BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi dermatitis atopik Dermatitis atopik merupakan suatu peradangan kulit kronis, berulang, disertai rasa gatal yang umumnya sering terjadi selama bayi dan anak-anak (Leung, 2011). Nama lain untuk dermatitis atopik adalah eksema atopik, eksema dermatitis, prurigo besnier, atau neurodermatitis (Santosa, 2010). 2.1.2 Epidemiologi Kejadian dermatitis atopik terus meningkat dan merupakan masalah besar di masyarakat. Survei di negara berkembang menemukan 10-20% anak menderita dermatitis atopik. Angka prevalensi dermatitis atopik yang pernah dilaporkan adalah 6,3-9,5% di Malaysia, 22,7% di Singapura dan 6,8-9,5% di Thailand (Chan, 2006). Data kejadian dermatitis atopik di indonesia masih belum diketahui secara pasti. Data unit rawat jalan Penyakit Kulit Anak di RSU Dr. Soetomo didapatkan penderita dermatitis atopik baru yang berkunjung tahun 2006 sebanyak 116 orang (8,14%), pada tahun 2007 sebanyak 148 orang (11,05%) dan tahun 2008 sebanyak 230 orang (17,65%) (Zulkaranain, 2009). Kejadian dermatitis atopik di RSUP Sanglah, Denpasar pada tahun 2012 didapatkan sekitar 10,98% dan meningkat kejadiannya menjadi 45,7% pada bayi yang salah satu atau kedua orangtuanya memiliki riwayat atopi (Anggreni dkk., 2013). 7
47
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Dermatitis Atopik
2.1.1 Definisi dermatitis atopik
Dermatitis atopik merupakan suatu peradangan kulit kronis, berulang,
disertai rasa gatal yang umumnya sering terjadi selama bayi dan anak-anak
(Leung, 2011). Nama lain untuk dermatitis atopik adalah eksema atopik, eksema
dermatitis, prurigo besnier, atau neurodermatitis (Santosa, 2010).
2.1.2 Epidemiologi
Kejadian dermatitis atopik terus meningkat dan merupakan masalah besar
di masyarakat. Survei di negara berkembang menemukan 10-20% anak menderita
dermatitis atopik. Angka prevalensi dermatitis atopik yang pernah dilaporkan
adalah 6,3-9,5% di Malaysia, 22,7% di Singapura dan 6,8-9,5% di Thailand
(Chan, 2006). Data kejadian dermatitis atopik di indonesia masih belum diketahui
secara pasti. Data unit rawat jalan Penyakit Kulit Anak di RSU Dr. Soetomo
didapatkan penderita dermatitis atopik baru yang berkunjung tahun 2006
sebanyak 116 orang (8,14%), pada tahun 2007 sebanyak 148 orang (11,05%) dan
tahun 2008 sebanyak 230 orang (17,65%) (Zulkaranain, 2009). Kejadian
dermatitis atopik di RSUP Sanglah, Denpasar pada tahun 2012 didapatkan sekitar
10,98% dan meningkat kejadiannya menjadi 45,7% pada bayi yang salah satu atau
kedua orangtuanya memiliki riwayat atopi (Anggreni dkk., 2013).
7
8
Pada bayi dengan riwayat atopi, 2 tahun pertama kehidupannya
diperkirakan menderita dermatitis atopik sebesar 50%, menjadi 60% saat berusia
5 tahun dan jarang terjadi setelah usia 45 tahun (Moreno, 2000). Berdasarkan
faktor prediktor perinatal terhadap kejadian dermatitis atopik pada 6 bulan
pertama kehidupan, didapatkan bahwa riwayat keluarga atopi memiliki risiko
lebih besar untuk terjadinya dermatitis atopik, sedangkan ibu dengan riwayat atopi
memiliki risiko lebih besar dibandingkan dengan bapak dengan riwayat atopi.
Dermatitis atopik dapat mengenai kedua jenis kelamin, kejadian saat dewasa lebih
banyak pada ibu, sedang pada anak-anak lebih banyak laki-laki (Moore, 2004).
