dan metode Role Playing mengenai proses belajar dan
hasil belajar keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia.
2.1.1 Hakikat Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia ialah salah satu bahasa yang terpenting di kawasan
republik Indonesia. Pentingnya peranan bahasa antara lain bersumber pada
ikrar ketiga Sumpah Pemuda 928 yang berbunyi: “Kami poetera dan poeteri
Indonesia mendjoenjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia” dan pada
Undang-Undang Dasar 1945 yang di dalamnya tercantum pasal khusus yang
menyatakan bahwa “bahasa Negara ialah bahasa Indonesia”. Namun, di
samping itu masih ada beberapa alasan lain mengapa bahasa Indonesia
menduduki tempat yang terkemuka di antara beratus-ratus bahasa Nusantara
yang memang masing-masing amat penting bagi penuturnya sebagai bahasa
ibu.
Penting tidaknya suatu bahasa dapat juga didasari pada patokan seperti
jumlah penuturnya, luas penyebaran, dan peranannya sebagai sarana ilmu, seni
sastra, dan bahkan pengungkap budaya.
Jika dalam menggunakan patokan yang pertama, yakni jumlah
penuturnya, maka bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, jumlah penuturnya
mungkin tidak sebanyak bahasa Jawa atau Sunda. Akan tetapi, jika pada
jumlah itu ditambahkan penutur dwibahasawan yang menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pertama atau bahasa kedua, kedudukannya dalam
Page 2
13
deretan jumlah penutur berbagai bahasa di Indonesia ada di peringkat pertama.
Lagi pula, hendaknya disadari bahwa jumlah penutur asli bahasa Indonesia
lambat-laun akan bertambah. Pertambahan itu disebabkan oleh berbagai hal.
Pertama, arus pindah ke kota besar, seperti Jakarta, yang merupakan
pumpunan pendatang yang berbeda-beda bahasa ibunya, menciptakan
keperluan akan alat perhubungan bersama. Jika orang itu menetap, anak-
anaknya tidak jarang akan dibesarkan dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pertamanya. Kedua, perkawinan antarsuku sering mendorong orang tua untuk
berbahasa Indonesia dengan anaknya. Hal itu terjadi jika kedua bahasa daerah
yang digunakan banyak perbedaannya. Ketiga, yang bertalian dengan patokan
kedua di atas, generasi muda golongan warga Negara yang berketurunan asing
ada yang tidak lagi merasa perlu menguasai bahasa leluhurnya. Anaknya akan
di didik dengan bahasa Indonesia atau bahasa daerah yang dipakai
dilingkungannya. Keempat, orang tua masa kini, yang sama atau berbeda latar
budayanya, ada yang mengambil keputusan untuk menjadikan anaknya
penutur asli bahasa Indonesia.
Patokan yang kedua, yakni luas persebaran, jelas menempatkan bahasa
Indonesia di baris depan. Sebagai bahasa setempat, bahasa itu dipakai orang di
daerah pantai timur Sumatera, di Kepulauan Riau dan Bangka, serta di daerah
pantai Kalimantan. Sebagai bahasa kedua, pemencarannya dapat disaksikan
dari ujung barat sampai ke ujung timur dan dari puncuk utara sampai ke batas
selatan negeri kita.
Patokan yang ketiga, yakni peranannya sebagai sarana ilmu, seni sastra,
dan pengungkap budaya, menunjukkan bahwa bahasa sebagai penyampaian
ilmu pengetahuan serta media untuk pengungkapan seni sastra dan budaya
bagi semua warga Indonesia dengan latar belakang budaya serta bahasa daerah
yang berbeda-beda. Uraian di atas memberikan gambaran betapa pentingnya
bahasa Indonesia bagi kita.
Berdasarkan ketiga patokan tersebut, bahasa Indonesia mempunyai
peranan dan kedudukannya yang penting itu sekali-kali bukan karena mutunya
sebagai bahasa, bukan karena besar kecilnya jumlah kosakatanya atau
Page 3
14
keluwesan dalam tata kalimatnya, dan bukan pula karena kemampuan daya
ungkapnya, melainkan karena bahasa Indonesia itu sendiri memiliki fungsi
sebagai perantara orang yang latar budayanya berbeda serta sebagai tolok ukur
dalam dialek berbahasa.
Bertolak dari pendapat H. Alwi, dkk, (2010:1-3) dari sajian di atas.
Maka, dapat disimpulkan bahwa bahasa juga merupakan salah satu alat
komunikasi dan wadah yang tepat untuk menghubungkan dan menjembatani
seluruh makhluk hidup yang ada di muka bumi ini. Tanpa bahasa, orang lain
tidak dapat mengetahui makna serta maksud yang akan di utarakan kepada
pendengarnya. Selain itu, bahasa juga merupakan lambang bunyi ujaran yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia antara satu anggota masyarakat ke
masyarakat lain.
2.1.2 Hakikat Keterampilan Berbicara
Keterampilan berbicara adalah tingkah laku manusia yang paling
distingif dan berati (D. Tarigan, 1992:146). Tingkah laku ini harus dipelajari,
baru dapat dikuasai. Anak-anak usia Sekolah Dasar harus belajar dari
manusia sekitarnya, anggota keluarga, teman sepermainan, teman satu
sekolah dan guru di sekolahnya. Semua pihak turut membantu anak belajar
keterampilan berbicara.
Tarigan (2008: 3) menyatakan bahwa “berbicara adalah suatu
keterampilan berbahasa yang berkembang pada kehidupan anak, yang hanya
didahului oleh keterampilan menyimak.” Menurut Nunan (2011:
48) “Speaking is a productive aural/oral skill and it consists of producing
systematic verbal utterances to convey meaning”.Berbicara merupakan
kemampuan memproduksi ujaran secara lisan dan sistematis untuk
menyatakan suatu maksud tertentu.
Hal ini mengisyaratkan bahwa keterampilan berbicara dilakukan secara
sistematis, runtut, dan terpola. Pembicaraan ini sendiri bertujuan untuk
menyampaikan sesuatu kepada orang lain.
Page 4
15
Lazaraton (2001 :104) menyatakan bahwa keterampilan berbahasa
sangat berpengaruh dalam keterampilan berbicara, keterampilan berbahasa
yang dimaksud yaitu memiliki keempat aspek seperti:(1) keterampilan
menyimak, (2) keterampilan berbicara, (3) keterampilan membaca, dan (4)
keterampilan menulis.
Hal ini menunjukkan bahwa seseorang dikatakan terampil berbicara jika
setidaknya memiliki empat kompetensi, yakni gramatikal, sosiolinguistik,
analisis wacana, dan strategi. Oleh karena itu, faktor penguasaan terhadap
bahasa tidak dapat diabaikan begitu saja.
Menurut Iskandarwassid dan Dadang Suhendar (2008:241) keterampilan
berbicara pada hakikatnya merupakan keterampilan memproduksi arus sistem
bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan perasaan dan
keinginan kepada orang lain. Dalam hal ini, kelengkapan alat ucap seseorang
merupakan persyaratan alamiah yang memungkinkannya untuk memproduksi
suatu ragam yang luas bunyi artkulasi, tekanan, nada, kesenyapan dan lagu
bicara.
Keterampilan ini juga di dasari oleh kepercayaan diri untuk berbicara
secara wajar, jujur, benar dan bertanggungjawab dengan menghilangkan
masalah psikologis seperti rasa malu, rendah diri, ketegangan, berat lidah dan
lain-lain.
Keterampilan berbicara itu sendiri seperti keterampilan lainnya,
keterampilan berbicara ternyata lebih rumit dari kelihatannya dan melibatkan
lebih dari mengucapkan kata-kata.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
keterampilan berbicara adalah kemampuan seseorang dalam mengungkapkan
ideatau gagasan secara lisan bersifat produktif dan mekanistis, yang hanya
dapat dikuasai dengan berlatih berbicara dan merupakan bagian tingkah laku
hidup manusia yang sangat penting sebagai alat komunikasi kepada orang
lain. Keterampilan berbicara merupakan sebuah keterampilan menyampaikan
gagasan, informasi atau pesan kepada orang lain dengan menggunakan media
yang berupa simbol-simbol fonestis.
Page 5
16
2.1.2.1 Tujuan Berbicara
Berbicara tentu memiliki tujuan yang ingin disampaikan kepada lawan
bicaranya. Agar tujuan itu dapat tersampaikan dengan baik dan efektif, maka
isi pembicaraan harus sesuai dengan makna yang ingin disampaikan kepada
lawan bicara. Dalam hal ini, pendengar akan memaknai informasi atau pesan
yang disampaikan oleh pembicara.
Tarigan (2008:16) mengungkapkan bahwa kegiatan berbicara memiliki
tujuan utama untuk berkomunikasi. Untuk menyampaikan pikiran secara
efektif, berbicara harus memahami makna sesuatu hal yang akan
dikomunikasikan. Dia juga harus dapat mengevaluasi efek komunikasinya
terhadap para pendengar dan harus mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari
segala situasi pembicaraan, baik secara umum maupun perorangan.
Selain itu, Tarigan (1992:134) mengemukakan bahwa tujuan orang
berbicara adalah untuk:
1) Menghibur
Berbicara yang bertujuan menghibur biasa dilakukan oleh pelawak.
Pembicara berusaha bermain kata-kata untuk menciptakan suasana
yang santai, penuh canda, dan menyenangkan. Tidak semua orang
terampil berbicara yang dapat menghibur orang yang diajak
berbicara atau yang mendengarkan pembicaraannya.
2) Menginformasikan
Tujuan lain dari aktivitas berbicara adalah untuk menyampaikan
informasi. Orang akan lebih mudah menyampaikan atau menerima
informasi secara lisan. Pembicara dengan tujuan menginformasikan
sering dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti
menjelaskan suatu proses, menguraikan, menafsirkan atau
menginterpretasikan sesuatu hal, memberi, menyebarkan, dan
menanamkan pengetahuan serta menjelaskan kaitan, hubungan, relasi
antar benda, hal atau peristiwa.
Page 6
17
3) Menstimulasi
Seseorang guru sering berbicara kepada muridnya untuk
membangkitkan semangat belajar dan gairah mengerjakan tugas
rumah. Guru berbicara sebagai upaya membangkitkan inspirasi,
kemauan dan minat siswa. Berbicara semacam memiliki tujuan untuk
menstimulasi pendengarnya. Seseorang berbicara juga ada yang
bertujuan meyakinkan atau mengubah sikap pendengarnya.
Berbicara dengan tujuan seperti ini membutuhkan keterampilan
tersendiri, karena jika pembicara cukup terampil akan dapat
mengubah suatu penolakan menjadi penerimaan, tidak setuju
menjadi setuju, permusuhan menjadi persahabatan, dan akan dapat
meyakinkan pendengarnya.
4) Menggerakan pendengarnya
Selain sebagai sarana untuk menghibur, menginformasikan maupun
menstimulasi, tujuan berbicara juga untuk menggerakkan
pendengarnya. Mengggerakkan yang dimaksud sebagai upaya untuk
membuat atau menggerakkan orang agar berbuat, bertindak atau
beraksi seperti yang diinginkan pembicara. Melalui kepiawaian
berbicara, kecakapan memanfaatkan situasi, dan penguasaan
terhadap ilmu jiwa, maka seseorang dapat dengan mudah
menggerakkan pendengarnya untuk melakukan sesuatu.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
berbicara memiliki tujuan untuk berkomunikasi dengan maksud menghibur,
meyakinkan, menginformasikan dan menggerakan orang lain sebagai lawan
bicaranya.
2.1.2.2 Jenis-jenis Berbicara
Santosa, dkk (2008: 6.36) menyatakan bahwa jenis berbicara
berdasarkan situasinya sebagai berikut:
Page 7
18
1) Berbicara formal
Di dalam situasi formal, pembicara dituntut untuk berbicara secara
formal. Misalnya: pidato, ceramah dan wawancara.
2) Berbicara nonformal
Di dalam situasi nonformal, pembicara harus berbicara secara tidak
formal. Misalnya: bertelepon dan bercakap-cakap.
Bertolak dari pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jenis
berbicara menjadi beragam tergantung dari sudut pandang yang digunakan,
tetapi secara garis besar bahwa jenis berbicara yang menjadi hal utama dalam
penelitian ini yaitu berkaitan dengan keterampilan berbicara formal pada mata
pelajaran bahasa Indonesia sesuai dengan pendapat dari Santosa, dkk (2008
:6.36).
2.1.2.3 Faktor-faktor Penunjang Keefektifan Berbicara
Tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat
berkomunikasi secara baik, pembicara harus mempunyai kemampuan
berbicara yang baik pula. Oleh karena itu, agar pesan atau gagasan pembicara
dapat diterima oleh pendengar, maka pembicara harus mampu menyampaikan
isi pembicaraan secara baik dan efektif.
Karena setiap komunikasi mengandung tujuan tertentu, apakah untuk
memberitahukan sesuatu termasuk memberitahukan ‘diri’ untuk
mempengaruhi salah satu pihak, untuk bertukar pendapat, untuk memecahkan
suatu masalah, atau sekedar meriting-rintang waktu, maka setiap kontak
komunikasi member efek kepada salah satu atau kedua pihak partisipan. Oleh
sebab itu, di dalam setiap peristiwa komunikasi mempunyai sebab akibat atau
konsekuensi positif dan negatif, baik dan buru.
