-
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Definisi infeksi HIV
Infeksi HIV adalah infeksi yang disebabkan oleh human
immunodeciency
virus(HIV). Sedangkan acquired immune deficiency syndrome (AIDS)
adalah
kumpulan gejala dan tanda klinis akibat menurunnya daya tahan
tubuh yang
disebabkan oleh HIV(Levy, 2009).
2.2. Morfologi HIV
Human immunodeficiency virus (HIV) termasuk dalam retrovirus
anggota
subfamili lentiviridae. Inti HIV mengandung 2 rantai RNA tunggal
yang terikat
pada protein gag (gag-derived protein) p24. Inti HIV terkandung
di dalam dua
lapisan lipid. Selubung (envelope) virus mengandung glycoprotein
120 dan
glycoprotein transmembran 41. Komponen gp 120 dan gp 41 yang
berperan
penting dalam adesi HIV pada sel inang. Virus ini memiliki 3 gen
yang diperlukan
dalam replikasi yaitu gag, pol, env. Terdapat 6 gen tambahan
pengatur ekspresi
virus yangpentingdalam patogenesis (Tzu dan Ching, 2012).
-
.
2.3. Patogenesis
HIV terutama terdapat dalam cairan tubuh. Cairan tubuh yang
potensial
mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan
air susu ibu.
Cara penularan dapat melalui jarum suntik, tusukan, atau abrasi
mukosa selama
hubungan seksual, transfusi darah, transplantasi organ dan
penularan dari ibu ke
anak (Levy, 2009).
Reseptor utama infeksi HIV-1 adalah CD4, ko-reseptor seperti
CCR5 dan
CXCR4. Sasaran Infeksi HIV-1 adalah pada sel imun CD4+ yang
meliputi sel T
CD4+, dendritic cell (DC), makrofag, monosit, timosit, dan sel
microglia. HIV-1
juga menginvasi usus, menurunkan jumlah sel T CD4+ dan
menyebabkan
kerusakan jaringan limfoid. HIV terus bereplikasi dan
menghindari respons anti-
virus host, Hal tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan
respons imun, dan
terjadi dominasi virus (Levy, 2009). Setelah jangkitan infeksi,
kemudian HIV-1
menjadi laten pada sel tertentu seperti pada sel T CD4+ resting
memory, sel
Gambar 2.1 Gambar struktur Human Immunodeficiency Virus(Tzu dan
Ching, 2012)
-
dendritik (DC), monosit, dan makrofag. Sel T CD4+ naïve, sel
pluripoten
progenitor pada sumsum tulang, sel CD4+, dan makrofag pada
cairan seminalis
juga dilaporkan sebagai reservoir infeksi laten. Reservoir yang
lain meliputi sel
mikroglobial dan sel makrofag pada cranial nerve system (CNS).
HIV pada sel sel
reservoirtersebut sangat sulit dijangkau dengan terapi
cARV(Levy, 2009)
Replikasi HIV-1 sangat erat hubungannya dengan kemampuan
transkripsi
sel host, serta pengaruh dari jaringan kompleks sitokin
proinflamasi dan
imunoregulator. TNF-α berperan penting dalam patogenesis HIV-1,
yang
merangsang transkripsi HIV-1 baik pada makrofag dan sel T.
Sitokin
proinflamasi lain seperti interleukin-1 (IL-1), IL-2, dan IL-6
juga merangsang
replikasi HIV-1 (Le Saout dkk., 2012; Reuter Ma dkk., 2012)
2.4. Replikasi HIV
Replikasi HIV hanya terjadi pada sel CD4 yang aktif. Sel CD4
yang
terinfeksi, teraktivasi dan mereplikasikan virus disebut sebagai
productively
activated cell. Sedangkan sel CD4 yang teraktivasi tetapi tidak
terinfeksi dan tidak
mereplikasikan HIV disebut uninfected activated cell atau
bystander cell.Siklus
replikasi HIV pada sel inang diawali dari perlekatan gp 120 pada
molekul reseptor
CD4 dan diikuti oleh ikatan antara gp 41 pada koreseptor CCR5
atau CXCR4.
Setelah terjadi fusi dengan sel CD4, kemudian kompleks
preintegrasi dalam
caspid yang terdiri dari RNA virus dan enzim-enzim dilepaskan ke
dalam
sitoplasma sel CD4. Setelah itu terjadi transkripsi balik RNA
virus menjadi DNA
oleh enzim reverse transcriptase. DNA hasil transkripsi balik
tersebut kemudian
diintegrasikan pada DNA sel CD4 oleh enzyme integrase. DNA hasil
transkripsi
-
balik tersebut juga memerantarai aktivasi sel CD4 agar terjadi
proses integrasi
yang efektif. DNA sel CD4 yang telah diintegrasikan dengan DNA
virus
kemudian mentranskripsikan mRNA untuk selanjutnya menghasilkan
protein
melalui translasi. Enzim protease selanjutnya memfragmentasikan
rantai protein
tersebut sesuai kebutuhan HIV. Semua komponen protein inti virus
dibuat dengan
cara yang sama dan komponen protein permukaan dibentuk melalui
proses
budding sampai terbentuk virus baru yang lengkap (Barre-Sinoussi
F dkk., 2013)
Gambar 2.2Siklus Replikasi HIV(Barre-Sinoussi F, dkk 2013)
2.5. Inflamasi kronis pada infeksi HIV
Inflamasi kronis merupakan inflamasi yang berlangsung dalam
jangka
waktu lama dimana terjadi kerusakan jaringan ikat dan proses
perbaikan yang
terjadi secara simultan dan berulang. Terdapat 3 faktor yang
mendorong
terjadinya inflamasi kronis yaitu: 1) HIV, 2) translokasi
microbial dan
berkurangnya integritas mukosa saluran cerna, 3) koinfeksi dan
infeksi CMV.