2.1.3 Etiologi
Etiologi maupun mekanisme yang pasti dermatitis atopik belum semuanya
diketahui, diduga disebabkan berbagai faktor yang saling berkaitan
(multifaktoral). Berbagai faktor bisa menjadi pencetus terjadinya dermatitis
atopik, antara lain :
1. Makanan
Kejadian reaksi alergi terhadap makanan cenderung meningkat pada anak
dengan dermatitis atopik. Prevalensi tertinggi alergi makanan dijunpai pada bayi,
menurun pada usia anak dan semakin berkurang pada usia dewasa (Wood, 2003).
Pada hampir 40% bayi dan anak usia muda yang menderita dermatitis atopik
sedang ataupun berat dijumpai alergi makanan sebagai faktor pencetus.
Walaupun semua makanan dapat menimbulkan reaksi alergi, tetapi
beberapa makanan lebih bersifat alergenik dari pada yang lainnya. Alergen
9
makanan yang sering menyebabkan dermatitis atopik pada bayi adalah susu, telur,
kacang-kacangan, makanan laut, kedelai dan gandum (Novak, 2003; Siregar,
2004).
2. Infeksi kulit
Mikroorganisme yang berperan sebagai pencetus dermatitis atopik pada
bayi dan anak adalah Staphylococcus aureus, jamur dan virus. Staphylococcus
dapat ditemukan pada 90% lesi penderita dermatitis atopik dan jumlah koloni bisa
mencapai 107
koloni/cm2 pada bagian lesi tersebut. Akibat infeksi kuman
Staphylococcus akan dilepaskan sejumlah toksin yang bekerja sebagai
superantigen, mengaktifkan makrofag dan limfosit T, yang selanjutnya
melepaskan histamin. Oleh karena itu penderita dermatitis atopik dan disertai
infeksi harus diberikan kombinasi antibiotika terhadap kuman Staphylococcus dan
steroid topikal (Santosa, 2010).
3. Alergen hirup
Alergen hirup dibagi atas alergen hirup dalam rumah dan luar rumah. Di
daerah tropis seperti di Indonesia alergen hirup dalam rumah lebih berpengaruh,
yang sebagian besar adalah Dermatophagoides pteronyssinus, Dermatophagoides
farinae dan tungau debu rumah. Kedua alergen tersebut banyak terdapat di kamar
tidur, termasuk di bantal, kasur, selimut bulu, karpet bulu, mainan anak yang
berbulu dan gorden. Alergen lainnya antara lain adalah Candida albicans, kecoa,
serpihan kulit binatang peliharaan kucing, anjing, kelinci dan burung (Eigenmann,
1997; Siregar, 2004). Perlu juga diperhatikan bahwa dermatitis atopik juga bisa
diakibatkan oleh alergen hirup lainnya seperti bulu binatang rumah tangga, jamur
10
atau ragweed di negara-negara dengan 4 musim (Santosa, 2010). Kejadian
dermatitis atopik pada bayi dan anak < 1 tahun yang tersensitisasi alergen hirup
dan telur dilaporkan akan meningkatkan risiko sampai 10 kali lipat untuk
mendapatkan alregi saluran napas di kemudian hari (Siregar, 2004).
2.1.4 Faktor risiko
Dermatitis atopik merupakan suatu sindrom multifaktorial dimana
berbagai faktor berkaitan dengan fenotip penyakit sehingga perlu dicermati
berbagai faktor risiko, yaitu :
1. Genetik
Observasi klinis mendorong para peneliti untuk menyelidiki gen-gen
spesifik yang terlibat dalam atopi dan dermatitis atopik. Terdapat dua kromosom
yang berkaitan erat dengan dermatitis atopik yaitu kromosom 1q21 dan kromosom
17q25, meski paradoksal karena psoriasis juga terkait dengan kromosom yang
sama walaupun sajian klinis keduanya berbeda dan kedua kromosom tersebut
tidak terkait dengan penyakit atopi lainnya (Leung dkk, 2004; Soebaryo, 2009).
Pada suatu penelitian diketahui bahwa kecenderungan mendapat penyakit
atopi diturunkan secara autosomal dominan dimana 75% anak akan mengalami
alergi bila kedua orangtuanya mempunyai riwayat alergi, sedangkan 50% anak
akan mengalami alergi bila 1 orangtuanya mempunyai riwayat alergi. Meskipun
demikian, faktor lain (lingkungan) sangat pula berpengaruh atas perkembangan
penyakit (Soebaryo, 2004).