Sebagaimana diungkapkan oleh Arsjad dan Muti U. S. (1991:87) bahwa
untuk keefektifan berbicara, pembicara perlu memperhatikan faktor
kebahasaan dan nonkebahasaan.
Faktor kebahasaan antara lain: (1) ketepatan ucapan (meliputi ketepatan
pengucapan vocal dan konsonan, (2) penempatan tekanan, (3) penempatan
Page 8
19
persendian, (4) penggunaan nada/irama, (5) pilihan kata, (6) pilihan ungkapan,
(7) variasi kata, (8) tata bentukan, (9) struktur kalimat, dan (10) ragam
kalimat.
Faktor nonkebahasaan meliputi: (1) keberanian/semangat, (2)
kelancaran, (3) kenyaringan suara, (4) pandangan mata, (5) gerak-gerik dan
mimik, (6) keterbukaan, (7) penalaran, dan (8) penguasaan topik. Aspek-aspek
kebahasaan dan nonkebahasaan di ata diarahkan pada pemakaian bahasa yang
baik dan benar.
Kedua faktor berbicara tersebut sangat menunjang keberhasilan
seseorang di dalam berbicara (komunikasi) kepada orang lain. Dalam
pembicaraan formal aspek nonkebahasaan sangat diperlukan, karena faktor
nonkebahasaan akan menjadi modal utama dan mempermudah penerapan
faktor kebahasaan. Alangkah baiknya, faktor nonkebahasaan ditanamkan
kepada siswa terlebih dahulu sebelum faktor kebahasaan karena keberanian
dan mental anak sangat berpengaruh terhadap keefektifan berbicara.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
penunjang keefektifan berbicara adalah adanya faktor kebahasaan dan
nonkebahasaan yang keduanya memiliki hubungan erat. Oleh karena itu, agar
dapat berbicara efektif maka faktor-faktor tersebut harus dikuasai dengan baik
dan benar oleh si sumber pembicara.
2.1.2.4 Pembelajaran Keterampilan Berbicara di SD
Pembelajaran keterampilan berbicara di SD dijabarkan dari kurikulum
menjadi standar kompetensi dasar serta materi-materi pokok pada tiap kelas.
Keterampilan berbicara merupakan salah satu kompetensi dasar mata
pelajaran Bahasa Indonesia yang harus diajarkan di Sekolah Dasar. Tujuan
pembelajaran berbicara di sekolah adalah agar siswa mampu mengungkapkan
gagasan, pendapat, dan pesan secara lisan. Di samping itu, pengajaran
berbicara di arahkan pada kemampuan siswa untuk berinteraksi dan menjalin
hubungan dengan orang lain secara lisan (Depdikbud, 1994:2).
Page 9
20
Standar kompetensi dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan
menyatakan bahwa pembelajaran bahasa diarahkan untuk membantu peserta
didik mengenal diri, budayanya, budaya orang lain, mengemukakan gagasan
dan perasaan, dan berpartisipasi dalam masyarakat. Selain itu, pembelajaran
bahasa diarahkan agar peserta didik menemukan dan menggunakan
kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya. Oleh karena itu,
peserta didik diharapkan dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan
baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis (Depdiknas, 2006: 1).
Dalam proses belajar berbahasa di sekolah, siswa mengembangkan
kemampuan secara vertikal tidak secara horizontal. Maksudnya, siswa telah
dapat mengungkapkan pesan secara lengkap meskipun belum sempurna.
Makin lama kemampuan tersebut menjadi semakin sempurna dalam arti
strukturnya menjadi sempurna, pilihan katanya semakin tepat, kalimat-
kalimatnya semakin bervariasi.
Pada hakikatnya, berbicara merupakan suatu proses berkomunikasi
sebab di dalamnya terdapat pemindahan pesan dari suatu sumber ke tempat
lain. Bahkan, telah disebutkan bahwa dalam kurikulum tingkat satuan
pendidikan bahwa hakikat pembelajaran berbicara pada dasarnya adalah
menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan,
informasi, pengalaman, pendapat, dan komentar dalam kegiatan wawancara,
presentasi laporan, diskusi, protokoler, dan pidato, serta dalam berbagai karya
sastra berbentuk cerita pendek, novel remaja, puisi, dan drama (Depdiknas,
2006: 1).
Pembelajaran keterampilan berbicara di kelas V semester II SD sesuai
KTSP Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) mencakup dua kompetensi
dasar, yaitu (1) mengomentari persoalan faktual disertai alasan yang
mendukung dengan mempertimbangkan dan memperhatikan pilihan kata dan
santun berbahasa, dan (2) memerankan tokoh drama dengan lafal, intonasi dan
ekspresi yang tepat. Sesuai kompetensi dasar yang kedua yaitu berkaitan
dengan memerankan tokoh drama maka dapat diterapkan metode bermain
peran (role playing) sebagai metode pembelajaran drama yang tepat. Selain
Page 10
21
itu, masih terdapat kompetensi dasar berbahasa lainnya yang juga harus
dikuasai dan saling mendukung atau berkaitan.
Pembelajaran keterampilan berbicara di SD dapat dilakukan dengan
banyak cara. Pembelajaran keterampilan berbicara sangat terkait dengan
pembelajaran keterampilan berbahasa lainnya. Santosa, dkk (2008 :6.38)
mengemukakan bahwa tujuan keterampilan berbicara di SD adalah melatih
siswa dapat berbicara dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Untuk
mencapai tujuan pembelajaran tersebut, guru dapat menggunakan bahan
pembelajaran membaca atau menulis, kosakata, dan sastra sebagai bahan
pembelajaran berbicara. Misalnya, menceritakan pengalaman yang
mengesankan, menceritakan kembali cerita yang pernah dibaca dan didengar,
mengungkapkan pengalaman pribadi, bermain peran (role playing), dan
berpidato.
Pengamatan guru terhadap aktivitas berbicara siswa dapat diamati
dengan menggunakan format yang telah dipersiapkan sebelumnya.Faktor-
faktor yang diamati adalah lafal kata, intonasi kalimat, kosakata, tata bahasa,
kefasihan berbicara, dan pemahaman.
Melihat pentingnya tujuan pembelajaran keterampilan berbicara di SD,
maka seharusnya pembelajaran tersebut lebih dioptimalkan dengan mengingat
bahwa keterampilan berbicara bukanlah sesuatu yang dapat diajarkan melalui
uraian atau keterangan guru saja. Melainkan siswa harus dihadapkan pada
aneka bentuk teks lisan ataupun kegiatan-kegiatan nyata yang
mempergunakan bahasa sebagai alat komunikasi.
Keberhasilan pembelajaran tersebut juga tidak lepas dari bagaimana cara
atau metode yang diterapkan oleh guru dalam menjalankan tugas
pembelajaran keterampilan berbicara. Metode pembelajaran adalah teknik
penyajian yang dikuasai guru untuk mengajar atau menyajikan bahan
pelajaran kepada siswa di dalam kelas agar pelajaran tersebut dapat ditangkap,
dipahami dan digunakan siswa dengan baik.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
keterampilan berbicara di SD berperan penting dalam meningkatkan
Page 11
22
keterampilan berbahasa lainnya, sehingga perlu diterapkan cara atau metode
yang tepat dalam pembelajarannya. Salah satu penerapan metode yang dapat
dipilih dalam pembelajaran keterampilan berbicara di Sekolah Dasar (SD)
adalah dengan metode role playing sesuai kompetensi dasar pada kelas 4
semester II.
2.1.2.5 Penilaian Keterampilan Berbicara di SD
Penilaian keterampilan berbicara di SD lebih sulit dilaksanakan
dibanding dengan penilaian keterampilan berbicara lainnya karena persiapan,
pelaksanaan, dan perskorannya memerlukan banyak waktu dan tenaga. Oleh
sebab itu, tidak mengherankan jika banyak guru SD yang melaksanakan
kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara tetapi tidak disertai penilaian.
Banyak sekali aspek atau faktor yang harus diidentifikasi dalam
penilaian keterampilan berbicara. Semua itu merupakan masalah penilaian
kemampuan berbicara yang harus dihadapi guru. Namun demikian, upaya
melaksanakan penilaian keterampilan berbicara harus dilaksanakan demi
pencapaian tujuan pembelajaran keterampilan berbicara yang diharapkan.
Berdasarkan fakta bahwa kegiatan berbicara cenderung dapat diamati
dalam konteks nyata saat siswa berbicara, maka dalam kegiatan berbicara
dapat dikembangkan penilaian kinerja yang bertujuan menguji kemampuan
siswa dalam mendemontrasikan pengetahuan dan keterampilannya (apa yang
mereka ketahui dan dapat mereka lakukan) pada berbagai situasi nyata dan
konteks tertentu.
Arsjad dan Mukti U. S. (1991:86-93) menjelaskan bahwa penilaian
keterampilan berbicara didasarkan pada faktor penunjang keefektifan
berbicara yang sudah dijelaskan pada bagian sub bab sebelumnya, yakni
meliputi faktor kebahasaan dan nonkebahasaan.
Hal ini dilakukan untuk menghindari kebiasaan penilaian berdasarkan
kesan umum sehingga penilaian didasarkan pada faktor-faktor penunjang
berbicara yang dapat di ukur secara jelas. Selain itu, diungkapkan pula bahwa
Page 12
23
secara garis besar pelaksanaan penilaian keterampilan berbicara dapat
digambarkan sebagai berikut:
1) Guru memberikan tugas kepada siswa untuk melakukan kegiatan berbicara
secara individual atau kelompok dalam waktu tertentu.
2) Guru menentukan faktor-faktor yang dinilai atau diamati
3) Siswa tidak mendapatkan giliran berbicara diberikan tugas mengamati
berdasarkan pedoman penilaian.
4) Guru dan siswa aktif mengamati kegiatan siswa yang sedang berbicara
5) Selesai kegiatan berbicara para pengamat mengemukakan komentarnya.
Guru juga aktif memberikan masukan/komentar untuk pembenahan
kesalahan siswa.
6) Kegiatan berbicara diulang kembali untuk mengetahui perubahan
berbicara setelah terdapat umpan balik.
Mengingat keterampilan berbicara ini memerlukan latihan dan
bimbingan yang intensif dengan waktu yang relativ lama maka penelitian ini
dilakukan dengan menilai dan mengukur beberapa faktor/aspek dalam satu
kegiatan berbicara saja. Tetapi dapat berlanjut dan bertujuan untuk
memperbaiki keterampilan berbicara lainnya.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, maka penulis memberikan
batasan terhadap penelitian keterampilan berbicara siswa kelas 4 SD Negeri 1
Kecamatan Getasan sesuai dengan pendapat dari Maidar G. Arsjad dan Mukti
U. S. Sehingga penilaian yang digunakan untuk mengukur keterampilan
berbicara dalam penelitian pengamatan terhadap keterampilan berbicara siswa.
Pengamatan dilakukan terhadap aspek keterampilan berbicara sewaktu siswa
tampil berbicara dalam bermain peran (role playing) di kelas.
2.1.2.6 Aspek-aspek yang Dinilai dalam Keterampilan Berbicara
Pembelajaran selalu diakhiri dengan penilaian. Hal ini digunakan untuk
mengetahui keberhasilan suatu pembelajaran tersebut. Penilaian sangat
penting dilakukan karena dengan adanya penilaian dapat diketahui
keberhasilan seseorang dalam pembelajaran dan dari hasil yang diperoleh akan
Page 13
24
dapat membuat seseorang lebih termotivasi untuk belajar. Penilaian
pembelajaran keterampilan berbicara tentu harus dapat mengukur tujuan
pembelajaran keterampilan berbicara, yakni kemampuan siswa dalam
berbicara sesuai dengan aspek-aspek yang telah ditetapkan.
Suwandi (2008 :15) mengungkapkan bahwa penilaian merupakan suatu
proses untuk mengetahui keberhasilan dari suatu program kegiatan yang
sesuai dengan tujuan atau kriteria, baik itu dari segi aspek proses maupun
hasil. Penilaian yang digunakan untuk menilai pembelajaran keterampilan
berbicara dalam penelitian ini ada dua yaitu penilaian proses pembelajaran
yang berkaitan dengan minat, keaktifan, kerjasama, dan kesungguhan serta
penilaian hasil pembelajaran keterampilan berbicara siswa.
Adapun masing-masing penjelasan dari keempat kriteria di atas adalah
sebagai berikut ini:
a) Minat
Sudjana (1991:61) menjelaskan bahwa keberhasilan proses
pembelajaran dapat dilihat dalam motivasi belajar siswa yang ditunjukkan
oleh para siswa pada saat melaksanakan kegiatan belajar-mengajar. Hal ini
dapat dilihat dalam (1) minat dan perhatian siswa terhadap pelajaran, (2)
semangat siswa untuk mengerjakan tugas-tugas belajarnya, (3) tanggung
jawab siswa dalam mengerjakan tugas-tugasnya, (4) reaksi yang ditunjukkan
siswa terhadap stimulus yang diberikan guru, (5) rasa senang dan puas dalam
mengerjakan tugas yang diberikan.
b) Keaktifan
Seorang guru dalam proses belajar-mengajar harus mengoptimalkan
kadar keaktifan siswa karena guru bertanggung jawab atas tercapainya hasil
belajar siswa yang optimal. Djamarah (dalam Danik Nofiana, 2008:17)
menjelaskan bahwa dalam proses belajar-mengajar aktivitas siswa yang
diharapkan tidak hanya aspek fisik melainkan juga aspek mental. Siswa
bertanya, mengajukan pendapat, mengerjakan tugas, berdiskusi, menulis,
membaca, membuat grafik, dan mencatat hal-hal penting dari penjelasan guru
Page 14
25
merupakan sejumlah aktivitas anak didik yang aktif secara mental maupun
fisik.
