BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hakikat IPA Menurut Hartati (1998 : 11) ada 3 unsur utama IPA, yaitu sikap manusia, proses atau metode ilmiah, dan hasil yang satu sama yang lain tidak dapat dipisahkan. Sikap manusia berupa rasa ingin tahu akan lingkugan, kepercayaan – kepercayaannya, nilai – nilai dan opini – opininya. Dari rasa ingintahu itu muncul masalah – masalah, dan untuk pemecahannya digunakan proses atau metode ilmiah. Metode ilmiah meliputi cara menyusun hipotesis, membuat desain eksperimen, dan avaluasi. Jadi, dalam belajar IPA siswa tidak hanya mempelajari produk IPA yang berupa teori atau konsep saja, tetapi melalui sikap, proses, dan hasil. Cains dan Evans dalam Hartati (1998 : 12) menjelaskan tentang hakikat sains. Dahulu, sebelum tahun 1960 sains didekati sebagai kumpulan ilmu pengetahuan atau fakta yang harus dihafal dan diulang- ulang sampai pada tes. Pada tahun 1960-an terjadi perkembangan adlam memandang sains. Sains tidak hanya dipandang sebagai produk atau isi, melainkan juga dipandang sebagai proses. Pendidik sains mulai menggunakan istilah Sciencing untk memfokuskan pada perubahan ini. Tahun 1980-an terlihat interes baru dalam sains di sekolah dasar dan menegah, tema yang muncul waktu itu adalah sains untuk semua. Pengajaran sains utamanya menekankan keterkaitan antara sains dengan kehidupan sehari – hari. Tugas yang penting bagi guru IPA adalah mempersiapkan siswa untuk menjalani kehidupan pada dunia teknologi yang terus meningkat yang mereka hadapi sekarang dan pada abad 21 ini. Selanjutnya cukup penting untuk dapat mempersiapkan pengejaran sains yang sesuai dengan hakikat sains. What is science? What is science do I teach? These are questions that one must ask in order to become aware of following co,ponents of science : (1) Content or product, (2) Proses or methods, (3) Attitude, (4) Technology. Mengajarkan sains 6
20
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hakikat IPArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/665/3/T1... · · 2012-11-20proses atau metode ilmiah, dan hasil yang satu sama yang lain tidak dapat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Hakikat IPA
Menurut Hartati (1998 : 11) ada 3 unsur utama IPA, yaitu sikap manusia,
proses atau metode ilmiah, dan hasil yang satu sama yang lain tidak dapat
dipisahkan. Sikap manusia berupa rasa ingin tahu akan lingkugan, kepercayaan –
kepercayaannya, nilai – nilai dan opini – opininya. Dari rasa ingintahu itu
muncul masalah – masalah, dan untuk pemecahannya digunakan proses atau
metode ilmiah. Metode ilmiah meliputi cara menyusun hipotesis, membuat
desain eksperimen, dan avaluasi.
Jadi, dalam belajar IPA siswa tidak hanya mempelajari produk IPA yang
berupa teori atau konsep saja, tetapi melalui sikap, proses, dan hasil.
Cains dan Evans dalam Hartati (1998 : 12) menjelaskan tentang hakikat
sains. Dahulu, sebelum tahun 1960 sains didekati sebagai kumpulan ilmu
pengetahuan atau fakta yang harus dihafal dan diulang- ulang sampai pada tes.
Pada tahun 1960-an terjadi perkembangan adlam memandang sains. Sains tidak
hanya dipandang sebagai produk atau isi, melainkan juga dipandang sebagai
proses. Pendidik sains mulai menggunakan istilah Sciencing untk memfokuskan
pada perubahan ini.
Tahun 1980-an terlihat interes baru dalam sains di sekolah dasar dan
menegah, tema yang muncul waktu itu adalah sains untuk semua. Pengajaran
sains utamanya menekankan keterkaitan antara sains dengan kehidupan sehari –
hari. Tugas yang penting bagi guru IPA adalah mempersiapkan siswa untuk
menjalani kehidupan pada dunia teknologi yang terus meningkat yang mereka
hadapi sekarang dan pada abad 21 ini. Selanjutnya cukup penting untuk dapat
mempersiapkan pengejaran sains yang sesuai dengan hakikat sains. What is
science? What is science do I teach? These are questions that one must ask in
order to become aware of following co,ponents of science : (1) Content or
product, (2) Proses or methods, (3) Attitude, (4) Technology. Mengajarkan sains
6
7
yang benar harus mencakup keempat komponen tersebut. Adapun penjelasannya
ada;ah sebagai berikut (Cains dan Evans dalam Hartati, 1998:12)
a. Sains sebagai produk
Sains sebagai produk atau isi. Komponen ini mencakup fakta, konsep,
prinsip, hukun dan teori. Pada tingkat dasar sains dibedakan menjadi tiga,
yaitu kehidupan (biologi), fisik, dan ilmu bumi.