-
Inflamasi
limfoid da
dengan p
anemia pe
model yan
G
2.6. Per
Pe
asimptoma
yang tidak
bervariasi
infeksi ak
dan ikuti
respons im
sekitar 3
tersebut m
an berbagai
atogenesi a
enyakit kron
ng dikeluark
Gambar 2.3
rjalanan ala
rjalanan ala
atik, sampa
k mendapat
antara beb
kut HIV-1,
oleh penu
mun baik h
minggu set
menyebabkan
i penyakit k
anemia pen
nis pada pas
kan oleh Ipp
3Inflamasikr
amiah infek
amiah infek
ai pada AID
terapi, wak
erapa bulan
viral load
urunan juml
humoral ma
telah onset
n penuruna
kronis yang
nyakit kron
sien infeksi
p H dkk ,(20
ronis pada i
ksi HIV
ksi HIV berv
DS sebagai
ktu antara m
n sampai 17
(VL) meni
lah CD4.
aupun selula
infeksi. Se
an jumlah C
g lain (Ipp H
nis secara
HIV secara
014)
infeksi HIV
variasi mula
manifestas
mulai terinfe
7 tahun, den
ingkat secar
Kemudian
ar. Antibod
elama jang
CD4, fibros
H dkk.,201
umum, m
a teoritis ter
V (Ipp H dkk
ai dari fase
si lebih lanj
eksi sampai
ngan media
ra cepat dal
n diikuti de
di spesifik H
ka waktu
sis jaringan
4). Bila dik
maka patoge
rmasuk di d
k. 2014)
klinis laten
njut. Pada p
terjadinya A
an 10 tahun
lam tiga mi
engan timbu
HIV-1 terde
tersebut, p
n ikat
kaitan
enesis
dalam
n atau
pasien
AIDS
n.Pada
inggu
ulnya
eteksi
pasien
-
tetap berpotensi menularkan HIV-1 dalam periode jendela (windows
periode)
walaupun kadar virus dan antibodi tidak terdeteksi. Setelah masa
tersebut, akan
terbentuk respons imun terhadap HIV-1 dan mengendalikan
replikasi virus
\selama jangka waktu kurang lebih 5-10 tahun(Levy, 2009).
Selama fase akut, sel T CD4 kembali membaik, yang dapat
berlangsung
lebih dari 10 tahun, dengan replikasi virus yang dipertahankan
tetap rendah,
dibawah batas terdeteksi. VL akan stabil pada kadar tertentu
selama beberapa
waktu. Apabila penyakit progresif, sel T CD4+ secara gradual
akan menurun.
Pasien dengan hitung sel T CD4+ ≤200 sel/mm3 lebih mudah
mengalami infeksi
opportunistik dan keganasan dan berkembang menjadi AIDS (Simon
dkk., 2006)
Gambar 2.4Perjalanan alamiah penyakit infeksi HIV-1 (Simon dkk.,
2006)
-
2.7. Klasifikasi klinis infeksi HIV
WHO padatahun 2007, telah mengembangkan definisi kasus dan
stadium
klinis HIV untuk negara – negara dengan sumber daya terbatas.
Penentuan
stadium berdasarkan klinis yang menjadi pedoman dalam diagnosis,
evaluasi dan
tatalaksana HIV/AIDS dan tidak memerlukan pemeriksaan hitung
sel
CD4.Stadium tersebut didefinisikan berdasarkan gejala dan
kondisi klinis spesifik
pada remaja dan dewasa yang berusia ≥ 15 tahun.
Tabel 2.1Stadium Klinis Infeksi HIV pada Dewasa Menurut WHO
(Depkes RI, 2011)
Stadium Gambaran klinis Skala aktivitas I Asimptomatik
Limfadenopati generalisata persisten Asimptomatik Aktivitas
normal
II Berat badan menurun < 10% Kelainan kulit dan mukosa yang
ringan seperti dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis, ulkus
oral yang rekuren, kheilitis angularis Herpes zoster dalam 5 tahun
terakhir Infeksi saluran napas bagian atas seperti sinusitis
bakterialis
Simptomatik Aktivitas normal
III Berat badan menurun > 10% Diare kronik yang berlangsung
lebih dari satu bulan Demam berkepanjangan lebih dari satu bulan
Kandidiasis orofaringeal Oral Hiary Leukoplakia TB paru dalam tahun
terakhir Infeksi bakterial yang berat seperti pneumonia,
piomiositis
Pada umumnya lemah, Aktivitas di tempat tidur kurang dari
50%
IV HIV wasting sindrom seperti yang didefinisikan oleh CDC
Pneumonia pneumocystis carinii Toksoplasmosis otak Diare
kriptosporidiosis lebih dari satu bulan Kriptokokosis
ekstrapulmoner Retinitis Citomegalovirus Herpes simpleks mukokutan
lebih satu bulan Leukoensefalopati multifokal progresif Mikosis
diseminata seperti histoplasmosis
Pada umumnya sangat lemah Aktivitas ditempat tidur lebih dari
50%
-
Kandidiasis di esofagus, trakea dan paru Mikobakteriosis
atipikal diseminata Septisemia salmonelosis non tifoid Tuberkulosis
di luar paru Limfoma Sarkoma kaposi Ensefalopati HIV
2.8. Terapi Kombinasi ARV
2.8.1. Definisi
Terapi kombinasi ARV atau dikenal dengan nama highly active
antiretroviral therapy (HAART) adalah terapi yang mengandung
paling sedikit
tiga jenis obat ARV dari dua jenis klas yang berbeda (Arts EJ
dan Hazuda DJ,
2012).
Keberhasilan terapi cARV dalam menekan replikasi virus
mengakibatkan
pemulihan sistem imun dan perbaikan klinis, yang berdampak
terhadap perbaikan
kualitas hidup dan menekan penularan lebih lanjut. Disamping itu
keberhasilan
tersebut juga diikuti dengan timbulnya berbagai konsekuensi dari
inflamasi
kronik.
2.8.2 Jenis ARV
Perkembangan pengobatan ARV pada pasien terinfeksi HIV/AIDS
merupakan salah satu perkembangan paling dramatis dalam sejarah
pengobatan
penyakit infeksi. Pada tahun 1987 Zidovudin merupakan jenis ARV
yang pertama
kali diperkenalkan, kemudian diikuti oleh didanosine dan
zalcitabine. Sejak tahun
1996 mulai diperkenalkan terapi kombinasi ARV (Arts EJ dan
Hazuda DJ,
2012).