Keaktifan siswa dapat dilihat dalam hal: (1) turut serta dalam
melaksanakan tugas belajarnya, (2) terlibat dalam pemecahan masalah, (3)
bertanya kepada siswa lain atau kepada guru apabila tidak memahami
persoalan yang dihadapinya, (3) berusaha mencari berbagai informasi yang
diperlukan untuk pemecahan masalah, (4) melaksanakan diskusi kelompok
sesuai dengan petunjuk guru, (5) menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil
yang diperolehnya, (6) melatih diri dalam memecahkan soal atau masalah
yang sejenis, (7) kesempatan menggunakan atau menerapkan apa yang telah
diperolehnya dalam menyelesaikan tugas atau persoalan yang dihadapi.
c) Kerjasama
Kerjasama menjadi salah satu aspek penentu keberhasilan penilaian
proses pembelajaran karena dengan kerja sama, siswa dapat aktif dan belajar
secara bersama-sama. Kebersamaan dalam pembelajaran merupakan kerja
sama di antara para siswa untuk mencapai tujuan belajar bersama. Kerja sama
dalam pembelajaran ini diarahkan untuk mengembangkan kemampuan
berkolaborasi untuk menyelesaikan permasalahan secara bersama-sama.
d) Kesungguhan
Harus disadari bahwa di dalam kehidupan seseorang dalam bekerja
membutuhkan kesungguhan untuk mengerjakannya. Kesungguhan seseorang
dalam melakukan usaha itulah yang menentukan seberapa jauh hasil yang
dicapai.
Begitu pula dalam belajar baik di rumah maupun di sekolah seorang
siswa bila ingin mendapatkan hasil yang baik dan dapat tercapai cita-citanya
maka harus belajar dengan sungguh-sungguh, rajin, tekun, dan giat.
Karena belajar adalah untuk menjadi pandai dalam segala hal baik
dalam bidang ilmu pengetahuan maupun ketrampilan atau kecakapan. Tanpa
kesungguhan dalam belajar, maka mustahil tujuan belajar akan tercapai
dengan baik.
Page 15
26
Dalam belajar, kita tidak bisa melepaskan dari beperapa hal yang dapat
mengantarkan keberhasilan dalam belajar. Kesungguhan atau intensitas dalam
belajar merupakan salah satu prinsip belajar agar mendapat hasil yang
maksimal.
Belajar tanpa kesungguhan akan memperoleh hasil yang kurang
memuaskan, selain itu akan bayak waktu dan tenaga yang terbuang
percumah, sebaliknya belajar dengan sungguh-sungguh serta tekun akan
memperoleh hasil yang maksimal dan penggunaan waktu yang efektif.
Menurut S. B. Djamrah, pedoman umum dalam belajar dapat dilakukan
dengan cara belajar dengan teratur, disiplin dan bersemangat, konsentrasi,
pengaturan waktu, istirahat dan tidur yang cukup.
2.1.2.6.1 Penilaian Proses Pembelajaran Keterampilan Berbicara
Penilaian dalam proses pembelajaran dapat dilihat dari sikap siswa
ketika mengikuti pembelajaran. S. Suwandi (2008 :89-90) memaparkan bahwa
sikap bermula dari perasaan yang terkait dengan kecenderungan seseorang
dalam merespons sesuatu atau objek. Sikap juga suatu ekspresi dari nilai-nilai
atau pandangan hidup yang dimiliki oleh seseorang. Secara umum, objek
sikap yang perlu diamati dalam proses pembelajaran adalah: (1) sikap
terhadap materi pembelajaran, (2) sikap terhadap guru atau pengajar, (3) sikap
terhadap proses pembelajaran, (4) sikap berkaitan dengan nilai atau norma
yang berhubungan dengan suatu materi pelajaran.
Sejalan dengan pendapat Sarwiji Suwandi, Mimin Haryati (2007 :38)
menjelaskan bahwa karakteristik ranah afektif yang penting diantaranya
adalah sikap, minat, konsep diri, nilai dan moral.
a) Sikap yang dimaksud di sini adalah sikap terhadap sekolah dan mata
pelajaran.
b) Minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi.
Minat adalah suatu disposisi yang terorganisasi melalui pengalaman yang
mendorong untuk memperoleh objek khusus, aktivitas, pemahaman, dan
keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian.
Page 16
27
c) Konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu yang bersangkutan
terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki.
d) Nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh
individu untuk mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan.
e) Moral menyinggung akhlak, tingkah laku, karakter seseorang atau
kelompok.
Dari pendapat kedua ahli tersebut, jelas bahwa kriteria penilaian proses
dapat saja dimodifikasi sendiri oleh seorang guru sesuai dengan tujuan dan
kebutuhan siswa. Berdasarkan kenyataan tersebut, dalam penelitian ini peneliti
membuat instrument yang digunakan untuk menilai penilaian proses untuk
siswa. Penilaian proses pembelajaran dapat dilihat pada tabel 2.1 di bawah ini:
Tabel 2.1 Format Penilaian Proses Pembelajaran pada Keterampilan
Berbicara Menggunakan Model SAVI dan Metode Role Playing
Berilah tanda check list (√) untuk setiap aspek yang diamati pada kolom di
bawah ini!
No.
Nama
Siswa
Aspek yang Dinilai
Minat Keaktifan Kerjasama Kesungguh
an
Y T Y T Y T Y T
1.
2.
3.
4
5.
6.
7.
8.
9.
Format diadaptasi dari S. Suwandi, (2008:92)
Keterangan :
1) Ya : Siswa yang menunjukkan aspek yang diinginkan
2) Tidak : Siswa yang tidak menunjukkan aspek yang diiginkan
Page 17
28
Untuk mencari nilai setiap siswa menggunakan teknik penilaian
yang dikembangkan oleh Foreign Service Institue (FSI) sebagai
berikut:
a) Jumlah skor atau total nilai diperoleh dari menjumlahkan nilai
setiap unsur penilaian yang diperoleh siswa
b) Menghitung jumlah siswa sesuai setiap aspek = Nilai akhir
2.1.2.6.2 Penilaian Hasil Pembelajaran Keterampilan Berbicara
Suwandi (2008 :39) mengemukakan bahwa penilaian hasil
pembelajaran dapat dilakukan dengan tes, baik tes lisan ataupun tes tertulis.
Pada umumnya tes dipergunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa
dalam mencapai tujuan dalam pembelajaran. Tingkat keberhasilan siswa
dimaksudkan juga sebagai kemampuan siswa yang diperoleh setelah
mengikuti kegiatan pembelajaran tersebut.
Tes esai adalah suatu bentuk pertanyaan yang menuntut jawaban siswa
dalam bentuk uraian dengan menggunakan bahasa sendiri. Tes ini menuntut
siswa untuk berpikir dalam mempergunakan apa yang diketahui yang
berkenaan dengan pertanyaan yang harus dijawab.
Dalam penelitian ini, penilaian pembelajaran bahasa Indonesia
khususnya pada keterampilan berbicara dapat dilakukan dengan
menggunakan tes lisan. Penilaian hasil dalam pembelajaran keterampilan
berbicara ini didasarkan pada hasil pekerjaan siswa dalam bentuk berbicara/
tes lisan dengan pilihan kata yang sesuai dan memperhatikan unsur/aspek
yang membangun sebuah keterampilan berbicara itu sendiri.
Sebagai pedoman untuk penilaian keterampilan berbicara dapat dilihat
pada tabel 2.2 berikut ini:
Page 18
29
Tabel 2.2 Format Lembar Penilaian Hasil Pembelajaran
Keterampilan Berbicara Siswa Menggunakan Model SAVI dan
Metode Role Playing
No.
Nama
Siswa
Aspek yang Dinilai Jumlah
Skor
Nilai
Akhir
Ketuntasan
I II III IV V
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Jumlah
Nilai rata-rata
Nilai Terendah
Nilai Tertinggi
Ketuntasan Klasifikasi
Format diadaptasi dari Arsjad dan Mukti U. S. (1991:86-93)
Keterangan:
Aspek yang dinilai:
I. Lafal
II. Intonasi
III. Kelancaran
IV. Ekspresi Berbicara
V. Pemahaman Isi
Petunjuk penilaian:
1) Nilai setiap aspek yang dinilai dalam berbicara berskala 1 sampai 5
2) Jumlah skor atau total nilai diperoleh dari menjumlahkan nilai setiap
aspek penilaian yang diperoleh siswa.
3) Nilai akhir yang diperoleh siswa diolah dengan menggunakan rumus:
x 100 = Nilai Akhir
Page 19
30
4) Nilai rata-rata kelas dihitung dengan rumus:
= Nilai Rata-rata
5) Persentase ketuntasan pembelajaran berbicara dapat dihitung dengan
menggunakan rumus:
x 100% =
Skala penilaian aspek keterampilan berbicara dari tiap-tiap deskripsi
dapat diperinci pada table 2.3 di bawah ini.
Tabel 2.3 Kriteria Penilaian Hasil Pembelajaran Keterampilan
Berbicara Menggunakan Model SAVI dan Metode Role Playing
No. Aspek
yang
Dinilai
Deskripsi Skor Keterangan
1. Lafal a. Pelafalan sangat jelas
b. Pelafalan jelas
c. Pelafalan cukup jelas
d. Pelafalan kurang jelas
e. Pelafalan tidak jelas
5
4
3
2
1
Sangat Baik
Baik
Cukup Baik
Kurang Baik
Tidak Baik
2. Intonasi a. Intonasi kata/suku kata
sangat tepat
b. Intonasi kata/suku kata tepat
c. Intonasi kata/suku kata
cukup tepat
d. Intonasi kata/suku kata
kurang tepat
e. Intonasi kata/suku kata tidak
tepat
5
4
3
2
1
3. Kelancaran a. Berbicara sangat lancar
b. Berbicara dengan lancar
c. Berbicara cukup lancar
d. Berbicara kurang lancar
e. Berbicara tidak lancar
5
4
3
Persentase
Ketuntasan Klasikal
Page 20
31
2
1
4. Ekspresi
Berbicara
a. Ekspresi berbicara sangat
tepat
b. Ekspresi berbicara tepat
c. Ekspresi berbicara cukup
tepat
d. Ekspresi berbicara kurang
tepat
e. Ekspresi berbicara tidak tepat
5
4
3
2
1
5. Pemahama
n Isi
a. Sangat memahami isi
pembicaraan
b. Memahami isi pembicaraan
c. Cukup memahami isi
pembicaraan
d. Kurang memahami
pembicaraan
e. Tidak memahami isi
pembicaraan
5
4
3
2
1
Penjelasan dari tiap-tiap aspek sebagai berikut:
I. Lafal
Kemampuan melafalkan bunyi kata dijelaskan sebagai berikut:
a. Lafal sangat jelas: mengucapkan kata maupun kalimat dengan sangat
jelas yaitu benar-benar dapat dibedakan bunyi konsonan dan vocal
(hampir tidak ada kesalahan).
b. Lafal jelas: mengucapkan kata maupun kalimat dengan jelas yaitu
dapat dibedakan bunyi konsonan dan vocal (artikulasi jeas tetapi
sesekali melakukan kesalahan).
Page 21
32
c. Lafal cukup jelas: cukup kesulitan mengucapkan bunyi konsonan dan
vocal dengan jelas tetapi masih dapat dipahami pendengar.
d. Lafal kurang jelas: melafalkan kata-kata yang susah sekali dipahami
karena masalah pengucapan yaitu bunyi konsonan dan vocal kurang
jelas untuk dibedakan sehingga memaksa pendengar harus
mendengarkan dengan teliti ucapannya.
e. Lafal tidak jelas: kesulitan (tidak jelas) melakukan bunyi konsonan dan
vocal sehingga kesalahan dalam pelafalan terlalu banyak menyebutkan
bicaranya tidak dapat dipahami dan salah pengertian.
II. Intonasi
Kemampuan memberikan intonasi dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Intonasi sangat tepat: penempatan tekanan kata/suku kata sangat tepat
sehingga berbicaranya tidak terkesan datar dan membosankan.
b. Intonasi tepat: sedikit sekali kesalahan penempatan tekanan kata/suku
kata, pembicaraan juga tidak terkesan datar.
c. Intonasi cukup tepat: terkadang membuat kesalahan dalam penempatan
tekanan kata/suku kata sehingga cukup terkesan datar.
d. Intonasi kurang tepat: sering tidak memberikan tekanan/suku kata yang
seharusnya mendapatkan intonasi dan cukup membosankan lawan
bicara.
e. Intonasi tidak tepat: sama sekalii tidak ada tekanan kata/suku kata
dalam pembicaraannya dari awal sampai akhir sehingga membosankan
lawan bicara dan keseluruhan bicaranya terkesan datar.
III. Kelancaran
Kemampuan kelancaran berbicara dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Berbicara sangat lancar: berbicara dengan sangat lancar, tidak terputus-
putus, dan tidak terdapat sisipan bunyi ”ee…..” dan sejenisnya.
b. Berbicara lancar: sedikit sekali berbicara dengan terputus tetapi tidak
terdapat sisipan bunyi “ee…..” dan sejenisnya.
c. Berbicara cukup lancar: terkadang berbicara dengan terputus-putus dan
terdapat sisipan bunyi “ee….” dan sejenisnya.