b. Sains sebagai proses
Sains sebagai proses, disini sains tidak dipandang sebagai kata benda,
kumpulan pengetahuan atau fakta untuk dihalalkan melainkan sebagai kata
kerja, bertindak melakukan, meneliti, yaitu sins dipandang sebagai alat untuk
mencapai sesuatu. Bagaimana anak memperoleh informasi ilmiah itu lebih
penting daripada sekedar keterlibatan mereka menghafal ini sains. Mereka
membutuhkan penglaman yang meliputi mengumpulkan data, menganalisis,
dan mengevaluasi isi sains. Ini adalah inti bersains. Pendekatan sains ini
mengubah peranan tradisional baik bagi guru maupun siswa. pendekatan
sains menuntut partisipasi aktif siswa dan guru yang berfungsi sebagai
pembimbing atau nara sumber. Pendekatan ini memacu pada tumbuhan dan
perkembangan pada semua area pembelajaran tidak hanya dalam
menghafalkan fakta.
Pendekatan pendidikan sains yang baik seharusnya termasuk
mengembangkan keterampilan proses penelitian yang meliputi keterampilan
proses IPA dasar dan keterampilan proses IPA terpadu. Keterampilan proses
IPA dasar terdiri dari pengamatan, klasifikasi, pengukuran, penggunaan
hubungan ruang / waktu, komunikasi, prediksi, dan inferensi. Selanjutnya
proses yang lebih kompleks (keterampilan proses terpadu) terdiri dari
pendefinisian variabel secara operasional, perumusan hipotesis,
penginterprerasian data, pengontrolan variabel, dan eksperimen.
Ketrampilan proses penelitian merupakan dasar dari semua
pembelajaran. Ketrampilan tersebut tidak boleh terpisah dari isi sains,
melinkan merupakan alat penelitian ilmiah. Penggunaan ketrampilan tersebut
8
dalam mengumpulkan, mengorganisasi, menganalisis, dan mengevaluasi isi
sains merupakan tujuan sains.
c. Sains sebagai sikap
Guru pada sekolah dasar harus memotivasi anak didiknya untuk
mengembangkan pentingnya mencari jawaban dan penjelasan rasional
tentang fenomena alam dan fisik. Sebagai guru hendaknya dapat
memanfaatkan keingintahuan anak dan mengembangkan sikatersebut untuk
peemuan.
Memfokuskan pada pencarian jati diri anak mengapa dan bagaimana
fenomena terjadi. Anak – anak sebaiknya jangan takut membuat kesalahan,
karena dengan membuat kesalahan akan dihasilkan pengetahuan ilmiah. Sains
dapat bersifat menyenangkan dan penuh stimulus. Anak – anak seharusnya
terlibat dalam aktifitas yang dapat “mengecukan” pengalamannya yang telah
terstruktur.
d. Sains sebagai sikap
Selama tahun 1980-an sains ditekankan pada penyiapan siswa untuk
menghadapi dunia modern. Perkembangan trknologi yang berhbungan
dengan kehidupan seari – hari menjadi bagian penting dari belajar sains.
Penerapan sains dalam penyelesaian masalah dunia nyata tercantum pada
kurikulum baru. Pada kurikulum tersebut siswa terlibat dalam
mengidentifikasi masalah dunia nyata dan merumuskan alternatif
penyelesaiannya dengan menggunakan teknologi. Pengalaman ini
membentuk suatu pemahaman penalaran sains dalam perkembangan
teknologi. Sains bersifat praktis sebagai bekal yang berguna dalam kehidupan
sehari hari. Siswa harus terlibat dalam pembelajaran sains yang berkaitan
dengan masalah kehidupan sehari – hari dan juga dalam memahami dampak
sains dan teknologi pada masyarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sains dapat didefinisikan
sebagai produk, proses, sikap, dan teknologi. Dalam pelaksanaan
pembelajaran IPA, guru harus memberi perhatian kepada siswa untuk
menentukan apa yang dipelajari siswa dalam sains melalui produk, proses dan
9
sikap. Dengan teknologi, siswa dapat mempelajari kehidupan secara nyata,
mengidentifikasi masalah, dan menyelesaikannya dengan memanfaatkan
teknologi.
Pembelajaran akan lebih bermakna jika siswa diberi kesempatan untuk
tahu dan terlibat secara aktif dalam menentukan konsep dari fakta – fakta
yang dilihat dari lingkungan dengan bimbingan guru (Trianto, 2007 : 141).
Peran guru hanya sebagai fasilisator yang membimbing siswa untuk
mencapai tujuan pembelajaran.
2.2. Pengajaran IPA di SD
Standar isi IPA SD / MI pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
menjelaskan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara
mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya
penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta – fakta, konsep –
konsep, atau prinsip – prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses
penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta
didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, secara prospek
pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari –
hari. Proses pembelajarannya meneankan pada pemberian pengalaman
langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan mengalami
alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diharapkan untuk inkuiri dan
berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam tentang dalam sekitar.