-
Sampai sekarang terdapat 5 klas ARV yang telah disetujui oleh
Food and
Drug Administration (FDA): (1) Nucleoside/nucleotide-analog
reverse
transcriptase inhibitors (NRTI), seperti zidovudin, lamivudine,
stavudine, dan
didanosine; (2) Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors
(NNRTI)
seperti nevirapine, efavirenz, dan delavirdine; (3) Protease
inhibitors (PI) seperti
nelfinavir, ritonavir, lopinavir, dan indinavir; (4) integrase
inhibitor: raltegravir
(5) Fusion inhibitor (FI) T-20 seperti enfuvirtide(Arts EJ dan
Hazuda DJ, 2012).
2.8.3 Kegagalan Terapi ARV
Apabila setelah memulai pemakaian terapi minimal 6 bulan
dengan
kepatuhan yang baik, tetapi tidak terjadi respon terapi yang
diharapkan, maka
perlu dipikirkan kemungkinan terjadi gagal terapi. (Kemenkes RI
Ditjen P2PL,
2014b) Kriteria gagal terapi ditentukan berdasarkan kriteria
klinis, imunologis dan
virologis.
- Kegagalan klinis adalah munculnya penyakit infeksi
oportunistik baru atau
berulang stadium klinis WHO 4.
- Kegagalan imunologis adalah gagal mencapai dan
mempertahankan
jumlah CD4 yang adekuat, Didefinisikan sebagai berikut:
- CD4 turun ke nilai awal atau nilai yang lebih rendah
dibandingkan CD
pada awal terapi ARV
- Atau CD4 tetap
-
- Kegagalan virologis: bila viral load tetap > 1.000
copies/ml berdasarkan 2
kali pemeriksaan HIV RNA dengan jarak waktu 3 – 6 bulan.
Pada daerah dengan sumber daya terbatas dan pemeriksaan viral
loadtidak
bisa rutin diterapkan sebelum memulai terapi cARV, maka kriteria
gagal
ditegakkan dari kriteria klinis dan didukung dengan kriteria
imunologis.
2.9. Manifestasi gangguan hematologi pada HIV
Manifestasi kelainan hematologis pada infeksi HIV sangat
bervariasi dapat
berupa gangguan hematopoesis, sitopenia dan koagulopati. Anemia
merupakan
kelainan hematologis yang sering dijumpai yaitu sekitar 37.5% (
De Santis dkk.,
2011). Anemia akibat penyakit kronik merupakan jenis anemia yang
paling sering
dijumpai pada pasien HIV termasuk yang sudah mendapat terapi
cARV.
2.10. Definisi dan klasifikasi derajat berat anemia
Definisi anemia mengacu pada kadar hemoglobin yang normal.
Kadar
hemoglobin normal pada laki-laki adalah 16 ± 2 g/dl, sedangkan
pada perempuan
adalah 14 ± 2 g/dl. Terdapat beberapa sistem gradasi untuk
menilai derajat berat
anemia, yaitu sistem gradasi yang dibuat oleh AIDS Clinical
Trials Group, World
Health Organization, dan the National Cancer Institute.
Konsentrasi hemoglobin
bukan merupakan satu-satunya determinanyang mempengaruhi
beratnya gejala
yang dialami. Dengan demikian manifestasi klinis harus
dipertimbangkan dalam
menentukan derajat berat anemia
-
Anemia pada penyakit kronik adalah anemia yang dijumpai pada
penyakit
kronik tertentu yang khas ditandai oleh gangguan metabolism besi
yaitu
hipoferemia sehingga penyediaan besi yang dibutuhkan untuk
sintesis hemoglobin
berkurang akan tetapi cadangan besi di sumsum tulang masih cukup
(Bakta,
2006). Pada umumnya anemia ini berderajat ringan sampai sedang
dengan
gambaran morfologi normokromik normositer, namun dapat juga
menjadi
hipokromik-normositer, namun dengan memberatnya progresivitas
penyakit,
anemia yang berlangsung lama, atau yang terjadi pada populasi
yang
membutuhkan besi lebih banyak, maka dapat menjadi
hipokromik-mikrositer
(Ganz dan Nemeth, 2009; Roy, 2010). Secara biokimiawi, anemia
ini ditandai
oleh kadar serum iron yang rendah, menurunnya kadar total iron
binding capacity,
kadar saturasi transferin menurun, namun cadangan besi masih
cukup dalam
sumsum tulang (Price dan Schirier,2010; Roy, 2010)
Tabel 2.2 Kadar hemoglobin untuk diagnosis anemia pada daerah
dengan
ketinggian setinggi permukaan laut (WHO, 2011)
Populasi Tidak
anemia (g//l)
Anemia (g/l)
Ringan Sedang Berat
6 – 59 bulan ≥ 110 100 – 109 70 – 99 < 70
5 – 11 tahun ≥ 115 110 – 114 80 – 109 < 90
12 – 14 tahun ≥ 120 110 – 119 80 – 109 < 80
Perempuan > 15 tahun tidak hamil
≥ 120 110 – 119 80 – 109 < 80
Perempuan > 15 tahun hamil
≥ 110 100 – 109 70 – 99 15 tahun ≥ 130 110 – 129 80 – 109 <
80
-
2.11. Prevalensi dan faktor risiko anemia pada pasien HIV
Prevalensi anemia pada infeksi HIV sangat bervariasi yaitu
antara 1 – 95%.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan lokasi penelitian,
heterogennya penelitian
kohort dan definisi anemia yang dipergunakan (Belperio dan Rhew,
2004) Di
Cina prevalensi anemia pada pasien HIV yang akan memulai cARV
adalah 38.9%
masing masing secara berurutan anemia ringan, sedang dan berat
adalah 19.2%,
17.1% dan 2.6%, dengan analisis regresi logistic berganda
menunjukkan etnis
Uyghur, perempuan, kadar CD4 yang rendah, IMT yang rendah ,
riwayat TB
berkaitan dengan prevalensi anemia yang lebih tinggi (Mitiji P
dkk., 2014).