Page 22
33
d. Berbicara kurang lancar: berbicara sering terputus-putus dan
menyisipkan bunyi “ee…..” dan sejenisnya.
e. Berbicara tidak lancar: berbicara selalu terputus-putus, banyak
pengucapan sisipan bunyi “ee….” dan sejenisnya, dan sangat
membosankan lawan bicara.
IV. Ekspresi Berbicara
Kemampuan ekspresi berbicara dijelaskan sebagai berikut:
a. Ekspresi berbicara sangat tepat: hampir keseluruhan terdapat
mimik/pantomimik berbicara yang meyakinkan dan komunikatif.
b. Ekspresi berbicara tepat: terkadang menggunakan mimik/pantomimik
berbicara yang dapat membangkitkan perhatian lawan bicara.
c. Ekspresi berbicara cukup tepat: terdapat mimik/pantomimik berbicara
tetapi tidak proporsional (terlalu berlebihan/tidak tepat pada keadaan).
d. Ekspresi berbicara kurang tepat: ragu-ragu dalam memberikan gerak-
gerik (mimik/pantomimik) yang dapat meyakinkan lawan bicara.
e. Ekspresi berbicra tidak tepat: berbicara tanpa ada gerakan, statis, dan
terkesan kaku.
V. Pemahaman Isi
Kemampuan pemahaman isi pembicaraan dijelaskan sebagai berikut:
a. Sangat paham isi pembicaraan: isi pembicaraan sesuai dengan topik
dan tokoh yang diperankan tanpa kesulitan.
b. Memahami isi pembicaraan: isi pembicaraan sesuai dengan topik dan
tokoh yang diperankan tetapi sedikit mengalami kesulitan (kekeliruan).
c. Cukup memahami isi pembicaraan: terkadang berbicara tidak sesuai
topik dan tokoh yang diperankan.
d. Kurang memahami isi pembicaraan: sering berbicara tidak sesuai
topik/isi pembicaraan dan tokoh yang diperankan.
e. Tidak memahami isi pembicaraan: selalu berbicara di luar dari topik
dan tokoh yang diperankan, membingungkan lawan bicara.
Page 23
34
Dalam penelitian ini, dilakukan pembobotan nilai dengan berdasarkan
pada tujuan atau fokus penilaian, serta melakukan modifikasi berbagai butir
penilaian sesuai dengan tujuan, situasi, dan kondisi yang melatari.
Berdasarkan tabel yang telah dijelaskan di atas, untuk penilaian
keterampilan berbicara terdapat lima aspek penilaian, yaitu aspek pelafalan,
intonasi, kelancaran, ekspresi berbicara dan pemahaman isi.
2.1.3 Hakikat Proses Belajar Keterampilan Berbicara
Menurut beberapa ahli komunikasi, bicara adalah kemampuan anak
untuk berkomunikasi dengan bahasa oral (mulut) yang membutuhkan
kombinasi yang serasi dari sistem neuromuscular untuk mengeluarkan fonasi
dan artikulasi suara.
Proses bicara melibatkan beberapa system dan fungsi tubuh, melibatkan
system pernapasan, pusat khusus pengatur bicara di otak dalam korteks
serebri, pusat respirasi di dalam batang otak dan struktur artikulasi, resonansi
dari mulut serta rongga hidung.
Terdapat 2 hal proses terjadinya bicara, yaitu proses sensoris dan
motoris. Aspek sensoris meliputi pendengaran, penglihatan, dan rasa raba
berfungsi untuk memahami apa yang didengar, dilihat dan dirasa. Aspek
motorik yaitu laring, alat-alat untuk artikulasi, tindakan artikulasi dan laring
yang bertanggung jawab untuk pengeluaran suara. Di dalam otak terdapat 3
pusat yang mengatur mekanisme berbahasa, dua pusat bersifat reseptif yang
mengurus penangkapan bahasa lisan dan tulisan serta satu pusat lainnya
bersifat ekspresif yang mengurus penangkapan bahasa lisan dan tulisan serta
satu pusat lainnya bersifat sekpresif yang mengurus pelaksanaan bahasa lisan
dan tulisan. Ketiganya berada di hemisfer dominan dari otak atau sistem
susunan saraf pusat.
Kedua pusat bahasa reseptif tersebut adalah area 41 dan 42 disebut area
Wernick, merupakan pusat persepsi auditori-leksik yaitu mengurus
pengenalan dan pengertian segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa lisan
(verbal). Area 39 broadman adalah pusat persepsi visuo-leksik yang mengurus
Page 24
35
pengenalan dan pengertian segala sesuatu yang bersangkutan dengan bahasa
tulis. Sedangkan area Broca adalah pusat bahasa ekspresif. Ketiga pusat
tersebut berhubungan antara satu sama lain melalui serabut asosiasi.
Saat mendengar pembicaraan, maka getaran udara yang ditimbulkan
akan masuk melalui lubang telinga luar kemudian menimbulkan getaran pada
membrane timpani. Dari hal tersebut rangsangan diteruskan oleh ketiga tulang
kecil dalam telinga tengah ke telinga bagian dalam. Di telinga bagian dalam
terdapat reseptor sensoris untuk pendengaran yang disebut Coclea. Saat
gelombang suara mencapai coclea maka impuls ini diteruskan oleh saraf VII
ke area pendengaran primer di otak diteruskan ke area wernick. Kemudian
jawaban diformulasikan dan disalurkan dalam bentuk artikulasi, diteruskan ke
areamotorik di otak yang mengontrol gerakan bicara.
Selanjutnya proses bicara dihasilkan oleh getaran vibrasi dari pita suara
yang dibantu oleh aliran udara dari paru-paru, sedangkan bunyi dibentuk oleh
gerakan bibir, lidah dan palatum (langit-langit). Jadi untuk proses bicara
diperlukan koordinasi sistem saraf motoris dan sensoris dimana organ
pendengaran sangat penting.
Dalam proses belajar berbahasa lisan/berbicara, kemampuan
menggunakan bahasa reseptif dan ekspresif harus berkembang dengan baik
sesuai yang diharapkan.
https://speechclinic.wordpress.com/2009/04/25/proses-mekanisme-bicara-dan-
bahasa/.
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa proses belajar
berbicara adalah suatu proses perubahan tingkah laku antara berbagai unsur
dan berlangsung seumur hidup yang didorong oleh berbagai aspek seperti
motivasi, emosional, sikap dan lainnya dan pada akhirnya menghasilkan
sebuah tingkah laku yang diharapkan. Sedangkan belajar adalah kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui,
atau keinginan untuk merubah suatu kebiasaan ke arah yang lebih baik.
Page 25
36
2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Keterampilan Berbicara
Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan berbicara anak
di usia sekolah. Anak-anak yang sedang berada di tahap Sekolah Dasar (SD)
memiliki keterampilan yang berbeda-beda itu dikarenakan stimulasi yang
diterima, lingkungan tempat tinggal, kesehatan, jenis kelamin dan masih
banyak lagi. Keterampilan berbicara mengalami proses belajar yang unik
karena berbicara tersebut digunakan sehari-hari meskipun tanpa proses
informal namun melalui proses formal.
Menurut Tarmasyah (1996) faktor yang mempengaruhi proses
berbahasa dan bicara pada anak/siswa diantaranya.
1. Kondisi Jasmani dan Kemampuan Motorik
Kondisi jasmaniah anak meliputi kondisi fisik sehat, tentunya
mempunyai kemampuan gerakan yang lincah, dan penuh energi. Dengan
demikian anak mempunyai rasa ingin tahu tentang benda-benda disekitarnya,
kemudian benda tersebut diasosikan anak menjadi sebuah pengertian. Untuk
selanjutnya pengertian tersebut dilahirkan dalam bentuk bahasa dan di
ucapakan.
Anak yang mempunyai kondisi fisik yang normal akan mempunyai
kosep bahasa yang lebih dari anak yang kondisi fisiknya terganggu. Dengan
demikian kemampuan bahasa dan keterampilan berbicara akan berbeda.
2. Kesehatan Umum
Kesehatan secara umum menujang perkembangan setiap anak termasuk
didalamya kemampuan bahasa dan keterampilan berbicara. Anak yang
berpenyakit tidak mempunyai kebebasan dalam mengenal lingkungan
sekitarnya secara utuh sehingga anak kurang mampu mengekspresikannya.
Namun anak yang sehat akan mampu mengenali lingkungan dan mampu
mengekspresikan secara utuh dalam bentuk bahasa dan berbicara.
Lebih lanjut Tarmansyah (1996: 53) mengatakan “…. adanya gangguan
pada kesehatan anak, akan mempengaruhi dalam perkembangan bahasa dan
bicara. Hal ini terjadi sehubungan dengan berkurangnya kesempatan untuk
memperoleh pengalaman dari lingkungan. Selain itu, mungkin anak yang
Page 26
37
kesehatannya kurang baik tersebut menjadi berkurang minatnya untuk ikut
aktif melakukan kegiatan, sehingga menyebabkan kurangnya input yang
diperlukan untuk membentuk konsep bahasa dan perbendaharaan pengertian.
Menurut Hurlock (1978: 186) faktor yang menimbulkan perbedaan
dalam belajar berbicara tentang kesehatan anak yang sehat akancepat belajar
berbicara ketimbang anak yang tidak sehat, karena ada motivasi untuk
bergabung dengan kelompok sosial dan berkomunikasi dengan anggota
kelompok tersebut.
3. Kecerdasan
Kecerdasan pada anak usia dini meliputi fungsi mental intelektual.
Anak yang memiliki intelegensi tinggi akan mampu berbicara lebih awal
sedangkan anak yang memiliki intelegensi rendah akan terlambat dalam
kemampuan berbahasa dan berbicara. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan
bahwa kecerdasan atau intelegensi berpengaruh terhadap kemampuan bahasa
dan bicara.
Menurut Hurlock (1978: 186) anak yang memiliki kecerdasan tinggi
belajar berbicara lebih cepat dan memperlihatkan penguasaan bahasa yang
lebih unggul ketimbang anak yang tingkat kecerdasannya rendah.Berdasarkan
uraian di atas, dapat dikatakan bahwa kelancaran keterampilan berbicara pada
anak yang memiliki kecerdasan yang baik, umumnya tidak mengalami
hambatan dalam berbahasa dan berbicara.Jadi, kelancaran berbicara
menunjukan kematangan mental intelektual.
4. Sikap lingkungan
Lingkungan yang mempengaruhi perkembangan bahasa dan bicara anak
adalah lingkungan bermain baik dari tetangga maupun dari sekolah. Oleh
karena itu lingkungan sangat mempengaruhi bahasa anak, maka lingkungan
dari mana pun bagi anak hendaklah lingkungan yang dapat menimbulkan
minat berkomunikasi anak.
Proses perolehan bahasa anak diawali dengan kemampuan mendengar
kemudian maniru suara yang didengar dari lingkungan. Proses semacam ini,
Page 27
38
anak tidak akan mampu berbahasa dan berbicara jika anak tidak diberi
kesempatan untuk mengungkapkan yang pernah didengarnya.
Oleh karena itu keluarga harus memberi kesempatan kepada anak
belajar dari pengalaman yang pernah didengarnya. Kemudian berangsur-
angsur ketika anak mampu mengekspresikan pengalaman, baik dari
pengalaman mendengar, melihat, membaca dan diungkapkan kembali dalam
bahasa lisan.
5. Sosial Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi dapat mempengaruhi perkembangan bahasa dan
bicara. Hal ini dikarenakan sosial ekonomi seseorang memberikan dampak
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan berbahasa dan berbicara. Makanan
dapat mempengaruhi kesehatan. Makanan yang bergizi akan memberikan
pengaruh positif untuk perkembangan sel otak. Perkembangan sel otak inilah
yang akhirnya digunakan untuk mencerna semua rangsangan dari luar
sehingga rangsangan tersebut akan melahirkan respon dalam bentuk
berbahasa dan berbicara. Gambaran tersebut menujukkan bahwa kondisi
sosial ekonomi yang tinggi dapat memenuhi kebutuhan makanan anaknya
yang memadai.
Menurut Hurlock (1978: 186) anak dari kelompok sosial ekonomi
tinggi lebih mudah belajar berbicara, mengungkapkan dirinya lebih baik, dan
lebih banyak berbicara ketimbang anak dari kelompok yang keadaan
ekonominya lebih rendah. Penyebab utama adalah anak dari kelompok lebih
tinggi lebih banyak didorong unutk berbicara dan lebih banyak di bombing
melakukannya.
6. Kedwibahasaan
Kedwibahasaan atau bilingualisme adalah kondisi dimana seseorang
berada di lingkungan orang lain yang menggunakan dua bahasa atau lebih.
Kondisi demikian dapatlah mempengaruhi atau memberikan akibat bagi
perkembangan bahasa dan berbicara anak. Meskipun ada anggapan bahwa
anak usia dini dapat belajar bahasa yang berbeda sekaligus, namun jika dalam
Page 28
39
penggunaannya bersamaan dan bahasa yang digunakan berbeda, maka hal ini
dapat mempengaruhi perkembangan bahasa dan bicara anak.
7. Neurologi
Neuro adalah syaraf, sedangakan neurologis dalam berbicara adalah
bentuk layanan yang dapat diberikan kepada anak untuk membantu mereka
yang mengalami gangguan bicara. Oleh karena itu gangguan berbicara
penyebabnya dapat dilihat dari keadaan neurologisnya.