IPA diperlukan dalam kehidupan sehari – hari untuk memenuhi
kebituhan manusia melalui pemecahan masalah – masalah yang dapat
diidentifikasikan. Penerapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak
berdampak buruk pada lingkungan. Di tingkat SD / MI, diharapkan ada
penerapan pembelajaran. Salingtemas (Sains, Lingkungan, Teknologi, dan
Masyarakat) yang diarahkan pada pengalaman belajar untuk merancang dan
membuat suatu karya melalui penerapan konsep IPA dan kompetensi bekerja
ilmiah secara bijaksana.
10
Pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah
(scientific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berfikir, kerja dan
bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan
hidup. Oleh karena itu, pembelajaran IPA di SD / MI menekankan pada
pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan
pengembangan ketrampilan proses dan sikap ilmiah.
Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) IPA di SD / MI
merupakan standar minimum yang secara nasional, harus dicapai oleh peserta
didik dan menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum di setiap satuan
pendidikan. Pencapaian SK dan KD didasarkan pada pemberdayaan peserta
didik untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri
yang difasilitasi oleh guru.
Mata Pelajaran IPA di SD / MI bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut :
a. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan – Nya.
b. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep – konsep IPA yang
bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari–hari.
c. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan sederhana tentang
adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan,
teknologi dan masyarakat.
d. Mengembangkan ketrampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,
memecahkan masalah dan membuat keputusan.
e. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga
dan meleastarikan lingkungan alam.
f. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala
keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
g. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai
dasar untuk melanjutkan pendidikan ke AMP / MTs.
11
Ruang lingkup bahan kajian IPA untuk SD / MI meliputi aspek – aspek sebagai
berikut :
a. Makhluk hidup dan proses kehidupan yaitu manusia, hewan, tumbuhan
dan interaksinya dengan lingkungan serta kesehatan.
b. Benda / materi, sifat – sifat dan kegunaannya meliputi cair, padat dan gas.
c. Energi dan perubahannya meliputi gaya, bunyi, panas, magnet, listrik,
cahaya dan pesawat sederhana.
d. Bumi dan alam semesta meliputi tanah, bumi, tata surya, dan benda–benda
langit lainnya.
Tujuan pembelajaran IPA di SD dapat dicapai apabila diterapkan pola
pembelajaran yang sesuai, yaitu proses pembelajaran yang berorientasi pada
keterampilan prses. Oleh karena keterampilan proses adalah proses
pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat
menemukan fakta–fakta, menemukan kosep – konsep, dan teori – teori dengan
keterampilan proses dan sikap ilmiah siswa sendiri (Funk, dkk. dalam Hartati,
1998).
2.3. Penelitian Tindakan Kelas
Penelitian tindakan kelas merupakan terjemahan dari classroom action
research yaitu satu action research yang dilakukan di kelas. Menurut Arif
Kunto, S. dkk, 2007) ada tiga kata yang membentuk pengertian tersebut, maka
ada tiga pengertian yang dapat diterangkan.
a. Penelitian, menunjukkan pada suatu kegiatan mencermati objek dengan
menggunakan cara dan aturan metodologi tertentu untuk memperoleh data
atau informasi yang bermanfaat dalam meningkatkan mutu suatu hal yang
menarik minat dan penting bagi penelitian.
b. Tindakan, menunjuk pada suatu gerak kegiatan yang sengaja dilakukan
dengan tujuan tertentu. Dalam penelitian berbentuk rangkaian siklus
kegiatan untuk siswa.
c. Kelas, dalam hal ini tidak terikat pada pengertian ruang kelas, tapi dalam
pengertian yang lebih spesifik. Seperti yang sudah lama dikenal dalam
12
bidang pendidikan dan pengajaran, yang dimaksud dengan istilah kelas
adalah sekelompok siswa yang dalam waktu yang sama. Menerima
pelajaran yang sama daru guru yang sama pula.
Dengan menggabungkan batasan pengertian tiga kata inti yaitu (1)
penelitian, (2) tindakan, dan (3) kelas, dapat disimpulkan bahwa penelitian
tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa
sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas
secara bersama.
Menurut Hopkins (1993 : 1) penelitian tindakan kelas diartikan suatu
tindakan yang dilakukan oleh guru untuk meningkatkan mengajarkan sendiri
atau koleganya, dan menguji asumsi teori pendidikan dalam praktik.
Menurut Wardi, dkk, (2004) penelitian tindakan kelas adalah penelitian
yang didukung oleh guru di dalam kelasnya sendiri melalui refleksi diri, dengan
tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa
menjadi meningkat.
Jadi, Penelitian tindakan kelas adalah penelitian yang dilakukan guru di
kelas (sekolah) tempat ia mengajar dengan penekanan pada penyempurnaan
atau peningkatan proses dan praksis pembelajaran.
Dalam bidang pendidikan, penelitian tindakan kelas dapat digunakan
untuk memperbaiki dan meningkatkan kealitas praktik pembelajaran secara
berkesinambungan, sehingga meningkatkan mutu hasil instruksional,
mengembangkan keterampilan guru, meningkatkan relevansi, meningkatkan
efesiensi pengelolaan instruksional serta menumbuhkan budaya meneliti pada
komunitas guru.