11
2. Cara persalinan
Bayi yang lahir melalui seksio sesaria, tidak akan mengalami kontak
dengan vagina dan perineum ibunya dimana pada persalinan per vagina, kedua
daerah tersebut merupakan sumber utama bakteri-bakteri yang kemudian masuk
dan membentuk koloni di dalam saluran pencernaan bayi. Hasil serangkaian
penelitian menunjukkan bahwa bakteri yang masuk dan membentuk koloni di
dalam saluran pencernaan bayi dapat berupa bakteri komensal, bakteri oportunis
(bakteri yang dalam jumlah cukup tidak berbahaya namun jika jumlahnya
meningkat akan menimbulkan penyakit), dan bakteri patogen. Bakteri komensal
seperti Lactobacilli dan Bifidobacterium berperan penting stimulasi daya tahan
tubuh, membantu pematangan imunitas, serta melindungi tubuh dari infeksi.
Sedangkan keberadaan bakteri patogen seperti Staphylaococcus merupakan
mekanisme yang dibutuhkan bayi untuk mengenali “serangan” dan menstimulasi
kekebalan tubuh agar bisa memberi respons yang tepat (Morelli, 2008). Pada bayi
yang dilahirkan secara seksio cesaria mengalami pajanan antigen mikroba yang
kurang dibandingkan bayi yang lahir per vaginam sehingga respon imun Th1
tidak dapat menyeimbangkan kecendrungan produksi Th2 pada neonatus. Jika hal
ini terus berlangsung maka akan menyebabkan penyakit alergi (Gondokaryono,
2009).
3. Laktasi
Bayi yang mendapat ASI mempunyai perbedaan dengan yang tidak
mendapatkan ASI terhadap kejadian dermatitis atopik. Makin panjang waktu
mendapat ASI makin kecil kemungkinan untuk mendapat dermatitis atopik
12
(Soebaryo, 2004). Hal tersebut perlu dicermati karena dalam ASI terdapat bakteri
komensal yang berfungsi untuk menstimulasi daya tahan tubuh, membantu
pematangan imunitas, serta melindungi tubuh dari infeksi. Lactobacillus dan
beberapa tipe Bifidobacterium adalah contoh bakteri komensal yang ditemukan
pada ASI (Lara, 2007).
Sebuah penelitian menyimpulkan adanya perbedaan pada jumlah bakteri
probiotik jenis Bifidobacteria antara bayi yang diberi ASI dan bayi yang diberi
susu formula. Pada bayi yang diberi ASI, jumlah Bifidobacteria mendominasi
hingga 70% dari total mikroflora saluran cerna saat bayi berusia 20 hari,
sementara bayi yang diberi asupan susu formula hanya punya porsi Bifidobacteria
sebanyak 30%. Jadi, saluran cerna bayi yang diberi ASI akan di dominasi oleh
bakteri komensal (Harmsen dkk., 2000). Peningkatan jumlah Bifodobacteria pada
kelompok ASI eksklusif disebabkan karena adanya faktor pertumbuhan khusus
untuk Bifodobacteria (bifidogenic growth factor) di dalam ASI. ASI mengandung
kappa casein yang terglikosilasi dalam jumlah besar di dalam protein ASI. Proses
proteolisis dari komponen terminal C dari kappa casein merepresentasikan sebuah
faktor pertumbuhan yang spesifik untuk Bifodobacteria. Senyawa bifidogenik
lainnya yang juga ditemukan di dalam ASI adalah mono oligosakarida, fruktosa
dan karbohidrat lainnya disamping laktosa. Namun, faktor pertumbuhan yang
lebih spesifik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan Bifidobacteria pada usus
bayi yang diberi ASI adalah kadar protein dan fosfor yang rendah serta
konsentrasi laktosa yang tinggi dalam ASI. Faktor-faktor ini bertanggungjawab
terhadap penurunan kapasitas buffer ASI ini sehingga mampu meningkatkan
13
pertumbuhan Bifidobacteria, yang nantinya, dapat menjaga keasaman relatif dari
lumen usus dengan produksi asam asetat dan asam laktat (Arimbawa dkk., 2007).