Beberapa faktor neurologis yang mempengaruhi perkembangan bahasa
dan bicara anak menurut Tarmansyyah (1996) adalah meliputi:
1. Bagaimana struktur susunan sarafnya
2. Bagaimana fungsi susunan syarafnya
3. Bagaimana peranan susunan syarafnya
4. Bagaimana syaraf yang berhubungan dengan organ bicaranya
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa kondisi yang didapat
menimbulkan perbedaan dalam berbicara dipengaruhi oleh faktor internal
(kemampuan jasmani dan motorik, kecerdasan, dan neurologi) serta faktor
eksternal (kesehatan umum, sikap lingkungan, sosial ekonomi, dan
kedwibahasaan ). Kedua faktor tersebut sangat mempengaruhi proses belajar
siswa dalam berbicara. Faktor internal berkaitan dengan kondisi dalam
dirinya. Sedangkan faktor eksternal berkaitan dengan kondisi lingkungannya.
Kondisi lingkungan adalah keadaan yang ada di sekitar siswa.
Oleh karena itu dalam penelitian ini membantu perkembangan berbicara
siswa pada faktor eksternal yaitu dengan memberikan dorongan kepada siswa
untuk berbicara tanpa ada rasa gugup, takut, malu maupun gemetar ketika
berbicara di depan kelas bersama teman-teman kelompoknya, serta dapat
menjalin hubungan dalam berbicara antar kelompok melalui sebuah model dan
metode pembelajaran SAVI dan Role Playing.
2.1.5 Hakikat Hasil Belajar Keterampilan Berbicara
Hasil belajar mengajar merupakan aktivitas utama di sekolah.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis pada beberapa waktu
Page 29
40
yang terlewati, penulis menemukan ada beberapa aktivitas utama yang
terdapat di sekolah yang berkaitan dengan hasil belajar siswa di SD Negeri
Sumogawe 1 Kecamatan Getasan yang meliputi 3 unsur, yaitu: tujuan
pengajaran, proses belajar mengajar dan hasil belajar siswa.
Menurut Nana Sudjana (2006 : 22) “ Dalam sistem pendidikan nasional
rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikulum maupun tujuan
instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom
yang secara garis besar membaginya menjadi 3 ranah, yaitu ranah kognitif,
afektif dan psikomotorik”. Ketiga ranah ini digunakan dalam penilaian hasil
belajar pada kurikulum berbasis kompetensi. Ranah kognitif berkenaan
dengan hasil belajar intelektual, ranah afektif berkenaan dengan sikap, dan
ranah psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar ketrampilan dan
kemampuan bertindak.
Penilaian yang dilakukan dalam kurikulum 2004 adalah penilaian yang
berbasis kompetensi yang berbijak pada konsep belajar tuntas. Pencapaian
hasil belajar mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Aspek
kognitif dilakukan melalui ulangan harian dan ujian. Aspek afektif dilakukan
melalui pengamatan pada lembar pengamatan, sedang aspek psikomotorik
dilakukan melalui ujian praktikum atau unjuk kerja pada pembelajaran
berlangsung (Depdikbud: 2004 : 9-10).
2.1.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Dari faktor internal, pendekatan pembelajaran, metode atau sumber
belajar yang digunakan oleh guru memiliki pengaruh yang cukup signifikan
terhadap tingkat keterampilan berbicara bagi peserta didik.
Pada umumnya guru bahasa Indonesia cenderung menggunakan
pendekatan yang konvesional dan miskin inovasi sehingga kegiatan
pembelajaran keterampilan berbicara berlangsung secara monoton dan
membosankan para pendengarnya khususnya peserta didik, yang seringkali
terjadi dilingkungan saat ini baik di sekolah maupun lingkungan rumah adalah
peserta tidak diajak untuk belajar berbahasa, tetapi cenderung diajak belajar
Page 30
41
tentang bahasa, artinya adalah apa yang disajikan oleh guru di kelas bukan
bagaimana siswa berbicara sesuai konteks dan situasi tutur kata, melainkan
diajak untuk mempelajari teori tentang berbicara.
Akibatnya, keterampilan berbicara siswa masih tergolong rendah dan
bahkan hal tersebut bisa menjadi hambatan serius bagi siswa untuk menjadi
siswa yang cerdas, kritis, kreatif dan berbudaya.
Menurut Nurhadi 2000, mengemukakan pendapatnya bahwa guru
bahasa Indonesia lebih banyak berkutat dengan pengajaran tata bahasa,
dibandingkan mengajarkan kemampuan berbahasa Indonesia secara nyata.
Dalam konteks demikian, diperlukan pendekatan pembelajaran
keterampilan berbicara yang inovatif dan kreatif, sehingga proses
pembelajaran bisa berlangsung aktif, efektif dan menyenangkan. Selain itu,
siswa tidak hanya diajak untuk belajar tentang bahasa secara rasional dan
kognitif, tetapi juga diajak untuk belajar dan berlatih dalam konteks dan
situasi tutur yang sesungguhnya dalam suasana yang dialogis, interaktif,
menarik dan menyenangkan. Dengan cara demikian, siswa tidak akan
terpasung dalam suasana pembelajaran yang kaku, monoton dan
membosankan.
Penelitian ini akan difokuskan pada upaya untuk meningkatkan proses
dan hasil keterampilan berbicara siswa yang dapat memicu terjadinya
peningkatan kemampuan berbicara siswa yang masih tergolong rendah
khususnya bagi siswa kelas 4 SD Negeri Sumogawe 1 Kecamatan Getasan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Kridalaksana, ed. 1996: 144)
dijelaskan bahwa berbicara adalah “berkata, bercakap, berbahasa atau bahkan
melahirkan pendapat (dengan perkataan, tulisan dan lain sebagainya) atau
berunding.
Sedangkan, sebagai bentuk atau wujudnya, berbicara dinyatakan
sebagai suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun
serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan sang pendengar atau penyimak.
Page 31
42
2.2 Hakikat Model Belajar
Model merupakan kerangka konseptual yang digunakan sebagai
pedoman dalam melakukan suatu kegiatan. Model dapat dipahami juga
sebagai gambaran tentang keadaan sesungguhnya. Berangkat dari pemahaman
tersebut, maka model pembelajaran dapat dipahami sebagai kerangka
konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dan terencana dalam
mengorganisasikan proses pembelajaran peserta didik sehingga tujuan
pembelajaran dapat dicapai secara efektif.
Model pembelajaran juga dapat dipahami sebagai blueprint
(perencanaan) guru dalam mempersiapkan dan melaksanakan proses
pembelajaran. Model pembelajaran berfungsi sebagai pedoman bagi
perancang kurikulum maupun guru dalam merencanakan dan melaksanakan
proses pembelajaran di kelas.
2.2.1 Pertimbangan dalam Memilih Model
Terdapat sejumlah pertimbangan yang mesti dipikirkan guru terkait
dengan pemilihan model pembelajaran yang akan digunakan dalam
pembelajaran yang akan dilaksanakan. Beberapa aspek yang perlu
dipertimbangkan tersebut disesuaikan dengan pertanyaan apa yang akan
dititikberatkan dalam pembelajaran (apakah outcome, content atau process)
1. Hasil (Outcome)
Apabila guru memutuskan untuk mengarahkan pada hasil pembelajaran,
maka guru tersebut perlu merumuskan beberapa petanyaan sebagai berikut:
a. Apa yang di harapkan dari peserta didik sebagai hasil akhir dari
pembelajaran
b. Jenis pengetahuan dan motivasi seperti apa yang diharapkan guru dari
peserta didik sebagai hasil dari pembelajaran
c. Jenis keterampilan seperti apa yang diharapkan guru dapat dipraktikkan
oleh peserta didik
d. Sikap dan nilai-nilai apa saja yang perlu dan seharusnya dimiliki oleh
peserta didik
Page 32
43
e. Mengapa guru mengharuskan peserta didik untuk mempelajari materi
pembelajaran tersebut
f. Pengetahuan, sikap dan keterampilan apa saja yang diperlukan oleh peserta
didik sehingga guru akan lebih mudah untuk memberikannya
g. Bagaimana caranya agar guru mengetahui bahwa peserta didik dapat
mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang sesuai dengan
harapan guru tersebut.
2. Isi / Materi (Content)
Apabila guru memutuskan untuk menitikberatkan proses pembelajaran
pada content pembelajaran, maka guru perlu merumuskan beberapa
pertanyaan sebagai berikut:
a. Apa saja materi inti yang perlu dipahami peserta didik untuk mendukung
hasil belajar yang diharapkan
b. Apa yang menjadi sumber-sumber belajar yang dapat dimanfaatkan untuk
mendukung materi pembelajaran
c. Kemampuan berpikir peserta didik seperti apa yang perlu dinilai dan
bagaimana caranya guru mlakukan penilaian tersebut. Mengapa hal
tersebut penting untuk dilakukan
d. Kekeliruan pemahaman dan konsepsi seperti apa yang umumnya terjadi
dalam penyampaian materi yang dilakukan
e. Bagaimana cara dapat meminimalisasikan atau mengurangi kekeliruan
pemahaman dan konsepsi kepada peserta didik.
3. Proses (Process)
Apabila guru memutuskan untuk menitikberatkan pada proses
pembelajaran, maka guru perlu merumuskan beberapa pertanyaan sebagai
berikut:
a. Strategi apa yang diperlukan agar peserta didik dapat lebih mudah
memahami pembelajaran yang dilakukan
b. Bagaimana peserta didik dapat mengembangkan keterampilan-
keterampilannya
Page 33
44
c. Bagaimana peserta didik dapat mengembangkan sikap dan nilai yang
diperlukan
d. Bagaimana struktur pengorganisasian kelas yang harus kembangkan untuk
mendukung terjadinya proses pembelajaran yang efektif
e. Apa saja jenis atau bentuk strategi pembelajaran yang menjadi penekanan
jika dikaitkan dengan jenis sikap, keterampilan dan pengetahuan yang
dikembangkan melalui proses pembelajaran yang dilakukan
f. Bagaimana merancang dan mengorganisasikan materi pembelajaran agar
peserta didik mudah mempelajarinya
g. Apakah peserta didik memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang
diperlukan untuk mendukung strategi pembelajaran yang benar
h. Seberapa banyak waktu, ruang serta sumber belajar yang guru gunakan
dalam mendukung strategi pembelajaran
i. Apakah strategi pemotivasian dapat dikembangkan untuk mempercepat
tumbuhnya rasa percaya diri peserta didik
j. Bagaimana caranya untuk mengetahui bahwa pembelajaran yang
dilaksanakan berlangsung optimal dan sesuai dengan apa yang
direncanakan.
Gambar 2.1 Pertimbangan dalam Memilih Model Pembelajaran
Proses
Hasil
Isi
Pertim-
bangan
Page 34
45
2.2.2 Model Pembelajaran SAVI
2.2.2.1 Penggunaan Model Pembelajaran SAVI
Meier (2000) merupakan seorang pendidik, trainer sekaligus penggagas
model accelerated learning. Salah satu model pembelajarannya apa yang
dikenal dengan SAVI (Somatic Auditory Visualization Intellectually). Berikut
ini adalah cara-cara yang bisa menjadi starting point guru dalam
melaksanakan pembelajaran SAVI.
S = Somatic Learning by Doing
A = Auditory Learning by Hearing
V = Visual Learning by Seeing
I = Intellectually Learning by Thinking
Seluruh pikiran dan tubuh dalam pembelajaran bahasa sangat
membantu peserta didik untuk menciptakan suatu aktivitas yang kreatif
dengan atau melalui bahasa. Kreativitas berbahasa itu akan semakin bermakna
apabila memungkinkan mereka berinteraksi secara positif dengan siswa
lainnya sehingga suasana akan tampak lebih komunikatif dan penuh sehingga
proses pembelajaran keterampilan berbicara dapat tercapai.
Dengan begitu, seorang siswa akan mendapatkan berbagai pelajaran
dari siswa lain sehingga memperkaya pengetahuan dan keterampilan
berbahasa mereka. Selain itu, dari munculnya berbagai aktivitas yang mereka
lakukan akan terjalinnya interaksi dengan siswa lain, maka akan menghasilkan
dan tercipta suasana kelas yang kondusif dan menyenangkan untuk belajar
bahasa (Eri Sarimanah, 2009).
2.2.2.2 Kelebihan dan Kelemahan Model SAVI
Kelebihan dari model SAVI adalah: (1) SAVI membuat siswa tidak
hanya duduk di kursi dan diam, tetapi membuat mereka beraktivitas dengan
menggunakan seluruh alat indera dan pikiran, (2) pembelajaran tidak hanya
terpusat oleh gur, (3) pembelajaran menjadi lebih menyenangkan karena
banyak aktivitas yang dilakukan sehingga akan terhindar dari rasa bosan, (4)
lebih leluasa dalam menggunakan berbagai macam media dan metode.
Page 35
46
Segala sesuatu yang diciptakan di dunia ini pasti memiliki kelebihan
dan kelemahan. Begitu juga dengan model pembelajaran SAVI, kelemahan
dari model SAVI adalah: (1) pembelajaran yang melibatkan semua indera dan
pemikiran membutuhkan kemampuan yang lebih sehingga kemungkinan
penerapan kedua pokok tersebut akan mengalami kesulitan, (2) sarana
prasarana yang digunakan akan lebih banyak, (3) pembelajaran membutuhkan
persiapan yang lebih matang disegala aspek, dan (4) membutuhkan pengaturan
kelas yang lebih baik oleh guru agar siswa terlibat aktif dalam mengikuti
pembelajaran.