2.4. Teori Piaget dan Penerapannya dalam Pembelajaran IPA di SD
2.4.1.Teori Piaget
Tujuan pembelajaran IPA di SD diarahkan pada pengembangan
pengetahuan dan pemahaman konsep – konsep IPA yang bermanfaat dan
dapat diterapkan dalam kehidupan sehari – hari dengan mengembangkan
keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah,
13
dan membuat keputusan. Siswa diajak aktif untu mengembangkan rasa ingin
tahu, sikap positif, dan kesadaran tentang hubungan antara IPA, lingkungan,
teknologi, dan mastarakat (salingtemas) dengan membangun pengetahuannya
sendiri. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran IPA, guru harus
membimbing siswa dengan pengalaman – pengalaman belajar yang bermakna
melalui berbagai strategi dan metode yang sesuai dengan tujuan pembelajaran
IPA di SD.
Berdasarkan tujuan pembelajaran IPA tersebut, perlu dikembangkan
strategi – strategi pembelajaran yang berlandaskan pada teori psikologi kognitif
dijabarkan melalui teori konstruktivis.
Graves (Slavin, 1994 :225) salah satu penganut konstruktivis
menyatakan bahwa sebagian besar dari apa yang dipelajari dan dipahami
seseorang ditentukan oleh individu itu sendiri. Dalam pembelajaran siswa
harus menemukan sendiri dan menstransformasikan informasi, mengecek
informasi baru dengan aturan – aturan lama dan merevisinya apabila aturan –
aturan tersebut tidak lagi sesuai.
Guru tidak hanya memberikan konsep saja tetapi memberi kesempatan
kepada siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri dalam proses
pembelajaran. Guru berperan sebagai fasilisator untu kmembimbing siswa
mencapai tujuan pembelajaran.
Teori pembelajaran kognitif diantaranya adalah teoro Piaget. Menurut
Piaget, seorang anak belajar melalui tindakan yang dilakukannya. Seorang
anak dapat memahami suatu konsep melalui pengalaman konkret.
Tahapan perkembangan kognitif anak menurut Piaget (Salkind, Neil .,
1985) terdiri dari :
a. Tahap Sensorimotor (usia 0 – 18 bulan)
Kemampuan anak tergantung sepenuhnya pada tindakan fisik dan
inderanya dalam mengenali sesuatu.
b. Tahap Pre–operational (usia 18 bulan – 6 atau 7 tahun)
Kemampuan anak untuk berfikir tentang obyek / benda, kejadian, atau
orang lain mulai berkembang. Anak sudah mulai mengenal simbol (kata – kata,
14
angka, gerak tubuh atau gambar) untuk mewakili benda – benda yang ada
dilingkungannya. Namun cara berfikirnya masih tergantung pada obyek
konkrit, rentang waktu kekinian dan tempat dimana is berada. Mereka belum
dapat berfikir abstrak sehingga memerlukan simbol yang konkrit saat
menanamkan konsep pada mereka. Anak pada saat ini memandang sesuatu
hanya pada satu aspek saja. Selain itu anak belum bisa mengaitkan waktu
sekarang dengan masa lampau.
c. Tahap Concrete Operational (usia 8 – 12 tahun)
Pada tahap ini anak sudah dapat mengaitkan beberapa aspek masalah
pada saat bersamaan. Anak sudah berfikir abstrak dan berfikir logis dalam
memahami dan memecahkan persoalan, serta mengenal simbol – simbol.
Namun mereka masih memerlukan objek konkrit untuk belajar. Selain itu anak
sudah dapat mengaitkan apa yang terjadi sekarang dengan masa lalu
(reversibility). Pemahaman yang baik yang terbentuk pada saat ini sangat
menentukan kemampuan anak dalam berfikir abstrak pada tahap berikutnya.
c. Tahap Formal Operational (12 tahun – usia dewasa)
Anak sudah dapat berfikir abstrak dan berhipotesa. Mereka dapat
menganalisis apa yang sudah lewat dan yang akan datang. Cara berfikir mereka
tidak tergantung pada obyek konkrit di sekitarnya.
Berdasarkan uraian di atas, teori Piaget sesuai dengan salah satu prinsip
– prinsip pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yaitu berpusat
pada potensi, perkembangan kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan
lingkungannya. Teori Piaget dapat dijadikan landasan pengembangan proses
pembelajaran IPA.
2.4.2. Penerapan Teori Piaget dalam Pembelajaran IPA Di SD
Teori Piaget dapat dipakai dalam penentuan proses pembelajaran SD
terutama pembelajaran IPA (Nasution, 2004). Implikasinya adalah Piaget
beranggapan anak bukan merupakan botol kosong yang siap di isi, melainkan
anak secara aktif akan membangun pengetahuan dunianya. Teori Piaget
mengajarkan bahwa seluruh anak mengikuti pola perkembangan yang sama
15
tanpa mempertimbangkan kebudayaan dan kemampuan anak secara umum.