Prevalensi anemia di Ethiopia, dilaporkan adalah 35%, prevelensi
lebih tinggi
secara bermakna pada pasien dengan kadar CD4 yang lebih rendah
(Ferede
danWondimeneh, 2013).Di Ethiopia dijumpai prevalensi anemia pada
pasien HIV
adalah 23.1%. Prevalensi pada pasien yang belum mendapat cARV
dan yang
sudah mendapat cARV adalah masing masing adalah 29.9% dan
16.2%
(P=0.014). Prediktor anemia pada pasien yang belum mendapat cARV
adalah:
adanya infeksi oportunistik (P=0.004, 95% CI=1.69–15.46),
hitungsel CD4 < 200
cells/ul (P=0.001, 95% CI=2.57–36.89) dan tinggal di pedesaan
(P=0.03, 95%
CI=1.12–10.39). sedangkan prediktor pada pasienyang sudah
mendapat cARV
adalah regimen (ZDV/3TC/NVP) (P=0.019, 95% CI=0.01–1.24) dan
lama
pemakaian cARV (P=0.007, 95% CI=0.003–0.40.24) (Mail
LG,2013)
Penelitian mengenai insiden anemia pada pasien HIV yang
mendapat
cARV dilaporkan berturut turut adalah 24.3 dan 8.1 per 100
person years pada
kohort berbasis ZDV dan non-ZDV setelah 6 bulan follow up dan
12.5 dan 5.3 per
-
100 person years setelah 24 bulan follow up. Prediktor
terjadinya anemia adalah
ZDV, kadar Hb awal yang rendah, IVDU, kadar CD4 < 200 sel/ul
dan AIDS
(Curkendall dkk., 2007). Penelitian retrospektif di klinik VCT
Nusa Indah RS
Sanglah Denpasar dijmpai prevalensi anemia pada pasien HIV yang
mendapat
cARV berbasis ZDV adalah 30.8% dengan morfologi makrositer
sebesar 7.9%
dan non makrositer sebesar 22.9% (Wibawa dan Merati, 2010)
2.12. Etiopatogenesis Anemia pada pasien HIV
Penyebab anemia pada pasien dengan HIV adalah
multifaktorial.
Etiopatogenesis anemia pada infeksi HIV dapat dibedakan menjadi
(Volberding
PA dkk., 2004) :
1. Penurunan produksi sel darah merah: penurunan produksi sel
darah merah
yang merupakan konsekuensi dari infiltrasi ke sumsum tulang
oleh
keganasan, infeksi, pemakaian obat-obat mielosupresi, infeksi
HIV sendiri,
penurunan produksi eritropoetin endogen, respon eritropoetin
yang blunted
atau hipogonadism
2. Peningkatan destruksi sel darah merah: peningkatan destruksi
sel darah
merah yang prematur bisa terjadi pada limfa atau sistem
sirkulasi. Anemia
hemolitik bisa disebabkan oleh autoantibodi pada sel darah
merah,
sindroma hemopagositosis, disseminated intravascular
coagulation,
trombotic thrombocytopenic purpura, defisiensi
glucose-6-phosphat
dehidrogenase, pemakaian beberbagai jenis obat.
-
3. Produksi sel darah merah yang tidak efektif: yang disebabkan
oleh
defisiensi nutrisi (besi, asam folat atau itamin B12)
4. Perdarahan: Perdarahan bisa terjadi pada beberapa kondisi
seperti pada
keganasan (seperti Kaposi sacoma dalam saluran cerna) atau
perdarahan
dari lesi gastrointestinal, seperti infeksi cytomegalovirus
2.13. Obat-obat myelosupresif
Beberapa jenis obat yang dapat menyebabkan supresi sumsum tulang
pada
pasien HIV (Volberding PA dkk., 2004).
Tabel 2.3 Jenis- Jenis obat mielosupresif yang sering digunakan
oleh pasien HIV
Golongan Obat Jenis Obat
Antiretrovirus: Zidovidine, Zalciabine
Obat antiviral: Ganciclovir, foscarnet, cidofovir
Obat antijamur: Flucytocin, Amphotericin
Obat anti-Pneumocystis carinii: Sulfonamide, Trimethoprim,
pyrimethamne,
pentamidin
Obat antineoplastik:
Cyclophosphamide, doxorubicin,
methotrexate, paclitaxel, vinblastine,
liposomal doxorubicin, liposomal
daunorubicin
Immne respons modifier
Zidovudine merupakan salah satu jenis ARV yang paling sering
digunakan dalam terapi kombinasi ARV di Negara berkembang,
termasuk di
Indonesia.Demikian juga pemakaian trimetroprim yang dikombinasi
dengan
sulfamethoxazole, sering dipakai sebagai terapi profilaksis
primer atau sekunder
untuk PCP, toxolasmosis dan diare. Pemakaian kotrimoxazole
trimetroprim sering
-
dipakai dalam jangka panjang sampai tercapai kadar CD4 yang
protektif untuk
infeksi tersebut.
Pada penelitian kohort, pemberian ARV berbasis zidovudin
bersama-sama
dengan trimetropin sulfamethoxazole di Africa, dijumpai
neutropenia grade 3-4
sebesar 56.3/ 100 person years dan anemia grade 3-4 sebesar
9.6/100 person
years. Neutropenia grade 3-4 terjadi segera setelah pemberian
zidovudine (Moh
dkk., 2005). Sedangkan pada penelitian restrospektif di VCT RS
Sanglah, angka
kejadian makrositosis pada pemakaian ARV berbasis zidovudine
adalah 50.6%,
dimana maktositosis tanpa anemia sebanyak 46.4% dan makrositosis
dengan
anemia sebanyak 7.9%. (Wibawa dan Merati, 2010)
2.14. Penyakit dasar pada anemia penyakit kronik
Anemia pada infeksi HIV lebih sering disebabkan oleh anemia
penyakit
kronik. Beberapa penyakit dasar yang juga dapat merupakan
penyebab anemia
penyakit kronik adalah:
2.14.1. Penyakit autoimun
Beberapa penyakit autoimum yang dapat merupakan penyebab
anemia
akibat penyakit kronik adalah Arthritis rheumatoid, SLE,
Vasculitis, Sarcoidosis,
Inflammatory bowel disease. Diperkirakan penyakit autoimum
menyebabkan
anemia penyakit kronik antara 8 – 73% (Weiss dan Goodnough.