2.2.3 Hakikat Metode Belajar
Metode belajar merupakan salah satu sarana dan cara yang sering
digunakan oleh seorang pengajar maupun pembimbing untuk meningkatkan
dan memfasilitasi para peserta didik dalam bentuk kegiatannya untuk
mencapai suatu tujuan pembelajaran agar terjadi sesuai harapan.
Winarno Surcahmad mengatakan bahwa pemilihan dan penentuan
metode dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu latar belakang anak didik,
tujuan yang ingin dicapai, situasi yang ada, fasilitas yang tersedia dan kualitas
guru.
Perlu diketahui bahwa tidak ada satu metode pun yang dianggap paling
baik diantara metode-metode yang lain (Surachmad 2004: 2). Tiap metode
mempunyai karakteristik tertentu dengan segala kelebihan dan kelemahan
masing-masing. Suatu metode mungkin baik untuk suatu tujuan tertentu,
pokok bahasan maupun situasi dan kondisi tertentu, tetapi mungkin tidak tepat
untuk situasi yang lain.
Demikian pula dengan suatu metode yamg dianggap baik untuk suatu
pokok bahasan yang disampaikan oleh guru tertentu, kadang-kadang belum
tentu berhasil dibawakan oleh guru.
Adakalanya seorang guru juga perlu menggunakan beberapa metode
dalam menyampaikan suatu pokok bahasan tertentu agar penyajian pengajaran
didalam kelas menjadi lebih hidup.
Page 36
47
2.2.4 Fungsi Metode Pembelajaran
Penggunaan metode mengajar dalam pembelajaran ditinjau dari segi
prosesnya memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut ( Nana Sudjana, 74):
a. Sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan pembelajaran. Setiap
pembelajaran harus bertujuan, sehingga dalam proses
pembelajarannya akan memerlukan suatu cara dan teknik yang
memungkinkan dapat tercapainya tujuan tersebut.
b. Sebagai gambaran aktivitas yang harus di tempuh oleh siswa dan
guru dalam kegiatan pembelajaran
c. Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan alat penilaian
pembelajaran. Karakteristik metode pembelajaran dapat dijadikan
pertimbangan untuk penilaian.
d. Sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan bimbingan dalam
kegiatan pembelajaran, apakah dalam kegiatan pembelajaran
tersebut perlu diberikan bimbingan secara individu atau kelompok
2.2.5 Penggunaan Metode Role Playing
Dalam role-play, peserta melakukan tawar-menawar antara ekspetasi-
ekspetasi sosial suatu peran tertentu, interpretasi dinamik mereka tentang
peran tersebut, dan tingkat dimana orang lain menerima pandangan mereka
tentang peran tersebut. Sebagaimana seorang siswa yag memiliki pengalaman
peran dalam kehidupannya, biasanya dapat melakukan role-play.
Menurut pendapat Van Ments, 1994 dalam bukunya mengemukakan
bahwa penggunaan role playing dapat membuktikan diri sebagai suatu media
pendidikan yang ampuh, dimana saja terdapat peran-peran yang dapat
didefinisikan dengan jelas, yang memiliki interaksi yang mungkin dieksplorasi
dalam keadaan yang bersifat simulasi (skenario). Hasil dari interaksi pembuat
peran dengan skenario, individu-individu, atau teman lain dalam kelas atau
kedua-duanya belajar sesuatu tentang seseorang, problem atau situasi yang
spesifik dari bidang studi tersebut.
Page 37
48
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam menyajikan metode
role-play guru sebelumnya harus menguasai langkah pembelajaran. Karena
apabila pelaksanaan bermain peran mengalami kegagalan bukan saja dapat
memberi kesan yang kurang baik bagi peserta didik maupun penonton namun
sekaligus dapat mengakibatkan pada tujuan pembelajaran tidak tercapai sesuai
harapan.
2.2.5.1 Pengertian Metode Role Playing (Bermain Peran)
Role playing atau bermain peran adalah sejenis permainan gerak yang
di dalamnya ada tujuan, aturan, dan edutainment (Fogg, 2001). Dalam role
playing, siswa dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat
itu pembelajaran terjadi di dalam kelas. Selain itu, role playing sering kali
dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas di mana pembelajar
membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan peran
orang lain.
Pada role playing, titik tekannya terletak pada keterlibatan emosional
dan pengamatan indra ke dalam suatu situasi permasalahan yang secara nyata
dihadapi oleh siswa. Siswa diperlakukan sebagai subjek pembelajaran yang
secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab)
bersama teman-temannya pada situasi tertentu.
Dalam dimensi sosial, metode ini memudahkan individu untuk bekerja
sama dalam menganalisis kondisi sosial, khususnya masalah kemanusiaan.
Metode ini juga menyokong beberapa cara dalam proses pengembangan sikap
sopan dan demokratis dalam menghadapi masalah. Esensi role playing adalah
keterlibatan partisipan dan peneliti dalam situasi permasalahan dan adanya
keinginan untuk memunculkan resolusi damai serta memahami apa yang
dihasilkan dari keterlibatan langsung.
Role playing berfungsi untuk (1) mengeksplorasi perasaan siswa, (2)
mentransfer dan mewujudkan pandangan mengenai perilaku, nilai, dan
persepsi siswa, (3) mengembangkan skill pemecahan masalah dan tingkah
laku, dan (4) mengeksplorasi materi pelajaran dengan cara yang berbeda.
Page 38
49
Adapun sintak dalam pembelajaran keterampilan berbicara
menggunakan moetode role playing adalah sebagai berikut:
Berdasarkan buku Wikipedia (2012) menyebutkan bahwa role-playing
adalah sebuah permainan yang para pemainnya memainkan peran tokoh-tokoh
khayalan dan berkolaborasi untuk merajut sebuah cerita bersama.
Jill Hadfield (dalam Santoso, 2011) menyatakan bahwa role playing
adalah sejenis permainan gerak yang didalamnya ada tujuan, aturan dan
sekaligus melibatkan unsur senang.
Hadari Nawawi (dalam Kartini, 2007) menyatakan bahwa bermain
peran (role playing) adalah mendramatisasikan cara bertingkah laku orang-
orang tertentu dalam posisi yang membedakan peranan masing-masing dalam
suatu organisasi atau kelompok di masyarakat.
Sehubungan dengan itu, Santoso (2011) mengatakan bahwa metode
role playing adalah adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran
melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa.
Dengan kata lain bahwa metode pembelajaran role playing adalah suatu
metode pembelajaran dengan melakukan permainan peran yang di dalamnya
terdapat aturan, tujuan, dan unsur senang dalam melakukan proses belajar-
mengajar.
Menurut Amri (2010: 194) role playing merupakan salah satu model
pembelajaran yang diarahkan pada upaya pemecahan masalah-masalah yang
berkaitan dengan hubungan antarmanusia (interpersonal relationship),
terutama yang menyangkut kehidupan peserta didik.
Menurut Dananjaya mengenai role playing, (2011: 122) adalah
gambaran tentang suatu kondisi/paradigm tertentu pada satu hal di dalam
masyarakat. Lewat ‘skenario’, pelaku yang berlaku tanpa memberikan
informasi verbal apapun akan terlihat respon siswa/teman lain sesama aktor.
Taniredja (2011: 39), berpendapat bahwa role playing merupakan
metode mengajar yang mendramatisasikan suatu situasi sosial yang
mengandung suatu problem, agar peserta didik dapat memecahkan suatu
masalah yang muncul dari suatu situasi sosial.
Page 39
50
Role playing juga diorganisasi berdasarkan kelompok-kelompok siswa
yang heterogen. Masing-masing kelompok memerankan/menampilkan
skenario yang telah disiapkan guru.
Selain itu, role playing juga dapat diartikan sebagai suatu aktivitas
pembelajaran yang terencana yang dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan
pendidikan yang spesifik.
2.2.5.2 Tujuan Metode Role Playing
Menurut pendapat Sumiati (2009: 100), pada bukunya mengenai tujuan
metode role playing adalah menggambarkan suatu peristiwa masa lampau.
Atau dapat pula cerita dimulai dengan berbagai kemungkinan yang terjadi
baik kini maupun mendatang. Kemudian ditunjuk beberapa orang siswa untuk
melakukan peran sesuai dengan tujuan cerita.
Sedangkan menurut Amri (2010: 194) tentang tujuan metode role
playing adalah peserta didik mencoba mengeksporasi hubungan-hubungan
antarmanusia dengan cara memperagakan dan mendiskusikannya, sehingga
secara bersama-sama para peserta didik dapat mengeksplorasi perasaan-
perasaan, sikap-sikap, nilai-nilai dan berbagai pemecahan masalah.
Dari penjelasan diatas mengenai tujuan role playing (bermain peran)
pada pembelajaran keterampilan berbicara adalah bertujuan untuk
memerankan materi ajar yang diharapkan nantinya siswa dapat menerima dan
menyerap materi yang diajarkan oleh guru.
Adapun alasan pemilihan metode role playing adalah dengan
pertimbangan bahwa metode ini dirasa lebih tepat yaitu lebih efektif dan lebih
efisien untuk diterapkan dalam pembelajaran keterampilan berbicara.
Karena menurut penulis, role playing merupakan salah satu metode
yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk membantu pemahaman mereka pada
mata pelajaran Bahasa Indonesia sesuai harapan para guru.
Melalui penerapan metode ini diharapkan siswa mampu memfokuskan
pikiran, kemampuan, dan pengetahuan yang mereka miliki ke dalam perannya
sehingga siswa akan lebih mudah mengorganisasikan ide-ide dan gagasannya
Page 40
51
dalam bahasa lisan. Selain itu dengan penerapan metode ini role playingyang
efektif dan efisien tersebut diharapkan agar siswa mampu memerankan dari
karakter tokoh yang diperankan.
Metode role playing dikatakan efektif karena penerapan metode
bermain peran/sosiodrama akan lebih menghemat waktu, hal ini disebabkan
karena siswa dapat tampil praktik berbicara secara berkelompok. Selain itu,
siswa dapat menghilangkan perasaan takut dan malu karena mereka dapat
tampil bekerja sama dengan anggota kelompoknya.
Sedangkan dikatakan efisien, dimungkinkan karena proses belajar di
SD lebih banyak dilakukan dengan bermain sambil belajar atau belajar sambil
bermain. Permainan adalah hal paling menarik untuk anak-anak usia Sekolah
Dasar.
Berdasarkan uraian di atas sejalan dengan pendapat Roestiyah
(2008:22). Metode role playing (bermain peran) memiliki kelebihan sebagai
berikut: menyenangkan bagi siswa, menarik minat siswa dalam belajar,
motivasi siswa dalam belajar akan meningkat, rasa percaya diri siswa
meningkat, dan siswa memiliki kebebasan untuk mengemukakan pendapat dan
sebagainya.
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa metode role playing
(bermain peran) merupakan salah satu metode pembelajaran yakni peserta
didik melakukan kegiatan memainkan peran tokoh lain dengan penuh
penghayatan dan kreativitas berdasarkan peran suatu kasus yang sedang
dibahas sebagai materi pembelajaran pada saat itu.
2.2.5.3 Kelebihan dan Kelemahan Metode Role Playing
Dalam pelaksanaan role playing (bermain peran) memiliki kelebihan
dan kelemahan yang harus diketahui oleh guru sebelum menerapkan metode
ini.
Adapun kelebihan dalam metode role playing ini menurut Roestiyah
(2008: 93) adalah sebagai berikut:
Page 41
52
1. Melibatkan seluruh siswa dapat berpartisipasi mempunyai
kesempatan untuk memajukan kemampuannya dalam bekerjasama
2. Siswa lebih tertarik perhatiannya pada saat pembelajaran
3. Melatih siswa untuk aktif selama pembelajaran sedang berlangsung
4. Bahasa lisan siswa dapat dibina menjadi bahasa yang baik agar
mudah dipahami
5. Memunculkan rasa tanggung jawab terhadap peran yang dilakoni
6. Bahasa lisan siswa dapat dibina menjadi bahasa yang baik agar
mudah dipahami orang lain.
7. Guru dapat mengevaluasi pemahaman tiap siswa pada waktu
melakukan permaianan.
Sedangkan menurut Hamalik (2012: 2014) kelebihan model role
playing, yaitu waktu bermain peran siswa dapat bertindak dan
mengekspresikan perasaan dan pendapat tanpa mengkhawatirkan
mendapatkan sangsi. Bermain peran memungkinkan para siswa
mengidentifikasikan situasi-situasi dalam dunia nyata dan dengan ide-ide
orang lain.
Dilihat dari kelebihan-kelebihan bermain peran yang dikemukan di atas,
dapat disimpulkan bahwa berhasilnya pemeran tersebut bergantung pada
kegiatan yang dilakukan siswa terutama pada analisis sebagai tindak
lanjutnya.