Pembelajaran IPA di SD banyak menggunakan percobaan – percobaan nyata
dan berhasil pada anak yang lemah kemampuan kognitifnya dan anak yang
secara kebudayaan terhalangi.
Penerapan selanjutnya adalah guru harus selalu ingat bahwa anak
menangkap dan menerjemahkan sesuatu secara berbeda sehingga walaupun
anak mempunyai umur yang sama tetapi ada kemungkinan mereka mempunyai
pengertian yang berbeda tahapan suatu benda atau kejadian yang sama. Jadi
seorang individu anak adalah unik
Implikasi lainnya, apabila hanya kegiatan fisik yang diterima anak,
tudak cukup untuk menjamin perkembangan intelektual anak yang
bersangkutan. Ide – ide anak harus selalu dipakai. Piaget memberikan contoh
sementara beliau menerima seluruh ide anak, beliau juga mempersiapkan
piluhan – pilihan yang dapat dipertimbangkan oleh anak sehingga apabila ada
seorang anak yang mengatakan bahwa air yang ada diluar gelas berisi es
berasal dari lubang – lubang kecil pada gelas maka guru harus menjawab
pertanyaan itu dengan ‘bagus’. Tetapi setelah beberapa saat guru harus
mengarahkan sesuai dengan apa yang seharusnya bahwa sebenarnya air yag
ada dipermukaan luar gelas bukan berasal dari lubang – lubang kecil pada
gelas, melainkan berasal dari uao air di udara yang mengembun pada
permukaan gelas yang dingin. Jadi guru harus selalu secara tidak langsung
memberikan idenya tetapi tidak memaksakan kehendaknya. Dengan demikian
anak akan menyadari bagaimana anak tersebut bisa mendapatkan idenya.
Dengan memberikan kesempatan pada anak untuk menilai sumber
idenya akan memberikan kesempatan pada mereka untuk menilai proses
pemecahan masalah. Hal ini juga perlu dilakukan di dalam kelas. Sebagai
contoh, apabila kelas telah menyelesaikan suatu masalah, sebaiknya guru
menanyakan kembali pada siswa tentang cara mendapatkan jawaban tersebut
dan membantu kelas untuk mengulas kembali tahapan – tahapan yang dilalui
hingga menemukan jawaban atau kesimpulan itu. Maka, guru akan membantu
anak dalam proses perkembangan intelektualnya. Kesimpulannya, menurut
16
Piaget, proses pembelajaran di kelas harus menekankan sebagai anak faktor
yang utama.
2.5. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
2.5.1. Tinjauan Umum Pembelajaran Kooperatif
Pendekatan kontruktivis dalam pengajaran menerapkan pembelajaran
kooperatif secaraekstensif, atas dasar teori bahwa siswa akan lebih dapat
menemukan dan memahami konsep – konsep yang sulit apabila mereka dapat
saling mendiskusikan konsep – konsep tersebut dengan temanya (Slavin dalam
Mansur Muslich, 2007 : 229). Dalam metode pembelajaran kooperatif, para
siswa akan duduk bersama dalam kelompokyang beranggotakan 4 – 5 orang
untuk menguasai materi yang disampaikan guru (Slavin, 1995 : 4). Selanjitnya
Slavin (1995) menemukan dua alasan, pertama, beberapa hasil
penelitianmembuktikan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa sekaligus dapat meningkatkan kemampuan
hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri dan orang
lain. Serta dapat meningkatkan harga diri. Kedua, pembelajaran kooperatif
dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam berfikir, memecahkan masalah,
dan mengintregasikan pengetahuan dengan ketrampilan. Dari kedua alasan
tersebut, maka pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran yang
dapat memperbaiki sistem pembelajaran yang selama ini memiliki kelemahan.
Dilihat dari landasan psikologi belajar, pembelajaran kooperatif
banyak dipengarihu oleh psikologi belajar kognitif holistik yang menekankan
bahwa belajar pada dasarnya adalah proses berfikir. Dalam pembelajaran
kooperatif pembangunan kemampuan kognitif harus diimbangi dengan
perkembangan probadi secara utuh melalui kemampuan hubungan
onterpersonal (Sanjaya : 240)
Menurut Muhammad Nur, et, al, (1996 : 1) unsur – unsur
pembelajaran kooperatif adalah seperti berikut ini :
1 Para siswa haris memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau
berenang bersama”.
17
2 Para siswa memiliki tanggung jawab terhadap tiap siswa lain dalam
kelompoknya, disamping tanggung jawab terhadap diri mereka sendiri,
dalam mempelajari materi yang dihadapi.
3 Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan
yang sama.
4 Para siswa harus membagi tugas dan berbagai tanggung jawab sama
besarnya diantara para anggota kelompok.
5 Para siswa akan diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut
berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok.
6 Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh
keterampilan bekerjasama selama belajar.