Sebagian peneliti lain masih berpendapat bahwa keberadaan bakteri di
dalam ASI merupakan kontaminasi dari lingkungan sekitar saat ASI berpindah
dari tubuh ibu ke tubuh bayi. Terakhir, sebuah penelitian menyimpulkan adanya
bakteri alami pada ASI yang berpindah dari usus ibu ke payudara. Proses
translokasi bakteri dari saluran cerna ke kelenjar limpa atau ke payudara itu
merupakan proses fisiologis unik yang terjadi pada akhir kehamilan dan saat
menyusui (Perez dkk., 2007).
4. Pengenalan makanan padat terlalu dini
Pengenalan makanan padat yang terlalu dini (sebelum 4 bulan), akan
meningkatkan kejadian dermatitis atopik sebesar 1,6 kali. Sensitisasi umumnya
terjadi terhadap alergen makanan, terutama susu sapi, telur, kacang-kacangan dan
gandum (Ferguson, 1990; Soebaryo, 2004).
5. Jumlah anggota keluarga
Kejadian dermatitis atopik berbanding terbalik dengan banyaknya jumlah
anggota keluarga. Hal tersebut juga dapat diterangkan dengan teori higiene yaitu
terjadinya infeksi pada anggota muda keluarga yang ditularkan oleh anggota
kelurga yang lebih tua (Soerbaryo, 2004).
6. Sosioekonomi
Pada status sosial yang tinggi akan didapatkan prevalensi dermatitis atopik
yang lebih tinggi dibandingkan dengan status sosial yang lebih rendah. Hal
tersebut dapat diterangkan semakin tinggi status sosialnya, pajanan terhadap
14
antigen mikroba akan berkurang sehingga stimulasi sistem imun juga akan
berkurang (Flohr, 2005; Gondokaryono, 2009).
7. Polusi lingkungan
Pada daerah industri dengan peningkatan polusi udara, pemakaian
pemanas ruangan sehingga terjadi peningkatan suhu dan penurunan kelembaban
udara, asap rokok, penggunaan pendingin ruangan yang berpengaruh pula pada
kelembaban, penggunaan sampo dan sabun yang berlebihan dan deterjen yang
tidak dibilas dengan sempurna (Soebaryo, 2004).
2.1.5 Patogenesis
Berbagai faktor turut berperan dalam patogenesis dermatitis atopik.
Luasnya spektrum tampilan klinis dermatitis atopik tidak dapat diterangkan hanya
dengan abnormalitas imunologik saja, perlu juga peran faktor lainnya, misalnya
disfungsi sawar kulit. Terdapat kaitan antara dua faktor tersebut dalam manifestasi
dermatitis atopik (Soebaryo, 2004).
1. Disfungsi sawar kulit
Pada penderita dermatitis atopik terjadi defek permeabilitas sawar kulit
dan terjadi peningkatan trans-epidermal water loss sebesar 2-5 kali. Derajat defek
tersebut sesuai dengan perjalanan penyakit (akut, subakut, kronik) dan derajat
inflamasi di kulit. Adanya defek tersebut mengakibatkan kulit lebih rentan
terhadap bahan iritan, karena penetrasi antigen atau hapten akan lebih mudah.
Pajanan ulang dengan antigen akan menyebabkan toleransi dan hipersensitivitas
sehingga terjadi peningkatan reaksi inflamasi. Selanjutnya terjadi peningkatan
15
proses abnormalitas imunologik yang akan memacu penurunan fungsi sawar kulit.
Proses tersebut merupakan suatu lingkaran tanpa putus dan merupakan bagian
yang penting pada patogenesis dermatitis atopik (Leung dkk., 2004; Soebaryo,
2004; Baratawidjaja, 2009).
2. Imunopatologi
Faktor imunologik merupakan salah satu faktor yang berperan pada
dermatitis atopik. Di dalam kompartemen dermo-epidermal kulit dapat
berlangsung respon imun yang melibatkan sel langerhans (SL) epidermis,
limfosit, eosinofil dan sel mast. Bila suatu antigen (bisa berupa alergen hirup,
alergen makanan, autoantigen ataupun super antigen) terpajan ke kulit individu
dengan kecenderungan atopi, maka antigen tersebut akan ditangkap oleh antibodi
IgE yang ada pada permukaan sel mast atau Ig E yang ada di membran SL
epidermis (Baratawidjaja, 2009).