Adapun kelemahan metode role playing menurut Afroh (2012) adalah
sebagai berikut:
1. Bermain peran (role playing) memakan waktu yang banyak
2. Peserta didik sering mengalami kesulitan untuk memerankan peran secara
baik khususnya jika mereka tidak diarahkan atau tidak ditugasi dengan
baik
3. Bermain peran (role playing) tidak akan berjalan dengan baik jika suasana
kelas tidak mendukung
Page 42
53
4. Peserta didik yang tidak dipersiapkan dengan baik ada kemungkinan tidak
akan melakukan secara sungguh-sungguh, dan
5. Tidak semua materi pelajaran dapat menerapkan metode ini.
Berdasarkan pernyataan di atas mengenai kelemahan dari penggunaan
metode role playing, maka salah satu solusi yang tepat digunakan ketika
menerapkan metode role playing dalam pembelajaran adalah guru sebelumnya
mempersiapkan setting waktu, waktu yang dipilih guru hendaknya tidak
memakan waktu mata pelajaran lain.
Jika pun memakan waktu mata pelajaran lain, guru yang hendak
menerapkan metode role playing ini sebelumnya harus meminta
ijin/persetujuan kepada guru bersangkutan sehingga hal tersebut tidak
mengganggu terlaksananya mata pelajaran berikutnya.
Setting tempat, tempat yang luas/terlihat tidak sempit akan
memudahkan peserta didik dalam mengekspresikan gaya sehingga
memudahkan peserta didik dalam memerankan peran sesuai karakter masing-
masing.
Mengingat bahwa penguasaan gaya/ekspresi yang ditunjukkin peserta
didik sangat menentukan dalam kriteria penilaian. Selain itu, guru juga terlebih
dahulu menyampaikan masalah yang hendak diperankan oleh siswa sebelum
melakukan perannya. Sehingga dalam pelaksanaan dalam penggunaan metode
role playing siswa maupun guru tidak mengalami kendala.
2.2.6 Alasan Penggunaan Model SAVI
Meier (2000) merupakan seorang pendidik, trainer sekaligus penggagas
model accelerated learning. Salah satu model pembelajarannya adalah apa
yang dikenal dengan SAVI (Somatic Auditory Visualization Intellectualy).
Menurut Meier, guru hendaknya menerapkan cara belajar somatic, auditori,
visual, dan intelektual dalam pembelajarannya. Artinya belajar tidak secara
otomatis meningkat dengan adanya orang-orang berdiri dan bergerak di sekitar.
Page 43
54
Akan tetapi menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual
dan penggunaan semua indera dapat memiliki efek mendalam pada
pembelajaran.Cara belajar yang demikian disebut SAVI.
Komponen yang mudah diingat dalam SAVI antara lain: (1) somatic,
yang berati belajar dengan cara bergerak dan berbuat; (2) auditori, yaitu belajar
dengan cara berbicara dan mendengarkan; (3) visual, yaitu belajar dengan cara
mengamati dan menggambarkan; (4) intelektual, yang berarti belajar dengan
memecahkan masalah dan mencerminkan. Keempat model pembelajaran harus
dihadirkan untuk terjadinya proses pembelajaran yang optimal. Karena semua
elemen ini terintegrasi, jenis terbaik dari pembelajaran akanterjadi jika
keempatnya digunakan secara bersamaan.
Berpijak dari kondisi nyata yang dialami, maka dalam melakukan
sebuah pembelajaran dengan tujuan meningkatkan keterampilan berbicara
siswa, guru hendaknya mampu menyajikan keempat elemen tersebut dalam
pembelajaran sehingga diharapkan hasil belajar siswa juga dapat meningkat.
Dalam penggunaan model SAVI ini, tentu merupakan solusi yang tepat
untuk menyelesaikan permasalahan yang dialami siswa. Karena model
SAVImemberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar melalui aktivitas
fisik, mendengar dan berbicara, mengamati, serta memecahkan masalah.
Dalam penerapannya pun, model pembelajaran SAVI sangat efektif ketika di
padukan dengan satu metode yaitu metode bermain peran (role playing).
Menurut Meier (2005) empat unsur SAVI dalam satu peristiwa
pembelajaran semuanya diterapkan dengan baik maka pembelajaran dapat
dapat berjalan dengan optimal. Misalnya, orang dapat belajar sedikit dengan
menyaksikan presentasi (V) tetapi mereka dapat melakukan sesuatu ketika
presentasi berlangsung (S), membicarakan apa yang sedang mereka pelajari
(A), dan memikirkan cara menerapkan informasi dalam presentasi tersebut
pada pekerjaan mereka (I), atau mereka dapat memecahkan masalah (I) jika
mereka secara simultan menggerakkan sesuatu (S) untuk menghasilkan
pictogram atau pajangan tiga dimensi (V) sambil membicarakan apa yang
sedang mereka kerjakan (A).
Page 44
55
Bertolak dari pernyataan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model
SAVI memungkinkan siswa untuk terampil dalam berbicara sehingga dalam
keterampilan berbicara seluruh siswa diharapkan dapat aktif dan dapat
memanfaatkan seluruh indera pada diri mereka.
2.2.7 Alasan Penggunaan Metode Role Playing
Penggunaan metode role playing yang akan diterapkan oleh seorang
guru dalam pembelajaran tentu didasarkan adanya alasan atau pertimbangan.
Alasan tersebut dimungkinkan bahwa metode role playing sangat tepat untuk
mencapai suatu tujuan pembelajaran tertentu.
Dalam penggunaan metode role playing dapat digunakan untuk
meningkatkan keterampilan berbicara peserta didik karena dalam bermain
peran itu sendiri, peserta didik diharuskan untuk terampil berbicara kepada
lawan bicaranya atau pemeran lainnya.
Menurut B. Joyce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun (2009:341) ada
dua alasan seorang guru memutuskan untuk menggunakan metode role playing
dengan sekelompok siswa. Salah satunya adalah untuk memulai program
pendidikan sosial yang sistematis, role playing banyak menyediakan materi
untuk didiskusikan dan dianalisis. Untuk itu, sebuah masalah dalam situasi
tertentu mugkin akan dipilih. Alasan yang kedua adalah untuk memberi saran
pada sekelompok siswa dalam menghadapi sebuah masalah keseharian. Role
playing bisa memunculkan permasalahan untuk diteliti siswa dan membantu
siswa memecahkan masalah.
Penanaman dan pengembangan aspek nilai, moral, dan sikap siswa akan
lebih mudah dicapai apabila siswa secara langsung mengalami (memerankan)
peran tertentu, dari pada hanya mendengarkan penjelasan ataupun melihat dan
mengamati saja. (http://www.scribd.com/doc/13065635/Metodemetode-
pembelajaran). Penjelasan tersebut cukup memberikan alasan kuat bahwa
penggunaan metode role playing dapat mengembangkan aspek sikap atau
kepribadian siswa menjadi lebih baik. Pengalaman dengan melakukan
Page 45
56
langsung (bermain peran) tentu akan lebih membekas pada diri peserta didik
daripada hanya melihat atau mendengarkan saja.
Brown (2005) menyatakan bahwa pembelajaran sosiodrama (bermain
peran) merupakan model belajar yang menciptakan pemahaman yang
mendalam mengenai sistem sosial yang membentuk kita secara individu dan
kolektif.
Sosiodrama (bermain peran) adalah model pembelajaran bermain peran
untuk memecahkan berbagai masalah yang berkaitan dengan fenomena sosial,
hubungan antara manusia seperti masalah kenakalan remaja, narkoba,
gambaran keluarga yang otoriter, dan lain sebagainya. Sosiodrama digunakan
untuk memberikan pemahaman dan penghayatan masalah sosial serta
mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memecahkan masalahnya
(Depdiknas, 2008).
Bertolak dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
alasan penggunaan metode role playing yaitu metode ini dapat memupuk jiwa
sosial anak dan membantu siswa dalam memecahkan masalaha kehidupannya
serta mengembangkan aspek nilai, moral dan sikap siswa.
2.2.8 Langkah-langkah Model Pembelajaran SAVI
Suatu model pembelajaran dikatakan berhasil dengan baik apabila
dilaksanakan sesuai dengan langkah-langkah model pembelajaran tersebut.
Dalam melaksanakan pembelajaran dengan model Somatic, Auditory, Visual,
Intellectualy (SAVI). Ada empat tahapan dalam rencana pembelajaran SAVI
(Meier, 2013). Kerangka perencanaan pembelajaran SAVI dapat direncanakan
dan dikelompok dalam empat tahap, antara lain:
Page 46
57
Tabel 2.4 Sintak Pembelajaran Keterampilan Berbicara
Menggunakan Model SAVI
Gaya Belajar
SAVI
Aktivitas
Somatis Siswa bergerak ketika mereka:
1. Membuat model dalam suatu proses atau prosedur
2. Menciptakan, gaya pictogram atau pariferalnya
3. Memperagakan suatu proses, system, atau seperangkat
konsep
4. Mendapatkan pengalaman, kemudian menceritakan
dan merefleksikannya
5. Menjalankan pelatihan belajar aktif, (simulasi,
permainan belajar dan lain-lain)
Auditor Berikut ini gagasan-gagasan awal untuk meningkatkan sarana
auditori dalam belajar:
1. Siswa diajak membaca keras-keras dari buku panduan
mengenai materi yang akan disajikan
2. Menceritakan kisah-kisah yang mengandung materi
pembelajaran yang terkandung di dalam buku
pembelajaran yang dibaca mereka (contoh: kehidupan
nyata)
3. Mintalah siswa berpasang-pasangan membincangkan
secara terperinci apa yang baru saja mereka pelajari
dan bagaimana mereka akan menerapkannya
Visual Hal-hal yang dapat dilakukan agar pembelajaran lebih visual
adalah:
1. Bahasa yang penuh gambar (metafora, analogi)
2. Penilaian presentesi pada saat siswa mulai
mempresentasikan
3. Bahasa tubuh yang dramatis
4. Pengamatan lapangan
Intelektual Aspek intelektual yang diamati dalam belajar akan terlatih
jika kita membuat pembelajaran tersebut dalam aktivitas
seperti:
1. Memecahkan masalah
2. Menganalisis pengalaman
3. Memilih gagasan kreatif
4. Mencari dan menyaring informas
5. Menciptakan makna pribadi
2.2.9 Langkah-langkah Metode Role Playing
Berikut adalah daftar beberapa hal yang harus dipertimbangkan oleh
guru sebelum masuk kelas dan memulai role playing:
Page 47
58
Tabel 2.5 Sintak Pembelajaran Keterampilan Berbicara
Menggunakan Metode Role Playing
Tahap Pertama Memanaskan Susana
Kelompok
Tahap Kedua Memilih Partisipan
1. Mengidentifikasikan dan
memaparkan masalah
2. Menjelaskan masalah
3. Menafsirkan masalah
4. Menjelaskan role playing
1. Menganalisis peran
2. Memilih pemain yang akan
melakukan peran
Tahap Ketiga Mengatur
Setting
Tahap Keempat Mempersiapkan
Peneliti
1. Mengatur sesi-sesi tindakan
2. Kembali menegaskan peran
3. Lebih mendekat pada situasi
yang bermasalah
1. Memutuskan apa yang akan
dicari
2. Memberikan tugas
pengamatan
Tahap Kelima Pemeranan Tahap Keenam Berdiskusi dan
Mengevaluasi
1. Memulai role play
2. Mengukuhkan role play
3. Menyudahi role play
1. Mereview pemeranan
(kejadian, posisi, kenyataan)
2. Mendiskusikan focus-fokus
utama
3. Mengembangkan pemeranan
selanjutnya
Tahap Ketujuh Memerankan
Kembali
Tahap Kedelapan Diskusi dan
Evaluasi
1. Memainkan peran yang
diubah, member masukan
atau alternatif perilaku dalam
langkah selanjutnya.
1. Sebagaimana dalam tahap
enam
Tahap Kesembilan Berbagi dan Menggeneralisasikan Pengalaman
Menghubungkan situasi yang bermasalah dengan kehidupan di dunia nyata
serta masalah-masalah yang baru muncul. Menjelaskan prinsip umum dalam
tingkah laku
Sumber: berdasar buku Fannie Shafthel dan George Shaftel, Role Playing of
Social Value (Englewood Cliffs, N. J. ; Pretice-Hall, Inc. 1967)
Page 48
59
Berdasarkan pendapat dari ahli di atas, bahwa dalam menyajikan dan
menerapkan metode role playing di kelas maka yang harus diperhatikan yaitu
dengan berpedoman pada langkah-langkah pembelajaran dalam penerapan role
playing.
Selain mempertimbangkan kelebihan dan kelemahan serta langkah-
langkah dalam metode role playing dalam pelaksanaannya. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam melaksanakan metode pembelajaran menggunakan role
playing menurut Roestiyah (2008: 91) adalah:
1. Guru harus menerangkan kepada siswa untuk memperkenalkan
teknik ini, bahwa dengan metode ini siswa diharapkan dapat
memecahkan masalah sosial yang aktual di lingkungan masyarakat.
2. Guru harus memilih masalah yang urgen, sehingga menarik minat
anak.
3. Agar siswa memahami peristiwanya, maka guru harus bisa
menceritakan sambil mengatur adegan yang pertama
4. Jelaskan pada pemeran-pemeran itu sebaik-baiknya, sehingga
mereka tahu tugas perannya, menguasai masalahnya dengan
bermimik ataupun berdialog
5. Bila siswa belum terbiasa, perlu dibantu guru dalam menimbulkan
kalimat pertama dialog
6. Setelah role playing itu dalam situasi klimaks, maka harus
diberhentikan agar kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah
dapat didiskusikan secara umum. Sehingga para penonton ada
kesempatan untuk berpendapat, meniai permainan dan sebagainya.