7 Para siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual
materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Perbedaan antara kelompok pembelajaran kooperatif dan kelompok tradisional
Kelompok Pembelajaran
Kooperatif
Kelompok pembelajaran
tradisional
• Kepemimpinan bersama
• Ketergantungan yang pasif
• Keanggotaan yang heterogen
• Mempelajari keterampilan –
keterampilan kooperatif
• Tanggung jawab terhadap hasil
belajar seluruh anggota
kelompok
• Menekankan pada tugas dan
hubungan kooperatif
• Ditunjang oleh guru
• Satu hasil kelompok
• Evaluasi individu
• Satu pemimpin
• Tidak ada saling
ketergantungan
• Keanggotaan yang homogen
• Asumsi adanya keterampilan
– keterampilan sosial yang
efektif
• Tanggung jawab terhadap
hasil belajar sendiri
• Hanya menekankan pada
tugas
• Diarahkan oleh guru
• Beberapa hasil individu
• Evaluasi individu (Sumber : Muhammad Nur, 1996 : 2)
18
2.5.2. Variasi dalam Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut Trianto (2007 : 49), berapa variasi dalam model pembelajaran
kooperatif antara lain :
1. Student Teams Achievement Devision (STAD)
2. Tim ahli (Jigsaw)
3. Investigasi Kelompok (Teams Games Tournaments atau TGT)
4. Pendekatan Struktural yang meliputi Think Pair Share (TPS) dan
Numbered head Together (NHT)
2.5.3 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams Achievement
Devision (STAD)
Model pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan salah satu
tipe dari model pembelajaran kooperatif dengan menggunakan kelompok –
kelompok kecil dengan jumlah anggota 4 – 5 orang siswa secara heterogen.
STAD diawali dengan penyampaian tujuan pembelajaran, penyampaian
materi, kegiatan kelompok, kuis, dan penghargaan kelompok.
Slavin (1995 : 5) menyatakan bahwa dalam STAD, para siswa dibagi
dalam tim belajar yang terdiri atas 4 – 5 orang yang merupakan campuran
menurut tingkat prestasi, jenis kelamin, dan latar belakang etniknya. Guru
menyampaikan pelajaran, kemudian siswa bekerja dalam tim mereka
memastikan bahwa seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut.
Selanjutnya,seluruh siswa diberikan tes tentang materi tersebut, pada saat tes
ini, mereka tidak diperbolehkan saling membantu.
Persiapan dalam model pembelajaran kooperatif tipe STAD yaitu
persiapan perangkat pembelajaran, pembentukan kelompok kooperatif yang
terdiri 4 – 5 orang siswa, penentuan soal, pengaturan tempat duduk, dan
pelaksanaan kerja kelompok.
Langkah – langkah model pembelajaran kooperatif tipe STAD menurut
Ibrahim, dkk dalam Trianto (2007) didasarkan pada langkah – langkah
kooperatif yang terdiri atas 6 fase, antara lain :
19
1. Fase 1, menyampaikan tujuan dan motivasi siswa. guru menyampaikan
semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut
dan motivasi siswa.
2. Fase 2, menyajikan / menyampaikan informasi. Guru menyajikan
informasi kepada siswa dengan mendemonstrasikan atau melalui bahan
bacaan.
3. Fase 3, mengorganisasikan siswa dalan kelompok – kelompok belajar.
Guru menjelaskan kepada siswa tentang bagaimana caranya membentuk
kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan
transisi secara efesien.
4. Fase 4, membimbing kelompok bekerja dan belajar. Guru membimbing
kelompok – kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas
mereka.
5. Fase 5, evaluasi. Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang
telah diajarkan atau masing – masing kelompok mempresentasikan hasil
kerjanya.
6. Fase 6, memberikan penghargaan. Guru mencari cara untuk menghargai
upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.
Dari tinjauan tentang model pembelajaran kooperatif tipe STAD
ini menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat
mengembangkan kemampuanmengungkap ide atau gagasan, menambah
kepercayaan kemampuan berfikir siswa, belajar dari siswa lain, meningkatkan
prestasi akademik sekaligus kemampuan sosial, meningkatkan motivasi
dalam diri siswa, meningkatkankemampuan siswa menggunakan informasi
dan kemampuan belajar abstrak menjadi nyata.
2.6. Hasil Belajar
Hasil belajar pada dasarnya berkaitan pula dengan hasil yang dicapai
dalam belajar. Pengertian hasil belajar itu sendiri dapat diketahui dari pendapat
ahli pendidikan. Hasil belajar berasal dari kata hasil dan belajar. Agar tidak
20
menyimpang dari pengertian sesungguhnya maka perlu dijelaskan secara per
kata terlebih dahulu.
Hasil belajar dari gabungan kata hasil dan kata belajar. Hasil belajar
diartikan sebagai keberhasilan usaha yang dapat dicapai (Winkel,1998:162).
Hasil belajar merupakan keberhasilan yang telah dirumuskan guru berupa
kemampuan akademik. Winarno Surachmad (1981:2) menyatakan bahwa hasil
belajar merupakan nilai hasil belajar yang menentukan berhasil tidaknya siswa
dalam belajar. Hal tersebut berarti hasil belajar merupakan hasil dari proses
belajar. Dalam hasil belajar meliputi kemampuan kognitif, afektif, dan
psikomotor (Sunaryo,1983:4).