2005). Pada era
terapi kombinasi ARV, prevalensi penyakit arthritis terkait
autoimum sangat
jarang dilaporkan pada pasien HIV. Pada tinjauan kepustakaan
dari januari 1981
sampai agustus 2007 dijumpai prevalensi berbagai spectrum klinis
rematik pada
pasien infeksi HIV adalah sebagai berikut: SLE (0.3%), psoriasis
(0.2%), arthritis
-
rheumatoid (0.1%), polymyositis (0.1%), scleroderma (0.1%) (Yao
dkk,, 2008).
Sedangkan pada penelitian retrospektif selama 20 tahun di Taiwan
dijumpai
penyakit arthritis autoimun sebesar 0.7% ( 26 dari 3623 pasien
HIV) masing
masing 18 (0.49%) pasien dengan ankylosing spondylitis, 6 (0.1%)
pasien dengan
arthritis rheumatoid, 1(0.02%) pasien dengan arthritis
psoriatis, dan 1 (0.02%)
pasien dengan sindroma sjorgen. 15 pasien (57.7%) dari
prevalensi tersebut terjadi
setelah pemberian cARV( Yang JJ dkk., 2013).
2.14.2. Penyakit keganasan
Penyakit keganasan yang meliputi keganasan hematologi dan
keganasan
organ solid diperkirakan menyebabkan anemia penyakit kronik
sekitar 30 – 77%
(Weiss dan Goodnough, 2005). Pada infeksi HIV diketahui risiko
terhadap
kanker seperti sarcoma Kaposi, limfoma non hodgkin (NHL) dan
kanker servik
yang disebut dengan AIDS defining cancer (ADCs) adalah lebih
tinggi. Pada
penelitian kohort secara konsisten dilaporkan terjadi
peningkatan risiko non AIDS
defining cancer (NADCs) seperti penyakit Hodgkin dan kanker
anogenital. Pada
era pemakaian cARV dilaporkan telah terjadi penurunan insiden
kanker sarcoma
Kaposi dan NHL.
Data tentang keganasan pada pasien HIV di Asia sangat terbatas.
Pada
penelitian observasional 13 site di Asia Pasifik (TAHOD),
dijumpai dari 215
kasus kanker 66% termasuk ADCs (16% Sarkoma Kaposi, 40% lymphoma
non-
Hodgkin’s dan 9% kancer cervik). Kanker yang termasuk NADCs yang
paling
banyak ditemukan adalah kanker Paru (6%), Payudara (5%),
kanker
-
hepatocellular (2%), lymphoma Hodgkin’s (2%) dan leiomyosarcoma
(1.4%).
(Petoumenos K dkk., 2010)
2.14.3. Penyakit infeksi oportunistik
Penyakit infeksi yang meliputi infeksi virus, bakteri, jamur dan
parasit
diperkirakan menyebabkan anemia penyakit kronik sekitar 18 – 95%
(Weiss dan
Goodnough, 2005). Prevalensi infeksi oportunistik berbeda pada
beberapa daerah
dan Negara. Di Negara sub Sahara Afrika > 80% pasien dengan
HIV meninggal
karena kasus infeksi dengan penyebab yang paling sering adalah
tuberculosis. Di
klinik VCT Sanglah prevalensi penyakit oportunistik yang paling
sering dijumpai
selama 2004 sampai 2007 adalah tuberculosis paru (Wiryani dkk.,
2008).
2.14.4. Penyakit ginjal kronik
Penyakit ginjal kronik diperkirakan mendasari anemia pada
penyakit
kronik sekitar 23 – 50% (Weiss dan Goodnough, 2005). Pada pasien
HIV,
penyakit ginjal dapat terjadi akibat dari infeksi HIV yang
disebut dengan HIVAN
(HIV associated nefropathy). Beberpa faktor yang dilaporkan
terkait dengan
terjadinya penyakit ginjal kronik pada HIV adalah genetic, umur,
perubahan
metabolic terkait pemberian cARV, paparan berbagai obat
nefrotoksis, dan
koinsiden dengan hepatitis C dan pemakaian obat intravenous.
Pada beberapa
penelitian terakhir dilaporkan prevalensi penyakit ginjal kronik
pada pasien
dengan infeksi HIV berkisar kurang dari 2.4% sampai sekitar 10%
(Estrella dan
Fine, 2010).
-
2.15. Patogenesis anemia penyakit kronik pada infeksi HIV
Anemia pada penyakit kronik ditandai oleh penurunan produksi sel
darah
merah, supresi respon retikulosit dan menurunnya respon
fisiologis eritropoetin.
Patogenesis anemia pada penyakit kronik melibatkan mekanisme
imun, sitokin
dan sel sel sistem retikuloendotelial yang menginduksi
hemostasis besi, proliferasi
sel progenitor eritroid, produksi eritropoetin dan masa hidup
dari sel darah merah.
Saat ini mekanisme patogenesis anemia pada penyakit kronik
secara umum
meliputi( Weiss dan Goodnough, 2005):
2.15.1. Disregulasi hemostasis besi
Ciri utama anemia pada penyakit kronik adalah terjadinya
gangguan
hemostasis besi, berupa peningkatan uptake dan retensi besi
dalam sel-sel RES.
Hal tersebut menyebabkan pergeseran besi dari sirkulasi kedalam
tempat tempat
penyimpanan besi di RES, terbatasnya ketersediaan besi untuk sel
sel progenitor
eritroid dan gangguan eritropoesis karena restriksi besi. Pada
binatang yang
diinjeksi dengan sitokin proinflamasi IL 1 dan TNF α, dapat
menyebabkan
hipoferemia dan anemia. Kondisi kombinasi tersebut berkaitan
dengan sintesis
feritin yang berperan dalam penyimpanan besi oleh makrofag dan
hepatosit. Pada
infeksi kronik makrofag lebih sering mendapatkan besi melalui
eritrofagositosis
dan import ferrous iron transmembrans melalui protein divalent
metal transporter
1 (DMT1) ( Weiss dan Goodnough, 2005).
Interferon γ, lipopolisaccharida dan TNF α meningkatkan regulasi
ekspresi
DMT1, dengan meningkatkan uptake besi ke dalam makrofag yang
sudah aktif.