Sel langerhans epidermis dan sel dendritik dermis sebagai antigen
presenting cell (APC) pada dermatitis atopik dapat mengaktifkan sel T alergen
spesifik melalui antibodi Ig E alergen spesifik yang terikat pada reseptor FcεRI,
FcεRII dan IgE-binding protein. Antigen yang ditangkap IgE pada SL bermigrasi
melalui dermis ke saluran limfe dan kelenjar getah bening regional (regio
parakortikal). Antigen tersebut diproses bekerjasama dengan major
histocompatibility complex (MHC) II akan dipresentasikan untuk mengaktifkan
sel Tnaive yang mengakibatkan reaksi berkesinambungan terhadap sel T di kulit
dan akan terjadi diferensiasi sel T pada tahap awal aktivasi yang menentukan
perkembangan sel T ke arah Th1 atau Th2. Peningkatan jumlah limfosit T terlihat
16
pada semua individu atopik bila dibandingkan dengan individu non atopik.
Dengan adanya glikoprotein permukaan, sel T akan terekspresi secara berbeda
pada proses pematangan dan menentukan fenotip sel T. Terdapat dua fenotip yaitu
sel T helper/regulatory CD4+ dan sel T cytotoxic/ supressor CD8
+. Infiltrat
mononuklear pada lesi dermatitis atopik terutama terdiri atas sel T CD4+ dan
sedikit sel T CD8+ (Moreno, 2000; Leung, 2004)
Pada saat pajanan alergen, lingkungan sitokin berperan penting pada
perubahan Sel T helper menjadi sel Th1 atau Th2. Sel Th 1 dipicu oleh interleukin
(IL)-12 yang diproduksi oleh makrofage dan sel dendritik. Perkembangan sel T
menjadi sel Th2 dipacu oleh IL-10 dan Prostaglandin (PG) E. Sel Th1 akan
mengeluarkan sitokin interferon (IFN)-γ, Tumor Necrosis Factor (TNF), IL-2 dan
IL-17, sedangkan sel Th2 memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13.
Interleukin 4, IL-5 dan IL-13 menyebabkan peningkatan level Ig E dan eosinofil
serta menginduksi molekul adesi yang terlibat pada migrasi sel inflamasi ke lesi
kulit (Moreno, 2000; Endaryanto dkk, 2007).
Pola ekspresi lokal sitokin berperan penting pada terjadinya inflamasi di
jaringan setempat. Pada dermatitis atopik pola tersebut bergantung pada usia lesi
kulit. Pada kulit non lesi atau lesi akut dermatitis atopik, sel T mengekspresikan
peningkatan jumlah IL-4, IL-5, dan IL-13, namun sedikit INF-γ. Interleukin-4
menghambat produksi INF-γ dan menekan diferensiasi ke arah sel Th1 sehingga
lingkungan tersebut cenderung memicu perkembangan ke arah sel Th2 (Moreno,
2000; Soebaryo, 2009). Pada dermatitis atopik akut ini akan mengeluarkan sitokin
Th2 yang akan menginduksi respon lokal Ig E untuk menarik sel-sel inflamasi
17
(limfosit dan eosinofil) sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan dan
pengeluaran dari molekul adhesi. Pada lesi kronik terjadi perubahan pola sitokin.
Pada dermatitis atopik yang kronis akan terjadi peningkatan kadar INF-γ, IL-12,
IL-5, dan granulocyte monocyte colony stimulating factor (GM-CSF). Interferon-γ
yang merupakan sitokin Th1 akan diproduksi lebih banyak sedangkan kadar IL-5
dan IL-13 masih tetap tinggi. Interferon- dan IL-12 akan memicu terjadinya
infiltrasi dari limfosit dan makrofag. Lesi kronik berhubungan dengan hiperplasia
epidermis. Interferon-γ dan GM-CSF mampu menginduksi sel basal untuk
berproliferasi menghasilkan pertumbuhan keratinosit epidermis (Beiber, 2008).