Dari berbagai kajian definisi hasil belajar di atas maka yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah hasil belajar matematika yang berupa kemampuan
akademis siswa dalam mencapai standar tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan sebelumnya dan harus dimiliki siswa setelah mengikuti proses
pembelajaran. Belajar dipengaruhi pula oleh faktor-faktor baik dari dalam
maupun dari luar. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil belajar antara
lain dibagi menjadi dua kategori yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor
internal yang mempengaruhi hasil belajar adalah sebagai berikut: 1) Kesehatan
anak, 2) Rasa aman, 3) Kemampuan dan minat, 4) Kebutuhan diri anak akan
sesuatu yang akan dipelajari (Rustiyah NK,1995:123).
Faktor eksternal yang mempengaruhi hasil belajar adalah sebagai berikut.
1) Lingkungan belajar, iklim, dan teman belajar. 2) Motivasi dari luar (Rustiyah
NK,1995:123).
Adapun faktor yang datang dari luar diri anak, yaitu dari sekolah tempat
anak belajar seperti guru, waktu, sarana dan prasarana belajar, kurikulum,
materi, dan suasana belajar. Selain faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
belajar, juga siswa mengalami hambatan-hambatan dalam belajar baik itu
bersifat endogen maupun bersifat eksogen. Yang bersifat endogen adalah faktor
biologis dan faktor psikologis siswa. Sedangkan faktor eksogen adalah seperti
sikap orang tua, suasana lingkungan, sosial ekonominya, dan sikap budayanya.
Untuk dapat meningkatkan belajar dengan baik maka guru harus mengenal anak
21
dengan baik pula karena setiap anak tidak sama persis kesulitan dan
permasalahan yang dihadapinya. Dengan demikian guru harus mampu meneliti
setiap kekurangan-kekurangan dalam hasil belajar siswa.
Hasil belajar yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah hasil
akademis yaitu hasil yang dicapai siswa setelah mengikuti proses belajar
mengajar yang telah dirumuskan guru baik berupa segi kognitif, afektif maupun
dari segi psikomotornya. Dalam proses belajar dan mengajar seorang guru wajib
menentukan tujuan pembelajaran baik tujuan pembelajaran umum maupun
khusus.
Mengukur keberhasilan belajar siswa atau hasil yang dicapai siswa harus
mampu mengevaluasi belajar siswa. Keberhasilan belajar siswa dapat dilihat dari
segi pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Untuk memudahkan guru dalam
mengukur keberhasilan belajar maka guru harus menentukan tujuan
pembelajaran khusus yang baik. Ada beberapa kriteria dalam pembuatan TPK
(Tujuan Pembelajaran Khusus) yang baik yaitu sebagai berikut.
a) Mengandung satu jenis perbuatan.
b) Dinyatakan dalam kualitas dan kuantitas penguasaan siswa.
c) Kondisi yang bagaimana yang diinginkan guru (Tim MKDK IKIP
Semarang, 1995:28).
Jadi hasil belajar dapat diartikan sebagai hasil belajar yang telah dicapai
siswa setelah mengikuti kegiatan proses belajar dan mengajar, baik yang
menyangkut segi kognitif, afektif maupun psikomotorik. Hasil yang
dimaksudkan dalam penelitian tindakan kelas ini, berupa hasil belajar yang
berupa hasil akademik siswa setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar dalam
jangka waktu tertentu. Hasil akademik ini berupa angka kuantitas yang dituliskan
dalam buku raport. Sedangkan dalam kaitannya dengan penelitian ini, hasil
belajar adalah peningkatan keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan
pembelajaran yang ditetapkan guru.
Hasil belajar yang dicapai siswa berkaitan erat dengan kesulitan belajar
dan keberhasilan belajar. Kesulitan belajar siswa dalam mata pelajaran
matematika dapat diketahui dari ciri-cirinya. Kesulitan belajar yaitu di mana anak
22
didik atau siswa tidak mampu belajar sehingga hasil di bawah potensi
intelektualnya (Alan O Ross, 1974:103). Menurut Lerner (1931:367) dalam
buku pendidikan bagi anak berkesulitan belajar, (Dr. Mulyono Abdurrahman,
1999:262) adalah kekurang pahaman tentang simbol, nilai tempat, perhitungan
dan penggunaan proses yang keliru dan tulisan yang tidak terbaca.
Menurut Mulyono Abdurrahman (1996:6) bahwa kesulitan belajar adalah
terjemahan dari learning disability. Terjemahan tersebut diartikan sebagai
ketidakmampuan belajar. Menurut Kuffman dan Lloyd (1985:14) dikutip oleh
Mulyono Abdurrahman (1996:6) bahwa kesulitan belajar adalah gangguan dalam
satu atau lebih dari proses psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan
penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut memungkinkan
menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan, berpikir, berbicara,
membaca, menulis, mengeja atau berhitung. Learner berpendapat, ada beberapa
karakteristik anak berkesulitan belajar, yaitu :
a. Adanya gangguan dalam hubungan keruangan.
b. Abnormalitas persepsi visual.
c. Assosiasi visual motorik.
d. Perverasi.
e. Kesulitan mengenal dan memahami simbol.
f. Gangguan penghayatan tubuh.
g. Kesulitan dalam bahasa dan membaca
h. Performance IQ jauh lebih rendah daripada sektor verbal IQ (Mulyono
Abdurrahman, 1999:259).