7. Sebagai tindak lanjut dari hasil diskusi, walau mungkin masalahnya
belum dipecahkan.
Maka, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam
pelaksanaannya guru harus mempertimbangkan tahap-tahap perencanaan agar
dalam pencapaiannya pendekatan dari metode role playing dapat berlangsung
sesuai harapan.
Page 49
60
2.3 Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian peningkatan keterampilan berbicara dengan menggunakan
model SAVI dan metode Role Playing siswa kelas 4 SD Negeri 1 Kecamatan
Getasan ini tidak terlepas dari penelitian sebelumnya.
Penelitian yang relevan menggunakan model pembelajaran SAVI
dengan menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar pernah dilakukan
Arif dengan judul penelitian “Meningkatkan Keterampilan Menulis Karangan
di Kelas IV SDN 17 Blengorkulon”. Penelitian ini berhasil mencapai suatu
perbaikan dalam kategori baik karena mempunyai nilai rata-rata skor 73,40.
Selain penelitian dari Arif, ada lagi sebuah penelitian yang relevan,
yaitu penelitian Nurhatim (2009) yang berjudul “Penggunaan Metode Role
Playing untuk Meningkatkan Kemampuan Menceritakan Isi Cerpen Siswa
Kelas X SMA Darul Singosari”. Jenis penelitian ini adalah PTK, dengan tujuan
untuk mengetahui peningkatan kemampuan berbicara siswa dalam hal
menceritakan isi cerpen melalui penerapan metode role playing. Adapun
aspek-aspek yang di tingkatkan, yaitu: (1) kemampuan menceritakan cerpen
pada aspek kebahasaan yang mencakup intonasi, jeda, pilihan kata/diksi,
struktur kalimat; (2) aspek nonkebahasaan yang meliputi keberanian,
kelencaran, ekpresi/mimic; dan (3) aspek isi meliputi kerincian, kesesuaian,
kelengkapan dan kejelasan.
Nurhatim melakukan penelitian ini dalam dua siklus dengan hasil yang
menunjukkan bahwa penerapan metode role playing dapat meningkatkan
kemampuan siswa dalam menceritakan isi cerpen yang meliputi peningkatan
aspek kebahasaan dan nonkebahasaan pada setiap siklusnya secara signifikan.
Persamaan dari penelitian Nurhatim dengan penelitian ini yaitu terletak pada
jenis penelitian dan metodenya yakni penelitian tindakan kelas (PTK), serta
sama-sama menerapkan metode role playing. Hanya saja ada sedikit perbedaan
pada objek kajian penelitiannya, penilitian yang dilakukan oleh peneliti
bertujuan untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa secara umum
menggunakan model SAVI (Somatic Auditory Visualization Intellectually),
Page 50
61
sedangkan penelitian Nurhatim untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam
menceritakan isi cerpen.
Selain itu, Siti Markhumah. 2009. Meningkatkan kemampuan berbicara
melalui metode bermain peran. Dilaksanakan di SDN No. 30 Kota Selatan
Gorontalo. Permasalahan dalam penelitian tersebut, yakni apakah melalui
metode bermain peran dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa Kelas
IV SDN No. 30 Kota Selatan Gorontalo? Tujuan penelitian ini adalah untuk
meningkatkan keterampilan berbicara siswa Kelas IV SDN no. 30 Kota Selatan
Gorontalo.
Hasil pelaksanaan diketahui bahwa pada pelaksanaan siklus I presentase
keberhasilan mencapai 50% yang memperoleh kriteria baik, serta 50% yang
memperoleh kriteria cukup atau kurang baik. Sedangkan pada siklus II
diperoleh 25% yang berkriteria sangat baik dan 75% yang berkriteria baik.
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa
pelaksanaan pembelajaran Bahasa Indonesia menggunakan metode bermain
peran dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa di SDN No. 30 Kota
Selatan Gorontalo.
Bertolak dari penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dengan
menggunakan model SAVI dan metode role playing, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa peneliti lebih termotivasi dalam menerapkan model SAVI
dan metode role playing untuk meningkatkan proses dan hasil belajar
keterampilan berbicara pada siswa kelas 4 SD Negeri 1 Kecamatan Getasan.
Sesuai dengan permasalahan dan kondisi yang ada di sekolah yang menjadi
tempat penelitian.
Menurut pendapat Meier (2003), mengenai model pembelajaran SAVI
bahwa model pembelajaran ini akan memberikan dampak yang optimal jika
dalam implementasinya berpedoman terhadap langkah-langkah pembelajaran.
Sedangkan menurut pendapat B. Joyce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun
(2009) bahwa metode role playing menyediakan materi untuk didiskusikan dan
dianalisi oleh siswa. Dalam situasi tersebut tentu akan memberikan gambaran
pada sekelompok siswa dalam menghadapi sebuah masalah/persoalan yang
Page 51
62
sedang dialaminya. Penerapan metode role playing juga dapat meningkatkan
keterampilan berbicara siswa khususnya pada mata pelajaran Bahasa
Indonesia.
2.4 Kerangka Pikir
Keterampilan berbicara merupakan salah satu keterampilan yang harus
diajarkan dan dikuasai oleh siswa dalam kegiatan belajar dan mengajar di
Sekolah Dasar (SD), karena keterampilan berbicara bermanfaat bagi siswa
(khususnya siswa SD) untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan
baik serta mengembangkan kemampuan siswa dalam berbahasa.
Berdasarkan hasil observasi awal (prasiklus) yang telah dilakukan oleh
peneliti menunjukkan bahwa hasil belajar keterampilan berbicara siswa kelas 4
SD pada Negeri Sumogawe 1 Kecamatan Getasan diidentifikasikan masih
mengalami kesulitan dan tergolong rendah. Pembelajaran keterampilan
berbicara yang selama ini dilakukan di dalam kelas masih mengalami beberapa
hambatan yang dapat menyebabkan rendahnya keterampilan tersebut.
Penyebab rendahya keterampilan berbicara tersebut antara lain sebagai berikut:
(1) Siswa kurang berminat dan termotivasi dalam kegiatan berbicara. (2) Sikap
ketika berbicara dalam kegiatan berbicara siswa terlihat tegang dan kurang
rileks. Sehingga siswa masih kesulitan dalam mengucapkan bahasa lisan yang
akan disampaikan. (3) Kurangnya latihan keterampilan berbicara yang
diterapkan dalam pembelajaran. (4) Proses pembelajaran keterampilan
berbicara yang diterapkan guru masih menggunakan metode konvesional
sehingga mengurangi minat dan antusias bagi siswa, serta (5) Siswa masih
malu ketika diminta berbicara di depan kelas.
Bertolak dari permasalahan di atas, diperlukan suatu tindakan dengan
menggunakan metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk
meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Salah satu metode yang dapat
diterapkan adalah metode bermain peran (role playing). Dengan metode
pembelajaran ini, keterampilan berbicara siswa diharapkan dapat meningkat
Page 52
63
karena metode ini menyajikan cara yang lebih efektif dan efisien untuk
membantu siswa dalam mengikuti pembelajaran berbicara.
Dikatakan efektif, karena penerapan metode bermain peran akan lebih
menghemat waktu, hal ini disebabkan karena siswa dapat tampil praktik
berbicara secara berkelompok. Dikatakan efisien, karena dengan bermain peran
siswa seolah-olah dihadapkan pada situasi belajar sambil bermain, pada
umumnya permainan merupakan hal paling menarik untuk anak-anak usia
Sekolah Dasar.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kenyataan kehidupan yang ada dimuka
bumi ini terdiri atas beratus-ratus suku bangsa yang masing-masing
mempunyai bahasa daerahnya sendiri-sendiri, tetapi kenyataan itu tidaklah
mengurangi penghargaan orang-orang tersebut terhadap bahasa nasional,
bahasa Indonesia.
Sebagian besar orang bahwa bahasa daerah adalah bahasa pertama yang
dikenal dalam lingkungannya. Bahasa daerah juga sering digunakan di
lingkungan keluarga maupun daerah masing-masing (desa ataupun kampung).
Kemudian setelah memasuki bangku sekolah, orang-orang mulai berkenalan
dengan bahasa Indonesia. Jadi, bahasa Indonesia adalah bahasa kedua bagi
masyarakat Indonesia maupun peserta didik.
Bagi orang-orang, bahasa Indonesia itu sukar-sukar mudah. Dikatakan
bahasa Indonesia itu mudah sebenarnya sukar. Namun, bila dikatakan sukar,
dalam kehidupan/pergaulannya setiap hari orang-orang sering menggunakan
bahasa itu sendiri. Hal inilah yang seringkali menjadi pertanyaan dan
permasalahan bagi orang lain.
Orang-orang pada umumnya menganggap bahasa Indonesia itu mudah
karena setiap hari mereka mendengar orang lain menggunakannya, setiap hari
berjumpa dengan orang-orang yang berbeda-beda bahasa dan budayanya,
bahkan setiap hari berbicara menggunakan bahasa yang sesuai dengan
lingkungannya masing-masing, serta menerima pesan secara singkat maupun
instan yang tertulis dalam bahasa Indonesia. Namun, hal itu masih dirasakan
Page 53
64
sulit bagi orang-orang/mereka yang tidak memahami dengan benar mengenai
tata bahasa Indonesia yang sebenarnya.
Bisa dikatakan bahwa telinga dan matanya sudah kerapkali mendengar
dan melihat penulisan maupun ujaran yang dibuat dalam bentuk bahasa
Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan orang-orang berpendapat bahwa
bahasa Indonesia dianggap mudah. Padahal, ketika berjumpa atau berbicara
dengan orang lain masih banyak tutur kata atau ucapannya yang belum
sepenuhnya dimengerti oleh orang lain. Hal ini terjadi dikarenakan adanya
faktor internal yang sering diabaikan oleh seseorang dalam berkomunikasi.
Penggunaan metode role playing (bermain peran) sangat cocok untuk
pelajaran bahasa Indonesia dalam upaya meningkatkan keterampilan berbicara
siswa. Karena, dengan metode ini akan menuntut siswa untuk dapat mengerti
dan memhami konsep materi yang akan dipelajari. Dengan demikian, dalam
belajar siswa tidak hanya dapat menghafal melainkan siswa juga dapat
menghayati peran-peran yang dimainkan pada saat kegiatan bermain peran
dilakukan.
Pemilihan metode dan model yang tepat sangat menunjang keberhasilan
dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Pemanfaatan model dan metode yang
digunakan diharapkan dapat merangsang siswa untuk dapat aktif dalam
pembelajaran sehingga nantinya akan menghasilkan hasil belajar yang juga
memuaskan para guru maupun peserta didik sendiri.
Tetapi, kenyataan yang terjadi setelah melakukan observasi di SD
Negeri Sumogawe 1 Kecamatan Getasan, masih terlihat kondisi siswa yang
kurang kondusif dan aktif selama pembelajaran sedang berlangsung.
Pada kondisi akhir diharapkan terdapat peningkatan dari proses belajar
hingga hasil belajar keterampilan berbicara. Peningkatan ini akan ditandai
dengan target akhir sebanyak 80% dari jumlah siswa kelas 4 yang ada
mendapatkan nilai di atas KKM yang telah ditetapkan atau batas ketuntasan
dalam pembelajaran keterampilan berbicara
Oleh sebab itu, berdasarkan penjelasan diatas, peneliti memberikan
suatu solusi supaya pembelajaran bahasa Indonesia dapat menarik perhatian
Page 54
65
seluruh peserta didik khususnya di kelas 4 SD Negeri Sumogawe 1 Kecamatan
Getasan agar dapat aktif dalam proses pembelajaran, yaitu dengan penerapan
metode Role Playing menggunakan model SAVI (Somatic Auditory
Visualization Intellectualy) untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa
pada mata pelajaran bahasa Indonesia khususnya di SD Negeri Sumogawe 1
Kecamatan Getasan.
Adapun bagian kerangka berpikir dapat dilihat di bawah ini sebagai
berikut:
Gambar 2.2 Kerangka berpikir menggunakan model SAVI dan metode
Role Playing pada proses dan hasil pembelajaran keterampilan
berbicara.
Sebelum
Tindakan
Tindakan
Tindakan
Akhir
Guru belum menerapkan Model
SAVIdan metode Role Playing
dalam pembelajaran
keterampilan berbicara
Proses dan hasil
pembelajaran keterampilan
berbicara siswa masih
rendah
Guru
menggunakanModelSAVIdan
Metode role playingdalam
pembelajaran keterampilan
berbicara
Dengan menggunakan model SAVI dan metode Role Playing
dapat meningkatkan proses dan hasil pembelajaran
keterampilan berbicara siswa kelas 4 SD Negeri 1
Kecamatan Getasan
1. Siswa aktif dan saling
bekerjasama pada saat
pembelajaran
keterampilan berbicara
2. Kesungguhan dan minat
siswa pada pembelajaran
keterampilan berbicara
meningkat
3. Guru dapat
membangkitkan motivasi
siswa dalam
pembelajaran
keterampilan berbicara.
Page 55
66
2.5 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teori, penelitian yang relevan, dan kerangka berpikir
sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis
penelitian tindakan kelas yaitu “Penerapan model pembelajaran SAVI dengan
metode Role Playing (bermain peran) diduga dapat meningkatkan proses dan
hasil belajar keterampilan berbicara siswa kelas 4 SD Negeri Sumogawe 1
Kecamatan Getasan Semester II Tahun Ajaran 2015-2016”.