Kelainan imunologi yang utama pada dermatitis atopik berupa
pembentukan Ig E yang berlebihan. Antigen yang terikat dengan Ig E yang
terdapat pada permukaan sel mast akan menyebabkan pelepasan beberapa
mediator kimia antara lain histamin yang berakibat rasa gatal dan kemerahan
kulit. Pelepasan mediator tersebut terjadi 15-60 menit setelah pajanan dan sering
disebut reaksi fase cepat (early phase reaction). Tiga sampai empat jam setelah
reaksi fase awal akan terjadi reaksi fase lambat (late phase reaction). Reaksi ini
terjadi ekspresi adhesi molekul pada dinding pembuluh darah yang diikuti
tertariknya eosinofil, limfosit, monosit pada area radang. Mekanisme ini terjadi
karena peningkatan aktifitas Th2 untuk memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-13,
GM-CSF yang menyebabkan eosinofil, merangsang sel limfosit B membentuk
IgE dan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan sel mast, tetapi tidak
terjadi peningkatan Th1 (Gambar 2.1) (Soebaryo, 2009).
18
Gambar 2.1 Patogenesis dermatitis atopik (Spergel and Schneider, 1999)
2.1.6 Manifestasi klinis
Manifetasi klinis dermatitis atopik berbeda pada setiap tahapan atau fase
kehidupan, mulai saat bayi sampai saat dewasa. Pada setiap anak didapatkan
derajat keparahan yang bervariasi, tetapi secara umum mereka mengalami pola
distribusi lesi yang serupa. Umumnya gejala dermatitis atopik timbul sebelum
bayi berusia 6 bulan, dan jarang terjadi di bawah usia 8 minggu. Dermatitis atopik
dapat menyembuh dengan bertambahnya usia, tetapi dapat pula menetap bahkan
meluas dan memberat sampai usia dewasa. Terdapat kesan bahwa makin lama dan
makin berat dermatitis yang diderita semasa bayi makin besar kemungkinan
dermatitis tersebut menetap sampai dewasa, sehingga perjalanan penyakit
dermatitis atopik sukar diramalkan. Dermatitis atopik dapat dibagi dalam tiga fase
19
berdasarkan usia penderita dan gambaran klinisnya, yaitu (Hurwitz, 1983; Jacoeb,
2004; Baratawidjaja, 2009; Santosa, 2010) :
1. Fase bayi (infantile type)
Dermatitis atopik paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan
yaitu pada bulan kedua, biasanya bersifat akut, sub akut, rekuren, dan simetris.
Pada bayi yang belum dapat merangkak, lesi biasanya ditemukan pada wajah
(dahi-pipi), kulit kepala dan permukaan ekstensor ekstremitas. Umumnya diawali
oleh plak eritema, papul, vesikel yang sangat gatal di pipi, dahi, dan leher tetapi
dapat pula mengenai badan, lengan dan tungkai. Rasa gatal yang timbul sangat
mengganggu sehingga anak menjadi gelisah, susah tidur, dan sering menangis.
Bila anak mulai merangkak lesi dapat timbul di tangan dan lutut. Karena garukan
terjadi erosi dan ekskoriasi atau krusta, tidak jarang mengalami infeksi. Pada
sebagian penderita dapat disertai infeksi bakteri maupun jamur. Tipe ini
cenderung kronis dan residif. Sebagian besar penderita sembuh setelah dua tahun
dan sebagian lagi berlanjut ke fase anak (Gambar 2.2).
20
Gambar 2.2 Plak eritematosa difus dan kering pada pipi, fossa poplitea
dan pada betis tampak plak eritematosa difus dan eksudatif
(Daili, 2005)
2. Fase anak (childhood type)
Dapat merupakan lanjutan bentuk dermatitis atopik infantil ataupun timbul
sendiri (de novo). Timbul pada masa kanak-kanak (2–12 tahun). Predileksi
mendominasi daerah antecubital dan fossa popliteal serta bagian belakang leher.
Lesi kering, likenifikasi, batas tidak tegas, karena garukan terlihat pula ekskoriasi
memanjang dan krusta. Dapat merupakan lanjutan dari tipe bayi atau baru timbul
pertama kali. Sering ditemukan lipatan Denni Morgan yaitu lipatan kulit dibawah
kelopak mata. Dermatitis atopik berat yang lebih dari 50% permukaan tubuh dapat
mengganggu pertumbuhan (Gambar 2.3).