Jadi kesulitan belajar IPA disebabkan rendahnya kemampuan
intelegensi, banyaknya terkait dengan kesulitan memahami konsep visual dan
adanya gangguan assosiasi visual motorik.
Gejala adanya kesulitan belajar meliputi :
a. Hasil yang rendah di bawah rata-rata kelompok kelas.
b. Hasil yang dicapai dengan usaha tidak seimbang.
c. Lambat dalam melakukan tugas belajar.
d. Menunjukkan sikap kurang wajar seperti acuh tak acuh, berpura-pura
23
dusta dan lain-lain.
e. Menunjukkan tingkah laku yang berlainan (Widodo Supriyono, 1991:89).
Jenis kesulitan belajar menurut Erman Amti, (1992:67) masalah belajar
pada dasarnya digolongkan atas: (a) sangat cepat dalam belajar, b) keterlambatan
akademik, (c) lambat belajar, (d) penempatan kelas, (e) kurang motivasi dalam
belajar, (f) sikap dan kebiasaan yang buruk dalam belajar dan kehadiran di
sekolah sering tidak masuk. Dengan demikian bahwa anak yang perlu mendapat
bantuan dari guru dalam hal ini adalah layanan bimbingan belajar, agar peserta
didik dapat melaksanakan kegiatan belajar secara baik dan terarah.
2.7. Hasil Penelitian Yang Relevan
Slamet Yani, Budhiyati (2009) dalam penelitiannya yang berjudul
Penerapan Pendekatan Kooperatif Tipe STAD Untuk Meningkatkan Hasil Belajar
Matematika pada siswa kelas IV SDN 08 Banjar Sari Tahun Pekalongan,
menunjukkan siklus I aktivitas siswa 65,41 % meningkat menjadi 85,38 % dengan
ketuntasan belajar sebesar 87,5 %. Mahanal, susriyati (2006) dalam penelitiannya
yang berjudul Pembelajaran Berdasarkan Masalah dengan Strategi Kooperatif
Model STAD
Pada Mata Pelajaran Sains Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir kritis
Siswa kelas V MI Jenderal Sudirman Malang. Hasil pengamatan menunjukkan
peningkatan hasil belajar siswa siklus I ke siklus II sebesar 11,6 atau 16,94 %.
Fatimah, sri (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “ Penerapan Metode
Kooperatif Tipe STAD Guna Meningkatkan Aktivitas Siswa Dalam Pembelajaran
PKN di Sekolah Dasar “ Guna ( Kajian Tindakan di Kelas VI SD 3 Nolokerto
Kendal)”. Dengan hasil kegiatan belajar dan mengajar dengan menggunakan metode
kooperatif tipe STAD, dengan nilai yang di peroleh paa siklus I yaitu 55,55 atau
18,5 % siklus II yaitu 63,70 atau 48 % samapai siklus III ternyata hasilnya sangat
memuaskan guru dan siswa dengan perolehan nilai pos tes 75,18 atau 81,5 %. Dapat
disimpulkan bahwa penerapan Metode Kooperatif Tipe STAD dalam pembelajaran
PKn sangat efektif untuk meningkatkan aktivitas siswa dan menjadikan siswa lebih
aktif dalam menerima pembelajaran.
24
Dari beberapa penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dapat meningkatkan hasil belajar IPA di
Sekolah Dasar. Model pembelajaran kooperatif tipe STAD ini tidak hanya untuk
pelajaran IPA di Sekolah dasar saja, tetapi dapat diterapkan dalam mata pelajaran
lain dan jenjang pendidikan yang lebih tinggi
2.8.Kerangka Berfikir
Kondisi Awal
Keaktifan siswa meningkat
Pemahaman materi meningkat
Kualitas pembelajaran diduga meningkat
Kondisi Akhir
Guru menggunakan metode
ceramah
Gambar kerangka berfikir penelitian
Komunikasi siswa tidak terjadi
Keaktifan siswa rendah
Pemahaman materi rendah
Komunikasi siswa terjadi
Guru mengharapkan metode diskusi dan model
pembelajaran kooperatif
Pelaksanaan Siklus I, Siklus II
Kualitas pembelajaran rendah
TINDAKAN
25
2.9. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian pustaka, maka hipotesis tindakan dalam penelitian
ini adalah model pembelajaran kooperatif (Cooperatif Learning) tipe STAD
dapat meningkatkan hasil belajar tentang pemeliharaan panca indra bagi siswa
kelas IV SD Kepohkencono 01 semester 1 tahun 2011/2012