-
Rangsangan proinflamasi tersebut juga menginduksi retensi besi
dalam makrofag
dengan cara menurunkan regulasi ekspresi ferroportin, kemudian
menghambat
pelepasan besi dari sel tersebut. Ferroportin merupakan sebuah
protein eksportir
besi transmembran, yang berperan dalam proses yang terkait
dengan transfer besi
ferrous yang diabsorpsi dari enterosit duodenum ke sirkulasi. IL
10 yang
merupakan sitokin antiinflamasi dapat menginduksi anemia melalui
stimulasi
transferrin yang memerantarai akusisi besi oleh makrofag dan
melalui translasi
stimlasi ekspresi ferritin. ( Weiss dan Goodnough, 2005).
Hepsidin adalah reaktan protein fase akut terdiri dari 25 asam
amino, yang
berperan dalam regulasi besi. Ekspresi hepsidin diinduksi oleh
lipopolisakarida
dan IL 6 serta dihambat oleh TNF α. Hepsidin memegang peranan
yang penting
dalam diversi lalu lintas besi melalui penurunan absorpsi besi
di duodenum dan
menghambat pelepasan besi dari makrofag ( Weiss dan Goodnough,
2005).
2.15.2. Gangguan proliferasi sel –sel progenitor
Gangguan proliferasi dan diferensiasi prekusor eritroid (
erytroid burst
forming unit dan erytroid colony forming unit) terkait dengan
efek hambatan dari
interferon α-β dan γ, TNF α dan IL 1 yang mempengaruhi
pertumbuhan erytroid
burst forming unit dan erytroid colony forming unit). Interferon
γ merupakan
inhibitor yang poten, yang direfleksikan melalui hubungan
terbalik antara
interferon γ dengan kadar hemoglobin dan hitung retikulosit.
Mekanisme penyakit
dasar yang melibatkan sitokin yang memicu apoptosis, yang mana
tampaknya,
menjadi bagian, hubungan dengan pembentukkan ceramide,
menurunkan regulasi
ekspresi reseptor eritropoetin pada sel sel progenitor dan
menurunnya ekspresi
-
factor – factor pro hematopoesis, seperti faktor stemsel.
Disamping itu sitokin
juga memiliki efek toksik langsung pada sel progenitor dengan
cara meransang
pembentukkan radikal bebas labil seperti nitric oksida atau
anion superoxide oleh
neighboring makcrophage-like cells ( Weiss and Goodnough,
2005).
2.15.3. Respon eritropoetin
Eritropoetin memegang peranan penting dalam regulasi proliferasi
sel
eritroid. Ekspresi eritropoetin berbanding terbalik dengan kadar
hemoglobin dan
oksigenasi jaringan, dimana terdapat hubungan semilogaritme
antara respon
eritropoeitin (log) dan derajat berat anemia (linier). Pada
umumnya respon
eritropoetin pada anemia penyakit kronik tidak adequate sesuai
dengan derajat
anemia. In vitro IL 1dan TNF α secara langsung menghambat
ekspresi
eritropoetin. Respon sel-sel progenitor eritroid tampaknya
berbanding terbalik
dengan derajat berat penyakit yang mendasari dan jumlah sitokin
dalam sirkulasi,
dimana semakin tinggi konsentrasi interferon γ atau TNF α, maka
lebih tinggi
jumlah eritropoetin yang diperlukan untuk merestorasi
pembentukkan erythroid
colony forming unit. Setelah eritropoetin berikatan dengan
receptor, eritropoetin
menstimulasi komponen dari jalur signal transduksi dan
selanjutnya mengaktifkan
mitogen dan phosphorylase tyrosine kinase, proses tersebut
dipengaruhi oleh
sitokin inflamasi dan pengaturan umpan balik negatif ( Weiss
and
Goodnough, 2005).
Kurangnya respon eritropoetin disebabkan oleh efek hambatan oleh
sitokin
proinflamasi terhadap proliferasi sel sel progenitor erytroid,
down regulasi
reseptor eritropoetin, dan terbatasnya persediaan besi
memberikan kontribusi
-
terhadap berkurangnya proliferasi sel dan sintesis hemoglobin.
Peningkatan
eritropagositosis selama proses inflamasi menyebabkan penurunan
waktu hidup
eritrosit yang diperantarai oleh sitokin dan radikal bebas(
Weiss and Goodnough,
2005).
2.16. Peranan Interleukin 6 pada anemia penyakit kronik pada
infeksi HIV
IL 6 merupakan sitokin pleiotropik yang diproduksi oleh beberapa
jenis sel
seperti monosit, fibroblast, sel-sel endotel dan limfosit T dan
B. IL 6 tidak
diekspresikan secara terus menerus, melainkan banyak diinduksi
dan diproduksi
sebagai respon terhadap sejumlah rangsangan keradangan seperti
IL-1, TNF α,
produk – produk bakteri, atau infeksi virus. IL 6 memiliki
fungsi yang berbeda
meliputi diferensiasi dan/atau aktivasi makrofag dan sel T,
sel-sel pertumbuhan
dan diferensiasi sel-sel B, stimulasi hematopoesis dan
diferensiasi neural (Scheller
dkk., 2011).Kemungkinan peranan dari IL 6 pada keradangan akut
ke keradangan
kronik adalah(Gabay, 2008):
- pada tahap 1 keradangan akut, IL 6 berikatan dengan soluble
IL6 receptor.
- Pada tahap 2, trans-signaling melalui gp 130 akan menyebabkan
penarikan
dari monosit.
- Pada tahap 3, IL 6 memicu apoptosis neutrophil, fagositosis
dan akumulasi
mononuclear pada tempat injury.
-
Pola kadar IL-6 serum pada pasien infeksi HIV yang mendapatkan
ARV
masih kontroversi. Basrard dkk., (2012) melaporkan bahwa kadar
IL-6 serum
berkorelasi positif dengan kadar viral load (VL) HIV pada pasien
yang sudah
terkendali dengan terapi cARV. Nilai batas kadar VL yang
bermakna dengan
peningkatan IL-6 adalah 31 copi/ml. Sedangkan Shive dkk., (2012)
melaporkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara kadar IL-6 dengan kadar
HIV-1 RNA dan
tidak terbukti bahwa replikasi HIV memicu ekspresi IL-6 secara
in vivo atau in
vivo. Kadar IL-6 dilaporkan berbanding terbalik dengan kadar CD4
nadir. (Borges
Gambar 2.5Peran dari IL 6 pada keradangan akut ke keradangan
kronik (Gabay, 2008)
-
AH, 2014) Pada penelitian cross sectional dijumpai bahwa kadar
IL-6 serum yang
tinggi terkait dengan anemia pada pasien HIV yang mendapat cARV
(Borges
dkk., 2014).