21
Gambar 2.3 Plakat eritematosa, erosi, ekskoriasi dan krusta pada fossa
cubiti yang meluas ke badan (Daili, 2005)
2. Fase dewasa (adult type)
Bentuk lesi ini biasanya timbul pada usia lebih dari 12 tahun dan hampir
serupa dengan lesi kulit fase akhir anak-anak. Gejala utama adalah pruritus,
kelainan kulit berupa likenifikasi, papul, eksema, dan krusta. Pedileksi lesi secara
klasik ditemukan pada daerah fossa kubiti dan poplitea, leher depan dan belakang,
dahi serta daerah sekitar mata. Manifetasi lain berupa kulit kering dan sukar
berkeringat, gatal terutama jika berkeringat. Dermatitis atopik remaja cenderung
berlangsung lama kemudian menurun dan membaik setelah usia 30 tahun, jarang
sampai usia pertengahan, hanya sebagian kecil berlangsung sampai tua (Gambar
2.4).
22
Gambar 2.4 Tampak hiperkeratosis dan likenifikasi (Daili, 2005)
Tanda yang dipakai untuk menentukan seseorang dalam keadaan atopi
adalah yang disebut “stigmata atopi”. Bila stigmata tersebut terdapat dalam kulit
disebut sebagai atopic diathesis kulit. Stigmata ini secara signifikan lebih sering
ditemukan pada pasien dermatitis atopik dibandingkan dengan individu sehat dan
dapat digunakan sebagai petunjuk untuk penegakan diagnosis dermatitis atopik.
Kelainan yang biasa ditemukan pada dermatitis atopik, yaitu (Hurwitz, 1983;
Jacoeb, 2009; Santosa 2010):
1. ‘White dermatographism’ merupakan goresan pada kulit penderita dermatitis
atopik akan menyebabkan kemerahan dalam waktu 10-15 detik diikuti dengan
vasokonstriksi yang menyebabkan garis berwarna putih dalam waktu 10-15
menit berikutnya. Walaupun peristiwa ini tidak patognomonik untuk dermatitis
atopik, tetapi kadang-kadang dapat digunakan sebagai diagnosis dermatitis
atopik.
2. Reaksi vaskular paradoksal merupakan adaptasi terhadap perubahan suhu
pada penderita dermatitis atopik. Apabila ekstremitas penderita dermatitis
atopik mendapat pajanan hawa dingin, akan terjadi percepatan pendinginan dan
23
perlambatan pemanasan dibandingkan dengan orang normal. Hal ini diduga
karena adanya pelebaran dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang
mengakibatkan terjadinya edema dan warna pucat di jaringan sekelilingnya.
3. Lipatan telapak tangan/palmar hiperlinearlity of palms or soles yaitu
terdapatnya pertambahan mencolok lipatan pada telapak tangan meskipun hal
tersebut bukan merupakan tanda khas untuk dermatitis atopik.
4. Garis Morgan atau Dennie merupakan kelainan berupa cekungan yang
menyolok dan simetris, namun dapat ditemukan satu atau dua cekungan di
bawah kelopak mata bagian bawah. Kelainan tersebut dapat ditemukan pada
50%-60% pasien dermatitis atopik dengan berbagai variasi etnis. Keadaan ini
muncul pada saat lahir, atau segera sesudah itu dan bertahan sepanjang hidup,
nampak seperti edema dari kelopak mata bagian bawah.
5. Sindrom ‘buffed-nail’ merupakan kuku yang terlihat mengkilat karena selalu
menggaruk akibat rasa sangal gatal.
6. ‘Allergic shiner’, sering dijumpai pada penderita penyakit alergi karena
gosokan dan garukan berulang jaringan di bawah mata dengan akibat
perangsangan melanosit dan peningkatan timbunan melanin.
7. Hiperpigmentasi, biasanya terdapat daerah hiperpigmentasi akibat garukan
terus menerus.
8. Kulit kering. Kulit penderita dermatitis atopik umumnya kering, bersisik,
pecah-pecah, dan berpapul folikular hiperkeratotik yang disebut keratosis
pilaris. Jumlah kelenjar sebasea berkurang sehingga terjadi pengurangan
24
pembentukan sebum, sel pengeluaran air dan xerosis, terutama pada musim
panas.
9. ‘Delayed blanch’. Penyuntikan asetilkolin pada kulit normal menghasilkan
keluarnya keringat dan eritema. Pada penderita atopi akan terjadi eritema
ringan dengan delayed blanch. Hal ini disebabkan oleh vasokonstriksi atau