Pada anemia akibat penyakit kronik, IL-6 berperan melalui
induksi translasi
dan transkripsi feritin sehingga mengakibatkan peningkatan
simpanan besi dalam
RES. IL-6 juga memicu pembentukkan hepsidin, sehingga absorpsi
besi di
duodenum dan eksport besi dari makrofag menurun. Secara sistemik
IL 6
memberikan dampak hipoferrinemia dan hiperferitinemia. ( Weiss
dan
Goodnough, 2005; Raj DS, 2009)
Peranan IL 6 pada bebeberapa penelitian masih kontradiksi. Pada
penelitian
di Bali, tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara kadar IL 6
dengan kadar
besi serum dan kadar hemoglobin pada penderita anemia penyakit
kronik
(Wibawa dan Bakta, 2008). Sedangkan pada penelitian potong
lintang pada orang
dewasa di Jepang dijumpai hubungan terbalik antara kadar IL 6
serum dengan
kadar besi pada serum (Nakagawa, 2014).
2.17. Faktor -faktor yang mempengaruhi kadar IL-6 serum selama
infeksi
HIV
Sangat sedikit data yang tersedia tentang factor-faktor yang
berkaitan
dengan kadar IL 6 serum yang beredar dalam sirkulasi .
Penelitian trial 3 study
besar seperti INSIGT SMART. ESPRITdan SILCAAT yang melibatkan
9864
responden menemukan bahwa tingginya kadar IL-6 berkaitan
peningkatan umur,
ras bukan hitam, peningkatan IMT, kadar serum lipid yang lebih
rendah, replikasi
HIV. Hitung nadir CD4 yang rendah, pemakaian protease inhibitor,
kondisi ko-
-
morbid, penurunan kadar estimated glomerular filtration rate
(eGFR)(Borges,
2015).
2.18. Peranan hepsidin pada anemia penyakit kronik pada infeksi
HIV
Hepsidin merupakan asam amino yang berperan sebagai regulator
utama
metabolism besi. Hepsidin disintesis terutama di hati, namun
beberapa sel dan
jaringan tubuh yang lain seperti jaringan adiposit, otak, sel
makrofag dan neutropil
yang teraktivasi akibat infeksi bakteri, juga mensintesis
hepsidin dalam jumlah
kecil. Hepsidin yang matang beredar dalam plasma, 89% terikat
spesifik pada α2-
makroglobulin (Ganz dan Nemeth, 2009; Babitt dan Lin, 2010)
Regulasi sintesis hepsidin pada inflamasi secara umum melalui
peranan IL-6
yang dilepaskan oleh makrofag Sintesishepsidinmeningkat dalam
kondisi
konsentrasibesi plasma yang tinggi, infeksi danatau
peradangansehingga terjadi
Gambar 2.6Peran Hepsidin dalam metabolisme besi (D’ angelo G,
2013)
-
penurunanketersediaanbesi, sedangkansintesishepsidinmenurun
terjadi pada
kondisi yangmemerlukanpeningkatan konsentrasizat besiserum,
seperti
peningkatanatau tidak efektifnya eritropoiesis, hipoksia,
anemiadandefisiensi besi.
Pada infeksi HIV, selama fase akut pada saat terdeteksi viremia,
terjadi
peningkatan kadar hepsidin disertai kadar besi plasma. Pada saat
terjadi transisi
dari infeksi akut ke kronik yaitupada 60 hari pertama infeksi,
hepsidin berkorelasi
positif dengan kadar set poin VL plasma. Hepsidin masih tetap
meningkat pada
pasien HIV kronik yang tidak diterapi maupun yang mendapat
terapi ARV.
Hepsidin masih tetap meningkat walaupun pasien sudah mendapat
cARV yang
mensupresi HIV sampai kadar tidak terdeteksi. Hal tersebut
disebabkan oleh
masih persistennya aktivasi imun yang ditunjukkan oleh adanya
peningkatan
hepsidin yang disertai oleh peningkatan kadar CRP, IL-18 dan
TNFα pada pasien
yang mendapat terapi cARV. Kadar hepsidin pada fase akut
infeksi, menurun
seiring dengan tersupresinya HIV, namun hepsidin masih tetap
meningkat secara
bermakna (sekitar 2 kali lipat) pada fase kronik (Armitage dkk.,
2014). Namun
hal yang sebaliknya dilaporkan pada publikasi terakhir pada
pasien HIV yang
mendapat cARV, dijumpai kadar hepsidin secara bermakna lebih
tinggi pada
pasien dengan kadar HIV-RNA yang tinggi dibandingkan dengan
kadar HIV-
RNA yang tidak terdeteksi ( Malvoisin dkk.,2015). Penelitian
terakhir melaporkan
bahwa kadar hepsidin pada pasien HIV dengan ARV naïve lebih
rendah
dibandingkan kadar hepsidin partisipan seronegatif dan pasien
HIV yang
mendapat ARV (Cunha JD dkk., 2015). Pada HIV stadium lanjut
dijumpai kadar
hepsidin berbanding terbalik dengan kadar CD4 ( Wisaksana dkk.,
2013).
Gambaran regulasi hepsidin pada infeksi HIV dapat dilihat pada
gambar berikut:
-
Gambar 2.7 Regulasi hepsidin pada infeksi HIV (Modifikasi dari
Mupfudze TG,
2014 yang dikutip dari Nemets dan Ganz, 2006)
2.19. Gambaran klinis anemia pada pasien HIV
Tidak ada gejala atau tanda spesifik anemia yang lebih sering
muncul
pada kelompok pasien dengan infeksi HIV. Manifestasi klinis
anemia pada pasien
HIV sangat bervariasi tergantung pada penurunan dari kapasitas
angkut oksigen,
derajat perubahan volume total darah, kecepatan terjadinya
anemia, kemampuan
kompensasi dari sitem paru-paru dan kardiovaskular dan
manifestasi penyakit
Ferroporti
FerroportiEritrosit Dan pemakai Fe yg lain
Sensor O2 (hypoxia)
Hepatosit
Feroportin
Sensor Fe (anemia)
Inflamasi IL-6
CD 4
Plasma
Fe
Recycling senescent cells
Macrophages
Duodenum Fe
infeksi Oportunistik
Infeksi HIV
Hepatitis - VHC
Hepsidin
Makanan
-
yang mendasari. Pada umumnya pasien dengan anemia derajat sedang
dan berat
akan menunjukkan gejala-gejala. Gejala yang timbul dapat terjadi
pada berbagai
sistim organ.
2.20. Diagnosis anemia penyakit kronik pada infeksi HIV
Pada umumnya anemia penyakit kronik adalah berderajat ringan
sampai
sedang dengan gambaran morfologi normokromik normositer, namun
dapat juga
menjadi hipokromik-normositer, namun dengan memberatnya
progresivitas
penyakit, anemia yang berlangsung lama, atau yang terjadi papa
populasi yang
membutuhkan besi lebih banyak, maka dapat menjadi
hipokromik-mikrositer
(Ganz dan Nemeth, 2009; Roy, 2010). Secara biokimiawi, anemia
ini ditandai
oleh kadar serum iron yang rendah, menurunnya kadar total iron
binding capacity,
kadar saturasi transferin menurun, namun cadangan besi masih
pada sumsum
tulang cukup (Price dan Schirier,2010; Roy, 2010)
Diagnosis anemia penyakit kronik ditegakkan bila kadar Hb <
13 g/dl pada
laki-laki atau < 12 g/dl pada perempuan, dengan morfologi
normokromik-
normositer atau hipokromik-mikrositer (MCV < 80 fl dan MCH
< 27 pg) dengan
kadar besi serum < 50 mg/dL, TIBC < 350 mg/dL dan kadar
serum feritin ≥ 30
ng/ml, dengan menyingkirkan anemia pada penyakit ginjal kronik,
penyakit hati
kronik dan hipotiroid. (Bakta, 2006; Cullis, 2011, Poggiali dkk,
2014 )
-
2.21. Diagnosis Banding anemia penyakit kronik
2.21.1 Anemia Pada tumor sumsum tulang
Tumor pada sumsum tulang pada pasien dengan infeksi HIV
terutama
disebabkan oleh leukemia, multiple myeloma, limfoma dan tumor
metastase ke
sumsum tulang. Kemungkinan diagnosis tumor pada sumsum tulang
perlu
dipikirkan bila dijumpai anemia yang disertai splenomegali,
organomegali,
leukositosis, leucopenia, trombositosis atau trombositopenia.
(Koury dan Rhodes,
2012)
2.21.2 Anemia akibat infeksi sumsum tulang
Infeksi sumsum tulang pada pendeita HIV dapat disebabkan oleh M.
TBC,
M avium complex, Histoplasmosis, Cryptococcus, cytomegalovirus,
Leishmania,
Pneumocystis carinii dan Parvovirus (Tripathi dkk 2005).
Kemungkinan diagnosis
infeksi pada sumsum tulang perlu dipikirkan bila dijumpai demam
yang tidak
jelas sumbernya, dijumpai anemia yang disertai leukositosis atau
leucopenia
(Koury dan Rhodes, 2012)
2.21.3 Anemia pada pemakaian obat-obat mielosupresif
Beberapa obat yang dapat menekan sumsum tulang. Obat ARV
yang
sering menyebabkan anemia adalah zidovudin. Anemia karena
zidovudine
memiliki gambaran morfologis makrositer. Pada pemakaian
zidovudin juga sering
dijumpai neutropenia.
-
2.22. Penatalaksanaan anemia penyakit kronik pada infeksi
HIV
Sampai saat ini pendekatan terapi anemia pada HIV adalah
koreksi
terhadap penyakit yang mendasari.
2.22.1. Obat kombinasi antiretrovirus
Penelitian prospektif pada wanita dengan HIV dijumpai pemakaian
cARV
dalam 6 bulan memberikan dampakperbaikananemia (odds ratio [OR]
= 1.45; P<
0.05) sedangkan pemakaian 12 bulan atau lebih berkaitan dengan
efek protektif
terhadap terjadinya anemia (OR = 0.71; P< 0.001) (Berhane K
dkk 2004).
Dilaporkan bahwa terputusnya pemakaian cARV memiliki risiko yang
lebih
tinggi terjadinya anemia atau perburukkan anemia. Pada
penelitian tersebut
dilaporkan juga bahwa anemia meningkatkan insiden terjadinya
AIDS, kejadian
non-AIDS defining atau kematian (Mocroft dkk ., 2011)
2.22.2. Epoetin alfa
Epoetin alfa telah diketahui aman dan efektif untuk terapi
anemia pada
infeksi HIV. Dilaporkan pemberian epoetin alfa 100 – 200 U/kgBB
3 kali per
minggu secara bermakna meningkatka kadar hematokrit pada pasien
AIDS yang
mendapat terapi zidovudine dengan kadar endogenous
erythropoietin < 500 IU/L.
peningkatan kadar hemoglobin > 1 g tampak setelah pemberian
pada minggu 2,
dengan dikuti peningkatan > 2 g pada minggu 4. Pemberian
epoetin alfa juga
secara bermakna berkaitan berkurangnya kebutuhan transfusi
sehingga akan
meningkatkan kualitas hidup (Volberding PA dkk., 2004)
-
Gambar 2.8 Dugaan Mekanisme Anemia Penyakit Kronik Pada Infeksi
HIV yang mendapat terapi kombinasi ARV
HIV ↑
cARV
Interferon IL-6 TNF-IL-10 IL-1
CD3+Sel Monosit
MekanismeEfektorI
Sel T CD4 ↓
Seleritroid progenitor
Sumsumtulang Eritropoiesistergan
Fe ↓
Makrofag
Eritropoietin
Ginjal
AbsorpsiBesi di duodenum
Hepsidin
Hati
Anemia